Episode 7 - Apa Aku Penting Baginya?

Dua hari sebelum tanggal 8 April 1998...

"So, did you cancel it? (Jadi, kamu batalin?)" tanya Hans tak percaya.

Hari Rabu nanti adalah hari ulang tahunku, tapi sebelumnya aku sudah sempat menyewa restoran di hari Minggu pekan yang sama sebagai kejutan. Kini itu sudah tak penting lagi.

Aku mengangguk, tapi tak berani menatapnya. Tetap mengetik sambil menatap monitor komputer lekat-lekat. Aku kuatir perasaanku terbaca oleh tatapan berpengalaman itu.

"Is that something wrong, In? (Apa ada masalah, In?)"

"No, Hans. I... I just want to celebrate it... in another way, (Tidak, Hans. Saya... saya hanya ingin merayakannya... dengan cara lain)" jawabku beralasan. Masih tak berani mengangkat wajah.

"What way? (Cara apa?)" desak Hans.

Sulit berbohong saat menghadapi boss yang selalu satu ruangan kerja dan meski tak bisa memahami bahasa ibu sekretarisnya, tapi sangat pandai membaca bahasa tubuh ini. Sulit sekali menyembunyikan fakta bahwa aku membatalkan rencana pesta ulang tahunku yang tinggal beberapa hari lagi karena alasan sederhana. Aku tak ingin Hans tahu, lalu mengasihani aku. Gengsi. Ini pertama kalinya aku merasakan penolakan.

"Because that man doesn't want to come or you just find another man and not sure which one you'll choose? (Sebab cowok itu tak mau datang atau kamu udah nemu pria lain dan tak yakin mana pilihanmu?)" tebak Hans dengan nada jenaka.

Aku jadi geli sendiri. Dasar nih orangtua! Ikut campur aja urusan anak muda.

Aku memutar kursi dan kini berani menatap Hans. Percuma menyembunyikan darinya. Ia takkan mau menyerah membahas masalah yang satu ini, sebelum aku berterus terang.

"No, Pak. I was rejected. I know what his answer is now. Your pretty secretary still feel hurt because of that. So, can you please not talk about this? (Tidak, Pak! Saya ditolak. Saya sudah tahu jawabannya. Sekretaris cantikmu ini masih merasa sakit hati karena itu. Jadi, bisakah Anda tidak membicarakan hal ini?)"

Hans termangu lalu berjalan ke kursinya sendiri. Duduk dan memandangiku. Aku tak mengerti maksud tatapannya itu. Tapi aku memilih menghela nafas. Lega juga bisa terus terang.

"He rejected you? Are you sure, Inka Nurhayati? (Ia menolakmu? Kamu yakin, Inka Nurhayati?)"

Kutatap Hans dengan lesu, mengangguk pelan.

"How did you know that? Did he say it to you directly? (Gimana kamu tahu itu? Apa dia ngomong langsung?)" tanya Hans lagi.

Rupanya Hans juga salah paham pada sikap Andra selama ini. Mereka memang telah berkali-kali bertemu. Tidak hanya saat kami bertiga bertemu secara kebetulan, tapi beberapa kali Andra dan Hans bertemu dalam urusan pekerjaan. Tiap kali mereka bertemu, Hans atau Andra selalu cerita padaku.

"I heard when he talked to our friend. (Saya dengar dia bicara dengan teman kami)" jawabku ringan.

Hans menepuk tangannya, membuat aku terlonjak. "That's why, In! You should ask him directly. We don't know what happen. Maybe he mentioned another girl, or... or maybe... he just lil bit shy and saying that word to keep his feeling secret. He isn't like you, In. He's an introvert like me... (Itu dia, In! Kamu harusnya nanya ke dia langsung. Kita gak tahu apa yang terjadi. Mungkin dia maksud itu cewek lain, atau... atau mungkin... dia hanya sedikit malu dan ngomong begitu untuk menjaga rahasia hatinya. Dia gak kayak kamu. Dia introvert kayak saya...)"

Mmm... introvert. Pak Hans tipe introvert? Aku jadi ingin tertawa, tapi begitulah bossku yang unik ini. Suka menilai dirinya semaunya. Tipikal orang asing yang punya tingkat kepercayaan diri di atas rata-rata.

Tapi kata-kata Hans membuat aku terdiam. Berpikir sekali lagi. Itu mungkin saja. Tapi apa aku berani mengambil resiko ditolak dua kali? Mengatakan mungkin mudah, merencanakan juga, cuma untuk melakukannya, aku masih sangat ragu-ragu.

"So, do you still want to cancel your plan? (Jadi, kamu masih ingin batalin rencanamu)" tanya Hans.

Sekali lagi aku menghela nafas. Tanpa berkata apapun, aku mengangguk.

"Or do you need me to ask him about you, In? I’ll be glad to help you (Atau apa kau butuh saya untuk nanya ke dia tentang kamu, In? Saya seneng bisa bantuin kamu.)"

"Nooo, Hans. Nooo!" teriakku tanpa sadar. Wajahku seketika membias. Melihat responku, Hans tertawa terbahak-bahak.

Itu katanya introvert? In to other person business (ikut campur urusan orang lain) lebih tepatnya.

Entah terpengaruh oleh saran Hans atau tidak, sore itu aku menelepon kantor Andra. Tentu saja saat Hans sedang tidak ada. Sekretaris kantor Andra yang menjawab, Lestari. Setelah membalas sapaan Tari, begitu aku memanggilnya, gadis baik hati itu langsung mengenali suaraku.

"Ini Inka ya?"

"Siapa nih? Kak Tari?" tebakku.

"Iya, Sayang. Apa kabar? Udah lama gak ke sini. Katanya kamu baru sembuh ya?" Suara Tari terdengar riang.

"Iya, Kak. Baru tiga hari kerja nih."

"Oooh, berapa hari dirawat Dek? Kok Kak Tari ke sana kamu udah pulang?" tanyanya dengan suara khasnya yang lembut.

"Semalam aja Kak, hanya capek. Habis ikut nyemen di tambang," jawabku sambil tertawa.

"Duh ya Allah, anak cewek tomboy satu ini. Udah, kek gitu-gitu serahin ke para lelaki aja."

Aku tertawa geli. "Hahaha, asyik kok Kak. Inka emang seneng aja."

"Iya tapi kamu bikin si bapak stress tuh. Kita kebagian gak enaknya nih! Salah melulu. Entar yang kuat jadi bininya ya In. Kakak yakin entar-entar kamu gak boleh kerja deh. Dikurung aja dalam rumah. Jadi hiasan dinding. Yakin deh!"

"Maksud Kakak? Si Bapak itu... "

"Yeee siapa lagi? Ya Pak Andra-lah!"

Tanganku mempererat gagang telpon. Tari memang tak seperti Yudi atau Tamrin yang cukup ber-lo-gue dengan Andra. Entah mengapa, Tari juga teman-teman Andra yang lain selalu menyampirkan namanya dengan sebutan 'Bapak'. Mungkin karena Andra selalu menjaga jarak dengan mereka. Makanya sekarang aku agak kaget mendengar kali ini Tari sedikit berani bercanda tentang Andra. Tentang sesuatu yang tak mungkin.

"Eh iya, tadi nelpon mau apa, In? Sampe lupa nanya," tanya Tari buru-buru.

"Mau ngomong sama Kak Andra aja, Kak!" jawabku tenang. Sudah Inka, jangan diambil hati! Itu hanya candaan.

"Aduh, Pak Andra lagi meeting, In. Entar saya info ke dia aja ya. Gimana?"

"Ya udah, Kak. Gak papa. Info aja Inka tadi telepon. Udah ya, Kak! Makasih banyak loh."

"Sama-sama, Inka cantik.... eeeeh... tunggu sebentar! Ka! Ka! Tunggu sebentar!" Suara Tari terdengar panik. Lalu aku tak mendengar apa-apa selama beberapa detik. Tiba-tiba...

"Ka... Ini Andra. Kamu kenapa? Kamu baik-baik saja?" Suara berat sedikit serak terdengar menyapu telingaku.

Aku meneguk liur. Ya ampun, bahkan suaranya saja terasa menggetarkan seluruh hatiku. Mana tadi keinginan untuk melupakannya? Mana tadi keinginan untuk menjaga perasaanku sekarang? Seperti ini saja sudah membuatku merasa ingin menangis. Ternyata sulit sekali mengikhlaskan seseorang yang kita cintai.

"Inka? Halo? Halo?"

Kuhembuskan nafas kuat-kuat sebelum menjawab, "Iya, Kak. Ini Inka."

"Ada apa?" tanya Andra cepat.

"Bukannya Kak Andra lagi meeting?"

"Udaah, ada apa? Kamu mau apa tadi?"

Aku terdiam. Didesak seperti ini ya tentu saja aku bingung. Tadi aku memang tak bermaksud apa-apa. Hanya ingin bicara saja. Tidak ada yang penting. Tapi, mendengar suara Andra yang lebih mirip seperti orang panik, aku jadi tidak enak. Bisa-bisanya aku mengganggu orang lain bekerja. Aku saja tidak suka diganggu saat sedang bekerja, apalagi Andra yang menjadi orang kedua di kantor cabangnya.

Tapi... aku teringat sesuatu. Ingat petunjuk 'cinta' ala Guruh, salah satu Supervisor senior di kantor. Pria beristri yang kekasih gelapnya di mana-mana itu. Katanya, untuk menguji cinta seseorang tinggal minta dia melakukan sesuatu yang berat untuk dilakukan. Berat bukan cara melakukannya. Tapi karena ia harus memilih.

Sekarang Andra pasti sangat sibuk. Dan aku tahu benar apa arti meeting di sore hari begini untuknya. Entah mengapa, tiba-tiba saja pikiran iseng itu muncul. Aku tak perlu bertanya tentang perasaannya padaku. Cukup ini saja. Please, ya Allah... tunjukkan sama Inka!

"Inka pengen dijemput, pengen makan sama Kak Andra," jawabku sambil menahan agar nada suaraku tak bergetar dan terkesan terburu-buru.

"Sekarang?" tanya Andra. Mungkin bingung. Aku tak pernah melakukan ini sebelumnya.

"Iya sekarang! Inka maunya sekarang," kataku lagi menegaskan.

Kukira aku akan mendengar alasannya. Kukira aku akan mendengar permintaan maafnya.

"Hmm... ya udah ya! Klik!"

Sudah begitu saja? Tidak ada penolakan. Tidak juga mengiyakan. Maksudnya apa? Sudah apa? Kenapa telponnya malah diputus?

Sekarang malah aku makin bertanya-tanya. Ini maksudnya apa sih? Bagaimana aku menjabarkan maksud dari sikap seperti ini?

Sejak ia mengantarku pulang dari klinik, aku dan dia belum pernah bertemu lagi. Hitung-hitung sudah lebih dari seminggu. Teleponku dua kali berdering malam setelah aku pulang, tapi malah kutarik kabelnya agar tak lagi berbunyi.

Selama proses penyembuhan, aku memilih berlibur ke Bontang, kota tetangga. Berjarak dua jam perjalanan dari Sangatta. Di sana aku menginap di hotel, makan, belanja dan jalan-jalan, lalu tidur sesuka hati. Selama tiga hari, aku menghindari dunia kerja, termasuk Andra.

Aku tahu banyak orang mencariku. Tapi kecuali Hans dan orangtuaku, aku tak memberitahu siapapun. Setelah pulang dijemput Hans yang juga memilih ke Balikpapan setelah aku meminta cuti, aku menerima laporan dari ibu kost kalau dari sekian banyak yang datang, Andra dan Dirga-lah yang paling sering datang.

Kalau ia mencariku begitu sering, kenapa untuk permintaan semudah itu saja Andra tak bisa dan malah menutup telpon? Atau sekedar bilang sorry I can't aja kok susah banget sih. Aku benar-benar kesal dibuatnya.

Tadi aku memang sudah menyiapkan hatiku, Tetap saja ada rasa kesal menggumpal di dada. Ditolak seperti itu jauh lebih menyakitkan dan memalukan. Maksud hati hendak menguji perasaannya padaku, malah hatiku yang galau teraduk tak karuan.

Kulempar buku catatan yang habis kucoret-coret saat menelpon. Hatiku jadi makin panas. Aku perlu sesuatu untuk mengalihkan perasaan ini sebelum meledak.

Main basket!

Ya, lebih baik aku main basket di belakang. Badan yang lelah akan membantuku melupakan rasa malu ini, juga menghilangkan bayangan wajahnya yang seperti menempel di otakku.

Rasanya belum lama aku bermain, melemparkan bola basket asal-asalan, tapi keringatku sudah meluncur membasahi kemeja katun yang kukenakan. Kondisiku belum fit benar rupanya. Tapi sudahlah, aku bisa mandi di kantor dulu sebelum pulang. Selalu ada banyak baju cadangan di loker pribadiku. Yang penting aku tak lagi merasa kesal. Tak ada gunanya menyimpan kesal pada orang yang justru tak memikirkanku.

"Be careful when a girl is angry, Gur. She can kill by her looks! (Hati-hati sama cewek yg marah, Gur. Dia bisa membunuh dengan penampilannya!)"

Suara Hans ditingkahi tawa Guruh, membuat aku berhenti bermain. Menoleh pada dua pria jangkung yang mendatangiku. Mereka baru kembali dari meeting dengan klien. Dua pria playboy kelas kakap sedang menatapku dengan geli.

"When a girl is angry, she can do this even to her boss! (Kalo seorang gadis sedang marah, dia bisa melakukan ini bahkan pada bossnya!)" kataku sambil melempar sekuat tenaga bola basket ke arah Hans.

Bukannya menghindar, Hans malah menangkap bolaku dan itu membuat tasnya terayun-ayun di pundaknya. Tawanya makin lebar. Setelah menangkap bola, ia meletakkan tasnya begitu saja di dekat dinding kantor dan mendekatiku. Melemparkan bola. Tembakannya tepat! Masuk ke jaring dengan mudah.

Guruh tak mau kalah, ia juga meletakkan dokumen yang ia pegang di dekat tas Hans. Menyusulnya, ikut menghadang diriku yang kini sudah memegang bola lagi.

Dua pria setinggi 170 dan 172 cm menghadang gadis setinggi 157 cm, tentu saja itu mudah bagi mereka. Sekali tangkap, salah satu dari tangan-tangan panjang itu berhasil merebut bola. Kini, mereka seperti bertanding sendiri dan aku lebih mirip wasit yang sedang mengawasi. Tapi kalah tak ada dalam kamusku. Apalagi ini basket. Bukan tinggi badan saja yang penting, taktik juga penting.

Kepalaku sibuk bergerak mengikuti arah bola, mencari kesempatan ketika keduanya saling berebut. Saat mereka lengah, aku menyelip di antara keduanya dan berhasil... bola berpindah padaku dengan mudah. Saat Hans melongo, dan Pak Guruh menangkap angin, aku sudah berhasil melemparkan bola masuk ke jaringnya.

"Yesss!!" pekikku girang. Kedua tangannya mengacung tinggi. Dengan senyuman lebar, aku menoleh pada dua pria itu, melemparkan tatapan mengejek.

"Oooh, come on! I am an old man, Young lady! I can't defeat you!" kilah Hans sambil membentangkan kedua tangannya.

"Oooh, come on! I am a short lady, Old man! I can defeat you!" ejekku sambil bergerak menuju pintu kantor. Hans mengikutiku sementara Guruh mengumpulkan tas dan dokumen yang dibiarkan berserakan tadi untuk membawanya masuk.

Permainan berakhir. Aku juga sudah lelah. Lebih lama bermain, Hans dan Guruh pasti sangat bisa mengalahkanku, dan aku kehilangan bahan untuk mengejek mereka.

Tepat saat aku membuka pintu, hampir saja aku menabrak seseorang. Ratih, asistenku. Ia tampak lega melihatku.

"Inka, ada yang nyari tuh! Penting katanya!" ucapnya cepat.

"Siapa?" tanyaku santai sambil meraih handuk kecil yang tadi kusampirkan di kursi dekat pintu masuk. Sengaja kutaruh di situ sebelum main basket. Sekedar mengelap keringat di dahi dan wajahku sebelum mandi.

"Itu!" Ratih menunjukkan ke satu arah. Mataku mengikutinya.

Di dekat sofa tamu lobby kantor, seseorang sedang berdiri menatapku lekat. Ada tanda tanya di sorot matanya saat melihat penampilanku yang sudah berantakan.

Handuk di tanganku terlepas tanpa kusadari.

Dia... Andra!

***

Terpopuler

Comments

adisty aulia

adisty aulia

Suka alur ceritanya, ...
Mencintai dalam diam...😢😢😢
berasa ikutan main basket 😚😚😚

2021-12-14

0

Annisa Rahma

Annisa Rahma

suka banget aku ama ceritanya... ka Iin the best lah... berkali kali baca gak ada bosennya... one of my fave novel... 👍👍👍👍👍❤❤❤❤❤❤

2021-11-23

2

Dwi Alviana

Dwi Alviana

ne novel campur makin pusing bacanya q thorr 😂😂hadeh maklum liat bahasa inggriss dr dlu g bss

2021-10-05

0

lihat semua
Episodes
1 Episode 1 - Punggung Lelaki itu
2 Episode 2 - Di antara Pekerjaan
3 Episode 3 - Lingkaran Kehidupanku
4 Episode 4 - Suara Lelaki itu
5 Episode 5 - Pengunjung Tak Terduga
6 Episode 6 - Tanpa Siapapun
7 Episode 7 - Apa Aku Penting Baginya?
8 Episode 8 - Sulit Diucapkan, Sulit Ditanyakan
9 Episode 9 - Pengakuan
10 Episode 10 - Sejuta Rasa Cinta
11 Episode 11 - Kutukan Ulang Tahun
12 Episode 12 - Wajah Yang Menenangkan
13 Episode 13 - Hanya Seorang Teman
14 Episode 14 - Bukan Mahrom
15 Episode 15 - Antara Ratih dan Arzi
16 Episode 16 - Saat Menyenangkan Bersamanya
17 Episode 17 - Terlalu Banyak Pertanyaan
18 Episode 18 - Cemburu
19 Episode 19 - Perjalanan Singkat
20 Episode 20 - Lamarannya
21 Episode 21 - Debat
22 Episode 22 - Janji Kami
23 Episode 23 - Kenangan Masa Lalu
24 Episode 24 - Malam yang Menyenangkan
25 Episode 25 - Calon Keluarga atau Musuh
26 Episode 26 - Ikut Dia Selamanya
27 Episode 27 - Sisi Lain
28 Episode 28 - Lamaran Resmi
29 Episode 29 - Untuk Cinta Sejati
30 Episode 30 - Kemarahannya
31 Episode 31 - Hari-hari Penantian
32 Episode 32 - Berita Buruk
33 Episode 33 - Lebam
34 Episode 34 - Pengumuman
35 Episode 35 - Potongan Kenangan
36 Episode 36 - Undangan
37 Episode 37 - Perhatiannya
38 Episode 38 - Putus
39 Episode 39 - Malam yang Menakutkan
40 Episode 40 - 3 Lelaki: Cinta Tanpa Maaf
41 Episode 41 - Jatuh Cinta Tiap Hari
42 Episode 42 - Racun
43 Episode 43 - Hikmah Di Saat Sakit
44 Episode 44 - Hari Pernikahan
45 Episode 45 - Pengantin Bodoh
46 Episode 46 - Hidup yang Baru
47 Episode 47 - Seandainya
48 Episode 48 - Perjalanan ke Kampung
49 Episode 49 - Mertua
50 Episode 50 - Adik-adik yang Baru
51 Episode 51 - Anak Gembala
52 Episode 52 - Menjelang Pulang
53 Episode 53 - Waktu Untuk Menerima
54 Episode 54 - Rumah Masa Depan
55 Episode 55 - Di Antara Dua Agama
56 Episode 56 - Mengubah Desain
57 Episode 57 - Gadis Berkerudung Hijau
58 Episode 58 - Rumah Tangga
59 Episode 59 - Saatnya Bicara
60 Episode 60 - Selamat Tinggal, Sahabat!
61 Episode 61 - Kecurigaan
62 Episode 62 - Pertengkaran Pertama
63 Episode 63 - Berbaikan
64 Episode 64 - Perdebatan
65 Episode 65 - Kecelakaan Kerja
66 Episode 66 - Tamu Tengah Malam
67 Episode 67 - Kesayangan Allah
68 Episode 68 - Hadiah Dari Tammy
69 Episode 69 - Bukan Sebagai Beban
70 Episode 70 - Alasan Untuk Pindah
71 Episode 71 - Persiapan
72 Episode 72 - Terluka
73 Episode 73 - Di Antara Tragedi
74 Episode 74 - Memaafkan
75 Episode 75 - Berita Kehamilan
76 Episode 76 - Kunjungan
77 Episode 77 - Di Antara Penyesalan
78 Episode 78 - Dari Hati ke Hati
79 Episode 79 - Epilog (Andra) Janji Cinta Pertama
80 Episode 80 - Epilog (Andra) Bye, Love!
81 Preview - Welcome, Love!
82 Catatan Penulis
Episodes

Updated 82 Episodes

1
Episode 1 - Punggung Lelaki itu
2
Episode 2 - Di antara Pekerjaan
3
Episode 3 - Lingkaran Kehidupanku
4
Episode 4 - Suara Lelaki itu
5
Episode 5 - Pengunjung Tak Terduga
6
Episode 6 - Tanpa Siapapun
7
Episode 7 - Apa Aku Penting Baginya?
8
Episode 8 - Sulit Diucapkan, Sulit Ditanyakan
9
Episode 9 - Pengakuan
10
Episode 10 - Sejuta Rasa Cinta
11
Episode 11 - Kutukan Ulang Tahun
12
Episode 12 - Wajah Yang Menenangkan
13
Episode 13 - Hanya Seorang Teman
14
Episode 14 - Bukan Mahrom
15
Episode 15 - Antara Ratih dan Arzi
16
Episode 16 - Saat Menyenangkan Bersamanya
17
Episode 17 - Terlalu Banyak Pertanyaan
18
Episode 18 - Cemburu
19
Episode 19 - Perjalanan Singkat
20
Episode 20 - Lamarannya
21
Episode 21 - Debat
22
Episode 22 - Janji Kami
23
Episode 23 - Kenangan Masa Lalu
24
Episode 24 - Malam yang Menyenangkan
25
Episode 25 - Calon Keluarga atau Musuh
26
Episode 26 - Ikut Dia Selamanya
27
Episode 27 - Sisi Lain
28
Episode 28 - Lamaran Resmi
29
Episode 29 - Untuk Cinta Sejati
30
Episode 30 - Kemarahannya
31
Episode 31 - Hari-hari Penantian
32
Episode 32 - Berita Buruk
33
Episode 33 - Lebam
34
Episode 34 - Pengumuman
35
Episode 35 - Potongan Kenangan
36
Episode 36 - Undangan
37
Episode 37 - Perhatiannya
38
Episode 38 - Putus
39
Episode 39 - Malam yang Menakutkan
40
Episode 40 - 3 Lelaki: Cinta Tanpa Maaf
41
Episode 41 - Jatuh Cinta Tiap Hari
42
Episode 42 - Racun
43
Episode 43 - Hikmah Di Saat Sakit
44
Episode 44 - Hari Pernikahan
45
Episode 45 - Pengantin Bodoh
46
Episode 46 - Hidup yang Baru
47
Episode 47 - Seandainya
48
Episode 48 - Perjalanan ke Kampung
49
Episode 49 - Mertua
50
Episode 50 - Adik-adik yang Baru
51
Episode 51 - Anak Gembala
52
Episode 52 - Menjelang Pulang
53
Episode 53 - Waktu Untuk Menerima
54
Episode 54 - Rumah Masa Depan
55
Episode 55 - Di Antara Dua Agama
56
Episode 56 - Mengubah Desain
57
Episode 57 - Gadis Berkerudung Hijau
58
Episode 58 - Rumah Tangga
59
Episode 59 - Saatnya Bicara
60
Episode 60 - Selamat Tinggal, Sahabat!
61
Episode 61 - Kecurigaan
62
Episode 62 - Pertengkaran Pertama
63
Episode 63 - Berbaikan
64
Episode 64 - Perdebatan
65
Episode 65 - Kecelakaan Kerja
66
Episode 66 - Tamu Tengah Malam
67
Episode 67 - Kesayangan Allah
68
Episode 68 - Hadiah Dari Tammy
69
Episode 69 - Bukan Sebagai Beban
70
Episode 70 - Alasan Untuk Pindah
71
Episode 71 - Persiapan
72
Episode 72 - Terluka
73
Episode 73 - Di Antara Tragedi
74
Episode 74 - Memaafkan
75
Episode 75 - Berita Kehamilan
76
Episode 76 - Kunjungan
77
Episode 77 - Di Antara Penyesalan
78
Episode 78 - Dari Hati ke Hati
79
Episode 79 - Epilog (Andra) Janji Cinta Pertama
80
Episode 80 - Epilog (Andra) Bye, Love!
81
Preview - Welcome, Love!
82
Catatan Penulis

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!