08 April 1998
Aku bicara panjang lebar dengan Papa pagi hari itu. Sesuatu telah kuputuskan, tapi aku ingin Papa tahu.
"Pah, kalau Inka nikah gimana?"
"Apa? Dengan siapa?"
"Ya belum pasti. Hanya kan dari dulu Papa pengennya Inka nikah aja biar ada yang jagain di sini. Kalau Inka dapet yang pas, apa Papa setuju?"
Terdengar suara helaan napas Papa di ujung telpon. "In, Papa selalu anggap kamu itu udah dewasa. Tapi Nak, di dunia ini ada banyak sekali macam-macam lelaki. Papa gak ingin kamu menyesal. Jadi kalau bisa, siapapun yang kamu pilih, Papa mau lihat dulu! Setidaknya kenalin sama Papa dulu."
"Kalau itu udah pasti sih, Pa. Aku pasti kenalin ke Papa dulu. Hanya kalau misalnya Inka nikahnya tahun depan atau tahun ini gimana? Ini kalau calonnya udah pas loh."
"Hmm... lihat nanti ya, In! Papa gak mau sembarangan ambil keputusan. Apalagi ini menyangkut anak kesayangan Papa," kata Papa.
"Kalau gak diizinkan Inka boleh kawin lari aja gak Pa?" tanyaku setengah bercanda.
Tawa Papa pecah. "Mana ada orang mau kawin lari malah izin dulu gini, Nak! Sudah... sudah... kamu tenang saja. Papa akan lihat dulu, tapi kalau Papa lihat orangnya memang baik, kamu juga suka sama dia, bersedia nurut sama dia... Papa gak masalah kapanpun kamu mau nikah. Asal... kamu dan dia sama-sama sudah siap lahir dan batin."
Maka saat menyambut hari pesta ulangtahunku, aku begitu gembira. Hari ini aku akan memberi kejutan untuk Andra. Aku akan menyetujui permintaannya untuk segera menikah. Kalau perlu tahun depan. Aku yakin, Papa juga akan menyukai Andra. Sebelum itu aku ingin mempertemukan Andra dengan Papa. Sayangnya, Papa masih sibuk. Baru dua hari setelah hari ulangtahunku, Papa bisa datang.
Tapi siapa yang peduli?
Aku hanya perlu meminta Andra melakukan hal-hal yang disukai Papa. Aku yang akan memberitahukannya, agar bisa memenangkan hati Papa. Karena seperti dirinya, aku juga sudah tak sabar hidup bersama dengan Andra.
Setelah meeting pagi, Hans berkata, "Let's go to meeting, Inka!"[Ayo kita pergi rapat,]
"Meeting? You don't have any meeting today, Hans!" [Rapat? Anda gak ada rapat hari ini,]
Hans tetap berdiri. "I have. I just make the promise this morning. We met while breakfast time." [Punya, aku baru buat janji pagi ini. Kami bertemu saat sarapan pagi.]
"Who?" tanyaku. Aku tahu, Hans tengah berbohong padaku. Dan aku ingin melihat kesulitannya membohongi diriku. [Siapa?]
Mata Hans tampak berputar sebentar. Mencari nama. Aku nyaris tertawa melihatnya.
"Mmm... Darrel... Darrel wanted some changes to his office. We have to go there this morning so, Darrel can go to mining after that." [Darrel ingin beberapa perubahan untuk kantornya. Kita harus ke sana pagi ini, jadi Darrel bisa ke tambang setelah itu]
"Really?" Keningku berkerut tak percaya. "I thought Darrel's office just under maintenance about 2 months ago and the project'd done by Pak Guruh," kataku menyangkal sambil berbalik menuju lemari. [Kupikir kantornya Darrel baru aja direnovasi sekitar 2 bulan lalu dan proyek itu telah ditangani Pak Guruh]
"What are you doing, Inka?" tanya Hans. [Apa yang kau lakukan, Inka?]
"I want to check the documents, Pak. I think we don't need... " [Aku ingin memeriksa dokumen, Pak. Aku rasa kita tidak perlu...]
"Come on, Inka! Just come with me. No need to check the docs. Just go! Just go!" Hans menarik tanganku keluar, membuat aku tertawa. Dia pasti kebingungan. [Ayolah! Datang aja sama aku. Gak perlu cek dokumen. Pergi aja! Pergi aja!]
Untungnya aku sempat menyambar tas tanganku, lalu bersama Hans, kami menuju Tanjung Bara.
Benar saja!
Saat mobil merapat, aku bisa melihat teman-temanku di sekitar restoran. Hans masih mengira aku tak tahu apa-apa.
"We will meet him here, right?" tanyaku.
Hans mengangguk sambil mengunci pintu mobil.
"But... There are too many people up there, Hans. I don't think this is a good place for a meeting. We need a quite place for comfortable talk. How about if you call Mr. Darrel and we move to the cafeteria?" tawarku. Sekali lagi aku hanya berniat mengerjai Hans. [Tapi... Ada terlalu banyak orang di atas sana, Hans. Kurasa ini bukan tempat yang bagus untuk sebuah rapat. Kita perlu tempat yang tenang untuk percakapan yang nyaman. Bagaimana jika Anda telepon Mr. Darrel dan kita pindah ke kafetaria?]
Hans menatapku dengan mata menyipit. "Do you know my secret, right?" [Kamu tahu rahasiaku, kan?]
"Secret? What secret?" tanyaku pura-pura polos. [Rahasia? Rahasia apa?]
"Inka, you never ask me like this before. You know right?" [Inka, kamu gak pernah nanya seperti ini sebelumnya. Kamu udah tahu, kan?]
Ganti aku yang menyipitkan mata padanya. "What kind of secret do you have, Pak?" [Rahasia seperti apa yang Anda punya, Pak?]
"Ah, come on! Let's go! Ha ha ha!" Hans tahu, aku takkan mengaku jadi ia menyeretku lagi. Aku tertawa-tawa di belakangnya.
Tapi aku tak bisa menyembunyikan rasa senangku. Tetap saja aku tertawa dan terkejut melihat semua yang hadir. Ini pertama kali orang lain merayakan ulangtahunku. Tentu saja aku sangat bahagia.
Jangan berharap ada ulang tahun indah dengan obrolan manis. Teman-temanku yang juga rekan kerjaku adalah para lelaki yang terbiasa bekerja dengan fisiknya. Obrolan tentang 'dada besar' atau 'bokong bahenol' adalah candaan biasa di meja makan seperti ini. Dulu aku juga merasa sungkan, karena menjadi satu-satunya perempuan di antara mereka, tapi lama kelamaan aku malah menjadi bagian dari obrolan itu. Biasa saja. Dalam pikiran lelaki, ukuran fisik perempuan jauh lebih menggiurkan dibandingkan kemampuan fisik. Maka bagiku, yang jauh dari kata 'menggiurkan', selama tak menyangkut diriku, aku tak keberatan.
Acara hampir usai, dan kami harus segera kembali bekerja. Ketika tiba-tiba seseorang naik ke restoran berlantai dua itu. Hans menepuk bahuku. "Finally he comes!" [Akhirnya dia datang!]
Aku menoleh, dan Andra tersenyum menatapku sambil berjalan mendekat. Ia terlihat tampan dengan seragam kerjanya itu. Rapi seperti biasa. Dengan langkah tergesa, kusongsong dirinya. "Kak!"
"Happy Milad, Sayang!" bisik Andra sambil menyalamiku.
Kusambut tangan Andra. Menggenggam tangannya. Tapi kali ini aku sudah tak peduli pandangan orang. Andra adalah kekasihku, dan ini adalah Sangatta. Sekedar berpelukan adalah hal biasa. Maka akupun menarik dan memeluknya dengan hangat.
"Waaaah, Inkaaa!"
"Cieeee!"
"So sweeet!"
"Mau juga dipeluk dooong, Ka!"
Andra juga membalas pelukan. Sebenarnya sepintas pelukan kami seperti dua orang sahabat. Karena Andra hanya menepuk punggungku dua kali. Aku juga melakukan hal yang sama. Tak sampai semenit, dan tak ada romantis-romantisnya sama sekali. Tapi ini pertama kali aku memeluk seorang pria muda di tempat umum. Dan selama ini yang kupeluk seperti itu hanya Hans.
Aku menarik tangan Andra mendekati meja tempat teman-temanku duduk. Sebagian sudah berdiri hendak pulang. Tepat di samping Hans, aku mulai memperkenalkan Andra. "Kenaliiin! Ini Andra... "
"Pacarnya ya... " tebak Guruh yang langsung disahuti dengan berbagai komentar bernada menggoda dari teman-teman. Andra tertawa malu, aku tersipu-sipu. Tapi akhirnya kuanggukkan kepala, yang makin membuat teman-temanku semakin menjadi-jadi.
Untungnya, itu tak lama. Namanya lagi orang dewasa. Dengan cepat mereka kembali ke dunia nyata. Satu persatu pamit untuk pergi hingga tinggal aku, Hans dan Andra.
"I have to leave now, Lil Girl! Enjoy your birthday with Andra. Don't worry about the office! Ok?"[Aku harus pergi sekarang, Gadis kecil! Nikmati pestamu dengan Andra. Jangan kuatir tentang kantor! Oke?]
Aku mengangguk. Hans juga menoleh pada Andra, menepuk bahunya sebelum pergi.
Kutawari Andra makan siang, tapi ia menolak. Rupanya ia terlambat datang karena harus menghadiri meeting dengan beberapa user dari KPC. Aku hanya mengangguk mengerti sebelum akhirnya kami memilih untuk memesan dua cangkir kopi. Espresso Latte dan Cappucino. Kami juga memilih pindah tempat, karena meja yang sebelumnya hendak dibereskan. Sebuah meja kecil dengan jendela besar yang mengarah ke tepi laut menjadi pilihan kami.
"Gak nyangka kalo rame begini. Rupanya calon istriku kesayangan semua orang di kantornya ya," gumam Andra sembari menyeruput Latte-nya.
Aku menggeleng. "Tapi gak ada yang paling menyenangkan selain kehadiran kak Andra."
Andra tertawa kecil, tangannya kembali menyentuh hidungnya. Kebiasaannya yang semakin kusukai.
Sambil sesekali melalui jendela besar itu, kami mulai mengobrol banyak hal. Aku menyukai banyak hal yang keluar dari bibir Andra. Tentang rencana masa depan yang ia ingin wujudkan bersamaku. Tentang cerita masa kecilnya yang dipenuhi dengan kenakalan konyol sebagai satu-satunya anak lelaki di keluarganya. Tentang teman-temannya yang juga bawahannya. Tentang kehadiranku yang membuat dunianya jumpalitan.
Tanpa sengaja aku menoleh ke parkiran yang terletak di depan restoran itu. Sebuah mobil warna putih dengan angka dan kode yang kukenal memasuki tempat parkir. Aku terkesiap. Memandang Andra kuatir.
Andra juga ikut melirik ke arah tatapanku. Ia tersenyum tipis.
"Siapa lagi? Fans mana lagi yang datang nih?" tanyanya santai.
Aku masih kuatir. "Jangan diambil hati apapun yang dia katakan ya Kak! Please!"
Andra mengangguk-angguk santai.
Kami saling diam dan memilih untuk menunggu sampai si empunya mobil tadi itu naik ke lantai 2, tempat kami berada. Benar saja, tak sampai lima menit Dirga masuk. Aku dan Andra sama-sama menatap ke arahnya.
Dirga tampak terburu-buru. Wajahnya kemerahan dan sedikit berkeringat. Anak rambutnya tak beraturan, sementara dua kancingnya tidak dipasang. Begitu melihatku, wajahnya terlihat sedikit lega, namun keningnya tetap berkerut.
"Di sini kamu rupanya!" kata Dirga begitu ia berada di hadapanku, lalu menoleh sedikit ke Andra. "Halo, saya Dirga," katanya sambil mengulurkan tangan.
Andra berdiri dan menyambut uluran tangan Dirga. "Andra."
"Saya mohon maaf mengganggu sebentar. Tapi bisa saya bicara dengan Inka?" tanya Dirga dengan sopan. Aku mencebik.
Andra menatapku. "Kalau Inka mau, silakan! Saya tidak keberatan."
Meski segan, aku berdiri juga. Begitu aku berdiri, tangan Dirga langsung menggamitku, menjauh dari Andra.
"In, kapan terakhir kali kamu cek siklus haidmu?" tanya Dirga saat kami duduk di kursi dan meja lain.
"Hah?" Aku melongok. Lalu tertawa keras. "Mas! Aneh-aneh aja sih nanya gitu. Iiih, gak tau ah!"
"In, Mas serius. Sangat serius. ini sangat penting!" katanya lagi dengan raut wajah yang belum pernah kulihat selama ini. Aku tidak lagi melihat sebagai Dirga, teman kecilku, tapi lebih mirip dokter.
Dia memang dokter. Aku melupakan fakta itu. Ia tak sedang melihatku sebagai teman. Ia menatapku sebagai pasien.
"Kamu tau kan kalo Mas ini akan ambil spesialis kandungan tahun depan? Mas tidak sedang bercanda. Apalagi ini tentang kamu, In," katanya lagi.
Aku terdiam, mengingat-ingat. "Aku gak tau, Mas. Gak teratur soalnya. Gak pernah periksa juga."
"Ada keluhan saat kamu haid?" tanyanya lagi.
Aku mengangguk pelan.
"Seperti apa? Hanya pegal linu biasa, nyeri atau bagaimana?" desak Dirga lebih detail.
Kutatap mata hitam kecoklatannya yang jauh berbeda dari biasanya itu, menimbang-nimbang perlu atau tidak menjawab pertanyaan itu sebelum akhirnya aku menghela napas panjang dan bicara.
"Sangat sakit. Inka biasanya gak kerja. Gak ngapa-ngapain. Gak bisa."
Mata Dirga meredup. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum menghembuskannya, lalu bersandar di kursi dan menoleh ke arah lain. Seperti ada sesuatu yang sangat berat ingin ia sampaikan.
Aku melirik ke Andra, yang mengawasi kami berdua. Aku jadi penasaran. "Emang ada apa, Mas?"
Dirga menoleh padaku. "Kamu kok gak pernah cerita, Ka? Kamu kan tau Mas ini dokter?"
"Ada apa sih, Mas? Itu kan masalah cewek biasa. Semua juga ngalamin gak enaknya kalo lagi haid."
"Tapi gak semua perempuan ngalamin yang kamu alamin, Inka!"
"Ya tapi kan aku baik-baik aja."
Bibir Dirga mengatup rapat. Ia menunduk, menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kamu tidak baik-baik saja, Ka," gumamnya pelan masih sambil menunduk.
Aku terpaku. Hanya bisa menatap Dirga. Tidak tahu harus berkata apa.
Dirga mengangkat kepala. Matanya lurus menatapku. "Ada... Ada sesuatu di dalam rahimmu. Cukup besar... dan itu... "
Apa itu? Aku tak mengerti tapi entah mengapa jantungku terasa berhenti menunggu kalimat Dirga.
" ... Kemungkinan itu tumor," lanjutnya sangat pelan. Aku meneguk liur. Berusaha keras menahan airmata yang hendak jatuh.
"Kita harus mengoperasi tumor itu secepatnya. Memeriksa apakah... apakah ada kemungkinan... " Dirga terdiam. Tak sanggup meneruskan ketika ia melihat wajahku memucat.
Airmataku mulai merebak. Ingatanku melayang ke sosok ibu kandung yang tak pernah kumiliki. Ibu yang meninggalkanku karena penyakit kanker mulut rahim. Ia memilih tetap meneruskan kehamilannya, dibanding memilih kesempatan untuk hidup dengan menggugurkan kandungan dan mengobati penyakitnya. Ibu yang hanya kumiliki selama dua hari. Ibu yang hanya bisa kupandangi melalui foto-foto tua.
Kugigit bibirku sekuat aku bisa. Menahan airmata. Menenangkan diri semampuku. Aku bukan gadis cengeng lagi. Tidak untuk ini.
"Kita bisa mengobatinya, In. Sangat bisa. Ini baru diagnosis sementara. Kita harus cek lebih lanjut. Itu sebabnya... " Dirga mengeluarkan sesuatu dari dalam tas dokumen yang baru kulihat. Aku tak tahu ia membawanya tadi. Beberapa lembar kertas kini ada di tangannya. "Ini, Mas sudah kirim hasil USGmu yang kemarin ke teman Mas di Jakarta. Ia siap mengoperasimu kapanpun kamu bersedia. Tapi sebelum itu kamu harus jalani pemeriksaan dulu. Mas juga sudah urus itu. Kamu tinggal pilih mau di Jakarta atau Balikpapan. Jadi kamu tinggal berangkat saja."
"Tunggu! Tunggu, Mas!" Aku mengangkat tangan. Memperhatikan lembaran-lembaran itu seksama. Ada foto hasil USG di situ. Kapan aku melakukannya?
Membaca pertanyaan dalam pikiranku, Dirga kembali menjelaskan. "Waktu kamu sakit, Mas melakukan pemeriksaan total. Termasuk ini. Dan saat itu Mas tidak terlalu yakin, jadi selama beberapa hari Mas mengecek ke rumah sakit lebih besar di Balikpapan dan Jakarta. Meski semua dokter itu tetap ingin pemeriksaan ulang, tapi hasil pemeriksaan ini menunjukkan diagnosis kami itu kemungkinan besar benar."
Aku menyandarkan punggungku. Perlahan aku berusaha mencerna seluruh kata-kata Dirga. Tapi sejujurnya yang ada di kepalaku saat ini benar-benar kosong melompong. Aku benar-benar tak tahu harus mengatakan apa, atau melakukan apa saat ini.
Kembali aku melirik Andra. Dari kejauhan, aku bisa melihat Andra memandang kami ingin tahu. Mungkin ia bisa merasakan ketegangan kami sedari tadi. Melihatnya, aku jadi teringat ucapannya beberapa hari lalu.
Ia ingin punya banyak anak.
Dan sekarang... aku bahkan mungkin tak bisa memberinya seorang anak pun.
Ini hadiah ulangtahun terburuk dalam hidupku.
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments
Mama Una
Dirga kasih tahunya kak lihat situasi sih
momen nya gk tepat😮😮
2022-06-04
2
adisty aulia
serasa berada di dunia yg tak berpenghuni...
menangis tapi tidak cukup kalau hanya airmata..
pernah ada disituasi ini🥺🥺🥺😱😱
2021-12-14
0
Lily Gogali
ujian
2021-02-10
0