Vani terpaku mendengar gumaman kecil itu. Ia mencoba membalikan tubuhnya dengan ragu. Menatap kearah sang pria yang tenyata masih memejamkan matanya, dengan helaan napas teratur.
"Apa dia mengigau?" tanya Vani bermonolog sendiri.
Ia melihat kanan kiri, hingga atensinya tertuju pada sebuah lemari kecil dipojok ruangan. Ia mendekati benda itu, lalu membukanya dan mengambil salah satu lipatan kain yang tersusun rapih didalam sana.
Satu kata yang dapat tertangkap indera penciumannya, kala kain itu Ia dekap. "Hem ... Wangi." ucapnya tersenyum.
Aroma maskulin dari kain itu menandakan bahwa selimut itu memanglah milik sang boss. Aroma itu mengingatkan Ia pada kejadian kemarin. Bahkan aroma itu sampai tertinggal dipakaian yang Ia kenakan waktu itu.
Ia gelar kain itu menutupi tubuh sang boss. Tak ingin membangunkannya, Ia memutuskan untuk keluar dari ruangan itu. Namun sebelum pergi atensinya teralihkan pada meja yang berserakan dengan beberapa berkas disana. Ia pun hendak membereskannya terlebih dahulu sebelum meninggalkan ruangan tersebut.
"Berantakan banget." Gumamnya, Ia merapihkan dan menyusun dokumen-dokeumen itu dengan rapih.
Hingga menjatuhkan sebuah kertas kecil dari sela-sela salah satu dokumen. Ia ambil kertas yang ternyata sebuah potret itu. Matanya tiba-tiba memanas melihat potret itu.
"Ini?" gumamnya pelan seraya menatap gambar tersebut dan sang boss yang masih anteng dengan tidurnya, secara bergantian. Air matanya jatuh begitu saja. Sungguh Ia sangat merindukan kebersamaan saat seperti dalam foto tersebut.
Foto kedua bocah tampan dengan dua gadis kecil yang tertawa dengan gaya begitu lucu. Sungguh terlihat manis dan menggemaskan.
"Aku rindu kalian." cicitnya.
Vani menutup mulutnya untuk menahan isak yang keluar dari bibir ranum itu. Entah seperti apa sahabat kecilnya itu sekarang, apakah Ia masih mengingatnya atau sudah melupakannya.
"Emmm!!" Gumaman dari sang boss yang bergeliyat, membuat Vani segera menyeka lelehan air yang membasahi pipi cantiknya.
Ia simpan kembali foto itu diantara tumpukan map yang sudah tersusun rapih dan segera mendekati sang boss yang baru saja membuka matanya.
"Bapak sudah bangun?" tanyanya sebiasa mungkin.
Aska mengucek matanya yang terasa sepet, sepertinya Ia tertidur cukup pulas. Hingga membuat mata itu cukup sulit untuk Ia buka.
"Apa saya tertidur lama?" tanyanya seraya bangkit dari tidurnya.
"Nggak, Pak! Saya juga baru kembali." balas Vani seraya mendudukan diri ditepi sofa.
"Maaf Pak. Izinkan saya duduk disini!" pintanya seraya menundukan kepala sopan.
Aska tersenyum menanggapi itu. "Duduklah! Gak perlu terlalu formal. Kita bisa berteman." ucapnya. Vani hanya tersenyum seraya menundukan kepalanya sopan sebagai tanggapan.
"Oh iya, mana obat yang kamu bawa?" tanya Aska, "kepala saya sedikit pusing." lanjutnya.
Vani segera membuka makanan yang Ia beli tadi. Lalu mengaduk nasi lembek dengan berbagai toping diatasnya.
"Hanya ada bubur, apa bapak suka?" tanya Vani dengan ragu. Pasalnya seingat Ia dulu, pria disampingnya itu tak menyukai nasi lembek itu sama seperti dirinya. Namun karena ini masih pagi, belum ada makanan yang pas untuk pengganjal perut sang boss.
Aska tersenyum. 'Bubur? Apa aku bisa memakannya.' batinnya meringis. Jangankan untuk memakannya, melihatnya saja sudah membuat Ia ingin muntah.
Namun, karena ingin terlihat cool oleh sang gadis. Dengan berat hati Ia pun menganggukan kepalanya. "Suka!" ucapnya dengan semangat.
Vani tersenyum dengan terpaksa. Benarkah sang boss tak akan apa-apa? Atau memang sekarang Ia memang menyukainya? Pikirnya.
Aska mengambil mangkuk yang disodorkan sang gadis. Ia tatap sejenak makanan itu dengan meringis dan menelan ludahnya susah payah. Namun Ia harus bisa memakannya demi terlihat hebat didepan sang gadis.
Baru satu sendok makanan itu masuk kedalam mulutnya, matanya membola. Tanpa basa basi lagi, Ia berlari menuju wasthaple dan memuntahkan semua isi perutnya.
"Uwekk!! Uwekk!!"
Vani yang panik bergegas menyusul, Ia mencoba memijit tengkuk sang boss pelan, untuk mencoba membantunya.
"Bapak gak apa-apa?" tanyanya khawatir. Aska hanya menggeleng sebagai jawaban.
"Mari saya bantu!" Dengan sigap Vani memapah sang boss yang terlihat lemah keluar dari kamar mandi. Memeluk dan sedikit menyeret tubuh jangkung itu untuk duduk kembali diatas sofa.
"Nih! Bapak minum dulu!" titah Vani menyodorkan air mineral pada sang boss.
Aska tak menjawab Ia hanya pasrah menerima perlakuan sang gadis.
"Bapak kenapa makan, kalo gak suka?" tanya Vani dengan nada lembut namun terdengar tegas.
Aska hanya menggelengkan kepala sebagai jawaban. Ia masih begitu lemah untuk membalas ucapan gadisnya.
"Gak pernah makan, malah maksa makan." lanjutnya pelan dengan nada terdengar gerutuan.
Seketika telinga Aska menajam. Terasa ada yang aneh dari ucapan sang gadis, Ia pun meminta penjelasan. "Apa tadi?"
Vani yang tengah membereskan makanan pun menghentikan pergerakannya. Ia bahkan tak menyadari ucapannya tadi. Dengan terlihat santai Ia pun bertanya balik, "iya, Pak?"
"Itu tadi kamu bilang apa?" tanya Aska lagi.
"Saya? Bilang? Bilang apa Pak?" kilah Vani dengan sebiasa mungkin. Meski tak dapat dipungkiri hatinya begitu was-was takut sang menyadari apa yang Ia ucapkan.
"Tadi kamu bilang ka-" belum juga ucapannya selesai Vani segera menyelaknya.
"Makan roti ini Pak! Biar Bapak bisa minum obat!" titah Vani seraya memberikan roti yang sudah Ia buka bngkusnya.
Melihat senyum sang gadis dengan penuh perhatian, membuat Aska melupakan pertanyaannya. Ia ikut tersenyum, menatap mata indah sang gadis.
Bukan menerima roti dari tangan sang gadis dengan tangannya. Ia justru menyambar roti itu dengan bibirnya.
Vani sedikit terkesiap. Namun Ia berusaha sesantai mungkin, meski hatinya benar-benar bergetar hebat Ia mencoba bersikap biasa saja.
"Terima kasih!" ucap Aska seraya tersenyum manis, dengan kembali merebahkan kepalanya dibahu kursi.
Vani ikut tersenyum dengan kelakuan bossnya itu. "Habiskan dulu Pak rotinya! Biar obatnya segera diminum." titahnya.
"Boleh suapin saya? Kepala saya keleyengan kalo harus bangun." tanya Aska.
"Tapi Pak, rasanya saya kurang sopan kalo harus menyuapi Bapak." balas Vani ragu.
"Nggak apa-apa. Anggap saja kamu lagi kerja." balas Aska.
"Tapi ..." Vani masih ragu untuk mengiyakan perintah sang boss.
"Gak apa-apa kalo kamu gak mau. Sini biar saya makan sendiri!" pinta Aska dengan mengadahkan tangannya yang terlihat bergetar.
Vani yang melihat itu tentu tak tega. Ia mendekat dan mulai menyuapinya tanpa bicara. Aska pun menerimanya dengan senang hati.
"Maaf merepotkan!" sesal Aska.
"Nggak Pak!" balasnya tersenyum. "Bapak sendiri kan yang bilang santai saja." lanjutnya hingga Aska ikut tersenyum.
Aska pun menghabiskan roti itu dari tangan sang gadis dan meminum obatnya. Kemudian kembali merbahkan dirinya.
"Mau saya pijit kepalanya?" tanya Vani.
"Mmm boleh." balas Aska seraya menggeser, melorotkan diri agar sang gadis duduk didekat kepalanya.
"Saya duduk dilantai aja Pak. Gak apa-apa." ucap Vani merasa tak enak.
"Jangan, disofa aja!"
"Tapi Pak!-"
"Duduk dan mulailah!"
Akhirnya Vani pasrah duduk didekat kepala Aska dan mulai memijitnya. Aska begitu menikmati pijatan dipelipisnya, hingga Ia tersadar sesuatu.
"Pijatan ini?"
\*\*\*\*\*\*
Jejaknya jangan lupa yaa🤗
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 85 Episodes
Comments
Aqiyu
makin dekat
2022-10-15
1
Maaaaaak"utun"..nie🍉
😘😘😘😘😘😘..pijatan,,,,,,,,,
2022-07-08
1
Maaaaaak"utun"..nie🍉
😘😘😘😘😘😘
2022-07-08
1