Episode 12 - Wajah Yang Menenangkan

Mobil Andra yang membawaku pulang malam itu meluncur dalam kesunyian. Jalan sepi dan gelap yang kami lewati, seakan menular masuk ke dalam mobil. Entah mengapa jalanan yang biasanya terasa tak terlalu jauh, kini justru sebaliknya.

Aku berhasil meminta Dirga untuk tenang dan membiarkanku memikirkan situasi sebelum mengambil keputusan apapun yang mungkin saja mengubah hidupku. Aku bahkan bisa tersenyum sangat manis untuk Andra, dan melanjutkan obrolan kami seperti sebelumnya.

Aku harus sekuat Ibu. Aku harus bisa seperti ibu.

Berulangkali kukatakan itu dalam hati. Mengingat ibuku yang baru ketahuan memiliki penyakit mematikan itu setelah jatuh pingsan di usia kandungan mencapai tujuh bulan adalah sesuatu yang selalu berhasil membuatku menahan apapun dalam hatiku. Derita, sakit hati hingga sepi menusuk selalu bisa kulalui karena mengingat perjuangan ibu.

Tapi kali ini... semua terasa lebih sulit. Dadaku sangat berat. Airmata sudah berkali-kali mencuri-curi keluar dari mataku. Walaupun aku selalu berhasil menyembunyikannya dari Andra.

"Mas Dirga itu dokter kan, In?" Pertanyaan Andra memecah kesunyian mobil.

Aku menoleh. "Iya. Dokter di klinik."

"Tadi dia bawa kertas apaan? Soal kesehatanmu ya?" tanya Andra menyelidik.

Aku menunduk dan mengangguk. Tanpa menjawab.

"Dia bilang apa? Ada sesuatu yang aneh? Salah? Penyakit apa? Kapan kamu periksa?" berondong Andra dengan pertanyaan. Ia terdengar sedikit panik. Ada kekuatiran dalam nada suaranya.

"Enggak, Kakak ganteng! Hanya tekanan darah aja yang bermasalah. Nah maunya Mas Dirga, aku dicek lagi gitu di Balikpapan. Biar sekalian istirahat. Tapi aku-nya gak mau. Gituuu." Sengaja kutekankan suara agar terdengar ceria.

Helaan napas lega keluar dari mulut Andra. "Bener ya? Kamu jangan rahasiakan apapun dari saya ya, In. Pokoknya harus info ke saya secepatnya. Gak ada penyakit yang tidak ada obatnya."

Ada Kak... Kanker yang merampas ibuku.

Kami tiba di depan rumah kost. Sepi. Gelap. Hanya lampu teras 5 watt berwarna kuning yang menerangi. Semua orang pasti sudah tidur. Andra ikut turun ketika aku turun. Ia mengikutiku dari belakang sampai masuk ke teras. Begitu pintu terbuka, aku menoleh pada Andra. Kami bertatapan. Lalu ia menarikku dalam pelukannya, meninggalkan kecupan ringan di bibirku sambil membisikkan selamat malam dengan nada manis.

Aku memandanginya hingga mobilnya meluncur kembali ke jalan raya. Aku menghela napas lagi, sebelum berbalik mengunci pintu dan masuk ke kamarku sendiri.

Dalam kamar yang kubiarkan tetap gelap itu, aku duduk di tepi tempat tidurku. Tangis yang sedari tadi kutahan, mulai muncul dan satu demi satu buliran airmata jatuh membasahi wajahku.

Aku harus apa, ya Allah? Apa yang harus kulakukan sekarang?

***

Setidaknya aku tidak memikirkan soal penyakitku saat aku bekerja. Kesibukan yang makin banyak, berhasil mengalihkan perhatianku. Setidaknya sampai Dirga menelepon.

Aku menghindari teleponnya beberapa hari ini. Jangankan untuk menjawab pertanyaannya, untuk memikirkan rencana selanjutnya saja aku tak tahu. Otakku mau pecah setiap kali mempertimbangkan ini itu sebelum berakhir dengan tanpa jawaban. Pusing. Terlalu banyak variabelnya.

Aku baru 19 tahun!

Bagaimana bisa aku mengambil sebuah keputusan untuk masa depanku yang berlaku untuk seumur hidup?

"In, do you know the Green Big Mosque there?" tanya Hans begitu masuk dan ia singgah di mejaku. Aku mengangguk. [In, Apa kamu tahu Mesjid Besar Hijau di sana?]

Hans menyodori sebuah work order. "There's a small job to do urgently, but no Supervisor now. Can you go there and check for me?" [Ada pekerjaan kecil penting yang harus dilakukan, tapi gak ada Supervisor saat ini. Bisakah kamu ke sana dan memeriksanya untukku?]

"What kind of job, Pak?" tanyaku setelah melihat deskripsi pekerjaan yang hanya mengatakan ada masalah listrik tanpa ada detail apapun di situ. [Pekerjaan apa, Pak?]

"You can take an electrician to check there. Some electric connection couldn't work right now, and I don't really know what it is until we send someone there." [Kamu bisa mengajak satu Teknisi listrik ke sana. Ada beberapa koneksi listrik yang tidak bekerja saat ini dan aku gak terlalu tahu apa itu sampai kita mengirim seseorang ke sana.]

"Ok, I'll check it for you." [Baik, aku akan periksa itu untukmu]

"Thank you, Inka. When you go there, I'll do some drafts for the intake project. If we can't meet this afternoon, I'll put all those in your drawer. You can do it tomorrow." [Makasih, Inka. Saat kamu ke sana, aku akan membuat beberapa konsep dokumen untuk proyek Intake (perpipaan). Jika kita gak ketemu sore ini, aku akan meletakkan semuanya di dalam lacimu. Kamu bisa mengerjakannya besok.]

Aku mengangguk setuju. Lalu menekan tombol di telepon, meminta tolong Ratih untuk memanggil salah satu teknisi listrik.

Saat tiba di mesjid, suasana sepi. Hanya ada satu dua orang lewat dan beberapa di dalam mesjid. Sholat dhuhur sudah lama usai, tapi sholat ashar masih lama. Aku langsung turun, meminta sang teknisi mengikuti, sementara kuminta supir mobil untuk menunggu tak jauh dari mesjid. Kupikir hanya perlu beberapa menit untuk pengecekan awal. Aku ingin segera kembali ke kantor, menyelesaikan draft tender dari Hans.

Sesuai dengan informasi dari Hans, aku bergerak menuju kantor administrasi Mesjid. Di sana hanya ada seorang pria tua sedang duduk membaca koran.

"Maaf, Pak! Saya dari ABS. Mau ketemu dengan... mmm, yang ini... " Aku lupa menanyai nama orang yang harus kutemui pada Hans tadi. Kuambil fotokopi work order yang tadi kumasukkan begitu saja tanpa sempat membacanya dalam tas. Di situ ada nama user. Senyumku mengembang saat membaca namanya. Arzi. Pria dengan suara indah.

"Kalo nyari Pak Arzi, beliau ada di mesjid. Tadi udah info ke saya," ujar si pria tua tadi ramah. Aku mengangguk sambil mengucapkan terima kasih.

Saat masuk ke mesjid, aku mengedarkan pandangan. Tidak banyak orang. Jadi dalam sekali edaran pandang, aku sudah menemukan sosok yang kucari. Tapi kali ini ia tak sedang memakai seragam biru mudanya. Ia mengenakan kemeja putih. Ia sedang duduk bersandar di salah satu tiang mesjid, membaca sesuatu.

Aku melangkah mendekatinya. Baru beberapa langkah aku berjalan, ia sudah melihatku. Ia berdiri dan menyongsong kedatanganku.

"Assalamualaikum!" sapanya santun.

"Ha... Waalaikum salam!" Buru-buru kujawab salamnya, dengan tangan terulur. Hendak bersalaman.

Tapi Arzi hanya tersenyum dan mengatupkan kedua tangannya di depan dada, mengangguk memberi hormat tanpa membalas uluran tanganku.

Aduh, aku lupa kalo ada beberapa muslim yang tidak mau bersentuhan dengan orang yang bukan istrinya. Ya sutralah! Nahan malu aja.

"Bapak yang ngurusin WO* kan ya? Orang aku ada di luar situ, Pak. Dia mau ngecek yang mau dikerjain apa aja. Bisa dibantu infoin yang mana, Pak?" tanyaku to the point. Biar cepet selesai aja di sini. Aku kan bukan muslim taat, gak enak rasanya berlama-lama. Takut dosa.

*[A/N:WO: Work Order]

"Baik, Mbak," sahutnya cepat. Lalu tergopoh-gopoh mendatangi teknisi perusahaanku yang sedang berdiri di tangga Mesjid. Sementara mereka mulai inspeksi keliling, aku memilih duduk di luar mesjid. Tepatnya di teras. Seperti dulu.

Untungnya tadi aku sempat mengganti rok dengan celana panjang. Mau duduk dengan gaya apapun, bebas!!

Tak lama, Arzi datang lagi. Kini ia sendirian.

"Loh, sudah?" tanyaku bingung hendak berdiri. Tapi aku tak melihat teknisiku.

Tangan Arzi terangkat, menahan agar aku tak usah berdiri. Justru ia yang ikut duduk. Cukup jauh dariku, tapi suaranya masih bisa kudengar jelas.

"Bukan saya yang nunjukin, Mbak. Ada orangnya sendiri. Saya juga gak ngerti."

"Oalaaah... Kok gak ngerti toh, Mas? Kan kerjaan cowok."

Arzi tertawa kecil. "Cowok juga kerja macam-macam, Mbak. Sama seperti perempuan, gak semuanya bisa masak kan? Saya ini taunya bayarin aja, trus masukin ke laporan sesuai posnya."

Aku mengangguk-angguk mengerti. Oooh, iya memang pantas kalau ia tak mengerti. Berasa disindir juga mengingat aku juga perempuan yang tak bisa memasak.

"Asli mana, Mbak?" tanya Arzi lagi.

Aku menoleh. Menatapnya. Tapi anehnya Arzi malah melihat ke arah lain.

"Saya? Gak jelas... "

"Kok gak jelas?" tanyanya bingung. Tetap saja ia tak melihatku.

"Papa saya orang Bugis. Ibu kandung saya orang Dayak Berau Belanda dan Cina. Tapi saya gak bisa bahasa mereka semua, gak tau budaya mereka juga."

"Masak? Sama sekali?" Kali ini Arzi menatapku meski hanya sekilas.

Aku mengangguk-angguk. Teringat sesuatu. "Eh, tapi saya tahu satu budaya keluarga."

"Apa tuh?"

"Papa saya dan semua adiknya punya istri lebih dari satu," kataku dengan nada jenaka.

Lelaki itu tertawa juga. Menggeleng-geleng tak percaya.

"Lah, Ibunya Mbak gak keberatan kan?"

Aku mengangkat bahu. "Entahlah! Nanti deh kalo saya udah mati saya tanya ke ibu."

Senyuman lebar yang tadi ada di wajah Arzi langsung hilang. Ia menatapku sebelum menoleh ke arah lain saat berkata. "Maaf kalo saya membuat Mbak keingetan almarhumah ibu. Maaf."

Kukibaskan tanganku. "Slow, Pak. Saya udah dari lahir gak tau Ibu. Gak ngerasain sedih sedih gitu. Stok ibu saya ada tiga. Tenang aja."

"Benarkah? Tiga?* Wow*, Papanya Mbak luar biasa," serunya kagum. Kekaguman yang berkali-kali kudengar sejak kecil.

Aku menunduk, menyembunyikan senyum getir.

"Sekarang sudah sehat, Mbak?" tanya Arzi lagi, berganti tema. Aku tak lagi menoleh. Paling-paling dia juga sedang melihat ke arah lain.

"Iya," jawabku singkat.

"Alhamdulillah."

"Hanya sakit biasa aja, kok. Orang-orang aja berlebihan nanggapin."

"Tapi saya dengar, Mbak sampai harus dirawat dan general check up juga. Berarti kan parah tuh."

Kali ini aku kembali menoleh. Ia masih menatap ke arah lain. Tapi kata-katanya membuatku heran. Dari mana dia tahu semua itu?

"Saat Mbak dibawa ke UGD, saya baru selesai periksa ke dokter Dirga. Nah dokter Dirga ngasih perintah ke suster dan infoin ke Boss Mbak, saya ikut dengerin semua. Saya juga lihat loh waktu Mbak digendong sama Boss-nya yang orang bule itu," katanya lagi menjelaskan, seakan bisa membaca pikiranku.

Ternyata itu sebabnya. Aku mengangguk-angguk lagi.

"Penyakit itu kebanyakan berasal dari hati dan pikiran. Kalo kita bisa me-manage dua itu, banyak penyakit yang bisa sembuh dengan sendirinya."

"Termasuk kanker?" cetusku tanpa sadar.

Aku tak perlu menoleh untuk tahu kalau saat itu Arzi sedang menatap ke arahku. Aku bahkan tak perlu membayangkan apapun, karena aku tahu saat ini sorot matanya sedang bertanya maksud kata-kataku.

Kami membisu untuk beberapa detik. Sebelum dua suara pria sedang berbicara terdengar dari arah belakang. Kami sama-sama menoleh ke arah asal suara itu sebelum berdiri.

"Sudah selesai?" tanyaku pada teknisi. Anak muda yang selisihnya hanya beberapa tahun dariku itu mengangguk. Lalu aku menoleh pada dua orang pria yang berdiri di depanku. "Kalau begitu saya pamit dulu, Bapak-bapak. Nanti hasil pengecekan akan kami informasikan paling lambat besok siang, termasuk material cost dan fee-nya. Mau diemail atau dikirim aja quotation*-nya?"

[AN: Material Cost: Biaya Material, Fee: Ongkos kerja, Quotation: Surat Penawaran]

"Besok aja saya telpon Mbak Inka, gimana? Yang penting saya tau totalannya dulu. Surat asli bisa nanti nyusul pas kita ketemu aja," jawab Arzi.

Aku mengangguk setuju. "Oke, baik. Kami pamit. Hmm... Assalamualaikum."

"Waalaikum salam." Kedua pria itu menjawab bersamaan.

Aku bisa merasakan tatapan Arzi menyapu punggungku. Dan aku menoleh. Tatapan kami bertemu sekilas. Kali ini Arzi tidak memalingkan wajah. Ia tetap menatapku. Kuhadiahkan dia sebuah senyuman.

Terima kasih Pak. Obrolan kita sangat singkat. Tapi entah mengapa aku merasa jauh lebih tenang sekarang. Ini pertama kali kami bertemu dan aku bisa melihat wajahnya lebih dekat. Wajah yang memberiku ketenangan.

*****

Terpopuler

Comments

Langitⁿʲᵘˢ⋆⃝🌈N⃟ʲᵃᵃ࿐

Langitⁿʲᵘˢ⋆⃝🌈N⃟ʲᵃᵃ࿐

😥😥😥🤗

2022-11-14

0

Annisa Rahma

Annisa Rahma

cieee Inka... 🤭🤭🤭❤❤❤❤

2021-11-24

1

NuRiefah

NuRiefah

apakah nanti arzi yg justru jadi jodoh INKA thor,?

2020-07-29

2

lihat semua
Episodes
1 Episode 1 - Punggung Lelaki itu
2 Episode 2 - Di antara Pekerjaan
3 Episode 3 - Lingkaran Kehidupanku
4 Episode 4 - Suara Lelaki itu
5 Episode 5 - Pengunjung Tak Terduga
6 Episode 6 - Tanpa Siapapun
7 Episode 7 - Apa Aku Penting Baginya?
8 Episode 8 - Sulit Diucapkan, Sulit Ditanyakan
9 Episode 9 - Pengakuan
10 Episode 10 - Sejuta Rasa Cinta
11 Episode 11 - Kutukan Ulang Tahun
12 Episode 12 - Wajah Yang Menenangkan
13 Episode 13 - Hanya Seorang Teman
14 Episode 14 - Bukan Mahrom
15 Episode 15 - Antara Ratih dan Arzi
16 Episode 16 - Saat Menyenangkan Bersamanya
17 Episode 17 - Terlalu Banyak Pertanyaan
18 Episode 18 - Cemburu
19 Episode 19 - Perjalanan Singkat
20 Episode 20 - Lamarannya
21 Episode 21 - Debat
22 Episode 22 - Janji Kami
23 Episode 23 - Kenangan Masa Lalu
24 Episode 24 - Malam yang Menyenangkan
25 Episode 25 - Calon Keluarga atau Musuh
26 Episode 26 - Ikut Dia Selamanya
27 Episode 27 - Sisi Lain
28 Episode 28 - Lamaran Resmi
29 Episode 29 - Untuk Cinta Sejati
30 Episode 30 - Kemarahannya
31 Episode 31 - Hari-hari Penantian
32 Episode 32 - Berita Buruk
33 Episode 33 - Lebam
34 Episode 34 - Pengumuman
35 Episode 35 - Potongan Kenangan
36 Episode 36 - Undangan
37 Episode 37 - Perhatiannya
38 Episode 38 - Putus
39 Episode 39 - Malam yang Menakutkan
40 Episode 40 - 3 Lelaki: Cinta Tanpa Maaf
41 Episode 41 - Jatuh Cinta Tiap Hari
42 Episode 42 - Racun
43 Episode 43 - Hikmah Di Saat Sakit
44 Episode 44 - Hari Pernikahan
45 Episode 45 - Pengantin Bodoh
46 Episode 46 - Hidup yang Baru
47 Episode 47 - Seandainya
48 Episode 48 - Perjalanan ke Kampung
49 Episode 49 - Mertua
50 Episode 50 - Adik-adik yang Baru
51 Episode 51 - Anak Gembala
52 Episode 52 - Menjelang Pulang
53 Episode 53 - Waktu Untuk Menerima
54 Episode 54 - Rumah Masa Depan
55 Episode 55 - Di Antara Dua Agama
56 Episode 56 - Mengubah Desain
57 Episode 57 - Gadis Berkerudung Hijau
58 Episode 58 - Rumah Tangga
59 Episode 59 - Saatnya Bicara
60 Episode 60 - Selamat Tinggal, Sahabat!
61 Episode 61 - Kecurigaan
62 Episode 62 - Pertengkaran Pertama
63 Episode 63 - Berbaikan
64 Episode 64 - Perdebatan
65 Episode 65 - Kecelakaan Kerja
66 Episode 66 - Tamu Tengah Malam
67 Episode 67 - Kesayangan Allah
68 Episode 68 - Hadiah Dari Tammy
69 Episode 69 - Bukan Sebagai Beban
70 Episode 70 - Alasan Untuk Pindah
71 Episode 71 - Persiapan
72 Episode 72 - Terluka
73 Episode 73 - Di Antara Tragedi
74 Episode 74 - Memaafkan
75 Episode 75 - Berita Kehamilan
76 Episode 76 - Kunjungan
77 Episode 77 - Di Antara Penyesalan
78 Episode 78 - Dari Hati ke Hati
79 Episode 79 - Epilog (Andra) Janji Cinta Pertama
80 Episode 80 - Epilog (Andra) Bye, Love!
81 Preview - Welcome, Love!
82 Catatan Penulis
Episodes

Updated 82 Episodes

1
Episode 1 - Punggung Lelaki itu
2
Episode 2 - Di antara Pekerjaan
3
Episode 3 - Lingkaran Kehidupanku
4
Episode 4 - Suara Lelaki itu
5
Episode 5 - Pengunjung Tak Terduga
6
Episode 6 - Tanpa Siapapun
7
Episode 7 - Apa Aku Penting Baginya?
8
Episode 8 - Sulit Diucapkan, Sulit Ditanyakan
9
Episode 9 - Pengakuan
10
Episode 10 - Sejuta Rasa Cinta
11
Episode 11 - Kutukan Ulang Tahun
12
Episode 12 - Wajah Yang Menenangkan
13
Episode 13 - Hanya Seorang Teman
14
Episode 14 - Bukan Mahrom
15
Episode 15 - Antara Ratih dan Arzi
16
Episode 16 - Saat Menyenangkan Bersamanya
17
Episode 17 - Terlalu Banyak Pertanyaan
18
Episode 18 - Cemburu
19
Episode 19 - Perjalanan Singkat
20
Episode 20 - Lamarannya
21
Episode 21 - Debat
22
Episode 22 - Janji Kami
23
Episode 23 - Kenangan Masa Lalu
24
Episode 24 - Malam yang Menyenangkan
25
Episode 25 - Calon Keluarga atau Musuh
26
Episode 26 - Ikut Dia Selamanya
27
Episode 27 - Sisi Lain
28
Episode 28 - Lamaran Resmi
29
Episode 29 - Untuk Cinta Sejati
30
Episode 30 - Kemarahannya
31
Episode 31 - Hari-hari Penantian
32
Episode 32 - Berita Buruk
33
Episode 33 - Lebam
34
Episode 34 - Pengumuman
35
Episode 35 - Potongan Kenangan
36
Episode 36 - Undangan
37
Episode 37 - Perhatiannya
38
Episode 38 - Putus
39
Episode 39 - Malam yang Menakutkan
40
Episode 40 - 3 Lelaki: Cinta Tanpa Maaf
41
Episode 41 - Jatuh Cinta Tiap Hari
42
Episode 42 - Racun
43
Episode 43 - Hikmah Di Saat Sakit
44
Episode 44 - Hari Pernikahan
45
Episode 45 - Pengantin Bodoh
46
Episode 46 - Hidup yang Baru
47
Episode 47 - Seandainya
48
Episode 48 - Perjalanan ke Kampung
49
Episode 49 - Mertua
50
Episode 50 - Adik-adik yang Baru
51
Episode 51 - Anak Gembala
52
Episode 52 - Menjelang Pulang
53
Episode 53 - Waktu Untuk Menerima
54
Episode 54 - Rumah Masa Depan
55
Episode 55 - Di Antara Dua Agama
56
Episode 56 - Mengubah Desain
57
Episode 57 - Gadis Berkerudung Hijau
58
Episode 58 - Rumah Tangga
59
Episode 59 - Saatnya Bicara
60
Episode 60 - Selamat Tinggal, Sahabat!
61
Episode 61 - Kecurigaan
62
Episode 62 - Pertengkaran Pertama
63
Episode 63 - Berbaikan
64
Episode 64 - Perdebatan
65
Episode 65 - Kecelakaan Kerja
66
Episode 66 - Tamu Tengah Malam
67
Episode 67 - Kesayangan Allah
68
Episode 68 - Hadiah Dari Tammy
69
Episode 69 - Bukan Sebagai Beban
70
Episode 70 - Alasan Untuk Pindah
71
Episode 71 - Persiapan
72
Episode 72 - Terluka
73
Episode 73 - Di Antara Tragedi
74
Episode 74 - Memaafkan
75
Episode 75 - Berita Kehamilan
76
Episode 76 - Kunjungan
77
Episode 77 - Di Antara Penyesalan
78
Episode 78 - Dari Hati ke Hati
79
Episode 79 - Epilog (Andra) Janji Cinta Pertama
80
Episode 80 - Epilog (Andra) Bye, Love!
81
Preview - Welcome, Love!
82
Catatan Penulis

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!