Happy reading 😘😘😘
"Pak, legen!" Hastungkara beranjak dari posisi duduk dan memanggil penjual legen yang lewat di belakang mereka.
Penjual legen itu seketika menghentikan langkah dan menerbitkan senyum. "Mau berapa botol, Mbak?" tanyanya kemudian.
"Dua botol Pak," jawab Hastungkara tanpa memperhatikan wajah si penjual legen.
"Jangan panggil saya Pak! Saya belum menikah dan masih sangat muda." Penjual legen itu melepas caping sehingga wajahnya yang rupawan kini tampak dan memenuhi ruang pandang Hastungkara.
Gadis belia itu terkesiap saat melihat wajah penjual legen yang ternyata sangat familiar.
"Us-ustadz Zain," ucapnya tak percaya sembari menutup mulut dengan telapak tangan.
"Heem. Syukurlah kamu belum pangling dengan saya," balas Zain tanpa memudar senyum.
"Us-ustadz kenapa berjualan legen? Kata kakek, Ustadz Zain sedang mengenyam pendidikkan di Kairo Mesir."
"Saya sudah lulus, Ra. Makanya, saya kembali ke kampung halaman. Karena masih nganggur, saya membantu bapak berjualan legen," terang Zain seraya menjawab pertanyaan yang dilisankan oleh Hastungkara.
"Jika Ustadz Zain nggak keberatan, bagaimana kalau Ustadz bekerja di koperasi? Nanti, saya akan meminta kakek supaya menerima Ustadz sebagai admin."
Zain menarik kedua sudut bibirnya dan kembali membuka suara, "terima kasih untuk tawaranmu, Ra. Tapi untuk saat ini, saya memang sedang tidak ingin bekerja. Masih banyak yang harus saya lakukan di desa ini." Zain menolak dengan tutur kata yang terdengar halus sehingga Hastungkara bisa menerima tanpa merasa tersinggung.
"Jangan tersinggung ya, Ra!" sambungnya sembari menyodorkan dua botol legen dan Hastungkara menerimanya diikuti senyum yang terkembang.
"Saya sama sekali nggak tersinggung. Oya, berapa harga dua botol legennya Tadz?"
"Tidak usah bayar. Buat kamu geratis saja."
"Tapi, saya nggak suka geratisan."
"Baiklah, kamu bisa membayarnya satu tahun atau dua tahun lagi."
"Saya nggak suka berhutang."
"Jika kamu tidak mau berhutang, bayarlah sekarang juga! Tapi, bukan dengan uang."
"Lalu dengan apa?"
"Dengan melafazkan surat Ar Rahman. Sudah lama sekali, saya tidak mendengar suara merdu adik sahabatku sekaligus calon makmumku."
Ucapan Zain sukses membuat Hastungkara salah tingkah dan tersipu malu. Gadis belia itu tertunduk malu--menyembunyikan wajahnya yang terhias rona merah.
"Ehem, cie ... cie." Suara Derana membuyarkan atmosfer sweet yang tengah menaungi kedua insan, Hastungkara dan Zain.
Zain terkekeh, sementara Hastungkara mencebik dan memukul pelan punggung sahabatnya. "Apaan sih, Ran?"
"Baru pertama kali aku melihat wajahmu menjelma seperti kepiting rebus, Ra. Gadis sepertimu ternyata bisa juga malu-malu khoceng," ujar Derana seraya menggoda sahabatnya.
"Ishhh, udah deh Ran!"
"Buruan dibayar legennya, Ra! Lafazkan surat Ar Rahman! Kasihan Ustadz Zain jika harus menunggu terlalu lama."
"Hmm, baiklah. Tapi jangan keder saat kalian mendengar suaraku yang merdu, terutama Ustadz Zain. Setelah mendengar suaraku, harap jaga hati, jaga iman, dan jangan terburu-buru mengkhitbahku!"
Ucapan Hastungkara sukses menggelitik indra pendengaran, sehingga Derana tak mampu menahan tawa.
Berbeda dengan Zain. Pemuda tampan itu berhasil menahan tawa yang hampir mengudara dengan melipat bibir.
Hastungkara meraup udara dalam-dalam kemudian mulai melafazkan surat Ar Rahman.
Suara Hastungkara yang teramat merdu, menggetarkan hati dua insan yang tampak khusyu' mendengarkan.
Keduanya tenggelam dalam keindahan untaian kata yang terangkai indah dan menyiratkan betapa maha kasih sayang-Nya IIlahi.
"Maha benar Allah atas segala firman-Nya." Hastungkara mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan seusai melafazkan surat Ar Rahman.
"Sudah Tadz. Berarti hutang saya lunas ya. Jangan ditagih lagi!" ujar Hastungkara tanpa menatap wajah rupawan yang tersaji di hadapan.
"Saya masih akan menagihmu. Menagih ucapan seorang anak kecil yang berjanji ... kelak jika telah menginjak usia dua puluh tahun akan menjadi makmumku."
Kata-kata yang terlisan dari bibir Zain kembali membuat Hastungkara tersipu malu. Gadis belia itu semakin menundukkan wajah dan memilin ujung bajunya.
"Maaf, saya harus lanjut berjualan lagi. Assalamu'alaikum --" ucap Zain sebelum mengayuh sepedanya dan kembali berkeliling menjajakan legen.
"Wa'alaikumsalam --" Derana dan Hastungkara menjawab ucapan salam yang dilisankan oleh Zain dengan kompak.
Setelah Zain berlalu pergi, Hastungkara menengadahkan wajah dan menatap punggung sang pujaan hati hingga menghilang dari pandangan.
"Ran, kita teruskan lagi obrolannya sambil minum legen ya!"
Derana mengangguk sebagai pertanda ia menyetujui ucapan sahabatnya.
Sepasang sahabat itu pun lantas kembali berbincang sembari menikmati kesegaran legen.
Legen adalah nama minuman tradisional yang banyak ditemukan di sekitar wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Minuman tersebut diambil dari bagian pohon siwalan.
Legen dihasilkan oleh para penderes, sebutan petani pohon nira yang menampung getah pohon tersebut dalam bumbung (selongsong bambu).
Selain bersifat menyegarkan, manfaat legen juga dipercaya bisa mengatasi keluhan bagi penderita penyakit pencernaan dan gangguan fungsi ginjal.
Legen yang baru dipanen dan belum diberi campuran tidak memiliki kandungan alkohol sehingga halal untuk dikonsumsi.
Okey lanjut ke cerita 😉
"Ra, aku teramat heran pada suamiku. Dia sepertinya mengidap penyakit mental. Setiap ingin menggauliku, dia menyuruhku untuk tidur. Dan anehnya, aku selalu menurut. Seperti orang yang dihipnotis atau diberi obat tidur, aku terlelap tanpa terjaga. Aku sama sekali ndak merasakan apapun ketika dia menjamah tubuhku dan menyelupkan batangnya. Tapi setelah terjaga dari tidur, aku baru merasakan sakit terutama di bagian sela-put marwah."
Hastungkara menghela nafas panjang kala mendengar cerita yang disampaikan oleh Derana. Gadis belia itu tampak mengerutkan dahi. Kentara sekali ia tengah berpikir sebelum memberi tanggapan. "Sepertinya, dia sengaja melakukan itu, Ran. Aku curiga yang menggaulimu --" Hastungkara urung melanjutkan ucapannya. Ia tidak ingin salah bicara sehingga membuat sahabatnya tersinggung dan semakin terbebani oleh pikiran buruk.
"Lanjutkan ucapanmu, Ra! Kenapa kau suka sekali membuatku penasaran?"
"Lupakan! Aku hanya asal bicara. Kau tau sendiri 'kan, aku sering kali berbicara ceplas ceplos. Lebih baik, kita pulang sekarang! Pasti suamimu sudah menunggu dengan memonyong-monyongkan bibir." Hastungkara berusaha mengalihkan pembicaraan dan membawa tubuhnya berdiri.
"Hmm, baiklah. Gantian aku yang duduk di belakang --" sahut Derana lantas beranjak dari posisi duduk.
Allohumma, semoga nasib buruk nggak menimpa sepeda ontelmu, Ran--Hastungkara berucap dalam hati lalu bersiap menaiki sepeda ontel kesayangan sahabatnya.
Apa yang akan terjadi selanjutnya??? Next episode akan terjawab 😉
🌹🌹🌹🌹
Bersambung ....
Mohon maaf jika ada salah kata dan bertebaran typo. 🙏🙏
Jangan lupa tinggalkan jejak dukungan. 😉
Terima kasih dan love love sekebon 😘😘😘
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 99 Episodes
Comments
Rokhmi Nur Hidayati
aduh...aduh...kayaknya klg farel tidak baik dan semoga klg derana ilindungi &di jaga Gusti Allah dari syetan yg selalu menggoda manusia yg iman setengah" hanya perlindungan pencipta
2024-10-11
0
мєσωzα
aslinya yg menggauli rana itu jin nya kah?
2023-04-22
1
мєσωzα
duh meleleh bacanya.. ustadz zain bisa aja 🥰
2023-04-22
1