Episode 4 - Suara Lelaki itu

Dirga Bimantoro.

Lelaki paling menjengkelkan di dunia. Yang mengikutiku ke manapun kakiku melangkah. Yang mengejarku sejak aku masih duduk di kelas 1 SMP dan ia sudah di kelas tiga SMA. Pria yang menjadi alasan utamaku bekerja sejauh mungkin dari rumah. Tapi kini malah berdiri di hadapanku.

Aku menatapnya tanpa ekspresi. Pura-pura tidak mendengar dan kembali berbalik pada perawat yang tadi kuajak bicara.

"Ya udah Sus, anterin saya ke dokternya deh! Biar saya yang minta izin sendiri!"

Perawat di depanku itu memiringkan kepalanya, melihat sosok yang berdiri di belakangku lalu sedikit bingung menunjuk ke belakang."Itu, Mbak! Dokter Dirga itu dokternya, Mbak."

Ya Tuhan! Mimpi apa sih semalam bisa ketemu manusia pengkhianat ini?

Mulutku langsung cemberut, "Gak usah! Gak jadi!" kataku sambil duduk lagi di kursi rodaku dan mulai memutar rodanya.

Tapi terasa berat. Tangan Dirga menahan kursi roda hingga tak bisa bergerak.

"Ada apa, Sus Ren?" tanyanya, sembari menoleh pada sang perawat.

"Mbak Inka pengen izin keluar, Dok. Pengen makan katanya," jawab perawat itu jujur dengan wajah bingung.

"Enggak! Gak jadi! Mau tidur!" kataku dengan ketus.

Dirga bergerak, memutari kursi roda dan berjongkok di depanku. "Laparkah? Mau makan nasi goreng? Ikan bakar? Mas beliin aja ya?"

Mata di balik kacamata half frame itu menatapku dengan lembut. Berusaha membaca keinginanku. Ia berhasil. Ia selalu

tahu apa yang kuinginkan, dan ia hafal semua yang kusuka. Makanan, warna, hobi bahkan kebiasaan-kebiasaan buruk yang kulakukan. Ia tahu semuanya.

"Kamu kurang gizi, In. Kalau mau makan, makan saja apapun yang kamu mau, jangan ditahan hanya karena kamu gak suka sama saya. Mau saya belikan atau saya anterin?" tanyanya lagi, masih dengan nada lembut.

Aku bisa melihat kebingungan di wajah perawat yang tadi bersamaku. Mungkin dia heran kenapa Dirga terlihat begitu sayang padaku. Mungkin saja ia sedang menyusun skenario kira-kira seperti apa hubunganku dengan Dirga. Mungkin saja ia sedang menyiapkan bahan gosip terbaru di buletin berita pagi ala para perawat dan dokter klinik ini.

Dirga takkan menyerah begitu saja. Aku juga lelah dan lapar. Menghadapi satu masalah saja hari ini sudah cukup, aku tak ingin menghadapi masalah lain esok hari. Apalagi di klinik seperti ini. Kalau hanya untuk makan saja, apa salahnya? Maka kuanggukkan kepalaku sambil berbisik, "Anterin! Inka mau makan di sana aja."

Alih-alih makan di depan klinik, Dirga malah menyetir membawaku ke restoran yang lebih jauh. Aku hanya diam mengikuti keinginannya. Dia mungkin tak ingin ada koleganya yang melihatku, atau mungkin ada aturan di kliniknya bahwa dokter dan pasien dilarang bersama di luar jam kerja. Entahlah. toh aku tak peduli pada semua itu. Berdekatan dengan Dirga saja sebenarnya aku enggan.

"Papa tahu, In? Kamu begini... " suara Dirga memecah kebisuan di antara kami saat berada di dalam mobil yang meluncur menjauhi klinik.

"Enggak," jawabku pendek. Tapi tiba-tiba aku teringat sesuatu. "Mas jangan kasih tahu ya. Entar aku diamuk Mama

lagi," pintaku setengah memohon.

Terdengar suara helaan napas Dirga. Aku bisa merasakan aroma kejengkelan dari tubuhnya. "Kapan kamu berani sih, In? Kamu mau matipun dia mana peduli! Kalau Papamu gak dikasih tahu mana dia tahu kalau anak kandungnya tersiksa begini. Kamu takut apa sih? Ada saya."

"Mas, dia itu Mamaku. Please respect her!"

"Mama yang tega nyuruh anaknya diseret-seret pulang padahal pengen kuliah? Mama yang tega ngurung anaknya supaya gak dapet impiannya? Itu Mama yang kamu respek, In?" lanjut Dirga tak peduli.

"Cukup!" Aku meraih gagang pintu, membukanya. Tapi safety belt yang membelit tubuhku menahan gerakanku yang

ingin melompat keluar. Dirga panik, ia memutar kemudi secara mendadak ke kiri membuat mobil meluncur dengan gerakan cepat ke pinggir jalan. Kaki Dirga menekan pedal rem sekuat tenaga membuat tubuh kami berdua sama-sama menghempas jok saat mobil berhenti, suara decitan panjang terdengar menembus jendela mobil.

Aku terdiam, melihat ke depan. Perlahan airmata mulai meluncur dari kedua bola mataku. Bukan karena bayangan kematian yang baru saja menghampiriku. Tapi ingatan beberapa bulan lalu. Saat paling menentukan dalam

hidupku. Saat paling menyedihkan bagiku. Saat seluruh impianku tercabut tak tersisa.

"Kamu gak papa, In? In?"

Aku menoleh, menatap wajah Dirga yang panik. Dari luar, aku bisa melihat ada orang-orang berlarian mendekati kami. Aku berbisik pelan, "Kalau Mas ngomongin Mama begitu lagi, aku akan melompat dari mobil ini. Ngerti?"

"Iya iya, maaf, maaf! Maafkan Mas Dirga ya, In! Jangan gila gitu lagi deh! Please, Neng!"

"I am crazy, Mas. Since you had betrayed me." [Aku ini gila, Mas. Sejak kamu mengkhianatiku.]

"Tapi... " Kalimat Dirga tergantung, seorang pria setengah baya tampak melongok menatap kami dari luar.

"Gak papa, Mas? Mbak?" tanya Bapak itu dengan kuatir.

Bibir Dirga menyunggingkan senyum dan menggeleng. Ia keluar dari dalam mobil. Seperti biasa wajah ramah, kata-kata sopan nan manis dan tingkah yang penuh hormat itu menyelesaikan masalah dengan cepat. Untungnya mobil ini tidak menabrak apapun, selain naik ke atas trotoar.

Sekarang Dirga tahu aku serius. Ia memilih diam sepanjang sisa perjalanan dan membiarkanku tenggelam dalam ingatan menyakitkan setahun yang lalu.

Aku masih mengingat semuanya dengan sangat jelas. Tatapan orang-orang yang melihatku diseret-seret oleh Papa, menjerit meminta pengertiannya, memohon bahkan mencium kakinya agar ia mau mendengarku. Tapi Papa tak bergeming. Tak hanya pada Papa, aku juga memohon pada Mama yang berdiri tak jauh darinya. Sama. Satu-satunya respon yang aku dapat hanya tatapan dingin dan gelengan kepala.

"Maafkan Mas Dirga ya, Neng. Mas gak tahu. Mas benar-benar gak tahu," ucap Dirga berulangkali saat aku dikurung selama seminggu tak boleh keluar rumah setelah kejadian itu. Ia tak pernah menyangka, kedua orangtuaku akan mencegahku untuk kuliah di tanah Jawa. Meski saat itu aku meraih beasiswa murni dari kampus negeri terbaik di Yogyakarta.

Aku tahu kau mungkin bertujuan baik, Mas Dirga. Tetap saja, kau mengkhianati kepercayaanku. Aku sudah berpesan padamu, percaya padamu dan memberitahu semuanya. Tapi karena satu langkah, kau hancurkan segalanya.

Cukup mengenang masa lalu yang pahit itu. Aku melihat ke luar. Mobil kami sudah berada di parkiran depan rumah makan seafood. Entah kapan Dirga melanjutkan perjalanan karena aku tak menyadarinya.

Tanganku menekan selot pintu dan keluar. Dirga mengimbangi langkahku terburu-buru. Ia membuat langkahku berhenti sejenak saat membungkus tubuhku dengan jaket hitam besar miliknya. Dengan lembut, ia menutupi kepalaku dengan hodie jaket.

"Kamu masih sakit, pakai baju rumah sakit juga," katanya melihat tanda tanya di mataku. "Nanti orang-orang ngeliatin. Kamu gak suka kan diliatin?"

Aku diam saja dan melangkah masuk.

Rumah makan itu biasanya ramai di jam-jam makan malam. Hampir semua orang yang kukenal tahu rumah makan ini. Rumah makan seafood khas Makassar yang menyajikan berbagai sajian ikan dan aneka hewan laut lain seperti udang, kepiting, cumi-cumi bahkan lobster. Tapi yang terakhir ini harus pesan terlebih dahulu, karena harganya yang lumayan mahal.

Kali ini aku berkunjung lewat dari jam makan. Terakhir aku melirik jam digital di mobil Dirga, sudah menunjukkan pukul 11 malam. Sangat terlambat untuk makan malam biasa. Sebenarnya aku sudah makan di rumah sakit. Tapi sepertinya pengaruh vitamin pada infus membuatku lapar lagi.

Rumah makan sudah sedikit lengang, tapi di sudut-sudut terlihat beberapa orang masih duduk. Kalau dilihat dari seragamnya, mereka adalah para pekerja yang baru pulang bekerja. Perusahaan tambang ini memang menerapkan dua shift kerja, jadi itu mempengaruhi jam kerja di perusahaan kontraktornya. Itu juga alasan mengapa rumah makan ini seperti beberapa rumah makan lain buka hingga pukul 1 pagi.

Dirga membiarkanku memilih tempat duduk, sementara ia memilih menu langsung di meja kasir. Aku juga memilih salah satu sudut karena tak ingin menarik perhatian. Untung tadi Dirga memberiku jaketnya, hingga hampir seluruh tubuhku terbungkus jaket hitam itu. Tapi karena hawa panas dari tempat pemanggang dan kompor-kompor yang ada dalam rumah makan itu, aku mulai membuka bagian atas jaket sedikit. Kepalaku masih tetap memakai hoodie jaket. Malu. Rambutku berantakan tak karuan, tidak disisir sejak masuk klinik tadi siang.

"Denger gak tadi?"

"Apaan?"

"Sekretarisnya ABS pingsan di kantor."

"Oh ya? Yang mana? Kan ada tiga orang."

"Yang tinggi kurus itu loh, yang cina itu."

"Oooh, Inka namanya. Dia bukan cina, kebetulan aja matanya sipit. Aslinya dia Dayak tuh."

Tanganku yang sedang menarik kotak tisu berhenti. Percakapan bernada rasis itu berasal dari meja di sebelahku.  Mereka membicarakan diriku.

"Eh, setahu gue itu tiga-tiganya masih gadis kan?"

"Gadis? Oh ya? Gue sih gak percaya, Don. Apalagi si Inka itu. Dia kan mainannya bule-bule. Lo gak tahu kalo tiap minggu dia maen ke Tanjung Bara. Kalo gak mancing, maen golf tuh cewek. Gila ganti-ganti tiap Minggu."

Tanganku yang sudah mengambil tisu, mencengkeram tisu itu hingga tak lagi terlihat dalam genggamanku.

"Jangan-jangan nih, dia pingsan karena hamil! Hahaha! Yakin gue."

'Ejekan tak membuat tubuhmu sakit, In. Jangan dengarkan! Jangan ambil hati ejekan kalau kau tak mau sakit hati!'

Aku ingat pesan Nenek, dan aku berusaha menulikan telingaku. Kuhela napas kuat-kuat lalu membuka mataku yang terpejam menaham emosi. Dirga sudah berdiri di hadapanku. Wajahnya memerah.

"Mas, duduk!" Bisikku. Dirga menatapku, meminta izin. Tapi aku menjawabnya dengan gelengan dan memberi isyarat pada kursi restoran. Dengan patuh ia duduk.

"Tapi ada yang tahu gak pacarnya si Inka itu siapa?"

"Maksud lo, bapak bayinya gitu?" Derai tawa membahana dari meja itu. Semua orang tertawa.

Kali ini Dirga tak tahan lagi. Ia berdiri, bahkan tanganku kesulitan menariknya untuk duduk lagi.

"Kalian ini... itu anak gadis orang loh yang digibahin. Bayangin kalau dia itu anak atau adek kalian, sakit gak diomongin begitu?" Suara lain yang berbeda ikut berbicara.

Suara itu... aku menoleh sekilas. Seragam biru laut itu lagi.

"Waduh, Pak Ustad ngomong."

"Zi, lo jangan serius mulu dong! Kita kan hanya becanda."

"Becanda gak gitu juga kali, Men. Adek gue cewek tiga orang. Gue gak mau ngejadiin cewek manapun buat becandaan kek begini. Gak bener!"

"Ah lo sendiri, bela-belain cewek gak jelas, tapi sampe sekarang gak ada yang nyangkut di elo."

"Gue memilih, Men. Memilih yang terbaik. Itu penting. Gue pengen nikah seumur hidup sekali aja."

"Wah lo pinter banget nyindir gue. Iyeee, gue emang udah kawin dua kali. Tapi ya kan namanya cewek mau. Gue gak kayak elo. Pasif."

"Sudah! Sudah! Ayo balik! Udah malam! Lo semua udah mulai emosi nih. Istirahat deh!" Kali ini suara berbeda lagi yang terdengar.

Rombongan berseragam biru laut berdiri. Seseorang di antara mereka berjalan menuju meja kasir. Hendak membayar tagihan, sementara yang lain melewati meja kami. Buru-buru aku menekuk hoodie agar lebih menutupi wajahku, tapi itu membuat tanganku melepaskan pegangan pada tangan Dirga.

"Mas!" panggil Dirga pada pria yang berjalan paling belakang. Aku terlambat.

"Ya?" Pria itu berbalik, diikuti yang lain, memandang Dirga heran.

"Saya Dirga, Mas."

"Oh, lalu?" tanya pria dengan kulit gelap itu kebingungan. Yang lain juga tampak heran.

"Saya kakak dari cewek yang barusan Mas-mas obrolin tadi," kata Dirga. Kepalanya terangkat, menjulang tegas, menantang.

Wajah gelap itu terlihat pias. Pucat. Ia meneguk liur sebelum mengeluarkan kalimat pendek, "Ma.ma.maaf... "

"Adik saya sakit, tapi Mas malah ngomongin begitu. Kerja di mana, Mas? Kenalan dulu, Mas. Biar tahu adik saya itu siapa?" tanya Dirga dengan tulang rahang gemeretuk menahan emosi. Tinjunya sudah terkepal, siap dilepaskan.

Aku tak berani mengangkat wajahku. Aku terlalu takut. Dirga itu mantan siswa di *Dojang** Papa, yang sudah berlatih sejak TK. Ia resmi menjadi atlet tingkat propinsi dan kemudian menjadi pelatih Taekwondo saat aku masih di SMP. Sempat ikut PON sebelum ia pindah ke Jakarta, ia mulai melatih cara pengamanan diri secara privat. Baru setelah mulai sibuk dengan kampusnya, Dirga memilih fokus pada karir dokternya.

"Maaf! Maaf! Oh ini Dokter Dirga kan? Saya Arzi, Dokter ingat kan?" aku mengangkat wajah. Benar, tak salah lagi, itu pasti Arzi yang tadi pagi memberiku rok mukena. Tapi lagi-lagi ia membelakangiku. Aneh memang, beberapa kali melihat punggungnya, aku langsung mengenalinya.

Entah apa yang mereka bicarakan, karena tangan Arzi tampak menepuk-nepuk punggung Dirga. Aku tak bisa mendengarnya percakapan mereka. Terlalu jauh. Mungkin meminta maaf. Mungkin meminta pengertian. Tapi teman-temannya terlihat menundukkan kepala, seperti merasa bersalah.

Begitulah laki-laki. Sama saja semuanya. Mereka akan bersikap sok tahu, sok kenal, sok jago saat berada di kalangan mereka sendiri. Tapi ketika ada sesuatu yang bisa mengusik kelangsungan ekonomi mereka, mereka akan berubah seperti kerupuk tersiram air. Melempem.

Aku tak lagi peduli soal Dirga. Ia pasti bisa melawan siapapun yang menantangnya. Perutku terlalu lapar memikirkan pria itu. Biar saja dia merasakan sedikit tinju kalau mereka benar-benar berkelahi. Anggap saja itu sebagai balasan dari pengkhianatannya. Toh, aku yakin Dirga takkan kalah kalau hanya beberapa orang itu saja.

Begitu pesananku datang, aku memilih mencuci tangan di kobokan lalu mulai makan. Meski tadi tak memesan apapun pada Dirga, ia sudah memilihkan makanan yang paling kusuka, ikan kerapu bakar. Rupanya Dirga tak berencana untuk makan. Ia hanya memesan satu porsi.

"Sudah selesai makannya?" tanya Dirga, yang tahu-tahu sudah kembali dan langsung duduk. Wajahnya tak lagi semerah tadi. Jauh lebih tenang.

"Jadi berantemnya?" tanyaku balik, setengah tak peduli, sambil menyuap sejumput nasi dengan potongan daging ikan.

Dirga tertawa. "Kamu ini! Enggak! Habis ada yang namanya Pak Arzi itu, yang belain kamu tadi itu loh. Dia orangnya baik. Mas kebetulan kenal jadi gak enaklah."

"Ya gitu deh, just like usual, sok-sok aja belain, pas udah nyangkut urusan kerjaan aja gak enak terus alasannya."

Senyum Dirga menghilang. "Bukan karena kerjaan, Inka. Tapi karena tadi juga dia belain kamu. Kan kita denger sendiri. Dia itu gak kenal kamu, tapi belain kamu, itu yang bikin Mas ngehargai dia. Orang model gitu mau diajak berantem, ya Mas yang salah."

Aku diam saja. Memilin-milin daging ikan dengan nasi sembari berpikir.

Arzi lagi. Dalam satu hari ia membuatku merasa diriku sangat berharga. Berharga untuk dibela bahkan sebelum ia mengenaliku. Lelaki pertama yang membelaku tanpa alasan apapun. Sungguh beruntung tiga orang adik perempuannya, dilindungi seorang kakak seperti Arzi.

Aku melirik lelaki di depanku. Dirga Bimantoro. Pria yang menjagaku selama tujuh tahun terakhir. Sahabat yang sudah kuanggap seperti kakakku sendiri. Sahabat yang berkali-kali menawarkan diri menjadi penjaga hatiku selamanya. Sahabat dan orang yang pernah sangat kupercaya. Tapi ia pun mengkhianatiku. Baru satu kali. Itu sudah meruntuhkan semua rasa percayaku padanya. Bahkan hingga detik ini, sakit itu masih terasa.

Tiba-tiba aku merasa kenyang.

***

*Dojang Tempat berkumpulnya/latihan para Taekwondoin (atlet Taekwondo

Terpopuler

Comments

Rose_Ni

Rose_Ni

Inka tipe cewe mema'afkan tapi gak melupakan kali ya?sekali dikhianati langsung jaga jarak.Aku banget...

2023-02-13

0

Runa💖💓

Runa💖💓

ulang lagi baca dari awal

2021-01-24

0

Nur Ameen

Nur Ameen

lope yu emak

2021-01-12

0

lihat semua
Episodes
1 Episode 1 - Punggung Lelaki itu
2 Episode 2 - Di antara Pekerjaan
3 Episode 3 - Lingkaran Kehidupanku
4 Episode 4 - Suara Lelaki itu
5 Episode 5 - Pengunjung Tak Terduga
6 Episode 6 - Tanpa Siapapun
7 Episode 7 - Apa Aku Penting Baginya?
8 Episode 8 - Sulit Diucapkan, Sulit Ditanyakan
9 Episode 9 - Pengakuan
10 Episode 10 - Sejuta Rasa Cinta
11 Episode 11 - Kutukan Ulang Tahun
12 Episode 12 - Wajah Yang Menenangkan
13 Episode 13 - Hanya Seorang Teman
14 Episode 14 - Bukan Mahrom
15 Episode 15 - Antara Ratih dan Arzi
16 Episode 16 - Saat Menyenangkan Bersamanya
17 Episode 17 - Terlalu Banyak Pertanyaan
18 Episode 18 - Cemburu
19 Episode 19 - Perjalanan Singkat
20 Episode 20 - Lamarannya
21 Episode 21 - Debat
22 Episode 22 - Janji Kami
23 Episode 23 - Kenangan Masa Lalu
24 Episode 24 - Malam yang Menyenangkan
25 Episode 25 - Calon Keluarga atau Musuh
26 Episode 26 - Ikut Dia Selamanya
27 Episode 27 - Sisi Lain
28 Episode 28 - Lamaran Resmi
29 Episode 29 - Untuk Cinta Sejati
30 Episode 30 - Kemarahannya
31 Episode 31 - Hari-hari Penantian
32 Episode 32 - Berita Buruk
33 Episode 33 - Lebam
34 Episode 34 - Pengumuman
35 Episode 35 - Potongan Kenangan
36 Episode 36 - Undangan
37 Episode 37 - Perhatiannya
38 Episode 38 - Putus
39 Episode 39 - Malam yang Menakutkan
40 Episode 40 - 3 Lelaki: Cinta Tanpa Maaf
41 Episode 41 - Jatuh Cinta Tiap Hari
42 Episode 42 - Racun
43 Episode 43 - Hikmah Di Saat Sakit
44 Episode 44 - Hari Pernikahan
45 Episode 45 - Pengantin Bodoh
46 Episode 46 - Hidup yang Baru
47 Episode 47 - Seandainya
48 Episode 48 - Perjalanan ke Kampung
49 Episode 49 - Mertua
50 Episode 50 - Adik-adik yang Baru
51 Episode 51 - Anak Gembala
52 Episode 52 - Menjelang Pulang
53 Episode 53 - Waktu Untuk Menerima
54 Episode 54 - Rumah Masa Depan
55 Episode 55 - Di Antara Dua Agama
56 Episode 56 - Mengubah Desain
57 Episode 57 - Gadis Berkerudung Hijau
58 Episode 58 - Rumah Tangga
59 Episode 59 - Saatnya Bicara
60 Episode 60 - Selamat Tinggal, Sahabat!
61 Episode 61 - Kecurigaan
62 Episode 62 - Pertengkaran Pertama
63 Episode 63 - Berbaikan
64 Episode 64 - Perdebatan
65 Episode 65 - Kecelakaan Kerja
66 Episode 66 - Tamu Tengah Malam
67 Episode 67 - Kesayangan Allah
68 Episode 68 - Hadiah Dari Tammy
69 Episode 69 - Bukan Sebagai Beban
70 Episode 70 - Alasan Untuk Pindah
71 Episode 71 - Persiapan
72 Episode 72 - Terluka
73 Episode 73 - Di Antara Tragedi
74 Episode 74 - Memaafkan
75 Episode 75 - Berita Kehamilan
76 Episode 76 - Kunjungan
77 Episode 77 - Di Antara Penyesalan
78 Episode 78 - Dari Hati ke Hati
79 Episode 79 - Epilog (Andra) Janji Cinta Pertama
80 Episode 80 - Epilog (Andra) Bye, Love!
81 Preview - Welcome, Love!
82 Catatan Penulis
Episodes

Updated 82 Episodes

1
Episode 1 - Punggung Lelaki itu
2
Episode 2 - Di antara Pekerjaan
3
Episode 3 - Lingkaran Kehidupanku
4
Episode 4 - Suara Lelaki itu
5
Episode 5 - Pengunjung Tak Terduga
6
Episode 6 - Tanpa Siapapun
7
Episode 7 - Apa Aku Penting Baginya?
8
Episode 8 - Sulit Diucapkan, Sulit Ditanyakan
9
Episode 9 - Pengakuan
10
Episode 10 - Sejuta Rasa Cinta
11
Episode 11 - Kutukan Ulang Tahun
12
Episode 12 - Wajah Yang Menenangkan
13
Episode 13 - Hanya Seorang Teman
14
Episode 14 - Bukan Mahrom
15
Episode 15 - Antara Ratih dan Arzi
16
Episode 16 - Saat Menyenangkan Bersamanya
17
Episode 17 - Terlalu Banyak Pertanyaan
18
Episode 18 - Cemburu
19
Episode 19 - Perjalanan Singkat
20
Episode 20 - Lamarannya
21
Episode 21 - Debat
22
Episode 22 - Janji Kami
23
Episode 23 - Kenangan Masa Lalu
24
Episode 24 - Malam yang Menyenangkan
25
Episode 25 - Calon Keluarga atau Musuh
26
Episode 26 - Ikut Dia Selamanya
27
Episode 27 - Sisi Lain
28
Episode 28 - Lamaran Resmi
29
Episode 29 - Untuk Cinta Sejati
30
Episode 30 - Kemarahannya
31
Episode 31 - Hari-hari Penantian
32
Episode 32 - Berita Buruk
33
Episode 33 - Lebam
34
Episode 34 - Pengumuman
35
Episode 35 - Potongan Kenangan
36
Episode 36 - Undangan
37
Episode 37 - Perhatiannya
38
Episode 38 - Putus
39
Episode 39 - Malam yang Menakutkan
40
Episode 40 - 3 Lelaki: Cinta Tanpa Maaf
41
Episode 41 - Jatuh Cinta Tiap Hari
42
Episode 42 - Racun
43
Episode 43 - Hikmah Di Saat Sakit
44
Episode 44 - Hari Pernikahan
45
Episode 45 - Pengantin Bodoh
46
Episode 46 - Hidup yang Baru
47
Episode 47 - Seandainya
48
Episode 48 - Perjalanan ke Kampung
49
Episode 49 - Mertua
50
Episode 50 - Adik-adik yang Baru
51
Episode 51 - Anak Gembala
52
Episode 52 - Menjelang Pulang
53
Episode 53 - Waktu Untuk Menerima
54
Episode 54 - Rumah Masa Depan
55
Episode 55 - Di Antara Dua Agama
56
Episode 56 - Mengubah Desain
57
Episode 57 - Gadis Berkerudung Hijau
58
Episode 58 - Rumah Tangga
59
Episode 59 - Saatnya Bicara
60
Episode 60 - Selamat Tinggal, Sahabat!
61
Episode 61 - Kecurigaan
62
Episode 62 - Pertengkaran Pertama
63
Episode 63 - Berbaikan
64
Episode 64 - Perdebatan
65
Episode 65 - Kecelakaan Kerja
66
Episode 66 - Tamu Tengah Malam
67
Episode 67 - Kesayangan Allah
68
Episode 68 - Hadiah Dari Tammy
69
Episode 69 - Bukan Sebagai Beban
70
Episode 70 - Alasan Untuk Pindah
71
Episode 71 - Persiapan
72
Episode 72 - Terluka
73
Episode 73 - Di Antara Tragedi
74
Episode 74 - Memaafkan
75
Episode 75 - Berita Kehamilan
76
Episode 76 - Kunjungan
77
Episode 77 - Di Antara Penyesalan
78
Episode 78 - Dari Hati ke Hati
79
Episode 79 - Epilog (Andra) Janji Cinta Pertama
80
Episode 80 - Epilog (Andra) Bye, Love!
81
Preview - Welcome, Love!
82
Catatan Penulis

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!