Kalau kalian mengira seorang sekretaris itu adalah seseorang yang selalu berpenampilan cantik, bersepatu tinggi, bergaya anggun dengan jari jemari lentik terawat, berbicara dengan para atasan eksklusif, turun naik mobil bermerek mewah, mengenakan barang-barang luks dari ujung kepala hingga kaki, bekerja cukup dengan menulis atau mengetik dan bergaji luar biasa.
Maka kalian sepertiku.
Tadinya aku juga berpikir seperti itu. Makanya aku mau saja saat ditawari pekerjaan ini. Mana aku tahu kalau tak semua sekretaris bisa merasakan kenyamanan seperti itu. Malah untuk jenis sekretaris seperti pekerjaanku itu jauh sekali dari bayangan.
Selama tiga bulan pertama saat aku mulai kerja sebagai staf magang, aku mulai belajar menghilangkan bayanganku itu. Dari sekretaris sebelumnya yang akan kugantikan, aku mulai mengerti. Sekretaris bukanlah pekerjaan yang mengutamakan penampilan, tapi pekerjaan yang membuat segala hal di kantor menjadi lebih efisien. Kami bertugas membantu pekerjaan semua orang, meski secara jabatan hanya ada satu atasan.
Ketika akhirnya aku resmi menjadi sekretaris Hans. Aku sudah benar-benar mengubah cara pandangku terhadap pekerjaan seorang sekretaris.
Pagi hari aku memang tampil cantik selayaknya seorang sekretaris. Sepatu hak tinggi, rok span mini dengan paduan blazer, juga wajah yang dimake-up tipis dengan rambut bob terurai cantik membingkai wajah oval dengan sisiran sempurna. Hanya aku selalu menghindari segala bentuk perhiasan, termasuk anting-anting dan gelang. Sesuai peraturan perusahaan, karena faktor keamanan, kami yang berada di lingkungan pertambangan dilarang untuk mengenakan
perhiasan berlebihan. Aku memilih untuk tidak mengenakannya sama sekali daripada repot memasang dan melepasnya lagi.
Dalam perjalanan menuju kantor, di dalam mobil yang menjemputku, biasanya aku memeriksa jadwal hari ini dalam agenda kerjaku. Memastikan semua rencana dan temu janji tidak ada yang kulupakan atau terlewat. Sesekali aku akan menuliskan segala sesuatu yang harus kulakukan untuk memenuhi jadwal itu.
Begitu tiba di kantor, maka saat itulah aku berubah. Dari angsa cantik yang anggun, menjadi si itik buruk rupa.
Sepasang sepatuku akan berubah menjadi sepasang sandal jepit karet yang usang, rambut yang tertata dengan baik itu akan segera kuikat seadanya dan make-up di wajahku perlahan-lahan akan segera terhapus ketika aku menjalankan tugas awal setiap pagi.
Setiap pagi, aku menyusuri hampir semua gedung yang ada di perusahaanku. Mulai dari store, warehouse, dan tiga workshop berbeda. Tugasku di pagi hari adalah bertemu dengan semua jajaran supervisor dan foreman untuk menerima laporan pekerjaan juga tanggung jawab mereka. Aku akan memastikan data itu, mencocokkan dengan laporan tertulis
yang mereka berikan lalu mengumpulkan semua informasi apapun yang memungkinkan jika ada masalah. Aku juga memeriksa progress dari semua pekerjaan dan proyek berjalan. Sebuah pekerjaan yang terlihat mudah, padahal untuk melakukannya aku harus berjalan kaki dari satu gedung ke gedung lain, seperti memutari lapangan bola tiga kali.
Selesai memeriksa dan mengumpulkan semua data, akupun mulai mengerjakan pekerjaan administrasi dibantu dua asistenku. Mereka berbagi tugas berbeda, yang satu khusus administrasi proyek dan yang lain menangani keuangan.
Karena kantor tempatku kerja ini hanya kantor cabang untuk proyek, maka bagian keuangan juga di bawah tanggung jawabku.
Selesai? Tidak! Pagi baru dimulai ketika Hans dan seluruh supervisor berkumpul untuk meeting pagi. Aku menjadi pembicara penengah, mengingatkan, menanyakan dan mengumpulkan semua laporan progress proyek yang mereka tangani. Biasanya satu Supervisor membawahi satu proyek utama dan lima proyek maintenance (perawatan) yang dipimpin oleh Foreman. Kalau ada yang tak terlalu pandai bahasa Inggris, tugasku bertambah menjadi interpreter mereka.
Ketika semua karyawan lapangan meluncur ke lokasi tugas masing-masing, aku memulai rutinitas pagi. Memberikan laporan pribadi pada Hans, memberitahu daftar penelepon masuk yang mencarinya, rencana temu janji hari ini, teman atau relasinya yang sedang merayakan hari spesial. Juga menambahkan dengan berbagai informasi seputar pekerjaan, termasuk masalah yang kami hadapi.
Usai coffee break, aku dan Hans akan sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Hans akan sibuk memeriksa dan mengkoreksi lay-out desain gambar, berdiskusi ***** bengek teknik bangunan pada beberapa ahli, atau sibuk
berbicara via telepon dengan relasinya, sementara aku mulai mengerjakan pekerjaanku sendiri. Membuat aneka macam laporan yang sedari pagi kukumpulkan. Sesekali diinterupsi dengan perintah Hans untuk mengetik atau mengirim beberapa surat dan email.
Pekerjaanku tak kenal istirahat jika kuturuti. Makanya kalau Hans menerima tamu di ruang kerjanya, aku akan senang sekali. Ruang kerja kami memang saling berhubungan. Tak ada pintu pembatas. Jadi agar tamunya merasa
lebih bebas, aku biasanya keluar sejenak dan bersantai di luar. Entah berolahraga basket sebentar atau sekedar ke kantin karyawan meminta dibuatkan semangkuk mie instan.
Lapangan basket yang ada di belakang gedung kantor juga hadiah dari Hans untukku ketika aku iseng memintanya. Saat itu kami berhasil memenangkan sebuah tender setelah aku lembur semalam suntuk mengerjakan dokumen bersama tiga supervisor lain. Aku baru bekerja sekitar empat bulan dan itu lembur pertamaku. Memang bukan lapangan basket dengan ukuran semestinya, karena hanya berupa tiang berjaring dengan luas lapangan hanya separuh dari ukuran normal.
Tapi ketika aku mengira semuanya berjalan normal. Ada saja masalah terjadi. Seminggu yang lalu, salah satu supervisor mengalami kecelakaan kerja dan harus off setidaknya satu bulan pasca operasi. Pengganti sementaranya datang dari kantor pusat, ternyata belum menguasai medan proyek hingga aku terpaksa mendampinginya dan itu artinya aku harus sering ke lapangan bersamanya.
Ini yang membuatku semakin sering merasa menjadi itik buruk rupa.
Sepatu safety sedikit kebesaran harus kukenakan di luar sepatu karet yang kini menggantikan high heels, rambutku tergulung di bawah topi safety dan blazer cantikku akan terlindungi oleh rompi safety oranye norak. Debu-debu akan
beterbangan menjadi pengganti bedak selama aku berada di daratan luas dengan panas membakar di tambang batubara itu. Poni rambutku sudah tak lagi teratur, jatuh lepek karena keringat membasahi seluruh keningku.
Apalagi usai ikut mengawasi pembetonan di proyek pembangunan workshop tadi. Tubuhku seperti dipanggang di atas minyak, dibakar matahari, dan direbus oleh hawa panas concrete puluhan Mpa itu. Paket lengkap menjadi ayam eh... manusia panggang.
Hans tadi yang membawaku ke site. Setelah proses konstruksi reinforced wall selesai dan jam istirahat hampir tiba, secara tak sengaja ia melihatku berpegangan di pagar kayu sambil memijat kepalaku. Aku sempat limbung sejenak. Dalam beberapa langkah saja, Hans sudah berada di dekatku. Ia sudah hafal kondisiku kalau seperti itu. Begitu melihat Pak Pram, pengganti sementara yang ditugaskan menangani proyek ini, ia menyuruh kami segera kembali ke kantor.
Pak Pram tak terlalu tahu soal kesehatanku yang kurang baik. Aku juga merasa tak perlu menjelaskan apapun. Karena itu, wajar dia berhenti di tengah jalan untuk sholat sebentar. Sama saja. Aku juga masih bisa beristirahat tadi.
Tapi kini dalam mobil yang meluncur menuju kantor, seluruh tubuhku sudah mulai sulit diajak bekerjasama. Pusing, capek, mengantuk dan pegal-pegal. Menyatu menjadi kombinasi sempurna untuk berucap dalam hati. Ternyata mencari nafkah itu susah ya...
Mungkin Pak Pram melihat kondisiku yang begitu cepat menurun sejak kami pergi tadi pagi.
"Saya antar pulang saja ya, Mbak? Muka Mbak pucat banget," kata Pak Pram menawarkan sambil membelokkan kemudi menuju tempat parkir kantor.
"Atau kita langsung ke klinik aja?" katanya lagi tak menyerah ketika aku menggeleng.
Aku berusaha tersenyum sebisaku. "Tidak usah, Pak. Saya hanya ngantuk kok." Tepat saat itu mobil sudah berhenti di halaman parkir kantor.
Kutarik nafas dalam-dalam sebelum menghembuskan napas, berharap aku masih bisa berjalan dengan baik. Tak enak rasanya kalau dipandangi dengan iba oleh orang yang tak terlalu kukenal. Andaikan ada Papa, aku pasti sudah minta digendong oleh mereka.
Walaupun sudah berusaha berjalan sepelan mungkin, tetap saja epalaku berdenyut-denyut tak karuan. Aku bahkan tak berani mengangkat kepala karena mataku sudah mulai melihat segala hal di sekitarku berwarna merah kekuning-kuningan. Kukerjapkan mata dua kali. Berusaha melihat dengan jelas. Berhasil. Sedikit.
Aku bisa melihat Hans keluar dari pintu utama, dan ia bergerak cepat mendekatiku. Aku melihatnya. Bingung melihatnya sudah ada di kantor. Tapi aku heran melihat mata biru jernih itu melotot padaku, keningnya berkerut dan tangannya seperti terburu-buru menggapaiku. Otomatis aku ingin menangkap tangannya itu, saat merasakan arus dingin mulai menyergap ujung kakiku dan merayap naik hingga ke pipiku. Aku perlu seseorang untuk menahan tubuhku yang mendadak terasa lemas, tapi yang kutangkap malah angin dan saat mataku mengerjap sekali lagi, hanya kegelapan yang bisa kulihat.
Sayup-sayup teriakan Hans memanggil namaku masih kudengar. Juga suara-suara tak jelas ribut di sekitarku. Aku juga tahu tangan besar Hans menangkap tubuhku. Sampai di situ aku tak ingat apa-apa lagi.
******
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments
martina melati
pingsan krn krg mkn asupan gizi (lapar dan haus)
2024-11-10
0
martina melati
jangan lupa pake sunblok
2024-11-10
0
martina melati
pdhal sepatu kets ato sneaker lg nyaman dkaki ktimbang heels
2024-11-10
0