Episode 14 - Bukan Mahrom

Aku memandangi Arzi dengan senyum tipis. Tapi ia hanya menunduk. Sulit menebak isi kepalanya. Padahal biasanya dengan mudah aku bisa menebak keinginan lawan jenisku. Siapapun dia.

"Kok Bapak tahu aku mau ceritakan sesuatu?" tanyaku penasaran.

Telunjuk Arzi berputar di depan wajahnya. "Wajahmu."

"Wajahku?" tanyaku bingung. Memangnya wajahku kenapa?

"Wajahnya Mbak Inka itu seperti buku terbuka. Gampang kebaca."

Mataku membulat. "Benarkah?" tanyaku tak percaya. Tapi Arzi hanya tertawa.

Tiba-tiba aku terpikir sesuatu. "Pak, kalo gitu tebak deh, kira-kira aku mau cerita apa?" tanyaku sambil meletakkan wajahku berpangku di atas kedua telapak tanganku sambil bersandar di meja, menatap langsung matanya.

Sedetik tatapan Arzi bertemu dengan tatapanku, sebelum tangannya kembali melambai-lambai menolak, sambil membuang pandangannya ke arah lain. "Kita bukan mahrom, Ka. Gak boleh pandang-pandangan terlalu lama. Malah sebenarnya gak boleh sama sekali. Nanti ada iblis diantara kita."

Alasan 'bukan mahrom' itu lagi...

Menahan malu, aku pun bercanda. "Loh bukannya aku lagi bicara sama iblis nih?"

Tawa Arzi meledak. "Aduh Mbak, tega bener bilang saya iblis, hahaha... "

"Emang mahrom itu apaan sih, Pak?"

"Kamu gak ngerti?" Aku menjawab pertanyaan itu dengan gelengan.

Arzi tampak terkejut, "Mahrom itu jalur hubungan yang sah secara Islam. Jadi mahrom-nya Inka itu Ayah, adik-adik kandung, saudara Ayah, anggota keluarga yang boleh menikahkan Inka nanti selain Ayah dan adik. Oh iya, suami Inka nanti juga."

"Oooh, berarti kalo aku nikah, nah yang jadi suamiku itu mahromku. Gitu?" Arzi mengangguk.

Sungguh, ini menyenangkan. Mengobrol biasa, hanya tentang hal-hal biasa, bertingkah biasa dan tertawa layaknya dua sahabat. Hanya hal sederhana, tapi aku menyukainya. Obrolan ringan, tapi bermanfaat seperti ini rasanya jarang kulakukan kalau bersama teman-teman seumurku.

"Nah malah melamun lagi," tegur Arzi. Aku menoleh dan sekali lagi ia menghadiahi senyuman.

Setelah beberapa detik tertawa, masih dengan wajah yang diliputi senyum, ia bertanya perlahan, "Memangnya siapa yang sakit kanker?"

Aku menghela napas. "Aku, Pak. Aku mungkin kena kanker."

Sebuah pernyataan yang kuusahakan sesantai mungkin karena kupikir Arzi akan menerima dengan kaget, kuatir dan bingung.

Tapi tidak. Ia hanya mengangkat kepalanya yang tadi tertunduk sebentar. Menatapku dengan raut wajah yang tetap tenang tanpa emosi sama sekali, sebelum kembali tersenyum tipis. Ia tampak tenang. Tapi ia melupakan aturannya sendiri, menatapku.

"Baru mungkin, Mbak. Masih belum pasti. Kamu sudah pastikan?" tanya Arzi perlahan sambil kembali menatap ke arah lain.

Aku menggeleng, dan menundukkan kepalaku dalam-dalam sebelum berbisik, "Aku takut, Pak. Takut itu benar." Saat itu aku bisa merasakan mataku memanas. Menahan air mata yang mulai menggenang.

"Mbak, jangan panik dulu! Tunggulah sampai sudah benar-benar pastiin." Suaranya begitu tenang. Entah mengapa itu membuat hatiku juga terasa lebih baik.

Aku mengangkat wajah dan menatapnya. Arzi mengangguk. "Tenanglah! Mbak ini gadis yang baik dan pintar. Allah takkan memberi sebuah cobaan di luar batas kemampuan umatNya," ujarnya.

"Tapi aku tetap gak berani meriksa, Pak. Takut liat hasilnya."

"Mau saya temani? Periksanya di mana?" tawar Arzi tanpa berpikir.

Justru aku yang memikirkan penawarannya. Kami baru kenal. Baru bertemu, baru pertama kali mengobrol seakrab ini. Tapi ia sudah menawarkan perhatian yang justru tak berani kuharapkan dari orang-orang yang kucintai. Haruskah aku percaya padanya? Haruskah aku menerimanya?

Melihat aku membisu, ia kembali menatapku dan kali ini ada senyum di wajahnya.

"Anggap saja saya kakaknya, bukankah harus ada wali saat seorang pasien memeriksakan diri?"

Aku ingin tertawa. Kakak? Ia seumur pamanku!!

Melihat sudut bibirku berkedut menahan tawa, kening Arzi tampak naik. "Kenapa? Saya terlalu muda ya? Ya udah adik saja deh."

Dan aku benar-benar tak lagi bisa menahan tawa melihat wajahnya yang tampak jenaka.

"Bagaimana? Mau?" tanyanya lagi penasaran. Aku menatapnya. Kali ini ia juga menatapku dengan senyuman lebar. Melihat senyuman itu, entah mengapa aku merasa tenang dan akhirnya mengangguk.

"Itu sebabnya Bapak selalu manggil aku, Mbak?" tanyaku jenaka.

Arzi tertawa. "Baiklah, saya panggil Inka saja mulai sekarang."

"Kalau begitu, besok kukabari ya Pak! Harus bikin janji dulu. Harus izin dulu juga sama office," kataku berjanji. Untuk apa kupikirkan hal lain.

Arzi mengangguk-angguk, lalu tertawa kecil. "Eh, masih panggil Bapak ya?"

"Terus, mau aku panggil adik?" tanyaku kalem.

"Hahahaha.... Iya dah boleh, boleh." Dan sekali lagi tawa kami terdengar bersama.

Sungguh, aku belum pernah merasa sebebas ini saat berbicara dengan seseorang. Pak Arzi memang jauh lebih tua dari usiaku. Sekilas aku mengira ia orang yang pendiam, tapi setelah kami banyak bicara, justru ia punya banyak bahan candaan.

Saat kami makan, ada beberapa orang yang menyapanya. Dua orang pria yang tampak seumur Arzi menyapa sambil berlalu, tapi ada juga pasangan suami istri yang mendekati dan sempat mengobrol sedikit.

"Eh, Mas Arzi! Apa kabar?" sapa sang suami sambil menepuk bahu Arzi.

Arzi berdiri dan menyalami sang pria, tapi seperti padaku, ia hanya menyatukan kedua tangannya saat memberi salam pada istri temannya itu. Mereka saling mengangguk hormat sebelum perhatian ketiganya berpindah padaku.

"Ini Inka, Mbak, Mas. Kenalin! Ka, kenalin... ini Mbak Ayu dan Mas Tito," kata Arzi. Akupun berdiri menyalami keduanya. Mereka menyambutku. Ah, ternyata tak semua teman Arzi seperti dirinya. Buktinya pria itu tetap menyodorkan tangan padaku.

"Waaah, ini teman kerjanya Ratih kan? Dari ABS juga kan?" tebak Ayu sambil melirik Arzi.

"Kamu ini... habis macarin si Ratih, sekarang malah pindah ke temannya," lanjut Ayu setengah tertawa saat melempar pandangan pada Arzi.

Tito segera menyenggol bahu istrinya. Tapi aku telanjur mendengarnya. Meski agak penasaran dan bingung setelah mendengar pernyataan itu, aku berusaha menyembunyikan ketidaktahuanku dengan senyum.

Senyum tipis muncul di wajah Arzi. Aku tahu, senyumnya ini sedikit masam. Ada sesuatu yang tak enak terjadi.

"Saya dan Inka ngurus kerjaan kok, Mbak. Bukan pacaran."

"Kerjaan?" Nada tak yakin terdengar. Mata Ayu tampak penuh tanya.

Kuputuskan untuk bekerja sama dengan Arzi. Aku mengangguk. "Benar, Bu. ABS sedang nangani listriknya mesjid raya. Maintenance. Kebetulan kami ketemu di sini, jadi ya... sekadar say hello."

Mulut Ayu dan Tito kompak membentuk huruf 'o'

"Lagian gak papa juga sih, Ka. Arzi kan masih bujang... bujang lapuk dia mah. Hahaha."

Arzi lagi-lagi hanya tertawa. Ia tak tampak marah.

"Wah, jangan salah, Ka! Dia kerja di sini bukan karena pengen. Tapi kabur dari cewek-cewek Jakarta yang agresif," sergah Tito. Tangannya sudah merangkul bahu Arzi.

Kupegang dadaku seakan-akan kaget. "Benarkah? Waduh! Saya tipe agresif loh, Pak!"

"Nah lo, Zi!! Kena lo!"

Arzi menatapku. "Gak papa kalo Inka agresif ke saya, Mas. Ikhlas saya dijadiin imamnya."

Tawa kami berempat pun pecah, menarik perhatian beberapa orang yang sedang makan di tempat itu juga.

Kami mengobrol beberapa menit, sebelum akhirnya Tito dan Ayu pergi. Sempat kudengar Arzi dan Tito saling berjanji untuk makan bersama kami lain kali.

Lain kali?

Berarti akan ada pertemuan-pertemuan lain lagi dengan pria ini. Tapi entah mengapa, hatiku menyukai ide itu jadi saat Arzi menatapku bertanya, aku langsung mengiyakan.

"Maaf ya saya gak cerita kalo pernah dekat dengan Ratih," kata Arzi setelah kami kembali duduk.

Aku mendongak. Arzi menunduk lagi. "Seberapa dekat, Mas? Mbak Ratih masih baru sih di kantor aku, tapi aku cukup dekat sama dia. Kok bisa kita gak pernah ketemu? Aku juga kenal sama pacar Mbak Ratih loh."

"Ratih dan saya itu dekat sebelum ia kerja di kantormu, In. Tapi dia... Ratih dan saya tidak pernah pacaran. Kami hanya... dekat."

"Sedekat apa? Aku gak ngerti. Apa seperti kita ini atau bagaimana?"

Kepala Arzi terangkat. Ia menatapku sebelum tersenyum dan memalingkan wajah. Selalu seperti itu. "Mmm... mungkin agak sulit kamu pahami. Tapi jenis hubungan yang saya jalani dengan Ratih, itu... mmm... Kami sempat berpikir untuk menikah, hanya saja... di tengah jalan kami putuskan... tidak, emm.. saya yang putuskan kalau kami tidak... tidak cocok."

"Oooh, pacaran dong itu namanya!" selaku cepat.

Arzi menggeleng. "Tidak, In. Kami hanya dekat. Itu saja. Dalam keyakinan saya, pacaran itu haram. Jadi... "

"Tunggu! Tunggu! Aku gak ngerti deh. Tadi bukannya Pak Arzi bilang kalo Bapak sama Mbak Ratih hampir nikah. Kan itu artinya hubungan pacaran. Beneran aku bingung nih!"

Tawa masam itu muncul lagi di wajah Arzi.

"Jadi gini, Inka manis. Dalam Islam, kita gak boleh pacaran. Tapi berusaha mencari pasangan itu juga sangat disarankan. Nah, proses yang sesuai itu gak seperti pacaran yang kamu maksud. Beda. Namanya perkenalan, tapi ya benar-benar perkenalan. Sama seperti kita, saya dan Ratih itu bukan mahrom. Kalau kami bertemu dan berkenalan untuk maksud menikah, ya seperti ini. Bicara, berkomunikasi, memastikan kalau kita ini cocok atau tidak. Bukan dengan bersentuhan, pegang-pegangan tangan atau ... ya kamu pasti ngertilah."

Aku mengangkat bahu. "Aku makin gak ngerti. Terus masak cukup dengan komunikasi aja bisa tahu kita ini saling cinta atau enggak? Terus Bapak tahu gak cocoknya dari mana? Mastiin dengan apa kalau hati kita benar-benar suka sama dia atau enggak? Terus kenapa kita gak dibolehin saling menguji cinta dengan bersentuhan?"

Sejujurnya, aku sendiri tak terlalu memahami perasaanku pada Andra. Mengetahui sudut pandang Arzi tentang berkenalan dengan lawan jenis menurut keyakinan Islam ala dirinya, benar-benar menarik hatiku untuk tahu lebih banyak.

Senyuman di wajah Arzi tampak lebih misterius. "Allah yang memberitahu kita, In. Dengan caranya. Dengan hati yang hanya kita yang tahu."

Aku menggeleng-geleng. Makin bingung.

Arzi menghela napas, sebelum meraih gelas air putih hangatnya. "Kamu mau seorang lelaki memilihmu karena dia menyukaimu apa adanya, atau yang tertarik karena hawa nafsu?"

"Ya karena suka aku apa adanyalah. Kecantikan bisa pudar kapan aja, kalo karena nafsu, ya entar aku tua pasti ditinggal deh."

"That's the point, Inka! Mencintai dalam Islam itu harus benar-benar datang dari dalam hati. Perasaan itu harus dibedakan dengan nafsu. Kalo kita merasa punya rasa karena nafsu, sudah banyak dosa karenanya, eh... belum tentu itu perasaan cinta. Bisa saja itu karena nafsu yang ditiup iblis ke kita."

Aku termangu. Mulai paham sedikit demi sedikit.

"Tapi... kalo kita merasa tiap kali bicara atau ngobrol dengan seseorang, merasa tenang, menyukai cara dia bicara, bisa nyambung dan jadi pengen tahu lebih banyak tentang dirinya, trus kita merasa bisa bersamanya sampai kapanpun, rela berbagi apapun dengan orang itu nah... saya merasa inilah cara kita mulai untuk mencintai. Jika kita bisa mencintai seseorang hanya karena mendengar suaranya, maka kita bisa mencintai orang itu dengan segala kekurangannya."

Mata Arzi berpendar tertimpa cahaya saat ia kembali menatapku. Kini aku mengerti maksudnya. Tanpa sadar, aku mengangguk-angguk.

"Jadi apa anggukanmu itu artinya mengiyakan langkah kita selanjutnya?" tanya Arzi.

"Apa? Langkah apa?" tanyaku bingung.

Arzi tersenyum lebar saat menjawab pertanyaanku. "Langkah untuk mengganti status saya menjadi mahrommu."

Aku melongok, menunggu Arzi tertawa setelah melempar candaan itu. Tapi tidak. Ia tidak tersenyum, malah senyuman lebarnya berubah menjadi tatapan serius. Sekali lagi, ia melanggar aturannya sendiri.

 

 

*****

 

 

Terpopuler

Comments

Langitⁿʲᵘˢ⋆⃝🌈N⃟ʲᵃᵃ࿐

Langitⁿʲᵘˢ⋆⃝🌈N⃟ʲᵃᵃ࿐

wah arzi keren😍

2022-11-15

0

Annisa Rahma

Annisa Rahma

iyain aja in... 🤭🤭🤭❤❤❤

2022-04-06

0

adisty aulia

adisty aulia

woooow... kereeenBang ustadz🥰🥰🥲

Hanya saja saya terlanjur mengurai janji dengan Bang Andra😍😍

Bantu doanya Bang ustadz

2021-12-14

0

lihat semua
Episodes
1 Episode 1 - Punggung Lelaki itu
2 Episode 2 - Di antara Pekerjaan
3 Episode 3 - Lingkaran Kehidupanku
4 Episode 4 - Suara Lelaki itu
5 Episode 5 - Pengunjung Tak Terduga
6 Episode 6 - Tanpa Siapapun
7 Episode 7 - Apa Aku Penting Baginya?
8 Episode 8 - Sulit Diucapkan, Sulit Ditanyakan
9 Episode 9 - Pengakuan
10 Episode 10 - Sejuta Rasa Cinta
11 Episode 11 - Kutukan Ulang Tahun
12 Episode 12 - Wajah Yang Menenangkan
13 Episode 13 - Hanya Seorang Teman
14 Episode 14 - Bukan Mahrom
15 Episode 15 - Antara Ratih dan Arzi
16 Episode 16 - Saat Menyenangkan Bersamanya
17 Episode 17 - Terlalu Banyak Pertanyaan
18 Episode 18 - Cemburu
19 Episode 19 - Perjalanan Singkat
20 Episode 20 - Lamarannya
21 Episode 21 - Debat
22 Episode 22 - Janji Kami
23 Episode 23 - Kenangan Masa Lalu
24 Episode 24 - Malam yang Menyenangkan
25 Episode 25 - Calon Keluarga atau Musuh
26 Episode 26 - Ikut Dia Selamanya
27 Episode 27 - Sisi Lain
28 Episode 28 - Lamaran Resmi
29 Episode 29 - Untuk Cinta Sejati
30 Episode 30 - Kemarahannya
31 Episode 31 - Hari-hari Penantian
32 Episode 32 - Berita Buruk
33 Episode 33 - Lebam
34 Episode 34 - Pengumuman
35 Episode 35 - Potongan Kenangan
36 Episode 36 - Undangan
37 Episode 37 - Perhatiannya
38 Episode 38 - Putus
39 Episode 39 - Malam yang Menakutkan
40 Episode 40 - 3 Lelaki: Cinta Tanpa Maaf
41 Episode 41 - Jatuh Cinta Tiap Hari
42 Episode 42 - Racun
43 Episode 43 - Hikmah Di Saat Sakit
44 Episode 44 - Hari Pernikahan
45 Episode 45 - Pengantin Bodoh
46 Episode 46 - Hidup yang Baru
47 Episode 47 - Seandainya
48 Episode 48 - Perjalanan ke Kampung
49 Episode 49 - Mertua
50 Episode 50 - Adik-adik yang Baru
51 Episode 51 - Anak Gembala
52 Episode 52 - Menjelang Pulang
53 Episode 53 - Waktu Untuk Menerima
54 Episode 54 - Rumah Masa Depan
55 Episode 55 - Di Antara Dua Agama
56 Episode 56 - Mengubah Desain
57 Episode 57 - Gadis Berkerudung Hijau
58 Episode 58 - Rumah Tangga
59 Episode 59 - Saatnya Bicara
60 Episode 60 - Selamat Tinggal, Sahabat!
61 Episode 61 - Kecurigaan
62 Episode 62 - Pertengkaran Pertama
63 Episode 63 - Berbaikan
64 Episode 64 - Perdebatan
65 Episode 65 - Kecelakaan Kerja
66 Episode 66 - Tamu Tengah Malam
67 Episode 67 - Kesayangan Allah
68 Episode 68 - Hadiah Dari Tammy
69 Episode 69 - Bukan Sebagai Beban
70 Episode 70 - Alasan Untuk Pindah
71 Episode 71 - Persiapan
72 Episode 72 - Terluka
73 Episode 73 - Di Antara Tragedi
74 Episode 74 - Memaafkan
75 Episode 75 - Berita Kehamilan
76 Episode 76 - Kunjungan
77 Episode 77 - Di Antara Penyesalan
78 Episode 78 - Dari Hati ke Hati
79 Episode 79 - Epilog (Andra) Janji Cinta Pertama
80 Episode 80 - Epilog (Andra) Bye, Love!
81 Preview - Welcome, Love!
82 Catatan Penulis
Episodes

Updated 82 Episodes

1
Episode 1 - Punggung Lelaki itu
2
Episode 2 - Di antara Pekerjaan
3
Episode 3 - Lingkaran Kehidupanku
4
Episode 4 - Suara Lelaki itu
5
Episode 5 - Pengunjung Tak Terduga
6
Episode 6 - Tanpa Siapapun
7
Episode 7 - Apa Aku Penting Baginya?
8
Episode 8 - Sulit Diucapkan, Sulit Ditanyakan
9
Episode 9 - Pengakuan
10
Episode 10 - Sejuta Rasa Cinta
11
Episode 11 - Kutukan Ulang Tahun
12
Episode 12 - Wajah Yang Menenangkan
13
Episode 13 - Hanya Seorang Teman
14
Episode 14 - Bukan Mahrom
15
Episode 15 - Antara Ratih dan Arzi
16
Episode 16 - Saat Menyenangkan Bersamanya
17
Episode 17 - Terlalu Banyak Pertanyaan
18
Episode 18 - Cemburu
19
Episode 19 - Perjalanan Singkat
20
Episode 20 - Lamarannya
21
Episode 21 - Debat
22
Episode 22 - Janji Kami
23
Episode 23 - Kenangan Masa Lalu
24
Episode 24 - Malam yang Menyenangkan
25
Episode 25 - Calon Keluarga atau Musuh
26
Episode 26 - Ikut Dia Selamanya
27
Episode 27 - Sisi Lain
28
Episode 28 - Lamaran Resmi
29
Episode 29 - Untuk Cinta Sejati
30
Episode 30 - Kemarahannya
31
Episode 31 - Hari-hari Penantian
32
Episode 32 - Berita Buruk
33
Episode 33 - Lebam
34
Episode 34 - Pengumuman
35
Episode 35 - Potongan Kenangan
36
Episode 36 - Undangan
37
Episode 37 - Perhatiannya
38
Episode 38 - Putus
39
Episode 39 - Malam yang Menakutkan
40
Episode 40 - 3 Lelaki: Cinta Tanpa Maaf
41
Episode 41 - Jatuh Cinta Tiap Hari
42
Episode 42 - Racun
43
Episode 43 - Hikmah Di Saat Sakit
44
Episode 44 - Hari Pernikahan
45
Episode 45 - Pengantin Bodoh
46
Episode 46 - Hidup yang Baru
47
Episode 47 - Seandainya
48
Episode 48 - Perjalanan ke Kampung
49
Episode 49 - Mertua
50
Episode 50 - Adik-adik yang Baru
51
Episode 51 - Anak Gembala
52
Episode 52 - Menjelang Pulang
53
Episode 53 - Waktu Untuk Menerima
54
Episode 54 - Rumah Masa Depan
55
Episode 55 - Di Antara Dua Agama
56
Episode 56 - Mengubah Desain
57
Episode 57 - Gadis Berkerudung Hijau
58
Episode 58 - Rumah Tangga
59
Episode 59 - Saatnya Bicara
60
Episode 60 - Selamat Tinggal, Sahabat!
61
Episode 61 - Kecurigaan
62
Episode 62 - Pertengkaran Pertama
63
Episode 63 - Berbaikan
64
Episode 64 - Perdebatan
65
Episode 65 - Kecelakaan Kerja
66
Episode 66 - Tamu Tengah Malam
67
Episode 67 - Kesayangan Allah
68
Episode 68 - Hadiah Dari Tammy
69
Episode 69 - Bukan Sebagai Beban
70
Episode 70 - Alasan Untuk Pindah
71
Episode 71 - Persiapan
72
Episode 72 - Terluka
73
Episode 73 - Di Antara Tragedi
74
Episode 74 - Memaafkan
75
Episode 75 - Berita Kehamilan
76
Episode 76 - Kunjungan
77
Episode 77 - Di Antara Penyesalan
78
Episode 78 - Dari Hati ke Hati
79
Episode 79 - Epilog (Andra) Janji Cinta Pertama
80
Episode 80 - Epilog (Andra) Bye, Love!
81
Preview - Welcome, Love!
82
Catatan Penulis

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!