Dua hari sebelum tanggal 8 April 1998...
"So, did you cancel it? (Jadi, kamu batalin?)" tanya Hans tak percaya.
Hari Rabu nanti adalah hari ulang tahunku, tapi sebelumnya aku sudah sempat menyewa restoran di hari Minggu pekan yang sama sebagai kejutan. Kini itu sudah tak penting lagi.
Aku mengangguk, tapi tak berani menatapnya. Tetap mengetik sambil menatap monitor komputer lekat-lekat. Aku kuatir perasaanku terbaca oleh tatapan berpengalaman itu.
"Is that something wrong, In? (Apa ada masalah, In?)"
"No, Hans. I... I just want to celebrate it... in another way, (Tidak, Hans. Saya... saya hanya ingin merayakannya... dengan cara lain)" jawabku beralasan. Masih tak berani mengangkat wajah.
"What way? (Cara apa?)" desak Hans.
Sulit berbohong saat menghadapi boss yang selalu satu ruangan kerja dan meski tak bisa memahami bahasa ibu sekretarisnya, tapi sangat pandai membaca bahasa tubuh ini. Sulit sekali menyembunyikan fakta bahwa aku membatalkan rencana pesta ulang tahunku yang tinggal beberapa hari lagi karena alasan sederhana. Aku tak ingin Hans tahu, lalu mengasihani aku. Gengsi. Ini pertama kalinya aku merasakan penolakan.
"Because that man doesn't want to come or you just find another man and not sure which one you'll choose? (Sebab cowok itu tak mau datang atau kamu udah nemu pria lain dan tak yakin mana pilihanmu?)" tebak Hans dengan nada jenaka.
Aku jadi geli sendiri. Dasar nih orangtua! Ikut campur aja urusan anak muda.
Aku memutar kursi dan kini berani menatap Hans. Percuma menyembunyikan darinya. Ia takkan mau menyerah membahas masalah yang satu ini, sebelum aku berterus terang.
"No, Pak. I was rejected. I know what his answer is now. Your pretty secretary still feel hurt because of that. So, can you please not talk about this? (Tidak, Pak! Saya ditolak. Saya sudah tahu jawabannya. Sekretaris cantikmu ini masih merasa sakit hati karena itu. Jadi, bisakah Anda tidak membicarakan hal ini?)"
Hans termangu lalu berjalan ke kursinya sendiri. Duduk dan memandangiku. Aku tak mengerti maksud tatapannya itu. Tapi aku memilih menghela nafas. Lega juga bisa terus terang.
"He rejected you? Are you sure, Inka Nurhayati? (Ia menolakmu? Kamu yakin, Inka Nurhayati?)"
Kutatap Hans dengan lesu, mengangguk pelan.
"How did you know that? Did he say it to you directly? (Gimana kamu tahu itu? Apa dia ngomong langsung?)" tanya Hans lagi.
Rupanya Hans juga salah paham pada sikap Andra selama ini. Mereka memang telah berkali-kali bertemu. Tidak hanya saat kami bertiga bertemu secara kebetulan, tapi beberapa kali Andra dan Hans bertemu dalam urusan pekerjaan. Tiap kali mereka bertemu, Hans atau Andra selalu cerita padaku.
"I heard when he talked to our friend. (Saya dengar dia bicara dengan teman kami)" jawabku ringan.
Hans menepuk tangannya, membuat aku terlonjak. "That's why, In! You should ask him directly. We don't know what happen. Maybe he mentioned another girl, or... or maybe... he just lil bit shy and saying that word to keep his feeling secret. He isn't like you, In. He's an introvert like me... (Itu dia, In! Kamu harusnya nanya ke dia langsung. Kita gak tahu apa yang terjadi. Mungkin dia maksud itu cewek lain, atau... atau mungkin... dia hanya sedikit malu dan ngomong begitu untuk menjaga rahasia hatinya. Dia gak kayak kamu. Dia introvert kayak saya...)"
Mmm... introvert. Pak Hans tipe introvert? Aku jadi ingin tertawa, tapi begitulah bossku yang unik ini. Suka menilai dirinya semaunya. Tipikal orang asing yang punya tingkat kepercayaan diri di atas rata-rata.
Tapi kata-kata Hans membuat aku terdiam. Berpikir sekali lagi. Itu mungkin saja. Tapi apa aku berani mengambil resiko ditolak dua kali? Mengatakan mungkin mudah, merencanakan juga, cuma untuk melakukannya, aku masih sangat ragu-ragu.
"So, do you still want to cancel your plan? (Jadi, kamu masih ingin batalin rencanamu)" tanya Hans.
Sekali lagi aku menghela nafas. Tanpa berkata apapun, aku mengangguk.
"Or do you need me to ask him about you, In? I’ll be glad to help you (Atau apa kau butuh saya untuk nanya ke dia tentang kamu, In? Saya seneng bisa bantuin kamu.)"
"Nooo, Hans. Nooo!" teriakku tanpa sadar. Wajahku seketika membias. Melihat responku, Hans tertawa terbahak-bahak.
Itu katanya introvert? In to other person business (ikut campur urusan orang lain) lebih tepatnya.
Entah terpengaruh oleh saran Hans atau tidak, sore itu aku menelepon kantor Andra. Tentu saja saat Hans sedang tidak ada. Sekretaris kantor Andra yang menjawab, Lestari. Setelah membalas sapaan Tari, begitu aku memanggilnya, gadis baik hati itu langsung mengenali suaraku.
"Ini Inka ya?"
"Siapa nih? Kak Tari?" tebakku.
"Iya, Sayang. Apa kabar? Udah lama gak ke sini. Katanya kamu baru sembuh ya?" Suara Tari terdengar riang.
"Iya, Kak. Baru tiga hari kerja nih."
"Oooh, berapa hari dirawat Dek? Kok Kak Tari ke sana kamu udah pulang?" tanyanya dengan suara khasnya yang lembut.
"Semalam aja Kak, hanya capek. Habis ikut nyemen di tambang," jawabku sambil tertawa.
"Duh ya Allah, anak cewek tomboy satu ini. Udah, kek gitu-gitu serahin ke para lelaki aja."
Aku tertawa geli. "Hahaha, asyik kok Kak. Inka emang seneng aja."
"Iya tapi kamu bikin si bapak stress tuh. Kita kebagian gak enaknya nih! Salah melulu. Entar yang kuat jadi bininya ya In. Kakak yakin entar-entar kamu gak boleh kerja deh. Dikurung aja dalam rumah. Jadi hiasan dinding. Yakin deh!"
"Maksud Kakak? Si Bapak itu... "
"Yeee siapa lagi? Ya Pak Andra-lah!"
Tanganku mempererat gagang telpon. Tari memang tak seperti Yudi atau Tamrin yang cukup ber-lo-gue dengan Andra. Entah mengapa, Tari juga teman-teman Andra yang lain selalu menyampirkan namanya dengan sebutan 'Bapak'. Mungkin karena Andra selalu menjaga jarak dengan mereka. Makanya sekarang aku agak kaget mendengar kali ini Tari sedikit berani bercanda tentang Andra. Tentang sesuatu yang tak mungkin.
"Eh iya, tadi nelpon mau apa, In? Sampe lupa nanya," tanya Tari buru-buru.
"Mau ngomong sama Kak Andra aja, Kak!" jawabku tenang. Sudah Inka, jangan diambil hati! Itu hanya candaan.
"Aduh, Pak Andra lagi meeting, In. Entar saya info ke dia aja ya. Gimana?"
"Ya udah, Kak. Gak papa. Info aja Inka tadi telepon. Udah ya, Kak! Makasih banyak loh."
"Sama-sama, Inka cantik.... eeeeh... tunggu sebentar! Ka! Ka! Tunggu sebentar!" Suara Tari terdengar panik. Lalu aku tak mendengar apa-apa selama beberapa detik. Tiba-tiba...
"Ka... Ini Andra. Kamu kenapa? Kamu baik-baik saja?" Suara berat sedikit serak terdengar menyapu telingaku.
Aku meneguk liur. Ya ampun, bahkan suaranya saja terasa menggetarkan seluruh hatiku. Mana tadi keinginan untuk melupakannya? Mana tadi keinginan untuk menjaga perasaanku sekarang? Seperti ini saja sudah membuatku merasa ingin menangis. Ternyata sulit sekali mengikhlaskan seseorang yang kita cintai.
"Inka? Halo? Halo?"
Kuhembuskan nafas kuat-kuat sebelum menjawab, "Iya, Kak. Ini Inka."
"Ada apa?" tanya Andra cepat.
"Bukannya Kak Andra lagi meeting?"
"Udaah, ada apa? Kamu mau apa tadi?"
Aku terdiam. Didesak seperti ini ya tentu saja aku bingung. Tadi aku memang tak bermaksud apa-apa. Hanya ingin bicara saja. Tidak ada yang penting. Tapi, mendengar suara Andra yang lebih mirip seperti orang panik, aku jadi tidak enak. Bisa-bisanya aku mengganggu orang lain bekerja. Aku saja tidak suka diganggu saat sedang bekerja, apalagi Andra yang menjadi orang kedua di kantor cabangnya.
Tapi... aku teringat sesuatu. Ingat petunjuk 'cinta' ala Guruh, salah satu Supervisor senior di kantor. Pria beristri yang kekasih gelapnya di mana-mana itu. Katanya, untuk menguji cinta seseorang tinggal minta dia melakukan sesuatu yang berat untuk dilakukan. Berat bukan cara melakukannya. Tapi karena ia harus memilih.
Sekarang Andra pasti sangat sibuk. Dan aku tahu benar apa arti meeting di sore hari begini untuknya. Entah mengapa, tiba-tiba saja pikiran iseng itu muncul. Aku tak perlu bertanya tentang perasaannya padaku. Cukup ini saja. Please, ya Allah... tunjukkan sama Inka!
"Inka pengen dijemput, pengen makan sama Kak Andra," jawabku sambil menahan agar nada suaraku tak bergetar dan terkesan terburu-buru.
"Sekarang?" tanya Andra. Mungkin bingung. Aku tak pernah melakukan ini sebelumnya.
"Iya sekarang! Inka maunya sekarang," kataku lagi menegaskan.
Kukira aku akan mendengar alasannya. Kukira aku akan mendengar permintaan maafnya.
"Hmm... ya udah ya! Klik!"
Sudah begitu saja? Tidak ada penolakan. Tidak juga mengiyakan. Maksudnya apa? Sudah apa? Kenapa telponnya malah diputus?
Sekarang malah aku makin bertanya-tanya. Ini maksudnya apa sih? Bagaimana aku menjabarkan maksud dari sikap seperti ini?
Sejak ia mengantarku pulang dari klinik, aku dan dia belum pernah bertemu lagi. Hitung-hitung sudah lebih dari seminggu. Teleponku dua kali berdering malam setelah aku pulang, tapi malah kutarik kabelnya agar tak lagi berbunyi.
Selama proses penyembuhan, aku memilih berlibur ke Bontang, kota tetangga. Berjarak dua jam perjalanan dari Sangatta. Di sana aku menginap di hotel, makan, belanja dan jalan-jalan, lalu tidur sesuka hati. Selama tiga hari, aku menghindari dunia kerja, termasuk Andra.
Aku tahu banyak orang mencariku. Tapi kecuali Hans dan orangtuaku, aku tak memberitahu siapapun. Setelah pulang dijemput Hans yang juga memilih ke Balikpapan setelah aku meminta cuti, aku menerima laporan dari ibu kost kalau dari sekian banyak yang datang, Andra dan Dirga-lah yang paling sering datang.
Kalau ia mencariku begitu sering, kenapa untuk permintaan semudah itu saja Andra tak bisa dan malah menutup telpon? Atau sekedar bilang sorry I can't aja kok susah banget sih. Aku benar-benar kesal dibuatnya.
Tadi aku memang sudah menyiapkan hatiku, Tetap saja ada rasa kesal menggumpal di dada. Ditolak seperti itu jauh lebih menyakitkan dan memalukan. Maksud hati hendak menguji perasaannya padaku, malah hatiku yang galau teraduk tak karuan.
Kulempar buku catatan yang habis kucoret-coret saat menelpon. Hatiku jadi makin panas. Aku perlu sesuatu untuk mengalihkan perasaan ini sebelum meledak.
Main basket!
Ya, lebih baik aku main basket di belakang. Badan yang lelah akan membantuku melupakan rasa malu ini, juga menghilangkan bayangan wajahnya yang seperti menempel di otakku.
Rasanya belum lama aku bermain, melemparkan bola basket asal-asalan, tapi keringatku sudah meluncur membasahi kemeja katun yang kukenakan. Kondisiku belum fit benar rupanya. Tapi sudahlah, aku bisa mandi di kantor dulu sebelum pulang. Selalu ada banyak baju cadangan di loker pribadiku. Yang penting aku tak lagi merasa kesal. Tak ada gunanya menyimpan kesal pada orang yang justru tak memikirkanku.
"Be careful when a girl is angry, Gur. She can kill by her looks! (Hati-hati sama cewek yg marah, Gur. Dia bisa membunuh dengan penampilannya!)"
Suara Hans ditingkahi tawa Guruh, membuat aku berhenti bermain. Menoleh pada dua pria jangkung yang mendatangiku. Mereka baru kembali dari meeting dengan klien. Dua pria playboy kelas kakap sedang menatapku dengan geli.
"When a girl is angry, she can do this even to her boss! (Kalo seorang gadis sedang marah, dia bisa melakukan ini bahkan pada bossnya!)" kataku sambil melempar sekuat tenaga bola basket ke arah Hans.
Bukannya menghindar, Hans malah menangkap bolaku dan itu membuat tasnya terayun-ayun di pundaknya. Tawanya makin lebar. Setelah menangkap bola, ia meletakkan tasnya begitu saja di dekat dinding kantor dan mendekatiku. Melemparkan bola. Tembakannya tepat! Masuk ke jaring dengan mudah.
Guruh tak mau kalah, ia juga meletakkan dokumen yang ia pegang di dekat tas Hans. Menyusulnya, ikut menghadang diriku yang kini sudah memegang bola lagi.
Dua pria setinggi 170 dan 172 cm menghadang gadis setinggi 157 cm, tentu saja itu mudah bagi mereka. Sekali tangkap, salah satu dari tangan-tangan panjang itu berhasil merebut bola. Kini, mereka seperti bertanding sendiri dan aku lebih mirip wasit yang sedang mengawasi. Tapi kalah tak ada dalam kamusku. Apalagi ini basket. Bukan tinggi badan saja yang penting, taktik juga penting.
Kepalaku sibuk bergerak mengikuti arah bola, mencari kesempatan ketika keduanya saling berebut. Saat mereka lengah, aku menyelip di antara keduanya dan berhasil... bola berpindah padaku dengan mudah. Saat Hans melongo, dan Pak Guruh menangkap angin, aku sudah berhasil melemparkan bola masuk ke jaringnya.
"Yesss!!" pekikku girang. Kedua tangannya mengacung tinggi. Dengan senyuman lebar, aku menoleh pada dua pria itu, melemparkan tatapan mengejek.
"Oooh, come on! I am an old man, Young lady! I can't defeat you!" kilah Hans sambil membentangkan kedua tangannya.
"Oooh, come on! I am a short lady, Old man! I can defeat you!" ejekku sambil bergerak menuju pintu kantor. Hans mengikutiku sementara Guruh mengumpulkan tas dan dokumen yang dibiarkan berserakan tadi untuk membawanya masuk.
Permainan berakhir. Aku juga sudah lelah. Lebih lama bermain, Hans dan Guruh pasti sangat bisa mengalahkanku, dan aku kehilangan bahan untuk mengejek mereka.
Tepat saat aku membuka pintu, hampir saja aku menabrak seseorang. Ratih, asistenku. Ia tampak lega melihatku.
"Inka, ada yang nyari tuh! Penting katanya!" ucapnya cepat.
"Siapa?" tanyaku santai sambil meraih handuk kecil yang tadi kusampirkan di kursi dekat pintu masuk. Sengaja kutaruh di situ sebelum main basket. Sekedar mengelap keringat di dahi dan wajahku sebelum mandi.
"Itu!" Ratih menunjukkan ke satu arah. Mataku mengikutinya.
Di dekat sofa tamu lobby kantor, seseorang sedang berdiri menatapku lekat. Ada tanda tanya di sorot matanya saat melihat penampilanku yang sudah berantakan.
Handuk di tanganku terlepas tanpa kusadari.
Dia... Andra!
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments
adisty aulia
Suka alur ceritanya, ...
Mencintai dalam diam...😢😢😢
berasa ikutan main basket 😚😚😚
2021-12-14
0
Annisa Rahma
suka banget aku ama ceritanya... ka Iin the best lah... berkali kali baca gak ada bosennya... one of my fave novel... 👍👍👍👍👍❤❤❤❤❤❤
2021-11-23
2
Dwi Alviana
ne novel campur makin pusing bacanya q thorr 😂😂hadeh maklum liat bahasa inggriss dr dlu g bss
2021-10-05
0