Andika Ramadhan Surbakti.
Tapi semua orang memanggilnya 'Andra'. Tadinya aku kira itu nama panggilan kecilnya, ternyata nama itu nama panggungnya dulu saat masih menjadi model.
Tentu saja, wajah seperti itu pasti takkan bisa ditolak siapapun.
Sepasang mata teduh, dengan deretan alis halus yang tertata rapi dan hidung mancung. Bibirnya tak terlalu tebal, tak terlalu tipis, membentuk seperti kelopak mawar. Dahi lebar namun proporsional, seakan mewakili kecerdasan yang ia miliki. Bulu matanya jelas terlihat saat ia memejamkan mata. Apalagi seperti saat ini, saat bulu-bulu tipis berwarna hitam terlihat membayang di bagian bawah wajah dan hidungnya, ia makin terlihat berkarisma.
Saat kami sudah dalam mobil, aku mulai melirik padanya. Mencuri lihat pada wajah yang kuhindari belakangan ini.
Siapa yang tak jatuh cinta pada wajah tampan itu? Ditambah dengan sikapnya yang selalu santun dan baik, aku tak bisa mencegah hatiku yang berharap lebih.
Sosok seperti ini langka bagiku. Sepanjang hidup, sikap protektif Papa membuatku hanya bisa memikirkan sekolah. Setiap detik hidupku dibatasi oleh Papa, bahkan saat aku tak tinggal bersamanya. Bahkan di sekolahku yang terakhir, aku bersekolah di sekolah khusus perempuan.
Makanya hatiku bisa salah menyimpulkan arti senyum Andra padaku, atau kerlingan matanya yang teduh saat kami melempar tatapan penuh arti. Kukira semua itu hanya untukku. Aku begitu yakin, perasaan kami sama.
Kucari berbagai alasan agar bisa selalu bertemu dengannya. Susah payah aku meminta izin keluar dari mess karyawan hanya agar bisa tinggal di rumah kost tak jauh dari mess karyawan Andra.
Hans yang sempat tak setuju, tak habis pikir mengapa aku melepas kamar berfasilitas lengkap disertai kemudahan akses ke kantor. Ia hanya bisa menggelengkan kepala tak mengerti saat aku beralasan, “It’s too quiet.” [Terlalu sepi]
Setiap pulang kerja, aku sengaja berlama-lama melewatkan waktu pulang kerja, agar bisa menunggu mobil Andra lewat dan ia menawarkan tumpangan. Kadang Andra juga bersedia menungguku mandi dan berganti pakaian di tempat kost sebentar sebelum ikut ke messnya.
Kami mengobrol, makan malam bersama, sholat berjamaah bersama dan nanti ia juga yang mengantarku kembali ke rumah. Walaupun selalu ada teman-temannya dan aku hampir tak pernah masuk ke kamarnya.
“Kamu suka sama Andra ya, Ka?” tebak Yudi, salah satu rekan kerja sekaligus teman satu messnya.
Aku tersenyum malu-malu. “Enggak kok!” sergahku berdusta.
Yudi tertawa. “Gak mungkin! Kamu udah ngikut dia mulu. Ke mana-mana Andra kamu ikuti. Gitu masih mau boong sama Mas?”
Tawaku pecah. Hanya mengangguk-angguk dengan wajah memerah.
“Mas dukung, Ka! Entar Mas bantuin deh!” Jempol Yudi teracung ke arahku sambil tersenyum lebar.
Sejak itu, semua teman-teman Andra mulai membantuku. Mereka sering membiarkan kami berduaan bahkan mengarahkanku cara mendekati Andra.
Tapi Andra tak pernah mengatakan apapun. Aku tahu ia memang sosok yang tak banyak bicara. Hanya yang kuinginkan, dia mengatakan perasaannya padaku. Aku memang suka padanya, tapi aku ingin dia yang lebih dulu menyatakannya.
Setelah lebih dari tiga bulan berusaha, aku mulai lelah sendiri. Teman-teman Andra masih menyemangatiku. Namun sepertinya harapanku hanya sia-sia. Andra justru semakin kaku setiap kali berhadapan denganku. Untungnya, meski sikap Andra yang dingin itu, teman-temannya justru semakin akrab denganku.
"Kenapa diam saja? Masih ada sakit yang dirasa?" tanya Andra menoleh sekilas.
Aku juga menoleh. Hanya menghela napas panjang. "Hari ini shift apa?" tanyaku tanpa peduli pertanyaannya.
Kali ini Andra terdiam, tangannya malah sibuk memutar kemudi mobil.
Sudah biasa. Begitulah dia. Lebih sunyi daripada kuburan. Pendiam. Seharusnya aku tahu itu...
"Belakangan ini kamu gak ke mess, kenapa?" tanya Andra tiba-tiba, ketika aku mengira obrolan kami sudah berakhir.
Wait! Dia bicara! Dia bertanya???
"Ditelepon di kantor selalu sibuk. Saya telepon ke kamar juga gak pernah dijawab. Saya datangi katanya belum pulang kerja. Kamu sibuk kerja atau apa, In? Malah tahu-tahu saya dikabari Bill kalau sekretarisnya Hans masuk rumah sakit. Kamu marah sama saya? Iya?" cecar Andra lagi.
Kali ini kepalaku benar-benar menoleh padanya. Menatapnya baik-baik. Memastikan bahwa manusia yang sedang duduk di sampingku benar-benar Andra yang kukenal.
Ia tak pernah bicara dengan intensitas seperti itu. Penuh tekanan, dan sedikit menginterogasi. Bibirnya membentuk cekungan ke bawah. Gaya khasnya saat sedang kesal atau banyak pikiran. Logat khas Pulau Sulawesi yang jarang terdengar dalam nada suara
Dia mana pernah bicara sebanyak ini. Dulu... awal bertemu saja ia seperti ini. Tapi itu sudah lama sekali rasanya. Selama ini kami hanya bicara satu dua kalimat selesai dan Andra atau aku yang menyingkir. Hanya kalau mendengar suaranya, itu memang dirinya. Aku kenal benar suara sedang sedikit serak dengan logat khas Pulau Sulawesi itu.
"Kok malah diam? Apa masih sakit? Inka cantik yang cerewet udah jadi pendiam nih sekarang?" godanya sembari melemparkan senyuman saat melirikku lagi. Matanya mengerling dua kali.
Nah ini lagi... Kapan dia menggoda dengan kalimat seperti itu? Ia memang sering mengerling padaku. Tapi ini pertama kali ia bicara menggoda seperti sekarang.
"Kak, please ini kak Andra kan?" akhirnya aku tak tahan, bertanya. Pertanyaan untuk meyakinkan diriku sendiri.
Suara tawa Andra meledak, aku makin terperangah. Ya Allah, ini kembaran Andra ya?
"Saya kangen kamu, In. Sangat kangen. Mo gila rasanya ngangenin kamu. Kalau tahu begini, saya pacarin saja kamu dari dulu. Peduli amat sama teman-teman!"
Mulutku terbuka. Ini siapa?!!
Ia melirikku. Masih tertawa-tawa sebelum lama kelamaan tawa itu menghilang perlahan.
"Saya harus seperti itu ya, In?" tanyanya. Kali ini wajahnya terlihat lebih serius.
Aku menutup mulut dengan tanganku, "Please deh, Kak. Aku pengen muntah jadinya. Udah ah jangan becanda! Garing!"
Tak ada senyuman lagi di wajah Andra. Matanya menatap lurus ke depan. Diam lagi. Sementara jantungku berdebar tak karuan. Untuk sesaat aku mengira itu semua nyata.
Tadi dia pasti hanya ingin mencoba melucu. Aku kan biasa bercanda. Sayangnya, saat ini aku masih merasa lelah. Sejujurnya belakangan ini pikiranku serasa bercabang-cabang. Galau memikirkan kelanjutan karirku, Andra dan semua yang terjadi di sekitarku.
Sepanjang jalan, aku memilih menyandarkan kepalaku dan memandang keluar jendela mobil dibandingkan memikirkan cara mengatasi suasana sepi di antara aku dan Andra. Beginilah seharusnya. Beginilah biasanya. Aku sudah terbiasa dan lebih baik tetap seperti itu. Jangan sampai Andra benar-benar berubah seperti pemuda impianku. Bisa-bisa aku makin kesulitan menghilangkan perasaan dalam hatiku. Baru juga sembuh.
Senyum masamku membayang. Teringat semua yang terjadi beberapa hari terakhir ini. Mungkin karena secara tidak langsung mendengar penolakan Andra, hatiku galau. Menghadapi hatiku yang sedih, aku sengaja bekerja hingga larut malam. Bekerja membuat pikiranku teralih. Tak cukup itu, aku juga membawa pekerjaan pulang agar tak ada alasan keluar dari kamarku. Dengan berbagai alasan pula, aku menghindari Andra dan teman-temannya.
Sejak kecil, aku selalu tak suka makan sendirian. Lebih baik tak usah makan daripada harus makan sendiri. Tapi aku tak mungkin makan di restoran atau warung langganan, karena itu tempat yang sama bagi Andra. Untungnya, ada sekotak stok coklat batang dalam lemariku. Makanan pengganti makan malam favorit selain mie instan.
Hans juga merasakan perubahanku.
“Don’t work too much, Inka! Or you’ll be sick,” tegurnya. Aku hanya menanggapinya dengan senyum. Andai Hans tahu betapa sedihnya hatiku belakangan ini. [Jangan bekerja terlalu keras, Inka! Atau kamu akan sakit.]
Siapa yang bisa beristirahat dengan baik atau makan dengan lahap jika setiap kali memejamkan mata justru seperti mendengarkan obrolan itu.
Flashback
Aku mendengar percakapan dari balik pintu kamar Andra.
"Tuh ada Inka, Dra. Lo gak keluar?"
"Lagi banyak kerjaan."
"Ah, itu kan udah diberesin si Beni. Kenapa lo cek lagi? Lo ngehindarin Inka ya, Dra?"
"*Apaan sih, Mas! Dia itu bukan siapa-siapa saya, hanya teman. Mas sama teman-teman aja yang salah persepsi."
"Kalau kami gak masalah salah, tapi kasian Inka dong, Dra. Kalo dia salah paham ngirain lo suka dia juga gimana*?"
Tak terdengar suara apapun. Aku meneguk liur. Menunggu.
"*Dia itu... buat saya, pacar itu hanya milik saya, Mas. Bukan rame-rame."
"Maksud lo? Inka bukan tipe lo? Tapi dia kan emang anaknya rame. Cocok buat lo yang diam gitu. Bukan berarti jadi milik kita rame-rame. Iya milik kita. Sebagai teman*."
"Begitupun dia buat saya, Mas. Hanya teman."
Aku tak merasa perlu mendengarkan semuanya. Aku harus pergi sebelum hatiku makin sakit mendengar semuanya.
Malam itu, tanpa sadar aku berjalan kaki hingga ke rumah kost. Belasan angkot yang lewat kubiarkan begitu saja. Sama seperti airmata yang berjatuhan di kedua pipiku.
Tanpa suara, aku berjalan menyusuri jalanan dengan hati hancur sampai ke rumah kost. Untungnya tak ada orang, jadi aku bebas masuk ke kamar dengan wajah basah penuh airmata.
Malam itu, aku menangis bertangkup bantal. Esok harinya, aku tak bekerja, tak menjawab telepon dan hanya berbaring tanpa bisa memejamkan mata sampai sore hari. Aku seperti mayat hidup. Tak makan, tak mandi, dan tak keluar dari kamar. Hanya memandang langit-langit kamar dengan pikiran kosong melompong.
Lagi-lagi tak ada yang peduli. Semua orang sibuk dengan dirinya masing-masing.
Baru menjelang tengah malam hari berikutnya aku keluar. Setelah ibu kost mengetuk kamarku dengan kuatir. Aku tak mengatakan apapun. Tidak sedikitpun. Aku hanya menangis, menangis sedih sekali dalam pelukan ibu kostku. Perempuan yang sudah seperti kakak sekaligus ibu untukku itu juga ikut menangis bersamaku. Seakan paham bahwa luka hatiku terlalu sakit untuk diceritakan
Back
"Sebentar lagi ulangtahunmu, In."
Andra bicara lagi. Singkat. Tapi lagi-lagi ia mengembalikan penyebab lukaku beberapa minggu lalu.
Sebelum aku tahu perasaan Andra yang sebenarnya padaku, aku sudah merencanakan sesuatu di hari ulangtahunku nanti sejak satu bulan yang lalu.
8 April nanti... Di hari ulang tahunku yang ke-19, akan kulakukan apa yang selama ini tak terpikirkan. Aku akan menyatakan perasaanku pada Andra, agar hubungan kami menjadi resmi. Sebuah ruangan khusus di restoran tepi pantai sudah ku-booking jauh-jauh hari berkat bantuan Hans.
Hans kenal Andra dan juga Bill, atasannya. Bossku juga menyukai Andra, yang menurutnya bakal menjadi salah satu manajer yang baik di kemudian hari. Sebuah jabatan yang katanya cocok jika disandingkan dengan pekerjaanku sendiri. Pasangan yang ideal. Saat ia mengucapkannya, aku tak bisa berhenti tersipu.
"Sudah ada rencana?" tanya Andra lagi. Aku malas menoleh padanya.
Kuangkat bahuku. Berusaha tetap menampilkan wajah sedatar mungkin. "Gak tahu, ini juga masih pengen sehat benar-benar dulu deh. Cuma ulang tahun kan?"
Andra diam saja. Sibuk membelokkan mobil. Rumah kostku sudah terlihat. Sebentar lagi kami tiba. Aku memilih memperbaiki posisi dan menegakkan punggung. Bersiap.
Begitu mobil berhenti, ibu kost turun menyapa dan memelukku. Lalu mengambil tas yang diserahkan Andra padanya.
"Makasih ya Kak, udah anterin Inka pulang!" kataku pelan sebelum berbalik.
"Nanti saya telpon, In!" ujar Andra di belakangku. Aku hanya menoleh sekilas dan mengangguk asal.
Malam nanti, setelah menelpon Hans soal kondisiku, aku akan memutuskan telepon untuk sementara waktu dan meminta ibu kost menolak semua orang yang datang menjengukku. Aku ingin istirahat. Benar-benar beristirahat. Dan aku ingin sendirian.
Aku harus belajar hidup sendirian. Sama seperti dulu. Sama seperti sebelumnya.
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments
Novitaa Shanty
ikut ngerasain keaepian Inka 😔
2021-03-18
0
Nur Ameen
titik terang,,, kirain sama mas arzi,, eh sama andra to
2021-01-12
0
Sri Handayani
meremang rasanya y gitu deh klo suka tp msh meraba² g jelas
2020-11-12
0