Happy reading 😘😘😘
Allohumma, semoga nasib buruk nggak menimpa sepeda ontelmu, Ran--Hastungkara berucap dalam hati lalu bersiap menaiki sepeda ontel kesayangan sahabatnya.
Tanpa menunggu komando dari Hastungkara, Derana naik ke atas sepeda dan memposisikan diri--duduk di belakang.
"Ayo buruan jalan!" titah Derana dan dibalas anggukan oleh Hastungkara.
Meski sedikit ragu, Hastungkara menuruti titah yang dilisankan oleh Derana--sahabatnya.
"Pegangan ya Ran dan siapkan kakimu untuk mengerem!" pintanya sebelum mulai mengayuh sepeda.
"Kenapa harus pegangan dan menyiapkan kaki untuk mengerem, Ra?" Derana bertanya heran diikuti kerutan di antara kedua pangkal alisnya.
"Siapa tahu ada kodok lewat," celotehnya asal seraya menjawab kalimat tanya yang dilisankan oleh Derana.
"Memangnya, apa hubungannya dengan kodok lewat?"
"Kalau ada kodok lewat, sepeda yang aku kendarai bisa terlonjak kaget lalu terjun ke lumpur. Sebelum ikut terjun ke lumpur, kamu 'kan bisa menarik ujung bajuku dan mengerem dengan kaki." Alibi yang dilisankan oleh Hastungkara sukses membuat Derana tergelak.
"Yaa Allah, Ra ... kau itu kalau bicara suka ngadi-ngadi ya. Mana ada sepeda yang terlonjak kaget gara-gara kodok lewat. Pasti kau hanya beralibi 'kan? Jangan-jangan, sebenarnya kau belum bisa mengendarai sepeda ya?" cibir Derana diikuti tawanya yang mengudara.
"Aishh, siapa bilang aku nggak bisa mengendarai sepeda? Hampir setiap hari, aku bersepeda dengan mas Rafa --" cebiknya tidak terima.
Tapi sepeda tandem sih, bukan sepeda ontel--lanjutnya yang hanya terlisan di dalam hati sehingga tak terdengar oleh Derana.
"Iya-iya, aku percaya. Gadis tomboy sepertimu, mana mungkin ndak bisa naik sepeda. Naik kuda saja bisa, masa naik sepeda ndak bi--"
"Wes diem! Jangan ngoceh terus!" Hastungkara memangkas ucapan Derana dan mulai mengayuh sepeda dengan kepercayaan diri yang maksimal tanpa memperdulikan akibatnya.
"Aaaaaaaaaaaaaa." Teriakan Hastungkara dan Derana mengiringi laju sepeda menuruni jalan.
Sepeda ontel beserta kedua penumpangnya terjun bebas ke dalam lumpur dan sukses mengalihkan atensi para petani yang tengah membajak sawah dengan bantuan alat tradisional.
Para petani itu pun seketika tergelak menyaksikan adegan konyol yang tersuguh di hadapan mereka.
"Ya Allah Ya Tuhanku, ternyata benar dugaanku. Sebenarnya kau ndak bisa mengendarai sepeda, Ra. Pasti kita ndak akan apes--terjun ke lumpur kalau aku yang mengayuh sepedanya."
"Maaf." Hastungkara tersenyum nyengir--memperlihatkan gigi putihnya yang berjajar rapi diiringi acungan kedua jari tangannya membentuk huruf V.
Derana menghela nafas panjang dan menggeleng kepala. Kentara sekali ia sangat sebal bin kesal dengan ulah sahabatnya.
Namun karena rasa sayangnya, Derana tidak pernah bisa marah kepada Hastungkara, meski ulah sahabatnya itu sering kali membuatnya harus mengelus da-da dan menepuk jidat.
"Aku maafkan. Tapi jangan diulangi lagi! Kalau kau memang belum bisa mengendarai sepeda, seharusnya ngomong jujur! Jika perlu, minta diajarin aa' Zain," tutur Derana diikuti gerakan jemarinya menjapit gemas hidung Hastungkara.
"Aduduh. Japitnya jangan kenceng-kenceng!" Hastungkara mengaduh dan mengusap hidungnya yang memerah.
"Biar hidungmu mancung ke permukaan, bukan mancung ke dalam."
Hastungkara mencebik dan membalas ucapan sahabatnya. "Meski hidungku mancung ke dalam, banyak cowo-cowo yang naksir wee. Salah satunya ... Ahmad Zain, ustadz tertampan se-Indonesia Raya."
"Bukannya tampan sejagad jiwa?"
"Iya, itu juga bener. Ngomong-ngomong, sampai kapan kita berendam di lumpur, Ran?"
"Sampai pangeran berkuda putih datang menolong kita," selorohnya dan disambut gelak tawa oleh Hastungkara.
Menit berikutnya, Derana dan Hastungkara lantas keluar dari kubangan lumpur dengan dibantu oleh para petani.
Bahkan, ada salah satu petani yang berbaik hati membawakan sepeda sampai ke rumah kedua orang tua Derana.
Sesampainya di halaman rumah, keduanya disambut oleh Ratri dengan ekspresi wajah yang dingin dan tatapan nyalang.
Karena merasa tidak enak hati, Hastungkara meminta maaf dengan merendahkan suara dan menjelaskan kejadian yang sebenarnya kepada Ratri.
Hastungkara mengakui bahwa ia telah salah, sehingga mengakibatkan dirinya dan Derana terjun ke lumpur bersama sepeda yang mereka tumpangi.
"Pulanglah! Jangan dekat-dekat lagi dengan Derana! Putriku ndak akan bisa dewasa jika masih saja berteman dengan bocah sepertimu," sarkas Ratri dengan nada suaranya yang terdengar penuh penekanan.
Hastungkara sejenak memejamkan mata dan menghela nafas panjang. Gadis belia itu berusaha menahan diri untuk tetap bersikap santun meski ia tahu bahwa Ratri berucap dan bersikap diluar kebiasaan karena tengah dipengaruhi oleh ilmu hitam.
"Saya sudah mengakui bahwa saya salah. Meski Bude melarang saya untuk berteman dengan Derana, saya tetap akan berteman dengannya. Sebagai seorang sahabat, saya nggak akan membiarkan Derana menanggung bebannya sendiri. Saya mohon, kendalikan emosi Bude! Jangan mudah terhasut oleh bisikan iblis yang saat ini bersemayam di dalam tubuh Bude! Jangan menghukum Derana dengan cara memukulnya --"
"Cukup!" Ratri memangkas ucapan Hastungkara. Tangan wanita paruh baya itu mengepal seraya menahan amarah yang sudah menjalar sampai ke ubun-ubun.
"Pergi dari hadapanku sekarang juga atau aku akan meminta menantuku untuk menyeretmu?" ancamnya kemudian dengan meninggikan intonasi suara. Namun Hastungkara tidak merasa takut sedikit pun.
"Saya akan pergi sekarang, Namun besok, saya akan datang lagi untuk menemui Derana."
"Kau --" Ratri melayangkan tangannya ke udara dan hampir mendarat di pipi mulus Hastungkara. Beruntung, Usman segera mencegah dengan mencengkram lengan Ratri--istrinya.
"Bu, kendalikan emosimu! Nak Rara adalah cucu bapak kepala desa. Beliau pasti ndak akan terima jika cucunya disakiti --"
"Aku ndak peduli Pak," sahut Ratri tanpa merendahkan nada suara.
Karena tidak ingin memperbesar masalah, Hastungkara memilih berlalu pergi--meninggalkan rumah kedua orang tua Derana.
Seiring ayunan tungkainya, benak Hastungkara melisankan janji bahwa ia akan berusaha membantu Derana agar bisa terlepas dari jerat para iblis yang berwujud manusia. Para iblis itu adalah seluruh keluarga Atmajaya, terutama Farel Atmaja Saputra ....
🌹🌹🌹🌹
Bersambung ....
Maaf baru bisa UP di jam segini. Karena apa??? Karena otak dan jari othornya nggak bisa diajak bekerja cepat 😁🙏
Mohon maaf jika ada salah kata dan bertebaran typo. 😊🙏
Mumpung masih hari Selasa, yuk tampol Derana dengan vote dan gift 😉
Terima kasih dan banyak cinta teruntuk Kakak-kakak ter love yang berkenan mengawal kisah Derana hingga end 😘😘😘
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 99 Episodes
Comments
Rokhmi Nur Hidayati
memang jalan ke baik banyak tantangan/cobaan tapi dgn niat baik akan dipermudah menjalaninya
2024-10-11
0
Ukhty Nur Siahaan
Alhamdulillah ad shbat mau kekgitu
2024-01-25
0
YK
jangan2 bu Ratri ini jarang sholat sampai gampang jena gendam...
2022-10-14
0