Sudah cukup aku selama ini terus menangis meratapi kesedihanku yang tiada akhir.
Setiap hari aku hanya mengurung diri di kamar kedua orang tuaku. Tak selangkah pun ku langkahkan kedua kakiku keluar.
Setiap hari pula diriku diam di kegelapan dimana aku tak membiarkan setitik cahaya menyinariku. Aku sengaja mematikan seluruh lampu kecuali lampu luar, seakan orang berpikir rumah ini benar-benar tak berpenghuni.
Badanku kian kurus tak terawat, bagaimana bisa aku merawat diriku sebab hatiku sulit ku kendalikan.
Tak ada mimpi-mimpi lagi di dalam hidupku yang ingin aku rajut seperti dulu. Kini mimpi itu kian runtuh dengan hati yang sakit berkepinh-keping. Bisakah aku membentuk hati yang sudah hancur ini seperti sedia kala.
Kalanya aku tersenyum, kalanya aku bahagia. Tetapi itu sudah menjadi mimpi buruk, tak ada lagi mimpi indah yang setiap hari aku gambar. Membangun istana megah dengan keridhoan-Nya. Sekarang, itu hanya tinggal kenangan yang entah aku bisa melupakannya atau tidak.
Di setiap malam dalam sujudku aku selalu menangis dan menangis. Ingin sekali aku merutuki takdir yang begitu kejam. Nyatanya aku tak semampuh itu.
Tak ada lagi yang bisa ku jadikan sandaran, tempat ku mengeluh rasa lelah. Abi dan Mamah dua manusia yang selalu ikhlas merentangkan kedua tangannya menyambut setiap kerapuhan hatiku. Tetapi, mereka sudah tidak ada. Aku sendirian, kesepian dan ketakutan.
Mampuhkah aku merajut mimpi baru. Tanpa kedua orang tuaku dan tanpa suami. Ketika aku berjuang siapa yang akan ku perjuangkan lagi! tidak ada. Jadi untuk apa aku berjuang, sedang tak ada satu orang pun untuk ku jadikan tempat kebahagiaan yang ku raih.
*Ya Rohman, Laila yang lemah dan tak berdaya. Penuh dosa dan kesalahan. Apa yang harus Laila lakukan sekarang! Laila sebatang kara. Kehidupan ini begitu mencekik membuat Laila sesak dan sakit. Ampuni Laila yang selalu mengeluh dan mengeluh. Diri ini terlalu lemah sedang Kau maha kuat. Diri ini penuh dosa dan kesalahan sedang kau maha pengampun. Di saat alam menghukum Laila, kemana tempat Laila bergantung selain Engkau. Jangan tinggalkan Laila di saat semua orang meninggalkan Laila. Laila takut takut Laila berpaling darimu, sedang tak ada tempat tergantung selain Engkau. Rahmatilah kedua orang tua Laila, jangan kau tempatkan mereka di tempat yang hina. Karena itu tak pantas bagi mereka. Jangan jadikan kesalahan Laila membuat abi dan Mamah susah. Maafkan mereka atas kesalahan Laila. Jika Engkau mau menghukum Laila, Laila ikhlas tetapi jangan hukum kedua orang tua Laila atas apa yang Laila perbuat. Maafkan Laila!
Bolehkah Laila meminta, sedang Engkau memerintah untuk ber doa. Izinkan Laila terus tergantung padamu, karena Laila tahu. Engkau satu-satunya yang tidak pernah berpaling dari hamba-hamba-Mu yang lemah*.
Jerit batinku di sujud panjang dhuhaku.
Ku tundukan kepalaku, yang merasa hina. Dengan air mata yang terus keluar.
Ting ... tong ...
Suara bell membuat aku terkejut dengan buru-buru aku langsung menghapus air mataku.
Mungkinkah Amira yang berkunjung! ku bergegas masuk ke kamar mandi guna mencuci wajahku supaya terlihat segar. Aku tak mau terlihat sedih di depan Amira.
Perlahan aku keluar kamar guna membukankan pintu. Sebelum membuka aku berusaha tersenyum memperlihatkan seolah aku sudah baik-baik saja.
Cklek ...
"Am ...,"
Aku menganga dengan mata membola melihat siapa yang bertamu. Bagaimana mungkin mereka tahu aku ada di sini. Siapa yang memberi tahu! apa Amira atau bang Arman.
"Astagfirullah ..., Asma kenapa kamu tak memberitahu. Kalau kamu ada di sini, Nak."
"Kamu anggap apa kami, hah. Kau ini selalu saja melakukan segala sesuatu sendiri."
"Kami keluargamu, Nak. Kami mungkin kecewa pada kamu tetapi kamu masih Asma keluarga kami."
"Bagaimana mungkin kamu bisa kuat menghadapi ujian ini sendirian, Nak."
Aku meringis mendengar omelan bibi dan pamanku, tepatnya mereka adik kandung Mamah. Bibi Aisyah adik bungsu mamah dan paman Fahmi adik kedua mamah.
Ku tumpahkan air mataku kembali di pelukan bibi Aisyah. Begitupun bibi Aisyah memelukku erat dengan isak tangis.
Aku tidak menyangka dua orang yang aku ingin hindari mereka malah datang dan memberiku pelukan hangat.
Bahagiakah aku! tentu.
Aku bahagia dan terharu ternyata paman dan bibiku tak marah dan membenciku atas kematian mamah.
Mamah meninggal satu tahun lalu, aku masih ingat dengan jelas detik terakhir mamah pergi.
Mamah mengetahui sebuah hasil diagnosa dokter, menyatakan kalau mas Vandu yang tidak sehat dan tidak bisa memberikan keturunan. Mamah marah karena selama ini aku menyembunyikan pakta itu, membuat mamah menyuruhku meninggalkan mas Vandu. Tetapi waktu itu aku membantah mamah. Aku tidak mungkin meninggalkan suamiku di saat seperti ini. Hingga perdebatan terjadi dan waktu itu juga paman dan bibi mengetahuinya.
"*Cukup Asma. Mau sampai kapan kamu menanggung fitnah keluarga suamimu dan orang lain. Harusnya kamu tidak mendapat hinaan itu. Mamah tidak kuat jika harus mendengar kamu di permalukan dan di olok-olok kalau kamu mandul, istri tak sempurna dan cacat. Nyatanya, bukan kamu yang bermasalah tapi suamimu. Harusnya dia yang menanggungnya bukan kamu, Nak."
"Tapi, Mah. Asma tidak mungkin meninggalkan mas Vandu. Asma mencintainya."
"Kamu bilang cinta. Cinta apa yang kau sebut. Apa kamu tidak bisa lihat, suamimu tidak mencintai sebesar cintamu. Jika suamimu mencintaimu, dia tidak akan membiarkan kamu terus di hina dan di permalukan di hadapan keluarganya. Mamah kecewa sama kamu. "
"Tinggalkan dia. "
"Mah, tolong jangan begitu. Asma tidak mau!"
"Asmaaa* ... "
Aku semakin mempererat pelukanku pada bibi Aisyah. Mengingat hal menyakitkan itu sungguh membuatku terus merasa bersalah. Hingga mamah langsung serangan jantung dan pergi meninggalkanku membawa rasa kecewa.
Andai aku bisa mengulang waktu, aku akan menuruti perintah mamah. Andai aku bisa mengulang waktu. Mungkin, mamah sekarang masih ada.
Andai andai dan berandai-andai. Tetapi andaiku sudah tak di harapkan lagi. Semuanya sudah terjadi dan tak bisa ku ulang lagi.
Sekarang, aku yang terbuang oleh orang yang ku bela. Aku tersakiti oleh orang yang ku lindungi. Aku di khianati oleh orang yang ku cintai.
Bibi Aisyah mendorong pelan pundakku, hingga pelukanku lepas. Dengan lembut bibi Aisyah menghapus air mata di pipiku.
"Sudah jangan menangis, simpan air mata berhargamu. Jangan terus tangisi laki-laki brengsek itu. Semuanya sudah terjadi dan sudah usai. Jangan biarkan diri kamu lemah di hadapan laki-laki brengsek itu. Tunjukan pada dia kalau kamu kuat tanpanya."
Aku hanya mengangguk lemah sambil memeluk bibi Aisyah lagi dengan erat.
"Hiks .., maafkan Asma, Bik. Maaf. Asma sudah mengecewakan kalian hiks ..., "
"Tidak, sayang. Asma tidak mengecewakan kami. Sudah ya jangan nangis lagi."
"Iya, Nak. Andai, Amira dan Arman tidak memberi tahu kami. Kami tidak akan tahu apa yang terjadi padamu. Maka, paman adalah orang pertama yang akan menyesal tidak bisa melindungi kamu."
Tangisanku semakin pecah mendengar apa yang paman Fahmi ucapkan. Sungguh aku benar-benar terharu dan merasa bersalah bersamaan.
Bersambung...
Jangan lupa Like dan Vote ya say...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments
amalia gati subagio
bolehkah dikata pribadi absurd dgn narasi absurd ambigu bias itu? kalimat2 pemujaan terbanting dgn narasi 'tdk ada lg yg bisa ku jd kan sandaran, mengeluh' Ajib!! Piyeeeee Allahmu? Ischhhh, mungkin wajar & pantas x ya di digertak jd kan sansak mental & fisik suamimu, U munafik dgn obsesi absurd merry sue sindrom akut!! Hrs paling baik dgn tampilan paling terzalimi, munafik pro, moga segera tercerahkan & mendpt hidayah, beneran jd lbh baik narasi, pikir, kata hati & iman/keyakinan semakin melurus bukan copas kata bijak dr mbah google, realitanya amsyong 🤓🙏
2023-03-24
1
Hanipah Fitri
ada bawang nys
2022-09-15
2
ratu adil
tisu mna tisu woe tisu.....bner kan krn aurt dianoksa yg ibune meningal
2022-08-16
1