Bye, Love!
Akhir Maret 1997
"Mbak, kita singgah bentar ya?" tanya Pak Pram, supervisor yang menyetir mobil.
Aku mendongak, "Mau ke mana?" tanyaku dengan nada bosan.
"Tuh ke situ, Mbak! Mau sholat Jumat sebentar," jawab Pak Pram lagi dengan sopan, sembari menunjuk ke arah kubah Mesjid Raya yang terlihat dari mobil yang sedang berjalan.
Sebenarnya aku sudah lelah. Dari pagi hingga siang hari ini aku harus ke lokasi, ikut mengawasi proses pembetonan workshop di Surya Pit. Salah satu proyek yang dikerjakan oleh perusahaan tempatku bekerja. Padahal kemarin malam aku juga harus lembur menyelesaikan dokumen tender yang akan disetorkan sebelum jam tiga sore hari ini.
Tapi sekarang perusahaan sedang kekurangan orang. Atasanku, seorang Technical Advisor berkebangsaan Australia sedang membutuhkan banyak bantuan saat ini. Hans, nama Bossku itu memang tak pernah secara langsung meminta bantuan padaku, satu-satunya staf perempuan di kantor. Namun, berbagai masalah yang terjadi akibat kekurangan personil ini turut mempersulit pekerjaanku juga. Jadi mau tak mau akupun turun ke lapangan.
Kepalaku berdenyut-denyut sejak satu jam lalu. Akibat kurang tidur, kurang istirahat dan makan tak teratur. Tapi sepanjang jalan Pak Pram terus bicara, membahas beberapa masalah yang memang tak sempat kami bicarakan tadi saat di lapangan. Memang sudah seharusnya begitu, kami harus memanfaatkan setiap detik yang berharga saat ini.
Padahal perutku juga mulai terasa mulas. Kurasa penyakit
maag-ku juga sudah mulai muncul. Aku baru ingat kalau tadi pagi aku juga melewatkan
sarapan pagi.
"Ya udah. Monggo, Pak!" kataku lesu.
Habis bagaimana? Tak mungkin aku mengatakan yang sebenarnya.
Sholat memang harus disegerakan jika sudah waktunya. Apalagi ini sholat Jum'at.
Biarpun aku bukan muslimah yang taat, sholat juga masih belang bentong, tapi
aku tahu beberapa hal yang pernah diajarkan padaku bertahun-tahun lalu.
Mobil pick-up Daihatsu hitam itu pun meluncur masuk ke
halaman mesjid. Tampak sudah banyak kendaraan roda dua dan roda empat berjajar
rapi di sana. Rata-rata mobil-mobil itu bertuliskan kode perusahaan dan nomor
mobil, bukan plat nomor, tapi nomor dari daftar kendaraan yang dimiliki
perusahaan masing-masing. Biasanya ditempelkan di bagian samping, di pintu
mobil atau bagian belakang mobil agar mudah terlihat. Beberapa karyawan dan
staf perusahaan yang turun dari mobil-mobil itu, tampak mulai masuk ke mesjid
satu demi satu.
"Saya tinggal dulu ya, Mbak," pamit Pak Pram
sambil mengambil kopiah hitam dari laci dasbor. Aku hanya mengangguk dan
bersandar di mobil.
Lebih baik aku tidur sambil menunggu Pak Pram. Tapi... astaga, mobil ini panas sekali! Padahal
baru beberapa menit AC dimatikan, panasnya matahari di luar sudah membakar
sebagian wajahku. Daripada hangus di dalam mobil ini, lebih baik aku keluar dan
beristirahat di teras mesjid saja. Lagipula teras mesjid sudah sepi. Para jamaah
yang tadi berkumpul di luar sudah masuk ke dalam mesjid karena khotbah Jumat
telah dimulai. Tak lupa aku meraih earphone dan walkman dari
dalam tas.
Sampai di teras mesjid, aku celingukan mencari pojokan yang
enak untuk beristirahat sebentar, tapi tetap bisa terlihat dari tempat parkir
mobil kami tadi. Kalau Pak Pram sudah selesai, ia akan mudah menemukanku. Tak
butuh waktu lama, aku sudah duduk bersandar di salah satu sudut teras.
Khotbah Jumat masih terdengar meski telingaku sudah
tersumbat earphone yang sedang meneriakkan lagu-lagu Backstreet Boys. Sengaja kusetel hingga
ke volume tertinggi. Kupejamkan mata untuk mengurangi denyutan menyakitkan di
kepalaku. Satu dua jamaah mesjid masih berdatangan, dan mereka melewatiku. Aku
tahu, mereka melihatku. Desahan mereka saat masuk itu yang membuatku tahu
kehadiran mereka. Ada yang berucap 'astaghfirullah', ada yang tertawa
kecil dan aku juga bisa mendengar suara langkah orang seperti hendak terjatuh.
Aku sangat tahu mengapa mereka terkejut melihatku. Gadis
muda sepertiku, yang saat ini mengenakan rok mini kesukaanku jelas hal aneh jika
duduk seperti ini di teras mesjid. Aku memang suka mengenakan rok mini. Di
manapun, kapanpun, dalam situasi apapun. Tingginya hingga melewati batas paha.
Hobi yang sebenarnya tidak disukai orangtuaku, bahkan bossku sendiri yang
jelas-jelas orang asing. Tapi aku tak pernah peduli soal itu. Walaupun aku
bekerja di lingkungan pertambangan yang hampir semuanya berjenis kelamin pria
dan juga berprofesi sebagai sekretaris dari sebuah perusahaan konstruksi yang
lebih banyak berada di site[1]daripada di kantor. Selama aku suka, aku akan tetap pakai.
Usiaku memang masih sangat muda untuk menjadi seorang
pekerja. Baru 18 tahun. Tapi aku sudah bekerja sejak masuk Sekolah Menengah
Ekonomi. Beragam profesi sudah kujalani. Mengajar les, menjaga toko dan menjadi baby sitter untuk membiayai beberapa
kursus pendukung sekolah kejuruan yang kuambil. Soal bahasa Inggris yang
menjadi bahasa keduaku, itu karena pengaruh Nenek dan Paman. Keluarga dari ibu
kandungku yang sempat mengasuhku. Nenek seorang mantan anggota DPRD yang
kemudian beralih profesi menjadi guru dan kepala sekolah. Seorang mantan
pejuang veteran yang menguasai banyak bahasa. Bahasa Indonesia, Jepang,
Mandarin, Belanda dan Inggris. Aku tinggal bersama Nenek selama dua tahun.
Cukup untuk mempelajari tiga bahasa dari semua yang ia kuasai.
Sementara saat SMP, selama tiga tahun aku dititipkan Papa
pada Paman Hakim. Pamanku ini juga seorang guru. Bedanya ia menguasai dua
bahasa asing, Jerman dan Inggris. Ia juga jago menulis, Matematika, Fisika,
Ekonomi dan membuatku memahami banyak soal dunia psikologi. Paman bahkan
diam-diam mengirimkan beberapa artikel yang kutulis tentang dunia remaja ke
sebuah kolom remaja di sebuah surat kabar.
Berbeda dengan kedua orangtua yang membesarkanku, Nenek dan
Paman selalu memberiku arahan positif untuk siap bekerja. Cara mereka tak
sekeras Papa atau sekaku Mama. Sosok yang mendidik inilah yang menjadikan skill-ku sudah terlatih seperti lulusan
sarjana. Di tahun 1997, pemandangan seorang anak remaja asli Indonesia yang
mengobrol dengan Nenek atau Pamannya dalam dua bahasa berbeda adalah
pemandangan langka. Sejujurnya, aku sangat menikmati tatapan kagum bercampur
iri setiap aku menunjukkan kemampuan itu.
Menurut Nenek, dari sebelas putra-putrinya, hanya Paman
Hakim yang mewarisi kecerdasan linguistik seperti dirinya. Sementara dari
sekian banyak cucu-cucunya, hanya aku dan salah satu sepupu laki-laki yang
menurunkan kemampuan itu. Saat itu aku tak terlalu paham maksud kata-kata
Nenek, apalagi mempercayainya. Baru bertahun-tahun kemudian, setelah mulai
bekerja dan bertemu dengan orang dari berbagai belahan dunia, aku mulai
mengerti arti kecerdasan linguistik. Bahasa awamnya, aku bagai bunglon dalam
dunia bahasa.
Sejak dulu, aku sadar benar potensiku. Aku tahu dari Papa,
kecerdasanku di atas rata-rata ketika secara kebetulan ia membiarkan
sahabatnya, seorang psikiater untuk memeriksaku. Dulu saat masih kecil, Papa
suka mempertontonkan kemampuanku di depan teman-temannya seperti menghafal
ratusan angka dengan cepat, membaca sebelum masuk SD dan ketika aku mampu
menyelesaikan soal-soal yang baru diajarkan satu dua kali. Guru-guruku juga
sadar soal itu. Meskipun aku berulang kali pindah sekolah dan jarang masuk
sekolah karena sakit atau mengikuti tugas Papa, aku tak pernah mengalami
masalah.
Satu kali, aku pernah sakit keras dan terpaksa tidak
bersekolah selama hampir enam bulan. Ketika aku kembali ke sekolah di tahun
ajaran berikutnya, kupikir akan tetap di kelas yang sama. Ternyata tidak. Aku
tetap naik kelas seperti teman-temanku yang lain setelah dengan mudah
menyelesaikan semua ulangan.
Saat di SMP, Paman pernah berdebat soal kecerdasanku ini
dengan Papa dan Nenek. Nenek tak setuju aku mengikuti program akselerasi yang
mempercepat masa studiku. Menurutnya, pendidikan otak dan emosiku harus seiring
sejalan. Nenek ingin aku menjalani pendidikan sama seperti anak-anak lain.
Sampai sekarang aku mensyukuri keputusan Nenek. Karena setelah aku bekerja, aku
mulai mengerti alasannya.
Agar aku tak bosan dengan pelajaran di sekolah itulah, Paman
menghujaniku dengan buku. Sementara Papa mengikuti saran Nenek, memberiku
kursus tambahan. Sayangnya, karena Mama, Papa mulai mengurangi jatah uang
kursus, yang akhirnya menggiringku untuk mencari uang sendiri. Rasa ingin tahu
seperti tumor di kepalaku, jika aku ingin tahu sesuatu, aku akan mengejarnya
sampai dapat termasuk mencari sendiri uang untuk membiayai kursus yang
kuinginkan.
Aku tak hanya kursus kemampuan yang lazim untuk calon
pekerja seperti kursus komputer, bahasa Jerman dan Mandarin, dan mengetik 10
jari. Bahkan aku mengambil kursus kecantikan dan menjahit. Suatu kemampuan yang
memoles penampilanku jauh lebih baik saat bekerja.
Kombinasi usia muda, kecantikan dan kecerdasan ini pasti
memikat pria manapun. Sejak aku mulai kursus kecantikan, lelaki mulai berderet
mendekatiku. Padahal Papa sengaja memilih sekolah khusus perempuan untukku.
Tetap saja, anak laki-laki dari sekolah-sekolah lain berlomba menarik
perhatianku setiap aku melewati pagar sekolah. Penyebab Papa akhirnya selalu
menjemputku tepat waktu. Saat aku bekerja, perhatian pria makin banyak. Kadang
terlalu berlebihan. Jadi aku tak lagi merasa asing dengan semua itu. Biasa
saja.
Anehnya, setelah hampir setahun bekerja dengan rekan kerja
yang kebanyakan pria, perasaanku hanya bergetar untuk satu orang. Tak seperti
teman-temanku yang lain, yang begitu mudah mengagumi pria-pria tampan bahkan
mengidolakan para selebritis. Buatku, para anggota Backstreet Boys hanyalah anak-anak muda yang bersuara indah.
Ketampanan mereka hanya pemanis belaka. Sama seperti semua pria di sekitarku.
Padahal merekalah satu-satu grup band favorit yang kusuka.
Makanya aku ya biasa saja jika dipandangi pria. Mau dengan
kagum, mau dengan meremehkan, atau dengan tatapan penuh nafsu. Aku tak peduli.
Bukan urusanku. Itu urusan mereka. Aku hanya sedang menikmati kebebasan yang
tak pernah kumiliki, dan itu termasuk memilih pakaian apapun yang ingin
kukenakan. Kadang aku malah sengaja menggoda. Lucu melihat ekspresi 'ngenes' di wajah pria-pria itu.
Tapi kali ini rasa tidak nyaman disertai sakit yang meliputi
seluruh tubuh membuatku tak sedang ingin melakukannya. Kebetulan saja kaki
panjangku yang hanya ditutupi sepotong rok mini selonjoran karena rasa tak
nyaman itu. Kakiku dua-duanya juga terasa pegal. Hampir tiga jam aku berdiri
dan berjalan ke sana ke mari, di atas bebatuan dan tanah keras di lokasi tadi.
Aku hampir tertidur ketika kakiku merasakan kain lembut
dengan aroma sabun yang manis. Kubuka mataku. Melihat ada kain putih dilebarkan
menutupi kedua kakiku. Otomatis kepalaku berputar mencari orang yang
meletakkannya. Tapi aku tak sempat. Hanya suara batuk dan seragam biru langit yang
dikenakan orang itu, yang kutahu saat ia berjalan masuk ke dalam mesjid. Aku
yakin itu dia karena hanya ia yang terlihat di sekitarku saat itu.
Dari jendela kaca mesjid, aku melihatnya bergabung di antara
jamaah. Kepalaku celingukan berusaha melihat wajahnya. Tapi ia terus maju
hingga ke bagian depan, jadi aku tak lagi bisa melihatnya. Tapi aku mengenali
seragam itu. Itu seragam kerja sebuah perusahaan alat berat, salah satu kontraktor
besar dari perusahaan tambang di kota ini.
Setidaknya aku tahu di mana posisinya, nanti kalau ia keluar
aku harus berterima kasih. Apapun alasannya, aku mengerti kalau ia menutupi
sesuatu yang seharusnya tak boleh ditunjukkan di mesjid.
Kain putih itu ternyata rok bawahan mukena. Pantas saja
begitu lebar. Entah dari mana pria itu mendapatkannya. Yang jelas aku merasa
terbantu.
Kali ini aku mencopot earphone, menggulungnya
ke walkman dan duduk menunggu dengan takzim. Ikut mendengar
sisa khotbah yang masih berlangsung. Menunduk malu sendiri sembari
mengelus-elus rok bawahan mukena yang kini kupakai selayaknya.
Tak lama aku menunggu, sholat Jumat pun selesai. Aku
berdiri, menunggu pria yang tadi itu keluar di antara para jamaah. Namun,
bukannya pria itu yang keluar menemuiku, malah beberapa orang yang kukenal
melihat dan menyapaku akrab. Aku sengaja tak terlalu merespon, hanya mengangguk
dan kembali celingukan. Aku tahu mereka ingin lebih banyak mengobrol, bahkan
ada yang ingin mengantarku kembali ke kantor. Tapi dengan alasan aku menunggu
Pak Pram, aku menolak mereka dengan terburu-buru. Aku kuatir pria yang kutunggu
keluar tanpa kutahu.
Setelah hampir sebagian besar jamaah mesjid keluar, aku
masih belum melihatnya. Bahkan Pak Pram saja sudah keluar.
"Mbak, ayo!" ajak Pak Pram dengan heran melihat
aku berdiri di depan pintu mesjid.
"Sebentar, Pak! Aku mau balikin ini dulu nih. Tadi dipinjamin,
gak enak kalo gak makasih dulu," kataku sambil memanjangkan leher
memastikan posisi pria tadi.
"Masuk aja, Mbak! Udah gak ada orang. Daripada nungguin
di sini, samperin aja," saran Pak Pram.
Benar juga idenya itu. Aku mengangguk dan masuk ke mesjid.
Tak butuh waktu lama, aku menemukannya. Herannya, aku bisa
mengenali punggungnya, juga mengingat posisi tempat ia sholat saat masuk tadi.
Apalagi sekarang hanya dia satu-satunya berseragam biru muda yang masih duduk
menunduk.
Ngapain sih? Apa dia
sengaja melakukannya?
Aku punya pakarnya pria genit. Papaku sendiri. Jadi aku tahu
semua jurus lelaki. Mereka sengaja melakukan beberapa hal untuk mengundang rasa
penasaran perempuan. Kupikir pria ini salah satunya. Buktinya dia tahu aku
menunggunya, dan dia malah duduk diam berlama-lama.
Mesjid makin lama makin sepi. Kini tak sampai sepuluh orang.
Aku sudah mulai kesal menunggu si pria berbaju biru itu, jadi aku berdiri
hendak mendekatinya. Tapi, makin mendekatinya aku mendengar suara yang asing...
suara orang sedang mengaji.
Suara itu dari pria berbaju biru itu.
Langkahku berhenti. Urung mendekat. Sambil menghela nafas,
aku bersimpuh tak jauh di belakangnya. Tanpa sadar ikut mendengarkan suara pria
itu.
Suaranya jernih, pertanda ia bukan seorang perokok. Nadanya
juga ringan walaupun rendah, tidak berat seperti orang yang sedang memikirkan
beban. Lantunan murrotal-nya sedang dan perlahan, syahdu. Nyaman di
telingaku. Kudukku merinding.
Apa ini?
Ini pertama kali aku mendengar seorang pria mengaji siang
hari di mesjid di kota ini. Untuk ukuran kota pertambangan yang heterogen
secara internasional, jelas ini pemandangan langka. Di sini batas agama dan
budaya hampir tidak terlihat. Yang ada malah kehidupan bebas tanpa aturan
sosial. Tempat di mana hubungan pacaran saja sudah sama seperti berumah tangga.
"Nyari siapa, Mbak?" pertanyaan itu membuatku
menoleh ke belakang. Seorang gadis berjilbab abu-abu berdiri tak jauh dariku.
Ia tersenyum dan mengangguk padaku. Buru-buru aku mendekatinya.
"Anu, Mbak. Itu... ini... ini... " kataku sambil
menunjukkan rok bawahan mukena. "Tadi Mas itu minjemin ke saya. Saya
nungguin mau balikin."
Gadis itu tersenyum saat melihat arah telunjukku. "Itu
rok mukena saya, Mbak. Tadi dipinjam sama Mas Arzi."
"Oh gitu ya, ya udah saya balikin ya Mbak," kataku
sambil menurunkan rok.
"Eeeh, Mbak! Mbak! Tunggu!" cegah si Mbak
berjilbab abu-abu itu. "Jangan di sini! Aurat itu..." Si Mbak itu
menarik tanganku menjauh, menuju ke bagian mesjid tempat perempuan sholat.
Aurat? Oh iya, betul!
Kok lupa sih?
Aku mengikutinya dengan patuh. Begitu kami berada di balik
tirai, aku pun menurunkan rok itu dan melipatnya dengan rapi.
"Makasih ya, Mbak! Ini saya kembaliin," kataku
ramah.
Mbak itu mengangguk-angguk, lalu ia teringat sesuatu,
"Mbak yang kerja di ABS kan? Mbak Ratih, bukan?" tebaknya.
Aku tertawa, menggeleng. "Bukan, Mbak. Itu teman saya.
Nama saya Inka. Inka Nurhayati."
"Oh salah ya! Maaf, maaf. Salam kenal ya Mbak Inka.
Nama saya Saras. Saraswati Ayla Kusumawardani," ujar Saras mengenalkan diri
sambil menyalamiku.
"Panjang namanya Mbak Saras," godaku memecah
kekakuan di antara kami. Saras tertawa tanpa suara, mengangguk-angguk.
"Panggil Inka aja, Mbak Saras. Umur Inka belum dua
puluh," kataku sambil mengganti saya dengan nama, kebiasaanku menyebut
diriku sendiri.
Saras tersenyum. "Iya keliatan. Tadi saya heran, kok
ada anak SMA pake baju kerja begini? Nyari Mas Arzi pula."
Aku membalas senyumnya dengan malu. "Inka gak kenal Mas...
Arzi, Mbak. Tapi tadi dia ngasihin rok itu. Jadi mau sekalian bilang makasih
sih."
"Ya udah, entar saya sampein. Ini Inka mau langsung
balik ke office?"
Aku mengangguk. Tepat saat itu Pak Pram muncul lagi. Ia
tampak memberi isyarat kalau seseorang memanggilku di radio perusahaan. Dengan
tergesa, aku menyalami Saras sekali lagi, lalu keluar mesjid. Sambil berjalan
cepat, aku menoleh ke arah Arzi, berharap ia mau berbalik. Tapi sekali lagi aku
hanya melihat punggungnya.
Ini pertama kali seseorang menutupi tubuhku, bukan malah
memandanginya. Ini pertama kali seseorang tak merasa perlu mengenaliku, tapi
sudah menjagaku dari rasa malu. Ini pertama kali seseorang bersikap baik
padaku, tapi aku tak tahu siapa dia, bahkan tak tahu wajahnya seperti apa.
Ini pertama kali seorang pria membuatku ingin tahu lebih
banyak tentang dirinya. Siapapun dia, dia pasti orang yang baik.
***
[1]
Site: Lokasi Proyek
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments
Suyudana Arta
1chapter panjang bener
2024-11-13
0
Apri Ani
suka dengan ceritanya, seperti kenyataan
2023-02-25
0
Wanda Harahap
baru nemu ternyata novel nya sudah lama y
enak ceritanya baru baca koq saya sudah kagum sama mas arzi ya😘😘😘
2022-06-04
0