Kalau sedang ulang tahun, putuskan sambungan telepon!
Harusnya ada tips seperti itu ketika seseorang merayakan ulang tahun. Karena untuk pertama kalinya aku merayakan ulangtahunku dengan telepon berderang dering sejak jam 12 tengah malam.
Pertama yang mengucapkan adalah Dirga. Tengah malam. Benar-benar tepat pukul 12.00 WITA. Membuatku hampir membanting telepon. Bagaimana bisa dia membuat telingaku hampir buntu ketika membalas sapaan halo setengah mengantuk dengan terompet?
Kedua adalah Kak Thamrin yang kebetulan bertugas shift malam, ia menghubungi tepat pukul satu tengah malam. Suara ramai meningkahi teleponnya. Ternyata setelah itu, ada teman-teman lain bergantian mengucapkan selamat. Aku hanya bisa mengatakan 'iya makasih' dengan mata terpejam lebih dari sepuluh kali.
Menjelang subuh, berturut-turut Kak Andra dan Papa yang menelpon. Aku menjawab kedua telepon bersamaan.
"Siapa yang nelpon subuh-subuh begini?" tanya Papa ketika aku bilang ada telepon lain yang sedang menunggu. Fitur telepon yang kupasang memang bisa mengetahui ada telpon masuk lain saat kita sedang saling menelpon.
"Teman Inka, Pah!" jawabku seenaknya.
"Eeh, laki apa perempuan? Kalau laki-laki berarti bukan orang baik tuh, Nak! Sini Papa omelin! Enak aja gangguin istirahat anak Papa!" kata Papa sewot.
"Ya kalo gitu, Papa telpon Mas Dirga deh. Dia barusan nelpon Inka jam 12, bangunin dan gangguin Inka. Enggak baik kan Pah?"
Terdengar tawa Papa di ujung telepon. "Waah, kalo itu beda, Ka. Kalau yang satu itu spesial deh. Papa malah suruh sih."
"Haiiish! Papah, udah ya. Kelamaan nih temen Inka mo ngomong. Kali aja ngomong kerjaan," kataku tak peduli.
"Subuh kok ngomongin kerjaan..."
Tut!
Selesai. Malas mendengarkan celotehan Papa. Kutekan salah satu tombol dan menerima telepon yang sejak tadi menunggu.
"Halo? Inka?"
"Iya, ini Inka. Kak Andra ya?"
"Tadi ngomong sama siapa? Kok lama?"
Oke ini manusia pencemburu satu lagi. Baru juga dua hari resmi pacaran. Dengan sebal aku menjawab, "Papa, Kak! Papa Inka!"
Andra tertawa kecil. Lalu kali ini sedikit berbisik, "Maaf Inka sayang! Kirain tadi siapa... Kamu gak sholat? Sholat ya, bersyukur sama Allah dan jangan lupa doain supaya tahun depan kita udah nikah dan rayain ultahmu bareng."
"Uuuugh, gombal ya gombal!"
"Gak papa kan? Sama yayang sendiri ini." Senyumku otomatis merekah. Mataku terbuka lebar. Yayang? Sayang ya maksudnya?
Buatku, sekarang Andra jauh lebih berbeda. Padahal baru dua hari yang lalu, aku mendengar pengakuannya. Itupun tak sengaja. Setelah itu juga tak pernah ada penjelasan apapun.
Sore harinya sepulang kerja, Andra mengajakku ke mess. Tapi ia menarikku masuk ke kamarnya. Aku baru tahu kalau ia tidur sendirian di kamar yang lebih luas dua kali lipat daripada kamar teman-temannya yang lain. Kamar mandinya pun di dalam.
“Kakak mandi dulu ya, In. Kamu tunggu sebentar!” pintanya, yang hanya kujawab dengan anggukan.
Jajaran lemari berisi buku-buku di pojok kamar sudah menarik perhatianku sejak masuk. Maka hal pertama yang ingin kujelajahi tentu buku-buku itu. Sambil menunggu, aku mulai menarik buku-buku yang sebagian besar ternyata berbahasa Inggris. Dulu buku-buku impor seperti ini hanya kudapatkan saat tinggal bersama Nenek.
“Ada yang bagus? Itu buku-buku kimia semua, In!” Suara itu membuatku menoleh.
Andra berdiri di depan kamar mandi, sudah memakai kaos oblong dan celana pendek. Tapi tangannya masih sibuk mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil. Titik-titik air juga masih terlihat berkilauan di wajahnya. Aku meneguk liur. Astaga... kenapa dia terlihat begitu tampan?
“Eh... tapi menarik! Inka dulu pengen masuk SMA, tapi... “ Aku menunduk, memilih tak menyelesaikan kalimat yang membangkitkan kenangan masa lalu yang pahit.
“Kenapa? Nilainya jelek ya?” Ada nada menggoda walaupun sedikit sarkas.
Aku tersenyum simpul. Aku bahkan berhasil menjadi peraih NEM tertinggi di sekolahku saat itu. Soal-soal itu terlalu mudah untuk menghadang cita-citaku. Tapi saat itu kedua orangtuaku justru tak peduli soal itu. Mereka terlalu sibuk dengan masalah rumah tangga yang saat itu hampir tercerai berai. Aku juga sibuk menjadi penengah sehingga lupa mendaftar sekolah.
Saat Paman tahu kalau aku belum terdaftar sebagai siswa, ia menghubungi Papa. Di tengah kemelut rumah tangganya, Papa mengambil keputusan sendiri. Ia memilihkan Sekolah Menengah Ekonomi untukku. Biar cepat kerja, itu alasannya.
Tapi aku mengartikannya dengan maksud lain. Papa ingin mengurangi beban pikirannya yang lain. Aku tahu, sumber kemelut rumah tangga Papa adalah kehadiranku. Masalah Papa meruntuhkan harapanku menjadi dokter seperti Dirga.
“Kok diam?” tanya Andra sambil mendekatiku.
Aku hanya mengangguk. Memilih untuk mengiyakan saja apapun dugaannya, daripada menjelaskan sesuatu yang menyakitkan. Nanti saja... saatnya pasti tiba.
“Tapi Inka suka bacanya. Kebetulan Inka lagi pengen belajar bahasa juga,” kataku sambil mengalihkan tema obrolan.
Andra mengangguk. “Oh iya ya, kamu belum pernah kuliah. Nanti setelah menikah, kuliah aja lagi. Kakak pastiin nilai kamu pasti bagus semua kalo saya yang ajari. Gini-gini saya juara kelas terus loh.”
Mataku melebar. “Really? Is it true? How lucky I am to have you!” [Benarkah? Itu benar? Betapa beruntungnya aku memilikimu]
Tangan Andra membelai lembut rambutku. “I am the lucky one, Sweetheart!” [Saya yang beruntung, Sayang]
Kali ini tanpa malu-malu, aku memeluk kekasihku. Belum pernah rasanya aku sebahagia ini. Memiliki seseorang selain keluarga yang merasa beruntung memilikiku. Perasaan seperti ini bagai memiliki harta tak ternilai. Aku anak yang tak beribu, punya ayah tapi hanya sekedar nama, punya semua yang diinginkan setiap perempuan, tapi selalu merasa kesepian dan sendirian. Kini ada seseorang yang bersamaku. Seseorang yang menghargaiku lebih dari dirinya sendiri.
Tepat saat itu terdengar suara ramai di luar. Telunjuk Andra tegak lurus di depan bibirnya, memintaku diam. Aku menatapnya bingung. Lalu ia berbisik di telingaku, “Kamu di sini saja, tunggu saya! Hari ini kamu hanya milik saya, In.”
Wajahku memerah, sedikit panas karena sikap Andra. Tapi kuanggukkan kepala, setuju dengan apapun keinginannya. Aku juga ingin menikmati waktu bersamanya saja. Hubungan kami masih sangat baru, ada banyak hal yang harus kami perkenalkan.
Usai mengatakannya, Andra keluar. Aku bisa mendengar suaranya berbicara dengan temannya. Sambil menunggunya, aku mulai membaca buku yang kupilih dari rak itu.
Aku duduk di atas lantai berkarpet bulu hitam sembari bersandar di tepi tempat tidur. Tak seperti kamar seorang pria, kamar Andra bersih dan rapi. Bahkan lebih rapi dari kamarku sendiri. Aku tersenyum malu membayangkan kamar yang hanya kubereskan saat ada mood. Kelak saat kami menikah, mudah-mudahan Andra memahami putri manja sepertiku.
“Ada yang lucu?” tanya Andra.
Aku sedikit kaget. Tak menyangka ia sudah masuk kembali. Di tangannya ada kantung plastik berisi aneka macam snack, sementara di tangan yang lain ada segelas susu.
Kugelengkan kepala. “Hehe... Lagi bayangin kamar Inka, Kak,” jawabku jujur.
Andra duduk di depanku. Sambil mengeluarkan bungkusan snack satu persatu, ia bertanya, “Kamarmu emang kenapa?”
“Berantakan. Gak kayak kamar Kak Andra gini,” jawabku lagi dengan memandangi sekeliling kamar.
Andra menyodorkan gelas susu padaku. “Ya sudah, entar saya ke sana. Biar saya yang beresin.”
Hampir aku tersedak susu saat mendengarnya. Kugeleng-gelengkan kepala, menolaknya. “Iih enggak banget. Apa-apaan kamar cewek dimasukin sama cowok. Emangnya Inka apaan!?”
“Lah ini, ngapain cewek masuk ke kamar cowok?” sergah Andra menggodaku.
Aku mencibir. “Beda ya! Bedaaa...”
“Hmm. Beda? Maksudnya?”
Aku teringat satu ucapan khas Mama.
Dengan senyum dikulum aku mengucapkannya tegas. “Ini kan sama kayak uang suami uang istri, uang istri ya uang istri! Kamar juga gitu kali!”
Tawa Andra pun pecah. Wajahnya jadi makin bersinar. Belum pernah aku melihatnya begitu ceria seperti itu. Ia tampak bahagia mendengar pernyataanku yang kukatakan tanpa beban.
Sudahlah, tak penting lagi soal itu. Saat kami bersama, lama-lama Andra juga akan tahu tentang kekurangan dan kelebihanku. Lebih cepat, lebih baik. Bukankah itu gunanya hubungan ini dimulai? Kami saling mengenal sebelum melangkah lebih serius.
Kami menghabiskan waktu bersama. Andra membantu menjelaskan buku-buku yang kubaca. Perlahan kami saling membuka diri tentang sekolah dan pendidikan yang pernah kami enyam dulu. Bertukar pengalaman dan cerita tentang masa-masa sekolah. Aku baru tahu kalau Andra juga lulus dari sekolah kejuruan sepertiku, hanya bedanya ia memilih Kimia. Dulu, ia ingin kuliah di luar negeri, tapi karena masalah keluarga akhirnya menyelesaikan masternya di Surabaya.
Beginikah rasanya jatuh cinta? Tak lagi tentang diri sendiri, tapi tentang orang lain. Perlahan-lahan duniaku terisi oleh dirinya. Aku yakin, waktu akan membuat seluruh duniaku nanti hanya tentang dirinya. Seperti dunianya, aku ingin tinggal di dalamnya, selamanya.
Meski berduaan di kamar, Andra tak melakukan apapun yang melanggar batas. Hanya sekali ia memelukku, mencium dahiku dan menggenggam tanganku dengan erat. Karena sedikit lelah dan perut kenyang, aku sempat tertidur di pangkuan Andra. Entah kapan ia memindahkanku ke tempat tidurnya, sementara ia bekerja. Saat itu aku tak sedang sholat juga.
Menjelang pukul 10 malam, Andra membangunkanku dan mengantarku pulang. Kami berpisah setelah sempat bercanda sekali lagi. Malam itu aku merasa tidurku lebih nyenyak dari malam-malam sebelumnya.
Sesuai janjinya, Andra akan mulai mengantar dan menjemputku untuk bekerja. Sebisanya kami akan memanfaatkan setiap waktu untuk selalu bersama mulai sekarang. Maka pagi itu, ia sudah menungguku di depan rumah dengan mobil yang sama. Kami berpisah setelah saling berjanji untuk bertemu di sore hari.
Kebetulan Hans baru keluar dari dalam mobilnya, ketika aku keluar dari mobil Andra. Dengan seringai usil, ia mulai menggodaku. Tapi aku terlalu bahagia untuk merasa kesal.
Sorenya Andra juga menjemput. Kali ini kami memilih makan di daerah Sangatta, warung biasa. Andra makan dengan lahap sementara aku menyantap sedikit. Selera kami ternyata cukup berbeda. Setelah itu Andra mengantarku ke tempat kost, menungguiku bersiap lalu seperti malam sebelumnya, ia membawaku ke mess. Juga sama seperti sebelumnya, ia melarangku keluar saat teman-temannya pulang dan mengantarku pulang setelah semua orang masuk ke kamarnya masing-masing.
Sekarang Andra banyak bicara. Macam-macam yang dibicarakannya. Tentang pekerjaan, tentang rencana karirnya dan bahkan tentang jumlah anak yang ia inginkan...
"Saya anak terakhir lo, In. Anak laki-laki satu-satunya lagi. Kakak-kakak saya yang perempuan semua sudah pada nikah. Jadi rumah orangtua saya sepi. Pengennya nanti kalau kita nikah, anak kita harus banyak ya. Biar dititipin ke mereka aja supaya gak kesepian. Udah sering ditanyain."
Aku tertawa geli. "Iiih Kakak... emang Inka pabrik anak apa?"
"Kata orang, kalo mau sehat, perempuan itu harus punya anak banyak."
"Susah loh Kak, entar kakak harus kerja keras nyari biaya sekolah."
"Tenang sih soal itu, insya Allah untuk anak sepuluh gaji dan warisan Kakak lebih dari cukup buat nyekolahin mereka."
"Wuuuih, warisaaan! Aduuuh Kakak mah tega banget ya sama orangtua udah ngitung warisan duluan!"
"Loh, kamu kan pernah bilang ke Thamrin, kriteria suamimu itu boss, warisan segudang, dan... "
Aku teringat candaanku waktu itu, tapi itu tidak benar. Maka kubekap mulut Andra dan berkata pelan, "Kriteria Inka udah di Kakak semua. gak usah disebut deh. Itu kan Inka hanya bercanda."
Andra meraih tanganku yang membekapnya, memandangiku dengan tatapan lembut. "Saya tahu, In. Tapi saya pengen janjiin itu ke kamu, supaya kamu tahu saya sangat sangat serius."
Gemas melihat matanya yang teduh, aku memberanikan diri. Aku berjingkat, Mencium pipinya cepat. Tapi saat aku hendak berdiri menghindari, tangan-tangan kekar Andra sudah memelukku dari belakang.
"Ya hayo, siapa suruh mancing harimau bangun!"
Andra membalik tubuhku perlahan. Lalu wajahnya pelan-pelan mendekat, menyentuhkan bibirnya ke bibirku. Aku tak berani melihatnya, memilih memejamkan mata. Untuk beberapa saat, bibir kami berpagut dan tubuh kami menempel berpelukan. Menikmati rindu yang sudah berbulan-bulan bertumpuk di hati masing-masing.
Ini ciumanku yang pertama kali. Punggungku seperti dipenuhi ulat bulu, geli. Untungnya ada tangan Andra menyapunya dengan lembut selama ia menciumku. Membuatku ingin terus tenggelam dalam pelukannya.
"Kita nikah saja yuk, In! Saya gak tau sampai kapan bisa nahan?" bisik Andra saat mengantarku pulang malam itu.
"Nahan harimaunya tetap tidur gitu, Kak?" godaku berusaha menghilangkan suasana romantis yang masih terus terbawa. Bahkan dalam keadaan menyetir, Andra masih terus menggenggam tanganku. Tak sekedar menggenggam, tapi juga mengelus-elusnya dengan jempolnya.
Andra tertawa. Tapi ia benar. Aku juga merasakannya. Sejak tahu rasanya ciuman dan pelukan, aku ingin terus melakukannya. Maka ketika Andra mengantarku, saat ia menatapku lama sekali, aku langsung mengerti. Ia ingin satu ciuman lagi. Jadi kubiarkan ia masuk ke kamarku. Sekitar lima menit kami berpelukan dan berciuman, sebelum ia pulang dengan tatapan frustasi.
Saat itu, ia sempat memandangi seisi kamarku yang berantakan. Ia hanya tersenyum tipis tanpa berkata apa-apa. Hanya tangannya sempat meraih selimut yang terjuntai ke lantai dan melipatnya cepat saat aku memperbaiki rambut. Aku hanya tertawa melihat selimut itu sudah tergeletak rapi di ujung tempat tidur.
Malam itu, kami meneruskan obrolan melalui telepon hingga aku tertidur dengan gagang telepon masih menempel di telinga. Saat bangun, telepon masih tersambung dan terdengar suara Andra sedang adzan. Rupanya ia sengaja adzan untuk membangunkanku dari kejauhan.
Konyolnya, yang kupikirkan saat itu justru... biaya telepon yang harus dibayar Andra nantinya.
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments
Langitⁿʲᵘˢ⋆⃝🌈N⃟ʲᵃᵃ࿐
wah memang indah saat di mabok cinta 💞
2022-11-14
0
Langitⁿʲᵘˢ⋆⃝🌈N⃟ʲᵃᵃ࿐
itulah jatuh cinta 😍😍
2022-11-14
0
Langitⁿʲᵘˢ⋆⃝🌈N⃟ʲᵃᵃ࿐
😥😥😥😥😥smg Andra bnr2 bahagiain km in
2022-11-14
0