"Makanya kalo waktunya makan itu harusnya langsung makan!"
"Iya, Ma."
"Kalo waktunya istirahat ya istirahat!"
"Iya, Ma."
"Kamu itu, iya ma iya ma saja. Tapi kapan bisa bikin orangtua tenang? Kamu mau papamu kena serangan jantung terus menerus dapat kabar gak enak dari kamu, hah?"
"Iya, Ma. Eh... enggak, enggak, enggak! Maaf Ma!" sergahku cepat. Aduh, ya Allah ini mulutku. Bukannya mendengarkan dengan baik, malah asal jawab saja.
"Kan? Begitu memang kamu itu! Kerjanya juga selalu begitu. Untung Mama sudah hafal kelakuanmu. Papamu gak tau, dan awas kalo kamu ngasih tau! Kalo gak nanti dia susul kamu lagi ke sana," omel Mama di ujung telepon.
Aku menghela napas. Begitulah Mama, ibu tiriku. Dia memang tak pernah menyakitiku dengan tangannya seperti berbagai cerita yang kudengar tentang ibu tiri. Namun entah mengapa, Mama seperti berusaha menjaga jarakku
dengan Papa agar tetap selalu jauh. Walaupun begitu, ia memang masih sedarah denganku. Dia adik kandung ibu yang melahirkanku. Juga orang yang mengurusku sejak umurku baru dua hari saat Ibu meninggal dunia, meninggalkan aku bersama Papa. Pria yang kemudian menikahi adik istrinya demi putri yang terlahir prematur ini.
Ibu sakit jauh sebelum mengandungku. Ia terkena kanker leher rahim. Hanya tak pernah menyadarinya. Mungkin karena pernikahan di usia dini-lah yang menjadi penyebab utama. Ibu baru berusia 15 tahun saat menikah. Masih sangat muda. Tapi saat itu, menikah di usia semuda itu adalah hal biasa.
Ibu baru tahu kalau ia sakit parah saat ia memeriksakan kehamilannya. Dokter menyarankan ibu untuk menggugurkanku. Tapi ibu tidak pernah melakukan. Ia berbohong pada Nenek, berbohong pada Papa bahwa ia baik-baik saja dan kehamilannya sangat sehat. Ibu tak pernah ingin didampingi selama memeriksakan diri, sesuatu yang akhirnya disesali oleh Papa sepanjang hidupnya. Ia terlalu sibuk dengan pekerjaannya sebagai polisi yang harus bertugas hingga
ke daerah. Semua orang baru tahu saat Ibu jatuh pingsan di bulan ketujuh kehamilannya. Ibu hanya bangun satu kali usai operasi caesar dan ia hanya menitip pesan pada Papa untuk menjagaku baik-baik.
Sayangnya, Papa tak pernah bercerita tentang Ibu. Cerita tentang Ibu hanya kudengar dari Nenek dan Paman Hakim. Aku juga tak berani bertanya. Hubunganku dengan Papa terlalu jauh untuk menanyakan hal-hal di masa lalunya. Aku juga terlalu takut menyinggung perasaan Mama.
Aku sayang pada Mama. Sangat sayang. Dari awal hanya ia satu-satunya ibu yang kukenal. Saat ia mengasuhku dari bayi, aku tak pernah tahu kalau ia bukan ibu kandungku. Baru setelah adik-adikku lahir, Mama mulai berubah dan perlahan rahasia hubungan kami terungkap.
Tadinya hubungan aku, Papa dan Mama biasa-biasa saja. Normal seperti keluarga bahagia pada umumnya. Aku punya banyak foto kenangan yang menggambarkan saat-saat itu dengan baik. Belakangan setelah melahirkan adikku yang kedua, Mama mulai sering marah-marah. Papa juga bingung menghadapinya. Pengetahuan awam tentang 'Baby Blues Sydnrome' masih sangat minim saat itu, jadi Mama akhirnya dibiarkan menghadapi masalahnya sendiri.
Mama sering menjadikanku sasaran. Tidak dengan memukul. Tapi dengan memberitahu Papa. Papa yang kelelahan saat pulang kerja kontan naik pitam dan sering menyakitiku. Digebuk. Begitu istilahku kalau Papa sedang marah. Apapun jadi sasarannya, kena kepala ya kepala, kena kaki ya kaki. Apa saja.
Nanti Papa akan menyesali perbuatannya sendiri. Lalu ia memberi kompensasi, apapun yang kuinginkan pasti dituruti. Mulai dari mainan, buku, makanan hingga mengajakku naik motor keliling-keliling, meninggalkan Mama dan adik-adikku di rumah. Membuat Mama semakin tenggelam dalam kemarahannya.
Saat menginjak usia sekolah, gap diantara aku dan adik-adikku makin besar. Terutama ketika kemampuanku jauh di atas rata-rata anak seusiaku. Papa mulai membanding-bandingkan anak-anaknya. Jika ada orang bertamu agak lama di rumah, mereka pasti bisa melihat, kalau keluarga kami terbagi dua antara anak Papa dan anak-anak Mama.
Aku juga tumbuh menjadi anak yang manja, keras kepala, tapi cengeng. Satu keinginan tidak dituruti, aku akan berontak, berteriak, menangis dan menjerit sekuat tenaga. Jika sudah seperti ini, biasanya baru berakhir kalau tangan Papa menghantam tubuhku. Aku tak terlalu ingat berapa banyak teman yang jadi korbanku. Tapi setiap kali terjadi masalah, Papa selalu mencarikanku sekolah yang baru.
Ketika masuk sekolah dasar kelas 5, tiba-tiba aku tak bisa berjalan. Selidik punya selidik, ternyata penyebabnya adalah kecelakaan yang pernah dialami olehku dan Paman Sidik, adik dari kedua ibuku yang masih duduk di bangku SMA. Paman Sidik luka parah, tapi aku hanya luka lecet sedikit. Saat itu, Papa hendak memeriksa aku secara lengkap, tapi Mama melarang karena melihatku baik-baik saja. Siapa sangka kurang lebih sebulan kemudian aku tak bisa menggerakkan kedua kakiku akibat pendarahan otak. Setengah tahun lamanya, aku duduk di kursi roda dan bergantung pada orangtuaku. Saat itu aku juga tak lagi pergi ke sekolah sampai akhirnya Papa membiarkanku dioperasi. Itu setelah Nenek datang, memaksa dalam minggu itu juga aku harus dioperasi.
Setelah operasi selesai, Nenek mengultimatum Papa dan membawaku bersamanya. Ia mengasuhku sejak saat itu. Dari sinilah aku belajar memahami bahwa ada sesuatu yang salah pada kedua orangtuaku.
Bagi anak kecil sepertiku, mana kami tahu kalau kekerasan itu bukan kasih sayang. Aku mengira itulah bentuk kasih sayang, dan aku hanya perlu mengerti.
"Violence is always wrong. Whatever reason is, there is always a way without violence." (Kekerasan itu selalu salah. Apapun alasannya, selalu ada jalan tanpa kekerasan)
Oh ya, Nenek memaksaku belajar bicara bahasa Inggris sejak aku tinggal bersamanya. Kadang ia juga berbicara dalam bahasa Mandarin dan Jepang. Walaupun di saat itu, dalam kurikulum pendidikan sekolah dasar belum ada pelajaran bahasa asing, aku sudah mempelajarinya dari Nenek.
Kehadiran Nenek dalam hidupku sangat berarti. Kasih sayang yang tulus tanpa kekerasan dan penuh pengertian mengajarkanku kendali terhadap diriku sendiri. Ia menunjukkan cara menghadapi dan menyelesaikan masalah tanpa
kekerasan.
"Kalau Inka sedih, nangis saja sepuas hatimu. Tapi tak perlu bersuara terlalu nyaring. Menangis takkan menyelesaikan masalahmu, tapi itu akan membuatmu lebih tenang. Kalau kau bersuara dan mengganggu orang lain, yang ada hanya masalah lain lagi," ucapnya suatu hari saat aku bertanya kenapa ia hanya diam mengusap punggungku tanpa memintaku untuk berhenti menangis. Sangat berbeda dengan cara Mama dan Papa yang pasti akan segera membentakku untuk diam.
"Denger! Dengerin dulu Nenek baru ngomong! Dengerin ya Inka! Kalau kamu gak dengerin Nenek dulu, bagaimana Nenek mau dengerin kamu? Sekarang diam, dengerin Nenek!" kata Nenek tegas sekali saat aku mengamuk dan berteriak-teriak karena sesuatu hal. Aku diam dan Nenek menghadiahiku dengan membisikkan kata-kata menenangkan.
Lalu saat aku meninju teman sekelasku karena ejekannya, Nenek menarik tanganku dan menyuruhku menghadapinya.
"Minta maaf padanya, Inka. Nenek sudah bilang kan kalau kekerasan itu salah. Apapun alasannya." Dan setelah aku meminta maaf sambil sesegukan menangis, Nenek mendudukkan di pangkuannya, seraya mengelus rambutku dengan lembut.
"Inka sayang, dimanapun, kapanpun, nanti kamu akan selalu menghadapi kata-kata gak enak dari orang lain. Mau sampai kapan pake kekerasan terus? Inka kan anak cewek, kalo anak cowok yang badannya lebih besar bagaimana?" bisiknya di telingaku.
Aku merenung. Nenek benar. Aku pasti tidak berani.
"Makin Inka marah, makin Inka sebal, makin Inka nangis, orang yang mengejek akan makin senang. Ejekannya akan makin bertambah."
"Jadi Inka harus gimana, Nek? Inka kesel."
"Diejek itu kan gak bikin badan sakit apa-apa, In. Sakitnya itu malah terasa kalo kita mikirin dan masukin ke hati. Jadi lebih baik Inka lupakan saja. Kalau ada yang ledekin, anggap saja kalau orang itu sedang mencari perhatian Inka, mau jadi temennya Inka tapi dia gak tahu caranya. Nah Inka ajarin, Inka kasih tau kalau Inka gak suka diejek. Kalau dia
masih melakukannya, Inka senyumin saja dan gak usah dibalas. Inka tinggalin saja, pasti dia malu sendiri." Jari telunjuk Nenek menekan dahiku lembut, "Lalu di sini Inka harus mikir, bahwa orang yang sedang diejek itu bukan Inka, tapi orang yang mengejek itu sendiri. Bagaimana? Inka ngerti sekarang?"
Tak hanya itu, Nenek mengajar dengan cara yang unik. Ia melarangku belajar dengan cara biasa. Ia selalu menciptakan cara belajar yang tak biasa untukku.
Nenek mengajakku belajar menghafal perkalian dengan bermain loncat tali. Berhitung cepat dengan melukis. Mengingat peta Indonesia dengan pasir pantai. Mengajari kosa kata bahasa Inggris saat berbelanja. Bahkan saat makan di restoran, Nenek mengajariku berhitung dalam bahasa Mandarin dengan menghitung sendok dan garpu.
Kesehatan Nenek menurun sangat cepat dalam dua tahun. Setelah ia merasakan hal itu, Nenek mengirimku kembali ke Papa. Tapi itu tak lama. Papa berulah. Wajah tampan ditambah seragam kepolisian yang ia pakai memancing Papa ke dalam pusaran perselingkuhan. Rupanya setelah aku pergi ikut Nenek, Papa benar-benar kehilangan sosok yang menghibur hatinya.
Saat aku kembali, hubungan aku dan Papa sudah mulai berjarak. Aku kembali jadi sasaran kemarahan Mama. Dan kali ini makin buruk, karena aku juga sudah berani melawan. Seperti pesan Nenek, aku tak boleh membiarkan siapapun menyakitiku lagi. Meski mereka orangtuaku, orang yang membuatku hidup dan menjadi seperti sekarang.
Dalam sebuah pertengkaran yang makin memburuk, aku mencari pertolongan terdekat. Rumah Paman Hakim tinggal hanya dua jam perjalanan dari rumahku, aku meminta padanya untuk mengasuhku.
Paman Hakim seperti Nenek, seorang guru dan juga kepala sekolah. Punya teknik unik tapi tak sama dengan Nenek dalam mengajar. Karena itu, aku kembali mendapatkan pengetahuan baru yang berbeda.
"Ini apa, In?" tanya Paman sambil mengacungkan sebuah buku di hadapanku. Sebuah buku resep.
"Buku," jawabku singkat.
"Hanya buku. Ini memang buku. Tapi Inka tahu apa yang bisa dilakukan sebuah buku?"
"Mmm... memberitahu kita tentang banyak hal."
"Terlalu sederhana. Cari jawaban yang lain!"
"Apa dong, Man?" tanyaku manja.
"Ini, Paman kasih buat kamu. Baca sampai kamu dapat jawaban yang lain dari jawabanmu sekarang, mengerti?"
"Dapat hadiah gak?" tanyaku lagi, tertawa kecil. Pamanku mengangguk sambil mengacungkan jempol kanannya. Asyik! Ini yang kusuka dari pamanku.
Beberapa hari kemudian, aku memberitahu jawabanku pada Paman. Sambil tertawa-tawa, aku berkata, "Buku itu kayak guru kali ya Paman. Inka jadi ngerti banyak cara-cara masak sayur dan ikan, ayam."
"Naaah! Itu dia! Guru! Buku itu adalah guru. Apapun yang kamu baca, buku itu jadi gurumu."
"Bener ya? Waaah berarti dapat hadiah kan?" Mataku berbinar-binar membayangkan hadiahku setelah berhasil mendapat jawaban yang Paman inginkan.
"Loh kan sudah!"
"Sudah? Kapan? Apaan?" tanyaku kebingungan.
"Itu tadi! Inka jadi ngerti cara masak sayur dan lauk kan? Itu bukannya hadiah? Hadiah ilmu."
Krik krik krik....
Paman Hakim tertawa terbahak-bahak. Senangnya dia berhasil mengerjaiku. Aku merengut lalu melemparinya dengan bantal kursi. Begitulah Pamanku, ia guruku, tapi juga sahabatku. Kami sering bercanda bak dua sahabat baik biasa seperti itu.
"Buku itu guru, Neng. Apapun yang kamu baca, itu akan mengajarimu banyak hal."
"Jadi kalo baca buku jorok, ngajarin jorok dong!" potongku setengah bercanda. Paman mengangguk-angguk. Ada senyum tipis di wajahnya. Jorok yang kumaksud artinya sesuatu yang porno.
"Iya, makanya kamu harus pilih buku-buku yang bagus ya, Neng."
"Iya, Pamanku yang cerewet!"
Tapi suatu malam ketika kami baru selesai makan malam, tak sengaja aku memergoki Paman Hakim sedang menangis di teras rumah. Itu pertama kali aku melihatnya.
“Kalo malam-malam begini, dulu saat paman masih kecil, ibumu sering minta paman bernyanyi.”
Perbedaan usia ibu kandungku dan Paman Hakim cukup jauh. Sekitar 10 tahunan. Aku sudah sering mendengar kalau Paman Hakim sangat memanjakan ibuku yang terlahir rapuh sejak bayi.
“Bernyanyi?”
“Iya, karena dia penakut. Kalau habis digoda sama paman-pamanmu yang lain, dia pasti minta dipangku dan dinyanyiin.”
Aku terdiam. Aku tak punya kenangan tentang ibu. Cerita yang kudengar dari Paman, seperti cerita biasa tentang orang lain. Tapi dua bulir airmata yang jatuh di wajah Paman, membuatku sedih dan aku ingin menghiburnya.
“Kalo gitu, nyanyiin buat Inka aja! Anggap aja Inka ini Ibu!” kataku spontan. Kemudian Paman bernyanyi, tapi di akhir nyanyian suaranya menghilang. Malam itu aku mengerti satu hal. Wajahku terlalu mirip dengan ibu. Suaraku yang manja juga. Itu juga alasan Paman Hakim begitu melindungiku. Baginya, aku adalah pengganti adiknya yang tiada.
Malam ini, di salah satu kamar klinik tempat aku dirawat, tiba-tiba aku merindukan keduanya. Merindukan Nenek. Merindukan Paman Hakim. Aku bisa saja menghubungi mereka melalui pesawat telepon yang sama seperti saat menghubungi Mama tadi. Jawaban mereka juga pasti jauh berbeda dari apa yang dikatakan Mama tadi. Mereka pasti akan kuatir. Nenek pasti kuatir dan aku takut, Paman Hakim akan berangkat ke kotaku saat itu juga kalau tahu. Karena
aku tahu, cinta mereka padaku tak lagi perlu dipertanyakan.
Tapi mereka mengajariku menjadi sosok gadis yang kuat, tegar dan tabah. Sakit begini saja, aku tak boleh cengeng. Aku boleh menangis, tapi aku tak boleh menyerah. Pekerjaan ini bagian dari rencana hidupku untuk mencapai impianku. Hidup mandiri tanpa bantuan siapapun.
Kuhapus airmataku yang mulai merebak. Lalu melirik perawat yang berdiri tak jauh dariku. Perawat manis yang tadi mendorong kursi rodaku menuju konter jaga perawat untuk meminjam telepon. Sambil berdiri, aku bertanya, "Mbak, infusnya kan sudah habis. Saya boleh lepas sebentar gak? Mau nyari makan dulu."
Perawat itu tampak ragu.
"Nanti saya balik lagi kok, baru pasang lagi yang baru. Saya lapar."
"Saya belikan saja ya Mbak. Nanti saya ditegur dokter."
"Ya udah deh, saya mau ketemu pak dokternya. Mau izin."
Baru saja, aku berkata seperti itu, seseorang menepuk bahuku dari belakang. "In, Inka? Inka Nurhayati kan?"
Aku menoleh.
Seorang pria muda, dengan stetoskop tergantung di lehernya dan jas putih yang ia kenakan, menatapku dengan mata bersinar, tersenyum lebar seakan-akan berhasil menemukan sesuatu yang ia cari.
"Aku Dirga, In! Dirga Bimantoro! Ingat gak?"
Mendadak aku ingin lantai tempatku berdiri terbuka lebar dan menelanku saja.
Kenapa harus bertemu laki-laki menjengkelkan ini lagi sih?
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments
Langitⁿʲᵘˢ⋆⃝🌈N⃟ʲᵃᵃ࿐
langsung ngefans sama nenek dan paman😍
2022-11-12
0
Wanda Harahap
siapa ya🤔🤔
2022-06-04
0
Nur Ameen
ini banyak banget nasihat2 dari ibu untuk anak anaknya,, aku yg udah jadi seorang ibu juga jadi merasa jadi seorang anak kembali pas baca nya. sangat menyentuh hati,, banyak pelajaran moral yg sangat indah dan baik untuk diterapkan. terima kasih author,,,😊 😘 💕
2021-01-12
2