Hari ini adalah hari pertama aku kerja dimana kemaren hanya seleksi saja dan Alhamdulillah aku keterima menjadi koki di restoran itu.
Aku lupa entah apa nama restoran itu karena aku tidak sempat melihatnya tetapi karena suka melihat nuansana aku memanggilnya restoran Seni.
Seperti biasa aku berangkat naik Ojol yang kemaren mungkin seterusnya akan menjadi pelanggan tetap aku.
"Bismillahirohmannirohim..., "
Ku langkahkan kedua kakiku masuk diawali basmalah. Aku tersenyum pada bak Ani, pelayang kemaren yang mengantarkan aku pada Bagas.
Ku lihat bak Ani seperti kaku membalas senyuman aku. Apa mungkin karena tahu aku saudara atasan mereka.
"Pagi, bak? "
Sapaku pada bak Ani yang nampak kikuk. Ini nih yang aku tidak suka jika statusku di ketahui orang, mereka akan merasa rendah. Padahal bukankah setatus orang sama. Sama-sama hamba Allah, sama-sama makan nasi, sama-sama minum air.
Dan sama-sama manusia, juma bedanya gak sama nasib.
"Bolehkah, Laila berteman dengan bak Ani? "
"Bo.. boleh, bak. "
"Yasudah mulai hari ini kita teman. Bak, jangan bilang ke orang lain ya kalau Laila saudara pak Bagas. "
Bisiku sambil merangkul bak Ani, kemudian aku meninggalkan bak Ani menuju ruang khusus untukku. Karena di sini setiap koki atau chef mempunyai ruangan sendiri.
Bibirku tak lepas dari senyuman menikmati pekerjaanku saat ini. Apalagi pengunjung begitu ramai. Bahkan ada beberapa pengusaha yang memboking privat room untuk meeting dan menyuruh menyediakan makanan terbaik ala restoran ini.
Dengan semangat aku memotong bahan-bahan yang akan di masak kali ini. Dari mulai sayuran hingga daging dan hari ini spesial ku buat menu khas masakan Jepang walau tetap tak merubah ciri khas lokal.
"Chef ada anak kecil yang memesan menu nasi goreng tetapi harus di bentuk kaya seperti ini?"
Aku melihat gambar apa yang ada di layar ponsel Silvia, kemudian aku tersenyum melihat gambar kartun Dora.
"Insyaallah, katakan tunggu sebentar. "
"Baik Chef, "
Aku langsung meracik bumbu-bumbu yang di perlukan, tidak lupa berserta topingnya. Dimana aku memotong satu sosis dan menyuir potongan dada ayam.
"Alhamdulillah, sudah selesai, "
Ucapku tersenyum puas melihat hasil karyaku. Dimana potongan sosis tadi ku bentuk mata, hidung, alis dan mulut. Sedangkan suiran ayam ku jadikan rambut dora, hingga terlihat nampak benar-benar gambar nyata.
"Sudah, Chef? "
"Alhamdulillah, sudah."
Silvia langsung membawa sepiring nasi goreng itu. Sedangkan aku langsung masuk keruang pribadiku dimana sudah memasuki waktu ashar dan itu tandanya jam kerjaku sudah habis.
Di lestoran ini memang setiap Chef ada cif kerjanya. Antara pagi sampai sore dan sore sampai malam. Kebetulan aku memang memilih cif pagi sampai sore karena bibi Aisyah tidak mengijinkan aku pulang malam. Mungkin bibi Aisyah terlalu kewatir apalagi aku menolak menggunakan mobil.
Sebenarnya aku bisa saja bekerja di keluargaku sendiri. Di mana bibi Melati mempunyai sebuah Butiq yang terkenal di kalangan para artis dan pengusaha bahkan cabangnya sudah di beberapa daerah. Sedang bibi Aisyah membuka sebuah kedai es krim dan beberapa Raja Jus dimana kedai bibi Aisyah juga sudah bercabang dan salah satunya di Jogja dimana sekarang sedang di kelola oleh Fatimah, putri pertama bibi Aisyah.
Mamahku sendiri tidak bekerja, mamah memutuskan berhenti dari pekerjaannya seorang Dosen ketika aku masuk kuliah dimana Abi waktu itu pergi untuk selama-lamanya.
Sedangkan pekerjaan abi semasa hidupnya seorang Chef dan mendirikan lestoran sendiri di Jakarta dan di Bogor. Ketika aku memutuskan menikah dan ikut suami, restoran Abi di kelola oleh paman Hadi orang kepercayaan abi. Sebenarnya aku bisa mengambil alih tanggung jawab paman Hadi cuma aku hanya ingin sedikit kerja keras.
Bukankah pengalaman adalah pelajaran yang paling baik. Supaya aku tidak melakukan kesalahan untuk kedua kalinya, seperti pernikahanku.
Sedangkan paman Fahmi dia menjabat sebagai pengacara dan paman Bayu menjabat sebagai pengamat Negara.
Mungkin bakat abi turun padaku karena memang aku adalah satu-satunya anak abi dan mamah.
Seperti biasa pak Ojol sudah menungguku di luar.
"Langsung pulang, Pak."
"Baik, bak."
Ketika semua permasalahan kita melibatkan Allah, ujian itu terasa ringan kita hadapi. Halnya yang aku alami, mungkin semuanya menyakitkan membuat aku menjadi membenci tetapi aku belajar ikhlas atas semuanya. Benar kata bibi Aisyah, ketika kita ikhlas insyaallah di penghujung jalan sana ada kebahagiaan yang menanti kita.
Walau aku juga tidak menampik, kalau aku masih saja sering menangis di dalam sujudku. Hati ini masih sakit dan perih, mungkin karena terlalu lebar luka yang laki-laki brengsek itu berikan.
"Bak, kenapa mbanya mau naik Ojol. Padahal mba punya mobil sendiri? "
Aku tersenyum mendengar pertanyaan pak Ojol yang usianya kira-kira empat puluh tahunan.
"Laila senang aja, Pak. Kalau pake mobil gak bisa nyelip kalau macet, "
"Ci mba bisa aja. Apa gak mau mba? padahal mbanya orang kaya?"
"Ngapain mesti malu, Pak. Yang harusnya malu itu kita berbohong atau mencuri."
"Iya ... iya ... wanita sholehah. Wanita idaman he.. he.. "
Aku terdiam, dua kata yang pak Ojol ucapkan seakan mencubit hatiku.
Wanita sholehah, wanita idaman. Bapak salah, aku hanya wanita terbuang.
Jerit batinku teriris sakit sambil menatap lurus kedepan dengan tatapan kosong.
Aku terus saja terdiam tanpa sadar kalau sendari tadi aku sudah sampai di depan gerbang kediaman Al-muzaky.
"Mba, sudah sampai? "
"Mbaaa ..., "
"Astagfirullahaladzim ...,"
Pekikku terkejut sambil mengelus dada, oleh panggilan pak Ojol.
"Kenapa to mba melamun? Apa mba baik-baik saja? "
"Eh, gak apa-apa, pak. Maaf Laila gak pokus, "
"Ini pak, ada sedikit rezeki buat bapak! "
Aku menyodorkan ongkos dan sekotak makanan yang sengaja aku bawa di lestoran khusus aku yang masak.
"Terimakasih, mba. Semoga Allah melancarkan urusan mba! "
"Amin, oh iya pak. Jangan panggil mba, panggil saja Laila biar enak. "
"He.. he.. baik nenk Laila! "
Aku menyerngit mendengar kata awal pak Ojol, Nenk. Aku tersenyum merasa geli di panggil Nenk. Seakan aku seorang gadis ayu dari desa.
Ku rebahkan tubuhku sejenak di atas ranjang.Sekedar menghilangkan rasa lelah dan cape sebelum pergi membersihkan diri.
Ku tatap langit-langit kamarku dengan tatapan sendu.
Bahagiakah sekarang mas Vandu bersama istri mudanya?
Astagfirullah kenapa aku masih memikirkannya. Tidak Laila, kamu jangan pernah memikirkan laki-laki itu lagi yang ada kamu akan terus merasa sakit.
Perlahan ku usap perut datarku dengan perasaan sakit.
Ya Rohman, benarkah Laila ini mandul tidak bisa memberikan keturunan. Bagaimana mungkin diagnosa dokter keliru. Apa benar tidak akan ada laki-laki yang mau memungut perempuan mandul seperti Laila. Apa kebahagiaan di ukur oleh adanya seorang anak. Jika iya! apa Laila memang di takdirkan untuk seorang diri?
Tak terasa setetes cairan bening keluar membasahi pipiku. Aku tidak menyangka kalau aku benar-benar mandul, buktinya mas Vandu mempunyai keturunan dari Vika.
Adilkah bagiku! oh ya Rohman ya Rohim maafkan aku yang terus mengeluh ini.
Bersambung...
Jangan lupa Like dan Vote ya Say...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments
Hanipah Fitri
kesabaran membuahkan hasil begitupun dengan Laila, ia sabar menerima cobaan dan siksaan dari mantan suaminya
2022-09-15
1