"Aku udah punya pacar loh, Pak," kataku memberitahu. Memutuskan semua harapan di hati Arzi.
Walaupun aku sangat menikmati obrolan kami berdua, dan menyukai saat-saat kami bersama, aku masih berstatus kekasih Andra. Aku memahami semua penjelasannya tentang pacaran, yang menurutnya haram. Tapi aku punya prinsip berbeda. Sama-sama Islam. Tapi ya aku saja baru menjadi muslim. Ilmu agamaku sangat kurang. Pacaran bagiku sesuatu yang normal dan wajar.
Tak tampak emosi sedih atau kecewa di wajah Arzi. Biasa saja. Ia hanya mengangguk mengerti sebelum akhirnya mengganti topik obrolan kami malam ini. Sekitar satu jam kemudian, kami putuskan untuk pulang.
Saat kami berjalan masuk ke gang menuju rumah kost, Arzi memecahkan kecanggungan diantara kami.
"Makasih mau jujur soal pacarmu ya, In," ujarnya. Aku bisa merasakan nada kecewa, tapi itu tak terlihat di wajahnya yang masih tersenyum tulus.
Aku mengangguk. "Sama-sama, Pak. Sangat senang bisa kenalan sama Bapak. Ngobrol sama Bapak. It's quite fun. Saya yang terima kasih."
Hanya senyum tipis yang diberikan Pak Arzi, dan kami kembali berjalan dalam kebisuan. Suasana temaram malam dan gang yang sepi melengkapi atmosfer yang terasa dingin ini. Untungnya, aku melihat ibu kost-ku sedang duduk di teras, menungguku. Begitu melihatku, ia berdiri.
"Ya udah, Pak. Sampai sini aja. Tuh, ibu kost-ku udah nungguin."
Arzi menoleh mengikuti arah telunjukku, mengangguk hormat pada ibu kost yang tengah duduk di teras sebelum kembali menatapku dan berpamitan. Ia tak berusaha keras memaksa diri mengantarku hingga di depan pintu seperti yang lain. Biasanya itulah yang terjadi pada pemuda-pemuda yang mendekatiku. Aku memandangi punggung Arzi yang menjauh.
He is really a nice guy.
***
Esok harinya, keingintahuanku terusik saat bertemu Ratih. Sengaja kutunggu sampai rapat pagi selesai dan Hans harus menghadiri beberapa meeting di kantor KPC. Ketika tinggal kami berdua, aku segera bergerak mendekati Ratih yang sedang sibuk memfotokopi di ruang fotokopi.
"Mbak!"
"Iyaaa... " sahutnya kalem. Gadis anggun ini memang sangat manis. Ia punya sifat keibuan yang manis. Sungguh jauh berbeda dengan diriku yang tomboy. Dia memang cocok kalau berpasangan dengan Arzi. Sama-sama kalem.
"Mbak dulu pacaran sama Pak Arzi ya?" tebakku tanpa tedeng aling-aling.
Tapi aku tak menyangka saat kepala Ratih menoleh cepat, dan matanya tampak terbelalak. "Kamu tahu dari mana?" tanyanya balik.
Melihat respon, aku mundur selangkah. Ada apa? Kenapa Ratih yang biasanya tenang tampak panik begitu?
"Itu... semalam aku ketemu Pak Arzi dan temannya. Temannya yang bilang, terus aku tanya ke Pak Arzi dan dia bilang Mbak sama dia pernah dekat. Gitu aja kok."
Kulihat dada Ratih turun naik, sebelum menghembuskan napasnya kuat-kuat. Matanya yang bening itu berubah menjadi sendu. Melihat itu aku jadi makin bingung.
"Dulu... kami memang dekat. Tapi ya begitulah... kami bukan jodoh, In."
Aku melangkah maju mendekat lagi. "Memangnya kenapa, Mbak?"
Ratih mengangkat bahu. Kesedihan di matanya makin jelas. Tangannya berhenti menekan tombol mesin fotokopi. Malah ia tertunduk. Tampak berusaha menahan air mata.
"Mbak masih suka sama Pak Arzi?" tanyaku memastikan. Melihatnya sesedih itu, aku merasa ada cerita di balik perpisahan mereka dan masih ada rasa cinta itu di hati Ratih pada pria itu.
Kudengar helaan napas lagi. "Percuma, In. Tante saya gak setuju sama dia."
"Loh kenapa? Pak Arzi kan baik orangnya."
Ratih mengangguk setuju. "Tante saya sudah punya calon sendiri, In. Lebih baik katanya. Tante saya itu udah banyak bantu keluarga saya. Saya gak enak kalo menolak pilihannya."
"Maksudnya, pacar Mbak yang sekarang itu bukan karena Mbak cinta, tapi karena pilihan Tante Mbak?"
Anggukan Ratih membuat hatiku sedih. Matanya mulai berkaca-kaca. Kasihan melihat raut wajahnya yang jadi pucat, aku menggiring Ratih menuju kursi di depan meja kerjaku. Buru-buru kuambilkan segelas air putih hangat untuk menenangkannya. Sambil menunggunya selesai minum, aku mengambil sebuah kursi lain dan duduk di dekatnya.
"Kenapa gak berusaha dulu gitu, Mbak? Kalian berdua minta persetujuan Tante Mbak. Siapa tahu setelah Mbak dan Pak Arzi bicara sama Tante Mbak, nanti direstui gitu."
Tampak senyum miris terlihat di wajah Ratih. "Entahlah, In. Saya juga gak ngerti alasannya. Tahu-tahu setelah pulang cuti ke Jakarta, Pak Arzi seperti menjauhi saya. Saya berusaha ngajak bicara, tapi dia selalu menghindar. Jadi akhirnya... semua berakhir begitu aja."
"Really? Cuma begitu doang? Gak ada obrolan atau... bicara apa gitu diantara Mbak sama Pak Arzi?" tanyaku tak percaya sekaligus bingung. Dalam hati aku menyimpulkan, hubungan mereka ini adalah jenis cinta menggantung yang tak jelas. Pantas saja semalam Arzi kelihatan bingung menjelaskan.
Gelengan kepala Ratih mengiyakan kesimpulanku.
Kuambil tangan Ratih, menggenggamnya. "Mbak, aku mau tanya deh."
"Ya?"
"Mbak masih suka sama Pak Arzi?" tanyaku sambil menatap mata Ratih lekat-lekat.
Dua bulir airmata jatuh di pipi Ratih. "Kalau saya gak suka, buat apa saya nangis begini, In?"
Kuusap perlahan airmata Mbak-ku yang manis itu, sambil tersenyum. Aku sangat ingin membantunya. Aku ingin sekali membuat ia tersenyum bahagia.
"Kalau begitu, aku akan bantu Mbak. Nanti aku bakal bujuk Pak Arzi supaya mau bicara dengan Mbak. Jadi kalian bisa... ya setidaknya bicara tentang hubungan kalian. Entah itu mau dilanjutin, atau mungkin jadi teman. Gimana?"
"Beneran?" tanya Ratih dengan mata yang kembali berbinar. Aku mengangguk meyakinkan.
"Setidaknya kalian harus bicara. Memastikan."
"Tapi bagaimana dengan Mas Joko, In?" tanya Ratih dengan nada bingung, mengingat kekasihnya yang nyaris jadi suaminya sekarang.
"Ya itu terserah Mbak aja. Mbak bicara aja dulu Pak Arzi. Kalau memang hanya salah paham dan Mbak inginnya kembali ke Pak Arzi, ya udah balikan aja lagi dan ajak Pak Arzi bicara dengan Tante Mbak. Mau gak mau Mbak harus milih. Nah kalo disuruh milih, siapa yang Mbak pilih?"
Mbak Ratih tersenyum malu-malu. "Tentu aja Mas Arzi."
Aku mengangguk-angguk setuju. Tentu saja. Bahkan untukku, Arzi jauh lebih baik dari kekasih Ratih yang sekarang. Aku sudah dua kali bertemu dengan lelaki bernama Joko itu dan dari awal, aku tak terlalu menyukainya. Pria itu terlalu urakan, sedikit nakal dan sekali pandang saja aku tahu kalau ia hanya pria kebanyakan yang genit. Sungguh tidak cocok jika dipasangkan dengan gadis berwajah anggun, bersuara lembut dan manis seperti Ratih.
"Ya udah, Mbak lanjutin dulu deh kerjaan Mbak. Aku mo nelepon."
Aku mulai mengambil gagang telepon dan menunggu hingga Ratih kembali ke ruang fotokopi, sebelum menekan nomor telepon Arzi. Memulai misiku sebagai mak comblang.
Suara berat yang kukenal terdengar di ujung telepon.
"Selamat pagi, Bapak ganteng! Apa kabar? Masih inget ini siapa?" tanyaku dengan nada jenaka.
"Ini? Oooh... Inka ya? Baik, In! Tentu aja inget. Semalam saya mimpiin kamu loh!"
"Waduuuh, ngerayu lagi. Aku udah punya pacar loh, Pak!" sergahku cepat.
"Eits jangan salah! Saya mimpi kamu nyuri."
"Hah, nyuri?? Ya Allah, Pak. Gak bagus bener mimpinya. Emang aku nyuri apa sih?"
"Iya, nyuri hati saya! Hahaha... "
Aku juga tertawa. Benar-benar nih orang satu ini. Demen banget becanda. Punya suami seperti dirinya, pasti menyenangkan sekali. Aku akan sangat bahagia kalau Ratih bisa memilikinya. Mbak-ku itu pasti bahagia. Untuk seorang gadis yang berasal dari keluarga miskin, mendapatkan pria yang menyenangkan seperti Arzi adalah sesuatu yang baik.
"Aku mau info nih, Pak. Soal kerjaan Mesjid. Tapi pengennya langsung ketemu aja. Bisa?" tanyaku sambil mengambil map berisi quotation yang semalam dibuat Hans.
"Ya udah. Sekarang apa nanti? Kalo sekarang, kita ketemu di Mesjid aja gimana?"
"Boleh deh, sekarang aja! Biar cepet selesai. Ketemu di sana sekarang yak!"
"Dilama-lamain juga gak papa kok, In."
"Loh emang kenapa, Pak?"
"Biar saya bisa sering ketemu kamu."
"Wuiiih, nih orangtua yak! Ketemu aku apa ketemu Mbak Ratih nih?"
"Hahaha... tahu aja cara ngebalik ya! Oh ya salam buat Ratih ya. Udah lama gak ketemu."
Saat itu Ratih sudah berada di depan meja kerjaku. Mungkin ia ikut menguping pembicaraanku. Tanpa meminta izin, aku langsung menyodorkan gagang telepon pada Ratih tanpa pikir panjang.
Ratih tampak bingung, tapi ia menyambutnya. "Halo?"
Sesaat Ratih diam mendengar, hanya matanya yang melirik padaku yang tersenyum-senyum. Senang sekali bisa membuat dua orang yang kusukai bisa saling bicara lagi.
"Iya, saya baik. Mas Joko juga baik. Mas gimana? Apa kabar ibu dan adik-adik?" Terdengar suara lembut Ratih bertanya pada Arzi, sebelum ia kembali diam. Cukup lama.
"Iya, Mas. Sama-sama. Salam untuk ibu dan adik-adik juga. Eh.. Mas masih mau bicara dengan Inka?" tanya Ratih lalu terdiam lagi, perlahan kulihat kepalanya mengangguk sebelum menutup telepon.
Untuk dua orang yang saling mencintai, menurutku ini telepon tersingkat yang pernah kutahu. Hanya itu? Hanya tentang kabar, salam dan ditutup begitu saja? Aku melongok menatap Ratih.
Ratih tersenyum padaku. Tampak tulus. Tak terlihat sedih atau kecewa. Syukurlah.
"Mas Arzi bilang nanti dia bicara sama kamu sekalian pas ketemu aja."
"Terus dia bilang apa ke Mbak?"
Ada keraguan terlintas di mata Ratih sebelum ia menjawab pertanyaanku. "Gak ada papa kok, In. Hanya nanyain kabar dan ngasih salam. Itu aja. Kami kan udah lama gak ngobrol, jadi masih canggung."
"Ya udah kalo gitu, Mbak ikut aku aja sekarang ketemu Pak Arzi. Gimana?"
"Gak bisa, Inka manis! Kerjaan saya kan lagi banyak. Lagian kalo kamu pergi dan saya juga pergi, siapa yang handle kerjaan di kantor? Jawab telepon dan monitor lapangan?"
Oh iya, aku lupa.
"Oke deh, aku pergi dulu ya Mbak," pamitku sambil meraih kunci mobil dan tas kecil milikku. Mbak Ratih mengangguk dan kembali ke meja kerjanya sendiri.
Tapi saat hampir sampai ke mobil, aku baru ingat. Quotation yang harusnya kubawa tertinggal di atas meja. Jadi aku kembali lagi. Masuk ke ruang kerjaku dan mengambil map berisi quotation(1) dan detil rencana maintenance(2) yang harus kubicarakan dengan Arzi. Anehnya, saat aku melirik ke meja kerja Ratih, ia tak ada di sana.
Kuedarkan pandangan dan melihat punggung Ratih terlihat di depan pantry. Ia mungkin sedang membuat kopi. Tapi saat aku mendekat, aku melihat punggungnya bergetar. Buru-buru aku bersembunyi di belakang dinding. Mengintip.
Ratih sedang menangis.
*****
Footnotes:
Quotation itu surat penawaran.
Maintenance dan renovasi itu berbeda ya. Jadi kalo dalam istilah dunia konstruksi, untuk perbaikan yang kecil-kecil (perawatan biasa seperti perbaikan kabel, perawatan AC, perbaikan dinding dll) disebutnya maintenance, bukan renovasi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments
KitriLestari
veritanya bikin banyak belajar dan motifasi 😍
2020-08-01
2
WibuNoName
maintenance kan istilah lainnya pemeliharaan atau perbaikan. beda dengan renovasi.
nih baca novel sambil belajar jadinya
2020-07-30
0
Arno Ceuswa Inayah
next plissss
2020-06-14
0