Mataku terbuka pelan. Mengerjap dua kali. Langit-langit putih dengan lampu terang menyala menyambut kesadaranku. Aku mulai melihat sekelilingku, mengembalikan ingatanku.
Seprai putih, selimut abu-abu, dinding-dinding berwarna putih abu-abu, jendela dengan gorden oranye, jajaran tempat tidur, dan para petugas berseragam oranye.
Klinik!
Aku menghela nafas. Mengingat kejadian semalam. Terakhir yang aku ingat adalah perjalanan pulang dengan mobil yang disupiri Dirga. Lalu setelah itu aku tak lagi ingat apapun.
Seseorang perawat klinik berseragam oranye mendekat. Ia memeriksa dahiku, tersenyum lalu mengecek infus. Sambil memperbaiki posisi botol infus, ia berkata, "Semalam suhu tubuh Mbak naik, jadi dokter Dirga memberi obat tambahan agar Mbak bisa istirahat total. Bagaimana? Ada yang dirasakan?"
Aku menggerakkan kepalaku sedikit. Lebih ringan. Lebih baik. Tak ada lagi rasa berdenyut-denyut menyakitkan saat menggerakkan tadi. Aku menggeleng. Tersenyum pada sang perawat.
"Kepala Inka udah gak sakit, Sus!" kataku lega. "Berarti boleh pulang?" sambungku lagi.
Perawat itu menjawab dengan senyuman tipis, "Iya boleh. Tadi kata dokter Dirga, Mbak boleh pulang. Tapi harus nunggu beliau datang menjemput. Sekitar tiga... eh dua jam lagi. Sampai infus habis."
Bibirku maju. Baru juga bertemu, hidupku sudah mulai diatur-atur oleh Dirga. Tapi aku bisa apa? Tak ada siapapun yang bisa kumintai tolong selain dia saat ini.
"Oh iya... tadi ada sodara sepupu Mbak datang. Eeh... Itu!" Perawat itu menunjuk ke sisi berlawanan membuat kepalaku menoleh. Dari balik tirai yang tersibak, seseorang muncul.
Mataku mengerjap cepat berkali-kali. Agak kabur, jadi kuraih kacamata di sisi tempat tidur. Saat mengenakan, aku mendesah.
Andra!
Mungkin kalau ini terjadi beberapa minggu sebelumnya, aku akan melompat gembira. Tapi sekarang, aku berusaha mengingatkan diriku sendiri dengan satu kalimat yang mengingatkan arti diriku baginya.
Hanya teman biasa.
"Eh, Kak? Kapan datangnya?" tanyaku lirih, sambil melirik ke arah perawat tadi. Ternyata perawat itu sudah pergi. Aku kembali menatap Andra.
Andra mendekatiku. Tampangnya terlihat kusut, rambutnya yang tersisir rapi sedikit acak-acakan seperti habis dijambak. Matanya juga redup sekali. Tampak... mengantuk. Tatapanku turun pada pakaian yang ia kenakan. Ia memakai jaket tempur berwarna coklat tua dengan kemeja putih di bagian dalam. Kemeja. Walaupun tak melihat bordir logo perusahaannya, aku tahu ia masih mengenakan seragam.
"Saya baru selesai shift jam enam tadi. Langsung ke sini. Maaf saya gak tahu kalo kamu sakit, In," gumam Andra saat mengambil kursi dan duduk di dekatku, seakan bisa mendengar pertanyaan di kepalaku.
Aku terdiam. Terus? Apa maksudnya? Memang tak banyak yang tahu aku sakit. Kami hanya berteman biasa, tak seharusnya ia terlihat seperti seorang kekasih yang panik begitu, sampai harus mengaku-aku sebagai sepupu
hanya agar diizinkan masuk.
Apapun alasannya, mendadak aku merasa mendapat bantuan.
"Bisa bantu Inka gak, Kak? Inka mau bangun. Mau sikat gigi, cuci muka."
Dengan lembut, Andra meraih tanganku. Tempat tidur ini cukup tinggi. Ketika aku mengira kakiku sudah berpijak ke lantai, ternyata belum sampai. Gerakan itu membuatku jatuh dalam pelukan Andra. Ia juga otomatis memelukku. Memastikan aku tak jatuh. Salah satu tangannya tak sengaja menyentuh pinggulku. Tawa kecilku pecah karena kegelian.
"Udah deh, saya gendong saja ya!" kata Andra sambil membuka pelukannya.
Aku hanya tertawa dan menjawab tawaran itu dengan gelengan kepala, mengambil handuk dan berjalan sendiri ke kamar mandi.
Aku tahu, ia orang yang baik. Andra selalu baik padaku sejak pertama kali kami bertemu. Tepatnya satu minggu setelah aku tinggal di kota ini. Kami bertemu tak sengaja di restoran milik teman Papa. Putri pemilik restoran, yang juga seumuran diriku memperkenalkan kami berdua.
Andra itu pendiam sekali. Jarang sekali bicara. Tapi saat ia bicara, aku selalu dibuat tergelak dan tertawa nyaring karenanya. Makanya aku betah berbicara dengannya. Aku senang didengarkan lalu direspon dengan kata-kata yang membuatku bisa tertawa bebas.
Tentu saja, sebagai gadis muda yang baru merasakan kebebasan bergaul, perlahan-lahan aku mulai menyimpan perasaan berbeda pada Andra. Ketika akhirnya aku berteman dengan teman-temannya juga, perasaanku justru makin
dalam. Bagiku, Andra adalah pria spesial yang mendapat tempat istimewa di hatiku.
Aku tidak tahu apakah itu cinta atau bukan. Aku tak terlalu peduli soal itu. Yang aku inginkan hanya memelihara benih-benih perasaan itu sampai benar-benar tumbuh agar bisa memastikan kalau perasaan itu memang cinta.
Beberapa bulan terakhir ini, kami selalu menghabiskan waktu bersama. Entah itu saat pulang kerja atau ketika ia singgah menjemputku makan siang bersama. Tekanan pekerjaan dan semua yang memusingkan di perusahaan seakan terlupakan saat aku bisa tertawa, bercanda dan mengobrol dengannya. Kukira saat itu, waktu akan menyatukan hati kami pada akhirnya.
Sampai akhirnya, aku mendapat jawaban pasti secara tak sengaja.
"In, In?" Suara Andra dari luar pintu kamar mandi menyadarkanku dari lamunan.
"Ya?" jawabku.
"Jangan lama-lama! Nanti masuk angin," seru Andra dari luar lagi.
Aku tak menjawab. Hanya menghela napas dan mulai mempercepat gerakanku. Aku tak boleh mengambil hati semua yang ia lakukan untukku hari ini. Itu hanyalah perlakuan seorang teman pada temannya, seorang kakak pada adiknya. Hanya itu. Tidak lebih tidak kurang.
Jangan mencintai
seseorang terlalu dalam, In. Jangan membabi buta. Apalagi sampai terobsesi. Dirimulah yang paling penting, karena kamu tak punya siapapun selain dirimu sendiri. Pikirkan dirimu dulu!
Lagi-lagi salah satu pesan Paman Hakim terpikir olehku. Aku tersenyum pahit. Sungguh, baru kini aku paham maksudnya.
Setelah sikat gigi, cuci muka, berganti pakaian dan menyisir rambutku, aku keluar. Andra langsung berdiri dan menyongsong mendekatiku. Seperti orang bodoh, ia mengikutiku dari belakang hingga kembali ke tempat
tidur. Kali ini aku tidak berbaring, hanya duduk.
"Kak, bisa bantu uruskan izin keluarku? Inka pengen istirahat di rumah."
"Tapi infusnya dikit lagi!"
"Inka mau pulang sekarang!" kataku bersikeras. Andra termangu sebentar sebelum mengangguk dan keluar mendatangi konter perawat.
Tak sampai sepuluh menit, Andra sudah kembali dengan membawa secarik kertas dan sebuah amplop.
"Ini surat keterangan keluar, " katanya sambil memperlihatkan kertas berlogo rumah sakit itu, lalu beralih pada amplop,
"dan ini surat izin istirahatmu. Dokter Dirga sudah memberimu izin seminggu."
Seminggu? Yang benar saja, Dirga! Itu sama saja menyuruh aku kerja lembur tiga minggu kemudian!
Aku hanya mengangguk. Tanganku hendak meraih keduanya, tapi Andra lagi-lagi bersikap aneh.
Andra meraih tas tangan milikku yang sudah kuletakkan di atas tempat tidur saat bersiap-siap sambil menunggunya tadi. Lalu tangannya sibuk menyelipkan surat keterangan ke dalam tasku, sedangkan amplop malah ia masukkan dalam saku jaketnya. Aku diam memperhatikannya. Bingung.
"Nanti saya antar ke kantormu!" kata Andra saat kami bertemu pandang.
Sebenarnya itu tak perlu. Urusan izin kantor itu ujung-ujungnya aku juga yang mengurus laporannya. Entah itu izin beberapa jam terlambat, atau izin tak masuk seminggu, aku hanya perlu menelpon Hans. Begitupun sebaliknya, jika Hans yang terlambat atau tak bisa datang ke kantor, ia akan memberitahuku. Kami tak lagi bekerja dengan waktu terikat, hanya dua orang yang memahami tanggung jawab masing-masing.
Kadang dalam keadaan sakit, Hans masih memberikan serangkaian informasi dan tugas melalui telepon. Aku juga sama.
Itu sebabnya di kamar kostku, walaupun tergolong langka, aku memasang telpon pribadi. Atas namaku sendiri, semua demi pekerjaan.
Andra tak pernah tahu soal itu. Mungkin dia juga tak mau tahu. Entahlah. Kami jarang bicara tentang aku.
Tapi melihatnya menawarkan bantuan begini, ya sudahlah... aku terima saja. Selagi bukan dari Dirga.
"Ayo!" ajak Andra membuyarkan lamunanku lagi. Ia sudah berdiri dengan dua tas. Satu ransel miliknya tersampir di punggung, dan satu lagi tas besar milikku yang dipegang tangan kirinya. Tangan kanannya terangkat. Menunggu tanganku...
Dengan santai aku meraih tangan Andra, menggenggamnya. Kami hanya bersahabat, berpegangan tangan tidaklah berarti apa-apa. Itu hal biasa yang selama ini kami lakukan.
Jemari Andra malah menyelip di antara jari-jemariku, dingin seperti es. Begitu kontras dengan tanganku yang masih terasa hangat. Aku agak kaget dan menoleh, tapi wajah Andra berpaling ke arah lain. Tak seperti yang kusangka, jemari Andra justru bergerak menggenggam erat tanganku sebelum menarikku perlahan mengikuti langkahnya.
Bagaimana bisa aku meyakinkan diriku kami hanya berteman biasa kalau ia selalu seperti ini?
Aku tak boleh mengambil kesimpulan sembarangan lagi. Andra sudah memberitahu semua orang apa arti diriku baginya. Jadi...
Kami benar-benar hanya bersahabat.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments
Sri Handayani
smuany masih teka teki
2020-11-12
0
radika ardhata
visualnya thor
2020-11-01
0