Mobil Andra yang membawaku pulang malam itu meluncur dalam kesunyian. Jalan sepi dan gelap yang kami lewati, seakan menular masuk ke dalam mobil. Entah mengapa jalanan yang biasanya terasa tak terlalu jauh, kini justru sebaliknya.
Aku berhasil meminta Dirga untuk tenang dan membiarkanku memikirkan situasi sebelum mengambil keputusan apapun yang mungkin saja mengubah hidupku. Aku bahkan bisa tersenyum sangat manis untuk Andra, dan melanjutkan obrolan kami seperti sebelumnya.
Aku harus sekuat Ibu. Aku harus bisa seperti ibu.
Berulangkali kukatakan itu dalam hati. Mengingat ibuku yang baru ketahuan memiliki penyakit mematikan itu setelah jatuh pingsan di usia kandungan mencapai tujuh bulan adalah sesuatu yang selalu berhasil membuatku menahan apapun dalam hatiku. Derita, sakit hati hingga sepi menusuk selalu bisa kulalui karena mengingat perjuangan ibu.
Tapi kali ini... semua terasa lebih sulit. Dadaku sangat berat. Airmata sudah berkali-kali mencuri-curi keluar dari mataku. Walaupun aku selalu berhasil menyembunyikannya dari Andra.
"Mas Dirga itu dokter kan, In?" Pertanyaan Andra memecah kesunyian mobil.
Aku menoleh. "Iya. Dokter di klinik."
"Tadi dia bawa kertas apaan? Soal kesehatanmu ya?" tanya Andra menyelidik.
Aku menunduk dan mengangguk. Tanpa menjawab.
"Dia bilang apa? Ada sesuatu yang aneh? Salah? Penyakit apa? Kapan kamu periksa?" berondong Andra dengan pertanyaan. Ia terdengar sedikit panik. Ada kekuatiran dalam nada suaranya.
"Enggak, Kakak ganteng! Hanya tekanan darah aja yang bermasalah. Nah maunya Mas Dirga, aku dicek lagi gitu di Balikpapan. Biar sekalian istirahat. Tapi aku-nya gak mau. Gituuu." Sengaja kutekankan suara agar terdengar ceria.
Helaan napas lega keluar dari mulut Andra. "Bener ya? Kamu jangan rahasiakan apapun dari saya ya, In. Pokoknya harus info ke saya secepatnya. Gak ada penyakit yang tidak ada obatnya."
Ada Kak... Kanker yang merampas ibuku.
Kami tiba di depan rumah kost. Sepi. Gelap. Hanya lampu teras 5 watt berwarna kuning yang menerangi. Semua orang pasti sudah tidur. Andra ikut turun ketika aku turun. Ia mengikutiku dari belakang sampai masuk ke teras. Begitu pintu terbuka, aku menoleh pada Andra. Kami bertatapan. Lalu ia menarikku dalam pelukannya, meninggalkan kecupan ringan di bibirku sambil membisikkan selamat malam dengan nada manis.
Aku memandanginya hingga mobilnya meluncur kembali ke jalan raya. Aku menghela napas lagi, sebelum berbalik mengunci pintu dan masuk ke kamarku sendiri.
Dalam kamar yang kubiarkan tetap gelap itu, aku duduk di tepi tempat tidurku. Tangis yang sedari tadi kutahan, mulai muncul dan satu demi satu buliran airmata jatuh membasahi wajahku.
Aku harus apa, ya Allah? Apa yang harus kulakukan sekarang?
***
Setidaknya aku tidak memikirkan soal penyakitku saat aku bekerja. Kesibukan yang makin banyak, berhasil mengalihkan perhatianku. Setidaknya sampai Dirga menelepon.
Aku menghindari teleponnya beberapa hari ini. Jangankan untuk menjawab pertanyaannya, untuk memikirkan rencana selanjutnya saja aku tak tahu. Otakku mau pecah setiap kali mempertimbangkan ini itu sebelum berakhir dengan tanpa jawaban. Pusing. Terlalu banyak variabelnya.
Aku baru 19 tahun!
Bagaimana bisa aku mengambil sebuah keputusan untuk masa depanku yang berlaku untuk seumur hidup?
"In, do you know the Green Big Mosque there?" tanya Hans begitu masuk dan ia singgah di mejaku. Aku mengangguk. [In, Apa kamu tahu Mesjid Besar Hijau di sana?]
Hans menyodori sebuah work order. "There's a small job to do urgently, but no Supervisor now. Can you go there and check for me?" [Ada pekerjaan kecil penting yang harus dilakukan, tapi gak ada Supervisor saat ini. Bisakah kamu ke sana dan memeriksanya untukku?]
"What kind of job, Pak?" tanyaku setelah melihat deskripsi pekerjaan yang hanya mengatakan ada masalah listrik tanpa ada detail apapun di situ. [Pekerjaan apa, Pak?]
"You can take an electrician to check there. Some electric connection couldn't work right now, and I don't really know what it is until we send someone there." [Kamu bisa mengajak satu Teknisi listrik ke sana. Ada beberapa koneksi listrik yang tidak bekerja saat ini dan aku gak terlalu tahu apa itu sampai kita mengirim seseorang ke sana.]
"Ok, I'll check it for you." [Baik, aku akan periksa itu untukmu]
"Thank you, Inka. When you go there, I'll do some drafts for the intake project. If we can't meet this afternoon, I'll put all those in your drawer. You can do it tomorrow." [Makasih, Inka. Saat kamu ke sana, aku akan membuat beberapa konsep dokumen untuk proyek Intake (perpipaan). Jika kita gak ketemu sore ini, aku akan meletakkan semuanya di dalam lacimu. Kamu bisa mengerjakannya besok.]
Aku mengangguk setuju. Lalu menekan tombol di telepon, meminta tolong Ratih untuk memanggil salah satu teknisi listrik.
Saat tiba di mesjid, suasana sepi. Hanya ada satu dua orang lewat dan beberapa di dalam mesjid. Sholat dhuhur sudah lama usai, tapi sholat ashar masih lama. Aku langsung turun, meminta sang teknisi mengikuti, sementara kuminta supir mobil untuk menunggu tak jauh dari mesjid. Kupikir hanya perlu beberapa menit untuk pengecekan awal. Aku ingin segera kembali ke kantor, menyelesaikan draft tender dari Hans.
Sesuai dengan informasi dari Hans, aku bergerak menuju kantor administrasi Mesjid. Di sana hanya ada seorang pria tua sedang duduk membaca koran.
"Maaf, Pak! Saya dari ABS. Mau ketemu dengan... mmm, yang ini... " Aku lupa menanyai nama orang yang harus kutemui pada Hans tadi. Kuambil fotokopi work order yang tadi kumasukkan begitu saja tanpa sempat membacanya dalam tas. Di situ ada nama user. Senyumku mengembang saat membaca namanya. Arzi. Pria dengan suara indah.
"Kalo nyari Pak Arzi, beliau ada di mesjid. Tadi udah info ke saya," ujar si pria tua tadi ramah. Aku mengangguk sambil mengucapkan terima kasih.
Saat masuk ke mesjid, aku mengedarkan pandangan. Tidak banyak orang. Jadi dalam sekali edaran pandang, aku sudah menemukan sosok yang kucari. Tapi kali ini ia tak sedang memakai seragam biru mudanya. Ia mengenakan kemeja putih. Ia sedang duduk bersandar di salah satu tiang mesjid, membaca sesuatu.
Aku melangkah mendekatinya. Baru beberapa langkah aku berjalan, ia sudah melihatku. Ia berdiri dan menyongsong kedatanganku.
"Assalamualaikum!" sapanya santun.
"Ha... Waalaikum salam!" Buru-buru kujawab salamnya, dengan tangan terulur. Hendak bersalaman.
Tapi Arzi hanya tersenyum dan mengatupkan kedua tangannya di depan dada, mengangguk memberi hormat tanpa membalas uluran tanganku.
Aduh, aku lupa kalo ada beberapa muslim yang tidak mau bersentuhan dengan orang yang bukan istrinya. Ya sutralah! Nahan malu aja.
"Bapak yang ngurusin WO* kan ya? Orang aku ada di luar situ, Pak. Dia mau ngecek yang mau dikerjain apa aja. Bisa dibantu infoin yang mana, Pak?" tanyaku to the point. Biar cepet selesai aja di sini. Aku kan bukan muslim taat, gak enak rasanya berlama-lama. Takut dosa.
*[A/N:WO: Work Order]
"Baik, Mbak," sahutnya cepat. Lalu tergopoh-gopoh mendatangi teknisi perusahaanku yang sedang berdiri di tangga Mesjid. Sementara mereka mulai inspeksi keliling, aku memilih duduk di luar mesjid. Tepatnya di teras. Seperti dulu.
Untungnya tadi aku sempat mengganti rok dengan celana panjang. Mau duduk dengan gaya apapun, bebas!!
Tak lama, Arzi datang lagi. Kini ia sendirian.
"Loh, sudah?" tanyaku bingung hendak berdiri. Tapi aku tak melihat teknisiku.
Tangan Arzi terangkat, menahan agar aku tak usah berdiri. Justru ia yang ikut duduk. Cukup jauh dariku, tapi suaranya masih bisa kudengar jelas.
"Bukan saya yang nunjukin, Mbak. Ada orangnya sendiri. Saya juga gak ngerti."
"Oalaaah... Kok gak ngerti toh, Mas? Kan kerjaan cowok."
Arzi tertawa kecil. "Cowok juga kerja macam-macam, Mbak. Sama seperti perempuan, gak semuanya bisa masak kan? Saya ini taunya bayarin aja, trus masukin ke laporan sesuai posnya."
Aku mengangguk-angguk mengerti. Oooh, iya memang pantas kalau ia tak mengerti. Berasa disindir juga mengingat aku juga perempuan yang tak bisa memasak.
"Asli mana, Mbak?" tanya Arzi lagi.
Aku menoleh. Menatapnya. Tapi anehnya Arzi malah melihat ke arah lain.
"Saya? Gak jelas... "
"Kok gak jelas?" tanyanya bingung. Tetap saja ia tak melihatku.
"Papa saya orang Bugis. Ibu kandung saya orang Dayak Berau Belanda dan Cina. Tapi saya gak bisa bahasa mereka semua, gak tau budaya mereka juga."
"Masak? Sama sekali?" Kali ini Arzi menatapku meski hanya sekilas.
Aku mengangguk-angguk. Teringat sesuatu. "Eh, tapi saya tahu satu budaya keluarga."
"Apa tuh?"
"Papa saya dan semua adiknya punya istri lebih dari satu," kataku dengan nada jenaka.
Lelaki itu tertawa juga. Menggeleng-geleng tak percaya.
"Lah, Ibunya Mbak gak keberatan kan?"
Aku mengangkat bahu. "Entahlah! Nanti deh kalo saya udah mati saya tanya ke ibu."
Senyuman lebar yang tadi ada di wajah Arzi langsung hilang. Ia menatapku sebelum menoleh ke arah lain saat berkata. "Maaf kalo saya membuat Mbak keingetan almarhumah ibu. Maaf."
Kukibaskan tanganku. "Slow, Pak. Saya udah dari lahir gak tau Ibu. Gak ngerasain sedih sedih gitu. Stok ibu saya ada tiga. Tenang aja."
"Benarkah? Tiga?* Wow*, Papanya Mbak luar biasa," serunya kagum. Kekaguman yang berkali-kali kudengar sejak kecil.
Aku menunduk, menyembunyikan senyum getir.
"Sekarang sudah sehat, Mbak?" tanya Arzi lagi, berganti tema. Aku tak lagi menoleh. Paling-paling dia juga sedang melihat ke arah lain.
"Iya," jawabku singkat.
"Alhamdulillah."
"Hanya sakit biasa aja, kok. Orang-orang aja berlebihan nanggapin."
"Tapi saya dengar, Mbak sampai harus dirawat dan general check up juga. Berarti kan parah tuh."
Kali ini aku kembali menoleh. Ia masih menatap ke arah lain. Tapi kata-katanya membuatku heran. Dari mana dia tahu semua itu?
"Saat Mbak dibawa ke UGD, saya baru selesai periksa ke dokter Dirga. Nah dokter Dirga ngasih perintah ke suster dan infoin ke Boss Mbak, saya ikut dengerin semua. Saya juga lihat loh waktu Mbak digendong sama Boss-nya yang orang bule itu," katanya lagi menjelaskan, seakan bisa membaca pikiranku.
Ternyata itu sebabnya. Aku mengangguk-angguk lagi.
"Penyakit itu kebanyakan berasal dari hati dan pikiran. Kalo kita bisa me-manage dua itu, banyak penyakit yang bisa sembuh dengan sendirinya."
"Termasuk kanker?" cetusku tanpa sadar.
Aku tak perlu menoleh untuk tahu kalau saat itu Arzi sedang menatap ke arahku. Aku bahkan tak perlu membayangkan apapun, karena aku tahu saat ini sorot matanya sedang bertanya maksud kata-kataku.
Kami membisu untuk beberapa detik. Sebelum dua suara pria sedang berbicara terdengar dari arah belakang. Kami sama-sama menoleh ke arah asal suara itu sebelum berdiri.
"Sudah selesai?" tanyaku pada teknisi. Anak muda yang selisihnya hanya beberapa tahun dariku itu mengangguk. Lalu aku menoleh pada dua orang pria yang berdiri di depanku. "Kalau begitu saya pamit dulu, Bapak-bapak. Nanti hasil pengecekan akan kami informasikan paling lambat besok siang, termasuk material cost dan fee-nya. Mau diemail atau dikirim aja quotation*-nya?"
[AN: Material Cost: Biaya Material, Fee: Ongkos kerja, Quotation: Surat Penawaran]
"Besok aja saya telpon Mbak Inka, gimana? Yang penting saya tau totalannya dulu. Surat asli bisa nanti nyusul pas kita ketemu aja," jawab Arzi.
Aku mengangguk setuju. "Oke, baik. Kami pamit. Hmm... Assalamualaikum."
"Waalaikum salam." Kedua pria itu menjawab bersamaan.
Aku bisa merasakan tatapan Arzi menyapu punggungku. Dan aku menoleh. Tatapan kami bertemu sekilas. Kali ini Arzi tidak memalingkan wajah. Ia tetap menatapku. Kuhadiahkan dia sebuah senyuman.
Terima kasih Pak. Obrolan kita sangat singkat. Tapi entah mengapa aku merasa jauh lebih tenang sekarang. Ini pertama kali kami bertemu dan aku bisa melihat wajahnya lebih dekat. Wajah yang memberiku ketenangan.
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments
Langitⁿʲᵘˢ⋆⃝🌈N⃟ʲᵃᵃ࿐
😥😥😥🤗
2022-11-14
0
Annisa Rahma
cieee Inka... 🤭🤭🤭❤❤❤❤
2021-11-24
1
NuRiefah
apakah nanti arzi yg justru jadi jodoh INKA thor,?
2020-07-29
2