Happy reading 😘😘😘
Selama berumah tangga dengan Derana, Farel sering pergi dari rumah tanpa berpamitan pada istri dan kedua mertuanya. Derana di dunia nyata menyebut suaminya itu minggat atau minggatan.
Meski jengah, Derana berusaha agar suaminya mau pulang ke rumah dengan cara merayu dan menjemputnya.
Andai bukan demi bakti pada kedua orang tuanya dan untuk menghindari gibahan para tetangga, Derana ingin sekali tak mengacuhkan Farel dan membiarkan suaminya itu minggat. Bahkan mungkin, menenggelamkannya ke samudra.
Kita beralih pada Hastungkara. Sudah satu minggu, gadis belia itu tidak datang menemui Derana. Bahkan gawainya pun tidak aktif. Sehingga membuat Derana bertanya-tanya dan dihinggapi oleh perasaan cemas.
Apa yang terjadi pada Hastungkara? Kenapa dia sama sekali ndak terlihat selama satu minggu ini? tanya yang hanya terlafazkan di dalam benak.
Sebenarnya, Derana ingin menemui sahabatnya itu. Namun Farel bersikeras melarang dan membawa Derana pulang ke kediaman Atmajaya. Farel beralasan ... ibunya meminta mereka agar segera pulang untuk membicarakan pembagian warisan.
Dengan berat hati, Derana pun pulang ke kediaman Atmajaya bersama Farel dan mengabaikan bisikan kalbu yang memintanya agar tidak kembali ke rumah itu.
"Assalamu'alaikum Ra," sapa Zain saat masuk ke dalam kamar Hastungkara dan diikuti oleh Wijaya yang berjalan di belakangnya.
"Wa'alaikumsalam Ustadz," jawabnya disertai seutas senyum yang membingkai wajah pucatnya.
Hastungkara terbaring lemah di atas ranjang. Sudah hampir satu minggu, gadis belia itu merasakan tubuhnya sangat lemah seolah tiada daya.
"Saya tinggal dulu Nak Zain. Silahkan berbincang dengan cucu saya," tutur Wijaya sambil menepuk bahu Zain.
Atas permintaan Zain, Wijaya sengaja membuka lebar-lebar pintu kamar cucunya sebelum meninggalkan mereka berdua.
"Apa yang kamu rasakan saat ini, Ra?" tanya yang terlisan setelah Zain mendaratkan bobot tubuhnya di bangku yang berada di sisi ranjang.
"Seperti biasa, Tadz. Saya hanya merasakan tubuh saya lemah. Mungkin karena saya terlalu merindukan Ustadz," jawabnya seraya bercanda dan sukses menarik kedua sudut bibir Zain ke atas.
"Saya speechless, Tadz. Ustadz tiba-tiba datang tanpa diundang. Seolah Ustadz tahu kalau saya sedang merindu," sambungnya masih mode bercanda.
Candaan yang terlontar dari bibir Hastungkara menggelitik indera pendengaran sehingga Zain melebarkan senyumnya.
"Kamu paling pintar membuat hati saya berdaun-daun, Ra. Saya jadi semakin ingin segera mengkhitbahmu," ujar Zain menanggapi candaan Hastungkara.
"Sabar Tadz! Umur saya masih 17 tahun. Jadi, Ustadz harus sabar menunggu tiga tahun lagi."
"Selama itu?"
"Tiga tahun itu nggak lama Tadz. Lebih lama waktu yang saya gunakan untuk memintal rindu selama kita terpisah. Ustadz di Kairo, sementara saya di Jogja."
"Kata Dylan, rindu itu berat. Kamu hebat karena bisa memintal rindu selama bertahun-tahun, Ra."
"Itu karena Ustadz. Dan sekarang, kerinduan saya sudah terobati."
"Ehem." Zain berdehem dan melafazkan istighfar di dalam hati. Ustadz muda nan tampan itu berusaha menormalkan degub jantungnya yang bertalu-talu karena gombalan receh Hastungkara, gadis yang telah berhasil mencuri hatinya.
"Ra, kamu masih sering berkomunikasi dengan mereka?" tanya yang terlisan dari bibir Zain diikuti raut wajah serius. Namun tetap menjaga pandangan.
Mereka yang dimaksud oleh Zain adalah makhluk tak kasat mata dari golongan jin atau sejenisnya.
Dari kecil, Hastungkara mempunyai kelebihan bisa melihat makhluk tak kasat mata dan dapat berbincang dengan mereka melalui mimpi atau jika makhluk itu meminjam raga seseorang.
Firasat Hastungkara sangat tajam. Ia bisa membaca pikiran dan mendengar apa yang terlisan di dalam hati orang lain.
Namun Hastungkara tidak pernah berbangga diri dan menyombongkan kelebihannya itu, sehingga tidak banyak yang mengetahui kelebihannya selain Zain, Derana, dan keluarganya sendiri.
Bagi Hastungkara, kelebihannya itu adalah anugerah sekaligus ujian dari Illahi. Yang harus ia gunakan untuk membantu sesama, bukan malah digunakan untuk melakukan perbuatan tercela.
Setelah meraup udara dalam-dalam, Hastungkara menjawab pertanyaan yang dilisankan oleh Zain. "Iya Tadz. Saya masih sering berkomunikasi dengan mereka. Satu minggu yang lalu, saya berbincang dengan jin yang selalu menyertai Derana. Derana menyebutnya khodam leluhur. Makhluk itu memberi wejangan agar saya membantu Derana karena ada sepuluh dukun yang ingin mencelakai dan menaklukkannya."
"Kamu percaya dengan ucapan makhluk itu?"
Hastungkara mengendikkan bahu dan menjawab dengan ragu. "Entahlah Tadz."
"Lebih baik, kamu meminta petunjuk pada Allah, Ra! Apakah ucapan makhluk itu benar atau malah menyesatkan," tutur Zain seraya menasehati Hastungkara.
"Iya Tadz. Setiap malam seusai menunaikan sholat sunah lail, saya meminta petunjuk kepada Allah." Hastungkara sejenak terdiam. Ia tampak ragu untuk kembali melanjutkan ucapannya.
Zain yang mampu membaca raut wajah Hastungkara lantas melisankan tanya diikuti tautan kedua pangkal alisnya. "Apa yang sedang kamu pikirkan, Ra?"
"Emm ... begini Tadz. Memang ada beberapa orang yang ingin menjerat dan menaklukkan Derana. Tapi kalau berniat mencelakai, saya masih mencari tahu. Tanpa saya sebutkan siapa orang-orang itu ... Ustadz pasti sudah faham 'kan?"
Zain mengangguk dan tersenyum, lantas kembali membuka suara, "iya saya sudah faham karena kamu pernah menceritakannya pada saya. Sampaikan kepada Derana, lebih baik ... dia memperbaiki ibadahnya. Perbanyak dzikir, sholat wajib jangan sampai ditinggalkan, bersujud di malam hari, dan jalankan puasa sunah. Insya Allah, Allah akan mengulurkan tangan dan menghadirkan sosok yang bisa membantunya."
"Insya Allah, nanti saya sampaikan Tadz."
"Tidak usah terburu-buru menyampaikannya! Sehatkan dulu badanmu. Setelah badanmu benar-benar sehat, kamu bisa menemui sahabatmu. Tapi bukan di rumahnya. Karena Derana tidak ada di sana."
"Bagaimana Ustadz bisa tahu?" tanyanya heran seiring kerutan di antara kedua pangkal alisnya.
"Tadi saya berpapasan dengan Derana dan suaminya. Derana bilang, mereka akan pulang ke desa Ringin," jawab Zain sembari membenahi peci yang ia kenakan.
"Ohh. Kenapa, tiba-tiba saya mempunyai firasat buruk ya Tadz? Sepertinya, akan terjadi sesuatu yang buruk pada --" Hastungkara memangkas ucapannya lalu melafazkan istighfar.
"Langitkan pinta pada Allah, Ra! Semoga Derana--sahabatmu selalu dalam perlindungan dan penjagaan-Nya. Yakinlah, segala sesuatu tidak akan terjadi tanpa kehendak Allah SWT." Zain mentransfer energi positif melalui untaian kata yang ia lisankan agar Hastungkara--gadis yang dicintainya itu merasa tenang.
"Iya Tadz." Hastungkara mengangguk dan menghela nafas.
"Semoga firasatku nggak akan menjadi kenyataan," gumamnya. Namun bisa didengar oleh Zain.
Percakapan Zain dan Hastungkara terpangkas saat Wijaya datang membawa nampan berisi dua cangkir teh nasgitel (teh panas, legi, dan kental) beserta camilan berupa bakpia.
"Nak Zain, diminum dulu teh nasgitelnya! Sekalian, dicicipi bakpia oleh-oleh dari Jogja. Maaf, bapak tinggal lagi karena ada tamu agung dari kota. Dia berpesan, jangan mengganggu adeknya yang sedang PDKT dengan Ustadz kesayangan dan meminta saya untuk menemaninya bermain catur," tutur Wijaya setelah meletakkan nampan di atas meja.
"Siapa Kek tamunya? Jangan-jangan --"
Wijaya mengulas senyum dan mengerlingkan mata. Ia lantas mengayun tungkai sebelum Hastungkara melanjutkan ucapannya.
🌹🌹🌹🌹
Bersambung ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 99 Episodes
Comments
Rokhmi Nur Hidayati
seperti cerita ini ada hororx
2024-10-11
0
Amanah Amanah
lanjuuut thoor
2022-09-10
1
Nofi Kahza
Jangan2 Kara sakit itu ada hubungannya dengan jin2 sesat pada tubuh Farel?😠
BTW ni ya.. aku boleh berguru pada kara gk ya? gombalannya itu loh maut. Hahahah🤣
2022-07-20
1