Aku memandangi Arzi dengan senyum tipis. Tapi ia hanya menunduk. Sulit menebak isi kepalanya. Padahal biasanya dengan mudah aku bisa menebak keinginan lawan jenisku. Siapapun dia.
"Kok Bapak tahu aku mau ceritakan sesuatu?" tanyaku penasaran.
Telunjuk Arzi berputar di depan wajahnya. "Wajahmu."
"Wajahku?" tanyaku bingung. Memangnya wajahku kenapa?
"Wajahnya Mbak Inka itu seperti buku terbuka. Gampang kebaca."
Mataku membulat. "Benarkah?" tanyaku tak percaya. Tapi Arzi hanya tertawa.
Tiba-tiba aku terpikir sesuatu. "Pak, kalo gitu tebak deh, kira-kira aku mau cerita apa?" tanyaku sambil meletakkan wajahku berpangku di atas kedua telapak tanganku sambil bersandar di meja, menatap langsung matanya.
Sedetik tatapan Arzi bertemu dengan tatapanku, sebelum tangannya kembali melambai-lambai menolak, sambil membuang pandangannya ke arah lain. "Kita bukan mahrom, Ka. Gak boleh pandang-pandangan terlalu lama. Malah sebenarnya gak boleh sama sekali. Nanti ada iblis diantara kita."
Alasan 'bukan mahrom' itu lagi...
Menahan malu, aku pun bercanda. "Loh bukannya aku lagi bicara sama iblis nih?"
Tawa Arzi meledak. "Aduh Mbak, tega bener bilang saya iblis, hahaha... "
"Emang mahrom itu apaan sih, Pak?"
"Kamu gak ngerti?" Aku menjawab pertanyaan itu dengan gelengan.
Arzi tampak terkejut, "Mahrom itu jalur hubungan yang sah secara Islam. Jadi mahrom-nya Inka itu Ayah, adik-adik kandung, saudara Ayah, anggota keluarga yang boleh menikahkan Inka nanti selain Ayah dan adik. Oh iya, suami Inka nanti juga."
"Oooh, berarti kalo aku nikah, nah yang jadi suamiku itu mahromku. Gitu?" Arzi mengangguk.
Sungguh, ini menyenangkan. Mengobrol biasa, hanya tentang hal-hal biasa, bertingkah biasa dan tertawa layaknya dua sahabat. Hanya hal sederhana, tapi aku menyukainya. Obrolan ringan, tapi bermanfaat seperti ini rasanya jarang kulakukan kalau bersama teman-teman seumurku.
"Nah malah melamun lagi," tegur Arzi. Aku menoleh dan sekali lagi ia menghadiahi senyuman.
Setelah beberapa detik tertawa, masih dengan wajah yang diliputi senyum, ia bertanya perlahan, "Memangnya siapa yang sakit kanker?"
Aku menghela napas. "Aku, Pak. Aku mungkin kena kanker."
Sebuah pernyataan yang kuusahakan sesantai mungkin karena kupikir Arzi akan menerima dengan kaget, kuatir dan bingung.
Tapi tidak. Ia hanya mengangkat kepalanya yang tadi tertunduk sebentar. Menatapku dengan raut wajah yang tetap tenang tanpa emosi sama sekali, sebelum kembali tersenyum tipis. Ia tampak tenang. Tapi ia melupakan aturannya sendiri, menatapku.
"Baru mungkin, Mbak. Masih belum pasti. Kamu sudah pastikan?" tanya Arzi perlahan sambil kembali menatap ke arah lain.
Aku menggeleng, dan menundukkan kepalaku dalam-dalam sebelum berbisik, "Aku takut, Pak. Takut itu benar." Saat itu aku bisa merasakan mataku memanas. Menahan air mata yang mulai menggenang.
"Mbak, jangan panik dulu! Tunggulah sampai sudah benar-benar pastiin." Suaranya begitu tenang. Entah mengapa itu membuat hatiku juga terasa lebih baik.
Aku mengangkat wajah dan menatapnya. Arzi mengangguk. "Tenanglah! Mbak ini gadis yang baik dan pintar. Allah takkan memberi sebuah cobaan di luar batas kemampuan umatNya," ujarnya.
"Tapi aku tetap gak berani meriksa, Pak. Takut liat hasilnya."
"Mau saya temani? Periksanya di mana?" tawar Arzi tanpa berpikir.
Justru aku yang memikirkan penawarannya. Kami baru kenal. Baru bertemu, baru pertama kali mengobrol seakrab ini. Tapi ia sudah menawarkan perhatian yang justru tak berani kuharapkan dari orang-orang yang kucintai. Haruskah aku percaya padanya? Haruskah aku menerimanya?
Melihat aku membisu, ia kembali menatapku dan kali ini ada senyum di wajahnya.
"Anggap saja saya kakaknya, bukankah harus ada wali saat seorang pasien memeriksakan diri?"
Aku ingin tertawa. Kakak? Ia seumur pamanku!!
Melihat sudut bibirku berkedut menahan tawa, kening Arzi tampak naik. "Kenapa? Saya terlalu muda ya? Ya udah adik saja deh."
Dan aku benar-benar tak lagi bisa menahan tawa melihat wajahnya yang tampak jenaka.
"Bagaimana? Mau?" tanyanya lagi penasaran. Aku menatapnya. Kali ini ia juga menatapku dengan senyuman lebar. Melihat senyuman itu, entah mengapa aku merasa tenang dan akhirnya mengangguk.
"Itu sebabnya Bapak selalu manggil aku, Mbak?" tanyaku jenaka.
Arzi tertawa. "Baiklah, saya panggil Inka saja mulai sekarang."
"Kalau begitu, besok kukabari ya Pak! Harus bikin janji dulu. Harus izin dulu juga sama office," kataku berjanji. Untuk apa kupikirkan hal lain.
Arzi mengangguk-angguk, lalu tertawa kecil. "Eh, masih panggil Bapak ya?"
"Terus, mau aku panggil adik?" tanyaku kalem.
"Hahahaha.... Iya dah boleh, boleh." Dan sekali lagi tawa kami terdengar bersama.
Sungguh, aku belum pernah merasa sebebas ini saat berbicara dengan seseorang. Pak Arzi memang jauh lebih tua dari usiaku. Sekilas aku mengira ia orang yang pendiam, tapi setelah kami banyak bicara, justru ia punya banyak bahan candaan.
Saat kami makan, ada beberapa orang yang menyapanya. Dua orang pria yang tampak seumur Arzi menyapa sambil berlalu, tapi ada juga pasangan suami istri yang mendekati dan sempat mengobrol sedikit.
"Eh, Mas Arzi! Apa kabar?" sapa sang suami sambil menepuk bahu Arzi.
Arzi berdiri dan menyalami sang pria, tapi seperti padaku, ia hanya menyatukan kedua tangannya saat memberi salam pada istri temannya itu. Mereka saling mengangguk hormat sebelum perhatian ketiganya berpindah padaku.
"Ini Inka, Mbak, Mas. Kenalin! Ka, kenalin... ini Mbak Ayu dan Mas Tito," kata Arzi. Akupun berdiri menyalami keduanya. Mereka menyambutku. Ah, ternyata tak semua teman Arzi seperti dirinya. Buktinya pria itu tetap menyodorkan tangan padaku.
"Waaah, ini teman kerjanya Ratih kan? Dari ABS juga kan?" tebak Ayu sambil melirik Arzi.
"Kamu ini... habis macarin si Ratih, sekarang malah pindah ke temannya," lanjut Ayu setengah tertawa saat melempar pandangan pada Arzi.
Tito segera menyenggol bahu istrinya. Tapi aku telanjur mendengarnya. Meski agak penasaran dan bingung setelah mendengar pernyataan itu, aku berusaha menyembunyikan ketidaktahuanku dengan senyum.
Senyum tipis muncul di wajah Arzi. Aku tahu, senyumnya ini sedikit masam. Ada sesuatu yang tak enak terjadi.
"Saya dan Inka ngurus kerjaan kok, Mbak. Bukan pacaran."
"Kerjaan?" Nada tak yakin terdengar. Mata Ayu tampak penuh tanya.
Kuputuskan untuk bekerja sama dengan Arzi. Aku mengangguk. "Benar, Bu. ABS sedang nangani listriknya mesjid raya. Maintenance. Kebetulan kami ketemu di sini, jadi ya... sekadar say hello."
Mulut Ayu dan Tito kompak membentuk huruf 'o'
"Lagian gak papa juga sih, Ka. Arzi kan masih bujang... bujang lapuk dia mah. Hahaha."
Arzi lagi-lagi hanya tertawa. Ia tak tampak marah.
"Wah, jangan salah, Ka! Dia kerja di sini bukan karena pengen. Tapi kabur dari cewek-cewek Jakarta yang agresif," sergah Tito. Tangannya sudah merangkul bahu Arzi.
Kupegang dadaku seakan-akan kaget. "Benarkah? Waduh! Saya tipe agresif loh, Pak!"
"Nah lo, Zi!! Kena lo!"
Arzi menatapku. "Gak papa kalo Inka agresif ke saya, Mas. Ikhlas saya dijadiin imamnya."
Tawa kami berempat pun pecah, menarik perhatian beberapa orang yang sedang makan di tempat itu juga.
Kami mengobrol beberapa menit, sebelum akhirnya Tito dan Ayu pergi. Sempat kudengar Arzi dan Tito saling berjanji untuk makan bersama kami lain kali.
Lain kali?
Berarti akan ada pertemuan-pertemuan lain lagi dengan pria ini. Tapi entah mengapa, hatiku menyukai ide itu jadi saat Arzi menatapku bertanya, aku langsung mengiyakan.
"Maaf ya saya gak cerita kalo pernah dekat dengan Ratih," kata Arzi setelah kami kembali duduk.
Aku mendongak. Arzi menunduk lagi. "Seberapa dekat, Mas? Mbak Ratih masih baru sih di kantor aku, tapi aku cukup dekat sama dia. Kok bisa kita gak pernah ketemu? Aku juga kenal sama pacar Mbak Ratih loh."
"Ratih dan saya itu dekat sebelum ia kerja di kantormu, In. Tapi dia... Ratih dan saya tidak pernah pacaran. Kami hanya... dekat."
"Sedekat apa? Aku gak ngerti. Apa seperti kita ini atau bagaimana?"
Kepala Arzi terangkat. Ia menatapku sebelum tersenyum dan memalingkan wajah. Selalu seperti itu. "Mmm... mungkin agak sulit kamu pahami. Tapi jenis hubungan yang saya jalani dengan Ratih, itu... mmm... Kami sempat berpikir untuk menikah, hanya saja... di tengah jalan kami putuskan... tidak, emm.. saya yang putuskan kalau kami tidak... tidak cocok."
"Oooh, pacaran dong itu namanya!" selaku cepat.
Arzi menggeleng. "Tidak, In. Kami hanya dekat. Itu saja. Dalam keyakinan saya, pacaran itu haram. Jadi... "
"Tunggu! Tunggu! Aku gak ngerti deh. Tadi bukannya Pak Arzi bilang kalo Bapak sama Mbak Ratih hampir nikah. Kan itu artinya hubungan pacaran. Beneran aku bingung nih!"
Tawa masam itu muncul lagi di wajah Arzi.
"Jadi gini, Inka manis. Dalam Islam, kita gak boleh pacaran. Tapi berusaha mencari pasangan itu juga sangat disarankan. Nah, proses yang sesuai itu gak seperti pacaran yang kamu maksud. Beda. Namanya perkenalan, tapi ya benar-benar perkenalan. Sama seperti kita, saya dan Ratih itu bukan mahrom. Kalau kami bertemu dan berkenalan untuk maksud menikah, ya seperti ini. Bicara, berkomunikasi, memastikan kalau kita ini cocok atau tidak. Bukan dengan bersentuhan, pegang-pegangan tangan atau ... ya kamu pasti ngertilah."
Aku mengangkat bahu. "Aku makin gak ngerti. Terus masak cukup dengan komunikasi aja bisa tahu kita ini saling cinta atau enggak? Terus Bapak tahu gak cocoknya dari mana? Mastiin dengan apa kalau hati kita benar-benar suka sama dia atau enggak? Terus kenapa kita gak dibolehin saling menguji cinta dengan bersentuhan?"
Sejujurnya, aku sendiri tak terlalu memahami perasaanku pada Andra. Mengetahui sudut pandang Arzi tentang berkenalan dengan lawan jenis menurut keyakinan Islam ala dirinya, benar-benar menarik hatiku untuk tahu lebih banyak.
Senyuman di wajah Arzi tampak lebih misterius. "Allah yang memberitahu kita, In. Dengan caranya. Dengan hati yang hanya kita yang tahu."
Aku menggeleng-geleng. Makin bingung.
Arzi menghela napas, sebelum meraih gelas air putih hangatnya. "Kamu mau seorang lelaki memilihmu karena dia menyukaimu apa adanya, atau yang tertarik karena hawa nafsu?"
"Ya karena suka aku apa adanyalah. Kecantikan bisa pudar kapan aja, kalo karena nafsu, ya entar aku tua pasti ditinggal deh."
"That's the point, Inka! Mencintai dalam Islam itu harus benar-benar datang dari dalam hati. Perasaan itu harus dibedakan dengan nafsu. Kalo kita merasa punya rasa karena nafsu, sudah banyak dosa karenanya, eh... belum tentu itu perasaan cinta. Bisa saja itu karena nafsu yang ditiup iblis ke kita."
Aku termangu. Mulai paham sedikit demi sedikit.
"Tapi... kalo kita merasa tiap kali bicara atau ngobrol dengan seseorang, merasa tenang, menyukai cara dia bicara, bisa nyambung dan jadi pengen tahu lebih banyak tentang dirinya, trus kita merasa bisa bersamanya sampai kapanpun, rela berbagi apapun dengan orang itu nah... saya merasa inilah cara kita mulai untuk mencintai. Jika kita bisa mencintai seseorang hanya karena mendengar suaranya, maka kita bisa mencintai orang itu dengan segala kekurangannya."
Mata Arzi berpendar tertimpa cahaya saat ia kembali menatapku. Kini aku mengerti maksudnya. Tanpa sadar, aku mengangguk-angguk.
"Jadi apa anggukanmu itu artinya mengiyakan langkah kita selanjutnya?" tanya Arzi.
"Apa? Langkah apa?" tanyaku bingung.
Arzi tersenyum lebar saat menjawab pertanyaanku. "Langkah untuk mengganti status saya menjadi mahrommu."
Aku melongok, menunggu Arzi tertawa setelah melempar candaan itu. Tapi tidak. Ia tidak tersenyum, malah senyuman lebarnya berubah menjadi tatapan serius. Sekali lagi, ia melanggar aturannya sendiri.
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments
Langitⁿʲᵘˢ⋆⃝🌈N⃟ʲᵃᵃ࿐
wah arzi keren😍
2022-11-15
0
Annisa Rahma
iyain aja in... 🤭🤭🤭❤❤❤
2022-04-06
0
adisty aulia
woooow... kereeenBang ustadz🥰🥰🥲
Hanya saja saya terlanjur mengurai janji dengan Bang Andra😍😍
Bantu doanya Bang ustadz
2021-12-14
0