Happy reading 😘😘😘
Cahaya rembulan mulai meredup dikala Hastungkara khusyuk dalam dzikirnya.
Gadis itu tampak bersila dengan butiran tasbih di dalam genggaman tangannya.
Meski raganya masih berada di atas sajadah, tetapi sukma Hastungkara seolah terbang ke tempat yang ingin ia tuju--kediaman Atmajaya.
Di sana, Hastungkara melihat berbagai macam makhluk tak kasat mata. Makhluk-makhluk itu hanya menatap Hastungkara tanpa berani menyentuh.
Hastungkara melafazkan doa seraya memohon perlindungan kepada Illahi saat tersaji pemandangan yang membuatnya bergidik ngeri. Entah, apa yang dilihatnya itu.
Usai melafazkan doa, Hastungkara mengusap wajahnya dengan telapak tangan dan memutuskan untuk kembali sebelum Atmajaya mengetahui keberadaannya kini.
"Alhamdulillah --" Hamdalah terlisan dari bibir Hastungkara kala sukmanya kembali. Ia pun lantas membuka netra dan menghela nafas lega seraya bersyukur karena Illahi masih memberinya kesempatan untuk hidup di dunia fana ini.
"Allah, jagalah Derana dari segala kejahatan makhluk yang Engkau ciptakan. Jangan biarkan tujuan mereka tercapai. Beri perlindungan dan penjagaan kepada sahabat hamba," pinta yang Hastungkara langitkan sesaat setelah suara kerinduan Illahi terdengar.
Gadis belia itu beranjak dari sajadah. Ia berniat untuk turut serta kakeknya, menunaikan ibadah sholat subuh berjamaah di masjid yang berada tidak jauh dari rumah Derana--sahabatnya.
"Nduk, kakek berangkat dulu ya," pamit Wijaya diiringi sebaris senyum yang menghiasi wajah rentanya.
"Rara ikut ya Kek!" sahut Hastungkara.
"Tumben ikut, Nduk cah ayu? Biasanya, kamu ndak mau menunaikan sholat berjamaah di masjid dengan alasan ... perempuan itu lebih utama menunaikan sholat di rumah."
"Tapi kali ini, Rara ingin ikut ke masjid. Boleh ya Kek?" pintanya mengiba sembari mengatupkan kedua telapak tangan di depan dada dan memasang wajah puppy eyes.
Wijaya menerbitkan senyum dan mengusap pucuk kepala Hastungkara--cucu kesayangannya. "Tentu saja boleh, Nduk. Ayo kita berangkat!"
"Matur nuwun Kek." Hastungkara terlihat girang. Gadis belia itu tersenyum lebar dan memeluk singkat tubuh Wijaya sebagai ungkapan rasa terima kasih.
Setelah mengunci pintu rumah, Wijaya memandu Hastungkara--mengayun tungkai menuju masjid Al Makmur.
Sesampainya di halaman masjid, mereka berpapasan dengan Farel. Pria itu terlihat sangat santun dan ramah. Dengan memperlihatkan senyum manis, Farel menyapa Wijaya dan Hastungkara.
Hastungkara berdecih dan memutar bola mata malas. Ia jengah melihat sikap dan mendengar tutur kata Farel yang mencerminkan seorang manusia munafik.
Begitu pandai pria itu memasang topeng dan memainkan peran, sehingga semua orang mengira ... Farel adalah sosok pria yang saleh dan mendekati kata sempurna. Namun kenyataannya, sangat berbanding terbalik.
"Assalamu'alaikum." Sapaan salam dari Zain mengalihkan atensi. Hastungkara, Wijaya, dan Farel seketika merotasikan kepala ke arah pemuda berparas rupawan itu.
"Wa'alaikumsalam," jawab ketiganya kompak.
"Ustadz, ayo kita masuk ke serambi!" ajak Hastungkara dan Zain membalasnya dengan anggukan.
"Maaf Kek, kami duluan ya. Ada yang ingin saya bicarakan dengan Ustadz Zain," pamitnya.
Wijaya mengangguk dan tersenyum. "Iya Nduk. Tapi jangan lama-lama ya! Sebentar lagi iqamah," tutur Wijaya sembari mengusap hijab yang menutupi rikma Hastungkara.
"Asiap Kakek." Hastungkara tersenyum lebar. Tanpa ia sadari, Farel mencuri pandang. Pria berkulit sawo matang itu terpesona melihat wajah ayu Hastungkara--sahabat istrinya.
Hah, andai kau ndak songong, pasti aku sudah jatuh hati dan akan menjadikanmu ratu.
Hastungkara mengernyit kala indra pendengarannya menangkap ucapan Farel yang hanya terlisan di dalam hati.
"Tadz, ayo buruan! Keburu iqamah," ujarnya. Gadis belia itu lantas menarik ujung baju koko yang dikenakan oleh Zain.
Ia tidak ingin berlama-lama berada di dekat pria yang selalu sukses membuat amarahnya meletup-letup. Siapa lagi jika bukan Farel Atmajaya Saputra, keturunan seorang paranormal pemuja jin sesat ....
Zain hanya bisa pasrah--mengikuti langkah Hastungkara setelah mengucap salam yang ia tujukan pada Wijaya dan Farel.
"Sepertinya, kamu sedang menghindari seseorang," tebak Zain ketika keduanya menjejakkan kaki di serambi masjid.
"Iya." Hastungkara menjawab singkat diikuti helaan nafas berat.
"Dia itu ... manusia munafik dan lebih pantas disebut iblis," sambungnya kemudian.
"Apa saja yang kamu ketahui tentang dia?"
"Lumayan banyak, Tadz. Dia dan keluarganya itu pemuja iblis. Mereka berusaha menjerat dan menaklukan Derana untuk mencapai tujuan dengan cara yang sesat," terang Hastungkara seraya menjawab pertanyaan yang dilisankan oleh Zain.
"Lantas, apa yang ingin kamu lakukan untuk membantu Derana?"
"Itu yang sedang saya pikirkan, Tadz. Untuk saat ini, saya hanya bisa berdzikir dan memohon petunjuk pada Allah."
"Kamu hati-hati ya! Saya tidak ingin sesuatu yang buruk menimpamu," pesan Zain menyuarakan kecemasannya.
"Ustadz mencemaskan saya ya?" tanyanya seraya menggoda sang pujaan hati.
"Tentu saja saya mencemaskanmu, Ra. Kamu 'kan calon makmumku. Andai diizinkan, saya ingin mengkhitbahmu saat ini juga. Saya ingin menjadi penguat dan penjagamu," tutur Zain berterus terang.
"Ustadz jangan cemas! Ada Allah yang menjadi penguat dan penjaga saya --"
Obrolan Zain dan Hastungkara terpangkas kala terdengar suara iqamah. Keduanya pun berpisah. Zain memposisikan diri di barisan shaf laki-laki, sementara Hastungkara di barisan shaf perempuan.
Berbeda dengan Hastungkara, Derana menunaikan ibadah sholat subuh di rumah.
Sebagai seorang istri, Derana sangat ingin menunaikan sholat berjamaah bersama Farel--suaminya.
Namun Derana sadar bahwa keinginannya itu tidak akan pernah terwujud sebab pria yang telah menikahinya ... bukanlah seorang suami yang saleh, tetapi berpura-pura saleh di hadapan orang lain.
Farel melarang Derana menunaikan sholat di masjid dengan alasan ... seorang wanita lebih baik sholat di rumah. Namun yang sebenarnya, Farel ingin leluasa menyebar fitnah, menghasut semua orang sehingga mereka membenci dan mengira bahwa Derana adalah istri yang sangat durhaka.
Derana terhenyak kala terdengar derit pintu terbuka diikuti suara langkah kaki.
"Sudah selesai sholatnya, Mas?" Derana melisankan tanya untuk sekedar berbasa-basi sambil melipat mukena yang baru saja ia lepas.
"Kalau belum selesai, ngapain aku pulang." Bukannya menjawab pertanyaan yang dilisankan oleh Derana dengan tutur kata yang halus, Farel malah mengeluarkan kata-kata bernada ketus, lalu mendaratkan bobot tubuhnya di bibir ranjang.
"Bersiap-siaplah! Pagi ini, kita akan pulang ke rumah kakek," imbuhnya sembari meraih gawai yang tergeletak di atas nakas.
"Tapi Mas, aku sudah terlanjur berjanji pada pak Umar untuk menggarap sawahnya --"
Farel memangkas ucapan Derana dengan berdecak kesal. "Ck, yasudah. Kita berangkat sore saja. Kau bekerjalah! Cari uang yang banyak! Pulang dari sawah, belikan aku rokok!" titahnya lantas membawa tubuhnya berdiri.
Derana menggeleng kepala dan melafazkan istighfar. Suami yang seharusnya bertanggung jawab memberi nafkah, malah menyuruhnya bekerja--mencari uang hanya untuk membeli rokok.
Sementara kebutuhan mereka yang lain, ditanggung oleh Usman dan Ratri. Kedua orang tua Derana itu rela bekerja dari pagi hingga menjelang senja demi mencari uang tambahan, agar mereka bisa memenuhi kebutuhan hidup dan menuruti semua permintaan Farel, terutama menyediakan makanan yang lezat ....
🌹🌹🌹🌹
Bersambung .....
Mohon maaf bila ada salah kata dan bertebaran typo 😊🙏
Terima kasih dan banyak cinta untuk Kakak-kakak yang berkenan mengawal kisah Derana 😘😘😘🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 99 Episodes
Comments
Ukhty Nur Siahaan
Shrsny suami yg menafkahi istriny
2024-01-25
1
Ady Pratama
ya Tuhan smgah aja suami nya di beri hukuman apa yg dia lakukan yg stpal
2024-01-08
0
Andi Fitri
Astaghfirullah pengen jahit mulut suami laknat nya derana.. jdi kacungnya iblis aja bangga..
2023-03-01
1