Tapi baru saja mataku hendak terpejam, terdengar suara ketukan di pintu kamarku.
"Inka? Inka sudah tidur?" Suara Ibu kost-ku terdengar.
Malas-malasan aku bangkit dari tempat tidur, membuka pintu dengan rambut berantakan. Menatap ibu kost dengan mata setengah mengantuk.
"Ada Andra, In," kata Ibu kost lembut tapi bagai lonceng besar yang membangunkanku sepenuhnya.
Andra? Bukannya dia sedang... Buru-buru aku menoleh ke pintu. Andra berdiri di depan pintu dengan seragam kerjanya. Masih lengkap. Astaghfirullah. Jam berapa sekarang?
Kulirik jam dinding. Pukul 00.18 waktu tengah malam!
Bergegas aku keluar. "Loh bukannya Kakak lagi tugas ke Bontang? Udah selesai?" tanyaku sambil mendekatinya. Ia masih mengenakan seragam kerja yang dibungkus dengan jaket hitam. Dari pintu, aku melirik ke halaman. Ada ranger warna putih terparkir di sana.
Tapi Andra tak menjawab, ia hanya menatapku. Tepatnya, melihatku setiap jengkal wajahku, seperti mencari-cari sesuatu.
"Siapa itu Pak Arzi, In?" tanyanya langsung dengan mata yang menatap tajam.
"Temanku, Kak!" jawabku tanpa ragu. "Ada apa sih, Kak? Kakak kenapa?" tanyaku lagi.
Andra masih menatapku sebelum akhirnya ia memelukku. Erat sekali, hingga aku sedikit merasa kesakitan. Kudorong lembut dadanya untuk melepaskan diri. Tapi ia tak bergeming.
"Kak?"
"Aku menyayangimu, Inka. Sangat sayang sama kamu. Tolong jangan tinggalkan saya! Saya bersedia melakukan apapun demi kamu. Asal kamu jangan pernah ninggalin saya."
Aku masih tak mengerti. Tapi kuanggukkan kepala. Dada Andra yang tadinya sedikit tersengal, terasa lebih tenang setelah ia merasakan anggukan kepalaku di dadanya.
"Kakak kenapa? Datang-datang kok begini?" tanyaku lembut. Sekali lagi mencoba mendorong, tapi percuma.
Dada Andra terangkat lagi. Ia menarik napas. "Mulai besok, kamu jangan dekat-dekat dengan Pak Arzi lagi ya, Inka!"
Agar berhasil, kali ini aku mendorongnya sekuat tenaga. Berhasil. Andra melepaskan pelukannya. Aku harus melakukannya, supaya bisa melihat wajah Andra. Aku ingin menjelaskan semuanya.
"Pak Arzi itu temanku, Kak. Dia juga tahu kalau aku udah punya pacar. Kami memang dekat. Tapi bersentuhan juga gak pernah kok. Please deh, Kak. Gak usah terlalu cemburu sama dia. Gak pantas Kakak cemburu sama Pak Arzi. Gak mungkin juga aku sama dia. Usia kami kan beda jauh. Apalagi aku kan cintanya sama Kakak, bukan dia."
"Tapi kalian terlalu sering ketemu!" balas Andra dengan wajah mulai memerah.
"Itu karena aku dan dia ada urusan kerja, Kak!"
"Tapi kalian ketemu bahkan di luar jam kerja! Rumahnya dekat sini, kan? Banyak yang bilang kamu dan dia bahkan makan malam bersama." Andra terus mencecarku.
"Kak, aku sering makan malam dengan banyak orang. Kadang berdua, kadang rame-rame. Kakak sendiri tahu itu! Kenapa sekarang dimasalahin sih? Apa karena sekarang aku pacaran sama Kakak, aku gak boleh makan atau jalan sama orang lain meski mereka itu teman-temanku? Aku pacarmu, Kak. Bukan tahanan!"
"Tapi kalian terlalu dekat!" kata Andra semakin ngotot.
Aku menatap Andra dengan kabut air di mataku. "Dekat apanya? Aku sudah bilang, bersentuhan saja aku gak pernah, Kak. Bahkan... bahkan untuk melihatku seperti Kakak sekarang, Pak Arzi itu selalu menghindar. Dia bukan kayak kita, Kak. Beda!"
Andra menatapku nanar. "Kamu membelanya, In?" gumamnya lirih.
Aku menghembuskan napas. Sebelum Andra datang, aku baru tidur beberapa menit. Tubuhku lelah sekali dan ia datang hanya untuk menunjukkan kecemburuan yang tidak berdasar. Saat ini aku bahkan tak berniat untuk bicara padanya. Terlalu melelahkan.
"Terserah Kak Andra kalo gak percaya. Itu bukan urusanku. Kalo Kak Andra cuma mau marah-marah, sebaiknya nunggu besok aja. Udah malam. Gak enak sama orang rumah. Pulanglah!"
Andra menatapku. Aku sempat melihatnya mengedarkan pandangan sebelum dengan cepat ingin memelukku. Tapi belum sempat ia melakukannya, aku mundur menjauh. Ia mendekat lagi, dan aku mundur lagi.
"Kenapa, In? Saya kangen sama kamu," gumam Andra. Tatapannya berubah memelas.
Aku terdiam. Tak tahu harus bagaimana menjelaskan. Tiba-tiba aku teringat kata-kata Arzi soal nafsu dalam berpacaran. Jujur aku juga tak ingin hubunganku dikotori hal-hal yang berhubungan dengan setan. Aku ingin cinta yang benar-benar menyatukan aku dan Andra. Tapi bisakah Andra memahaminya kalau aku menjelaskan semua itu? Andra jauh lebih sering menjalankan sholat dibandingkan aku. Apa pikirnya kalau tiba-tiba aku mengatakan hal itu?
"Saya ke sini hanya untuk kamu, In. Setelah ini saya harus langsung kembali ke Bontang. Kamu tahu berapa lama saya harus bolak-balik hanya untuk ketemu kamu, kan? Apa kamu gak rindu sama saya?" tanya Andra setengah mengeluh.
Aku termangu. Tentu saja aku juga kangen padanya. Tapi hatiku kecewa. Kecemburuan Andra pada Arzi telah melukai hatiku. Kecemburuan yang membuatku mengerti kalau Andra tak sepenuhnya mempercayaiku. Untuk apa cinta jika tak ada rasa percaya?
"Aku sedang gak ingin, Kak. Aku perlu waktu. Maaf kalau aku bikin Kakak kecewa. Tapi... pulanglah! Aku gak enak sama ibu, dan tetangga. Kakak datang malam-malam begini, gak pantas. Tolonglah!" kataku pelan. Kuatir terlalu keras dan membangunkan yang lain.
Sekali lagi Andra menatapku. Aku melihat kecewa dan sedih campur aduk dalam sinar matanya yang redup. Aku tahu, aku penyebabnya.
Andra mengangguk kecil. Lalu ia mengeluarkan sesuatu dari dalam jaket. Karena aku tak bergeming mendekatinya, ia meletakkan benda yang ia pegang itu ke atas meja tamu. Sebuah kotak putih dengan pita biru tua.
"Saya akan ke Jakarta besok pagi. Tadinya saya mau ngasih ini sepulang dari sana. Tapi sudahlah... terserah kamu mau diapakan," kata Andra lesu.
Aku memperhatikan kotak itu sebelum mengambilnya. Aku tak membukanya, hanya mengikuti langkah Andra yang sedang berjalan keluar, tetap menjaga jarak.
Sesaat sebelum Andra menuruni tangga, sekali lagi ia menoleh. "Saya mencintaimu, Inka. Selalu. Dan itu yang bikin saya takut kehilangan kamu."
Kata-kata itu terdengar tulus. Aku mempercayainya. Jadi aku mengangguk. "Aku juga, Kak Andra. Selamat bekerja, ya. Jangan marah lagi! Aku gak akan pernah mengkhianati cinta Kakak."
Aku berdiri cukup lama, hingga mobil Andra tak lagi terlihat. Setelah itu, aku duduk di teras sambil menatap kotak yang terbuka itu.
Sebuah gelang.
Bentuknya sangat cantik. Aku menyukainya begitu melihatnya. Mendadak timbul penyesalan dalam hatiku.
Pekerjaan Andra tidak sama sepertiku. Ia bekerja menggunakan tenaga dan pikiran sekaligus. Ia tak hanya dituntut untuk mampu memimpin, berpikir cepat, tanggap terhadap situasi, tapi juga kadang-kadang harus turun tangan bekerja di lapangan. Turun naik kapal besar dari speedboat atau sebaliknya, naik mobil dalam situasi jalan yang tak selalu mulus dan menempuh ratusan kilometer, bahkan terkadang harus berjalan kaki di tengah panas terik atau hujan deras hanya untuk mengambil sampel. Belum lagi ia harus bekerja di laboratorium menyiapkan laporan, memeriksa sambil berdiri hingga hitungan jam saja tak terasa. Belum lagi menghadapi bahaya racun dari zat-zat kimia yang menjadi bagian dari pekerjaannya.
Dan apa yang kulakukan saat ia jauh-jauh datang sepulang kerja? Jarak Sangatta Bontang itu 2 jam perjalanan melewati hutan. Kalau ia harus kembali lagi, berarti total 4 jam ia habiskan hanya untuk bertemu denganku. Saat ia datang pun tadi, kami hanya bertengkar.
Padahal wajar kalau Andra marah. Ia mungkin lelah. Ia mungkin mendapat berita yang berlebihan hingga tak lagi bisa menggunakan akal sehatnya. Ia mungkin terlalu kuatir pada hubungan kami yang masih baru, hingga ia pun meledak marah.
Harusnya aku memahami itu. Toh, aku hanya manusia biasa. Berdosa atau tidak, aku harusnya menjelaskan dengan lebih baik mengapa aku tak mau menyentuh Andra. Ia pasti bisa mengerti. Andra yang kukenal adalah pria yang selalu mendengarkanku.
Tergesa, aku berlari ke kamar. Menghubungi nomor telepon kamar Andra. Dua kali tersambung, tapi tak ada yang menjawab. Aku ingat kalau tadi Andra bilang akan langsung kembali ke Bontang. Maka kucari nomor telepon rumahnya di Bontang.
"Halo? Siapa ini?" Terdengar suara seorang wanita. Setengah mengantuk.
Aku meneguk liur. "Maaf sudah menelpon malam-malam begini, Bu. Saya Inka. Begini... Saya dari Sangatta. Bisa titip pesan untuk Kak Andra?"
"Eh, siapa? Inka? Inka... oh iya, Inka. Andra kan lagi ke Sangatta, Nak. Ditunggu aja! Katanya dia mau ketemu kamu."
"Mmm... tadi udah Bu. Barusan Kak Andra pulang lagi."
"Oh, syukurlah kalo kamu sudah ketemu dia. Alhamdulillah. Ini ibunya Andra, In. Senang bisa dengar suaramu, Nak."
"Iya, Bu. Sama-sama. Inka juga senang bisa kenal Ibu."
"Inka nelpon nyari Andra ada apa? Ada yang kelupaan?"
"Iya Bu, Inka tadi lupa mau ngomongin sesuatu sama Kak Andra. Bisa minta tolong disampein ke Kak Andra, Bu? Inka pengen bicara sama Kak Andra. Lewat telepon juga gapapa. Sekalian pengen tahu Kak Andra sudah sampai atau belum."
"Oooh, pasti, pasti. Nanti Ibu sampaikan ya, In. Jangan kuatir! Begitu dia sampai rumah, ibu suruh nelepon kamu."
"Makasih banyak ya, Bu. Makasih banget."
"Iya, Sayang. Sama-sama. Lain kali kalo gak sibuk, main-main ke rumah ya! Ibu pengen ketemu kamu."
"Baik, Bu."
Telepon berakhir. Dan senyumku sudah merekah lebar. Tak menyangka kalau calon ibu mertuaku begitu ramah. Ia bahkan sudah tahu soal aku dan Andra. Senangnya mendapat restu bahkan sebelum kami bertemu.
Tapi Andra tak menghubungiku lagi. Ia mungkin lupa.
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments
Langitⁿʲᵘˢ⋆⃝🌈N⃟ʲᵃᵃ࿐
atau terlanjur kecewa
2022-11-15
0
merry sengkey
aku tdk tega memilih andra atau azri thor..kamu buat aku bingung..
2022-02-13
0
mamih
novel yg jauh dr kata CEO ceoooo
2021-09-05
0