Sesuai janjiku sebelum pulang aku meminta maaf pada Silvia.
Entah kenapa tadi aku benar-benar merasa emosi dengan apa yang pak tua itu lakukan.
Padahal sebelumnya aku tidak seperti ini. Mungkin karena rasa sakit yang aku terima membuat aku menjelma seperti ini.
Mungkin aku akan tunduk pada siapapun tetapi sekarang aku tidak seperti itu. Harga diriku harus aku pertahankan, karena itu memang bukan salahku. Andai saja di situ aku yang salah pasti aku akan meminta maaf langsung. Tetapi, aku hanya berusaha di singkirkan.
Cih. aku tidak butuh sanjungan dan kepercayaan atasanku. Walau aku sebenarnya penasaran siapa pemilik restoran itu.
Semenjak aku bekerja tidak pernah seklipun aku melihatnya. Hanya Bagas yang selalu datang satu minggu sekali mengecek pekembangan dan pemasukan disana.
Dret ... Drettt ...
Ponsel ku berdering tanda panggilan masuk, ku lihat siapa yang menelepon. Seketika aku tersenyum melihat siapa yang meneleponku.
"......"
"Waalaikumsalam, bibi. Ada apa? "
"......."
"Baik, bik. Apa lagi yang bibi pesan? "
"......"
"Siap, yasudah. Asma tutup ya! "
Aku menyerngit heran mengingat permintaan bibi Melati.
"Apa bibi Melati ngidam! banyak banget pesanan buah dan cemilannya? "
Aku bermonolog sendiri sambil berpikir menerka-nerka kenapa bibi Melati menyuruhku membeli banyak sekali buah. Seingatku bukankah di Mansion banyak sekali stok buah.
Tanpa pikir panjang lebih baik aku beli pesanan bibi saja.
"Pak, tolong anterin ke pasar tradisional dulu? "
"Baik, Nenk. "
Aku tersenyum geli setiap kali pak Ojol memanggilku Nenk. Rasanya seperti gimana gitu.
"Pak, tolong tunggu ya, Laila mau belanja dulu."
"Siap,"
Aku langsung masuk mencari buah yang bibi Melati pesan dan beberapa snak dan beberapa makanan untuk pak Ojol.
Sudah mendapatkan pesanan bibi Melati aku langsung balik. Rasanya aku begitu nyaman naik ojol dari pada bawa mobil sendiri. Setidaknya aku bisa berbagi dan belajar tentang kehidupan ini. Pak Ojol banyak sekali bercerita tentang kehidupannya. Membuat aku terkadang iri sesaat kemudian merasa sedih.
Walau pak Ojol hidup sederhana dengan pekerjaan sebagai Ojol tetapi pak Ojol tetap tersenyum dan bersyukur dengan keadaannya. Dan yang membuatku iri, keluarga pak Ojol begitu baik dan harmonis walau kehidupan mereka sederhana.
Pak Ojol mempunyai dua anak, satu laki-laki satu perempuan. Kedua anaknya begitu sopan dan baik. Aku masih ingat ketika tiga hari lalu aku memaksa pak Ojol ingin bersiratuhrami kerumahnya. Apalagi pak Ojol selalu bilang kalau masakan istrinya begitu enak. Ketika aku mampir kerumahnya ternyata aku sudah di sambut dan benar saja masakan buk Suci begitu enek dan pas di lidah aku.
Aku jadi ingat perkataan buk Suci waktu itu.
"Sejago-jagonya kita pintar masakan barat, jangan lupa bahwa makanan khas daerah kita jauh lebih wenak. Karena sejatinya lidah kita lidah Indonesia bukan barat. "
Aku tersenyum mengingat itu, hingga tidak terasa aku sudah sampai. Karena banyak sekali belanjaan aku menyuruh pak Ojol langsung masuk.
Biasanya aku selalu berhenti tepat di depan gerbang tetapi kali ini aku menyuruh pak Ojol masuk.
"Pak Han, kenapa muka bapak. Apa bapak habis berkelahi? "
Aku menyerngit bingung melihat muka pak Han penjaga gerbang mukanya seperti habis berantem.
"Biasa ini, Non. Tadi ada sedikit masalah. Masa copet mau ngumpet di sini, yah bapak hajar he.. he.., "
"Oh gitu, ya sudah lain kali hati-hati, Pak. "
Aku langsung masuk kedalam hari ini suasana nampak tegang terlihat dari wajah-wajah bibi dan paman. Tetapi aku tidak cukup berani bertanya. Apa lagi jawaban pak Han sedikit membuat ku tak masuk akal.
Apakaha ada sesuatu yang tidak boleh aku tahu. Tapi apa? dan kenapa? aku yakin semua orang tidak akan ada yang memberi tahu. Biar aku cari tahu sendiri apa yang sebenarnya terjadi.
"Bibi, ini pesanan bibi. "
"Terimakasih sayang. Maaf bibi merepotkan!"
"Emang, buat apa sih bik. Buah sebanyak ini? "
"Biasa bibi mau kasih anak-anak panti, "
Aku hanya memangut-mangut saja seperti benar-benar ada yang tidak beres. Mereka semua menyembunyikannya dari aku.
Pertama aku di suruh belanja banyak, pulang melihat pak Han bonyok dan sekarang bibi Melati belalasan beli buah untuk anak-anak panti. Bukankah setiap mau ke panti bibi Melati tidak akan pernah bawa apa-apa. Tetapi bibi Melati akan membawa semua anak-anak panti bermain dan memilih apa saja yang mereka suka.
Ya sudahlah aku tidak mau menerka-nerka apa yang sebenarnya berusaha mereka tutupi dari aku. Karena aku sudah merasa lelah dan ingin istirahat. Aku langsung pamit pada Bibi Melati untuk menuju kamar. Apa lagi aku belum sholat ashar.
Ku bersihkan dulu badanku sebelum sholat karena memang tubuhku lengket. Hari ini benar-benar membuat aku lelah. Apa lagi insident tadi yang benar-benar membuatku kesal.
Tidak apa-apa aku memberi pelajaran sedikit buat pak tua itu. Mengingat itu membuat aku kesal pada anaknya.
Anaknya sendari awal tidak menyukai kehadiranku bekerja di sana. Entah karena dia tidak naik jabatan atau, entahlah aku juga tidak tahu.
Atau tidak suka aku anak baru tetapi sudah di sanjung sangat tinggi. Itukan bukan salahku, salahkan saja orang yang menyanjungku. Toh aku juga tidak butuh sanjungan, aku cupa takut diriku bisa lupa diri.
Sekarang aku sudah keluar, mungkin dia senang karena tidaka ada lagi yang menyaingi masakannya.
Bodo amat aku tidak perduli akan hal itu. Yang terpenting aku sudah bebas, cuma aku kepikiran sama mba Ani. Apa aku suruh saja mba Ani bekerja di lertoran peninggalan Abi atau ku suruh mba Ani bekerja di butiq bibi Melati. Setidaknya gajihnya lebih besar untuk membantu dua adiknya yang masih sekolah.
Huh...
Memikirkan itu membuat aku sedikit pusing. Ku baringkan tubuhku di atas ranjang sambil menatap langit-langit kamarku.
Aku tidak menyangka, sudah 360 hari aku menjada. Tepatnya satu tahun aku terbuang.
Masih adakah cinta di hati ini! ku rasa masih ada. Bagaimana mungkin aku bisa secepat itu melupakan mas Vandu.
Mas Vandu cinta pertama aku tetapi dia juga laki-laki pertama yang menolerkan luka sedalam ini. Mungkin aku sudah bisa melupakannya tetapi rasa sakit ketidak adilan masih menganga di hatiku.
Tidak Laila, kenapa air mata ini masih saja keluar. Jangan bodoh! sudah cukup kamu menangisinya selama ini. Lupakan dan tata masa depan kamu sendiri.
Aku terus saja bergelut dengan pikiran dan hati nuraniku. Benar kata bibi Aisyah. Perjalanku masih panjang dan aku masih muda. Masih ada kebahagian di ujung sana yang menantiku walau aku tahu kebahagian itu hanya aku sendiri yang meraihnya tanpa di dampingi orang lain.
Siapa yang akan memungut wanita mandul! tidak ada bukan! mereka pasti berpikir dua kali untuk memungutku. Mengingat itu membuat aku menyakinkan diriku sendiri bahwa tidak akan ada sebuah pernikahan lagi di hidupku.
Sudah cukup aku merasa terhina dan terbuang. Aku tidak akan membiarkan diriku di rendahkan lagi.
Semangat Laila....
Bersambung....
Jangan lupa Like dan Votenya Say 😊
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments