Bye, Love!

Bye, Love!

Episode 1 - Punggung Lelaki itu

Akhir Maret 1997

"Mbak, kita singgah bentar ya?" tanya Pak Pram, supervisor yang menyetir mobil.

Aku mendongak, "Mau ke mana?" tanyaku dengan nada bosan.

"Tuh ke situ, Mbak! Mau sholat Jumat sebentar," jawab Pak Pram lagi dengan sopan, sembari menunjuk ke arah kubah Mesjid Raya yang terlihat dari mobil yang sedang berjalan.

Sebenarnya aku sudah lelah. Dari pagi hingga siang hari ini aku harus ke lokasi, ikut mengawasi proses pembetonan workshop di Surya Pit. Salah satu proyek yang dikerjakan oleh perusahaan tempatku bekerja. Padahal kemarin malam aku juga harus lembur menyelesaikan dokumen tender yang akan disetorkan sebelum jam tiga sore hari ini.

Tapi sekarang perusahaan sedang kekurangan orang. Atasanku, seorang Technical Advisor berkebangsaan Australia sedang membutuhkan banyak bantuan saat ini. Hans, nama Bossku itu memang tak pernah secara langsung meminta bantuan padaku, satu-satunya staf perempuan di kantor. Namun, berbagai masalah yang terjadi akibat kekurangan personil ini turut mempersulit pekerjaanku juga. Jadi mau tak mau akupun turun ke lapangan.

Kepalaku berdenyut-denyut sejak satu jam lalu. Akibat kurang tidur, kurang istirahat dan makan tak teratur. Tapi sepanjang jalan Pak Pram terus bicara, membahas beberapa masalah yang memang tak sempat kami bicarakan tadi saat di lapangan. Memang sudah seharusnya begitu, kami harus memanfaatkan setiap detik yang berharga saat ini.

Padahal perutku juga mulai terasa mulas. Kurasa penyakit

maag-ku juga sudah mulai muncul. Aku baru ingat kalau tadi pagi aku juga melewatkan

sarapan pagi.

"Ya udah. Monggo, Pak!" kataku lesu.

Habis bagaimana? Tak mungkin aku mengatakan yang sebenarnya.

Sholat memang harus disegerakan jika sudah waktunya. Apalagi ini sholat Jum'at.

Biarpun aku bukan muslimah yang taat, sholat juga masih belang bentong, tapi

aku tahu beberapa hal yang pernah diajarkan padaku bertahun-tahun lalu.

Mobil pick-up Daihatsu hitam itu pun meluncur masuk ke

halaman mesjid. Tampak sudah banyak kendaraan roda dua dan roda empat berjajar

rapi di sana. Rata-rata mobil-mobil itu bertuliskan kode perusahaan dan nomor

mobil, bukan plat nomor, tapi nomor dari daftar kendaraan yang dimiliki

perusahaan masing-masing. Biasanya ditempelkan di bagian samping, di pintu

mobil atau bagian belakang mobil agar mudah terlihat. Beberapa karyawan dan

staf perusahaan yang turun dari mobil-mobil itu, tampak mulai masuk ke mesjid

satu demi satu.

"Saya tinggal dulu ya, Mbak," pamit Pak Pram

sambil mengambil kopiah hitam dari laci dasbor. Aku hanya mengangguk dan

bersandar di mobil.

Lebih baik aku tidur sambil menunggu Pak Pram. Tapi... astaga, mobil ini panas sekali! Padahal

baru beberapa menit AC dimatikan, panasnya matahari di luar sudah membakar

sebagian wajahku. Daripada hangus di dalam mobil ini, lebih baik aku keluar dan

beristirahat di teras mesjid saja. Lagipula teras mesjid sudah sepi. Para jamaah

yang tadi berkumpul di luar sudah masuk ke dalam mesjid karena khotbah Jumat

telah dimulai. Tak lupa aku meraih earphone dan walkman dari

dalam tas.

Sampai di teras mesjid, aku celingukan mencari pojokan yang

enak untuk beristirahat sebentar, tapi tetap bisa terlihat dari tempat parkir

mobil kami tadi. Kalau Pak Pram sudah selesai, ia akan mudah menemukanku. Tak

butuh waktu lama, aku sudah duduk bersandar di salah satu sudut teras.

Khotbah Jumat masih terdengar meski telingaku sudah

tersumbat earphone yang sedang meneriakkan lagu-lagu Backstreet Boys. Sengaja kusetel hingga

ke volume tertinggi. Kupejamkan mata untuk mengurangi denyutan menyakitkan di

kepalaku. Satu dua jamaah mesjid masih berdatangan, dan mereka melewatiku. Aku

tahu, mereka melihatku. Desahan mereka saat masuk itu yang membuatku tahu

kehadiran mereka. Ada yang berucap 'astaghfirullah', ada yang tertawa

kecil dan aku juga bisa mendengar suara langkah orang seperti hendak terjatuh.

Aku sangat tahu mengapa mereka terkejut melihatku. Gadis

muda sepertiku, yang saat ini mengenakan rok mini kesukaanku jelas hal aneh jika

duduk seperti ini di teras mesjid. Aku memang suka mengenakan rok mini. Di

manapun, kapanpun, dalam situasi apapun. Tingginya hingga melewati batas paha.

Hobi yang sebenarnya tidak disukai orangtuaku, bahkan bossku sendiri yang

jelas-jelas orang asing. Tapi aku tak pernah peduli soal itu. Walaupun aku

bekerja di lingkungan pertambangan yang hampir semuanya berjenis kelamin pria

dan juga berprofesi sebagai sekretaris dari sebuah perusahaan konstruksi yang

lebih banyak berada di site[1]daripada di kantor. Selama aku suka, aku akan tetap pakai.

Usiaku memang masih sangat muda untuk menjadi seorang

pekerja. Baru 18 tahun. Tapi aku sudah bekerja sejak masuk Sekolah Menengah

Ekonomi. Beragam profesi sudah kujalani. Mengajar les, menjaga toko dan menjadi baby sitter untuk membiayai beberapa

kursus pendukung sekolah kejuruan yang kuambil. Soal bahasa Inggris yang

menjadi bahasa keduaku, itu karena pengaruh Nenek dan Paman. Keluarga dari ibu

kandungku yang sempat mengasuhku. Nenek seorang mantan anggota DPRD yang

kemudian beralih profesi menjadi guru dan kepala sekolah. Seorang mantan

pejuang veteran yang menguasai banyak bahasa. Bahasa Indonesia, Jepang,

Mandarin, Belanda dan Inggris. Aku tinggal bersama Nenek selama dua tahun.

Cukup untuk mempelajari tiga bahasa dari semua yang ia kuasai.

Sementara saat SMP, selama tiga tahun aku dititipkan Papa

pada Paman Hakim. Pamanku ini juga seorang guru. Bedanya ia menguasai dua

bahasa asing, Jerman dan Inggris. Ia juga jago menulis, Matematika, Fisika,

Ekonomi dan membuatku memahami banyak soal dunia psikologi. Paman bahkan

diam-diam mengirimkan beberapa artikel yang kutulis tentang dunia remaja ke

sebuah kolom remaja di sebuah surat kabar.

Berbeda dengan kedua orangtua yang membesarkanku, Nenek dan

Paman selalu memberiku arahan positif untuk siap bekerja. Cara mereka tak

sekeras Papa atau sekaku Mama. Sosok yang mendidik inilah yang menjadikan skill-ku sudah terlatih seperti lulusan

sarjana. Di tahun 1997, pemandangan seorang anak remaja asli Indonesia yang

mengobrol dengan Nenek atau Pamannya dalam dua bahasa berbeda adalah

pemandangan langka. Sejujurnya, aku sangat menikmati tatapan kagum bercampur

iri setiap aku menunjukkan kemampuan itu.

Menurut Nenek, dari sebelas putra-putrinya, hanya Paman

Hakim yang mewarisi kecerdasan linguistik seperti dirinya. Sementara dari

sekian banyak cucu-cucunya, hanya aku dan salah satu sepupu laki-laki yang

menurunkan kemampuan itu. Saat itu aku tak terlalu paham maksud kata-kata

Nenek, apalagi mempercayainya. Baru bertahun-tahun kemudian, setelah mulai

bekerja dan bertemu dengan orang dari berbagai belahan dunia, aku mulai

mengerti arti kecerdasan linguistik. Bahasa awamnya, aku bagai bunglon dalam

dunia bahasa.

Sejak dulu, aku sadar benar potensiku. Aku tahu dari Papa,

kecerdasanku di atas rata-rata ketika secara kebetulan ia membiarkan

sahabatnya, seorang psikiater untuk memeriksaku. Dulu saat masih kecil, Papa

suka mempertontonkan kemampuanku di depan teman-temannya seperti menghafal

ratusan angka dengan cepat, membaca sebelum masuk SD dan ketika aku mampu

menyelesaikan soal-soal yang baru diajarkan satu dua kali. Guru-guruku juga

sadar soal itu. Meskipun aku berulang kali pindah sekolah dan jarang masuk

sekolah karena sakit atau mengikuti tugas Papa, aku tak pernah mengalami

masalah.

Satu kali, aku pernah sakit keras dan terpaksa tidak

bersekolah selama hampir enam bulan. Ketika aku kembali ke sekolah di tahun

ajaran berikutnya, kupikir akan tetap di kelas yang sama. Ternyata tidak. Aku

tetap naik kelas seperti teman-temanku yang lain setelah dengan mudah

menyelesaikan semua ulangan.

Saat di SMP, Paman pernah berdebat soal kecerdasanku ini

dengan Papa dan Nenek. Nenek tak setuju aku mengikuti program akselerasi yang

mempercepat masa studiku. Menurutnya, pendidikan otak dan emosiku harus seiring

sejalan. Nenek ingin aku menjalani pendidikan sama seperti anak-anak lain.

Sampai sekarang aku mensyukuri keputusan Nenek. Karena setelah aku bekerja, aku

mulai mengerti alasannya.

Agar aku tak bosan dengan pelajaran di sekolah itulah, Paman

menghujaniku dengan buku. Sementara Papa mengikuti saran Nenek, memberiku

kursus tambahan. Sayangnya, karena Mama, Papa mulai mengurangi jatah uang

kursus, yang akhirnya menggiringku untuk mencari uang sendiri. Rasa ingin tahu

seperti tumor di kepalaku, jika aku ingin tahu sesuatu, aku akan mengejarnya

sampai dapat termasuk mencari sendiri uang untuk membiayai kursus yang

kuinginkan.

Aku tak hanya kursus kemampuan yang lazim untuk calon

pekerja seperti kursus komputer, bahasa Jerman dan Mandarin, dan mengetik 10

jari. Bahkan aku mengambil kursus kecantikan dan menjahit. Suatu kemampuan yang

memoles penampilanku jauh lebih baik saat bekerja.

Kombinasi usia muda, kecantikan dan kecerdasan ini pasti

memikat pria manapun. Sejak aku mulai kursus kecantikan, lelaki mulai berderet

mendekatiku. Padahal Papa sengaja memilih sekolah khusus perempuan untukku.

Tetap saja, anak laki-laki dari sekolah-sekolah lain berlomba menarik

perhatianku setiap aku melewati pagar sekolah. Penyebab Papa akhirnya selalu

menjemputku tepat waktu. Saat aku bekerja, perhatian pria makin banyak. Kadang

terlalu berlebihan. Jadi aku tak lagi merasa asing dengan semua itu. Biasa

saja.

Anehnya, setelah hampir setahun bekerja dengan rekan kerja

yang kebanyakan pria, perasaanku hanya bergetar untuk satu orang. Tak seperti

teman-temanku yang lain, yang begitu mudah mengagumi pria-pria tampan bahkan

mengidolakan para selebritis. Buatku, para anggota Backstreet Boys hanyalah anak-anak muda yang bersuara indah.

Ketampanan mereka hanya pemanis belaka. Sama seperti semua pria di sekitarku.

Padahal merekalah satu-satu grup band favorit yang kusuka.

Makanya aku ya biasa saja jika dipandangi pria. Mau dengan

kagum, mau dengan meremehkan, atau dengan tatapan penuh nafsu. Aku tak peduli.

Bukan urusanku. Itu urusan mereka. Aku hanya sedang menikmati kebebasan yang

tak pernah kumiliki, dan itu termasuk memilih pakaian apapun yang ingin

kukenakan. Kadang aku malah sengaja menggoda. Lucu melihat ekspresi 'ngenes' di wajah pria-pria itu.

Tapi kali ini rasa tidak nyaman disertai sakit yang meliputi

seluruh tubuh membuatku tak sedang ingin melakukannya. Kebetulan saja kaki

panjangku yang hanya ditutupi sepotong rok mini selonjoran karena rasa tak

nyaman itu. Kakiku dua-duanya juga terasa pegal. Hampir tiga jam aku berdiri

dan berjalan ke sana ke mari, di atas bebatuan dan tanah keras di lokasi tadi.

Aku hampir tertidur ketika kakiku merasakan kain lembut

dengan aroma sabun yang manis. Kubuka mataku. Melihat ada kain putih dilebarkan

menutupi kedua kakiku. Otomatis kepalaku berputar mencari orang yang

meletakkannya. Tapi aku tak sempat. Hanya suara batuk dan seragam biru langit yang

dikenakan orang itu, yang kutahu saat ia berjalan masuk ke dalam mesjid. Aku

yakin itu dia karena hanya ia yang terlihat di sekitarku saat itu.

Dari jendela kaca mesjid, aku melihatnya bergabung di antara

jamaah. Kepalaku celingukan berusaha melihat wajahnya. Tapi ia terus maju

hingga ke bagian depan, jadi aku tak lagi bisa melihatnya. Tapi aku mengenali

seragam itu. Itu seragam kerja sebuah perusahaan alat berat, salah satu kontraktor

besar dari perusahaan tambang di kota ini.

Setidaknya aku tahu di mana posisinya, nanti kalau ia keluar

aku harus berterima kasih. Apapun alasannya, aku mengerti kalau ia menutupi

sesuatu yang seharusnya tak boleh ditunjukkan di mesjid.

Kain putih itu ternyata rok bawahan mukena. Pantas saja

begitu lebar. Entah dari mana pria itu mendapatkannya. Yang jelas aku merasa

terbantu.

Kali ini aku mencopot earphone, menggulungnya

ke walkman dan duduk menunggu dengan takzim. Ikut mendengar

sisa khotbah yang masih berlangsung. Menunduk malu sendiri sembari

mengelus-elus rok bawahan mukena yang kini kupakai selayaknya.

Tak lama aku menunggu, sholat Jumat pun selesai. Aku

berdiri, menunggu pria yang tadi itu keluar di antara para jamaah. Namun,

bukannya pria itu yang keluar menemuiku, malah beberapa orang yang kukenal

melihat dan menyapaku akrab. Aku sengaja tak terlalu merespon, hanya mengangguk

dan kembali celingukan. Aku tahu mereka ingin lebih banyak mengobrol, bahkan

ada yang ingin mengantarku kembali ke kantor. Tapi dengan alasan aku menunggu

Pak Pram, aku menolak mereka dengan terburu-buru. Aku kuatir pria yang kutunggu

keluar tanpa kutahu.

Setelah hampir sebagian besar jamaah mesjid keluar, aku

masih belum melihatnya. Bahkan Pak Pram saja sudah keluar.

"Mbak, ayo!" ajak Pak Pram dengan heran melihat

aku berdiri di depan pintu mesjid.

"Sebentar, Pak! Aku mau balikin ini dulu nih. Tadi dipinjamin,

gak enak kalo gak makasih dulu," kataku sambil memanjangkan leher

memastikan posisi pria tadi.

"Masuk aja, Mbak! Udah gak ada orang. Daripada nungguin

di sini, samperin aja," saran Pak Pram.

Benar juga idenya itu. Aku mengangguk dan masuk ke mesjid.

Tak butuh waktu lama, aku menemukannya. Herannya, aku bisa

mengenali punggungnya, juga mengingat posisi tempat ia sholat saat masuk tadi.

Apalagi sekarang hanya dia satu-satunya berseragam biru muda yang masih duduk

menunduk.

Ngapain sih? Apa dia

sengaja melakukannya?

Aku punya pakarnya pria genit. Papaku sendiri. Jadi aku tahu

semua jurus lelaki. Mereka sengaja melakukan beberapa hal untuk mengundang rasa

penasaran perempuan. Kupikir pria ini salah satunya. Buktinya dia tahu aku

menunggunya, dan dia malah duduk diam berlama-lama.

Mesjid makin lama makin sepi. Kini tak sampai sepuluh orang.

Aku sudah mulai kesal menunggu si pria berbaju biru itu, jadi aku berdiri

hendak mendekatinya. Tapi, makin mendekatinya aku mendengar suara yang asing...

suara orang sedang mengaji.

Suara itu dari pria berbaju biru itu.

Langkahku berhenti. Urung mendekat. Sambil menghela nafas,

aku bersimpuh tak jauh di belakangnya. Tanpa sadar ikut mendengarkan suara pria

itu.

Suaranya jernih, pertanda ia bukan seorang perokok. Nadanya

juga ringan walaupun rendah, tidak berat seperti orang yang sedang memikirkan

beban. Lantunan murrotal-nya sedang dan perlahan, syahdu. Nyaman di

telingaku. Kudukku merinding.

Apa ini?

Ini pertama kali aku mendengar seorang pria mengaji siang

hari di mesjid di kota ini. Untuk ukuran kota pertambangan yang heterogen

secara internasional, jelas ini pemandangan langka. Di sini batas agama dan

budaya hampir tidak terlihat. Yang ada malah kehidupan bebas tanpa aturan

sosial. Tempat di mana hubungan pacaran saja sudah sama seperti berumah tangga.

"Nyari siapa, Mbak?" pertanyaan itu membuatku

menoleh ke belakang. Seorang gadis berjilbab abu-abu berdiri tak jauh dariku.

Ia tersenyum dan mengangguk padaku. Buru-buru aku mendekatinya.

"Anu, Mbak. Itu... ini... ini... " kataku sambil

menunjukkan rok bawahan mukena. "Tadi Mas itu minjemin ke saya. Saya

nungguin mau balikin."

Gadis itu tersenyum saat melihat arah telunjukku. "Itu

rok mukena saya, Mbak. Tadi dipinjam sama Mas Arzi."

"Oh gitu ya, ya udah saya balikin ya Mbak," kataku

sambil menurunkan rok.

"Eeeh, Mbak! Mbak! Tunggu!" cegah si Mbak

berjilbab abu-abu itu. "Jangan di sini! Aurat itu..." Si Mbak itu

menarik tanganku menjauh, menuju ke bagian mesjid tempat perempuan sholat.

Aurat? Oh iya, betul!

Kok lupa sih?

Aku mengikutinya dengan patuh. Begitu kami berada di balik

tirai, aku pun menurunkan rok itu dan melipatnya dengan rapi.

"Makasih ya, Mbak! Ini saya kembaliin," kataku

ramah.

Mbak itu mengangguk-angguk, lalu ia teringat sesuatu,

"Mbak yang kerja di ABS kan? Mbak Ratih, bukan?" tebaknya.

Aku tertawa, menggeleng. "Bukan, Mbak. Itu teman saya.

Nama saya Inka. Inka Nurhayati."

"Oh salah ya! Maaf, maaf. Salam kenal ya Mbak Inka.

Nama saya Saras. Saraswati Ayla Kusumawardani," ujar Saras mengenalkan diri

sambil menyalamiku.

"Panjang namanya Mbak Saras," godaku memecah

kekakuan di antara kami. Saras tertawa tanpa suara, mengangguk-angguk.

"Panggil Inka aja, Mbak Saras. Umur Inka belum dua

puluh," kataku sambil mengganti saya dengan nama, kebiasaanku menyebut

diriku sendiri.

Saras tersenyum. "Iya keliatan. Tadi saya heran, kok

ada anak SMA pake baju kerja begini? Nyari Mas Arzi pula."

Aku membalas senyumnya dengan malu. "Inka gak kenal Mas...

Arzi, Mbak. Tapi tadi dia ngasihin rok itu. Jadi mau sekalian bilang makasih

sih."

"Ya udah, entar saya sampein. Ini Inka mau langsung

balik ke office?"

Aku mengangguk. Tepat saat itu Pak Pram muncul lagi. Ia

tampak memberi isyarat kalau seseorang memanggilku di radio perusahaan. Dengan

tergesa, aku menyalami Saras sekali lagi, lalu keluar mesjid. Sambil berjalan

cepat, aku menoleh ke arah Arzi, berharap ia mau berbalik. Tapi sekali lagi aku

hanya melihat punggungnya.

Ini pertama kali seseorang menutupi tubuhku, bukan malah

memandanginya. Ini pertama kali seseorang tak merasa perlu mengenaliku, tapi

sudah menjagaku dari rasa malu. Ini pertama kali seseorang bersikap baik

padaku, tapi aku tak tahu siapa dia, bahkan tak tahu wajahnya seperti apa.

Ini pertama kali seorang pria membuatku ingin tahu lebih

banyak tentang dirinya. Siapapun dia, dia pasti orang yang baik.

***

[1]

Site: Lokasi Proyek

Terpopuler

Comments

Suyudana Arta

Suyudana Arta

1chapter panjang bener

2024-11-13

0

Apri Ani

Apri Ani

suka dengan ceritanya, seperti kenyataan

2023-02-25

0

Wanda Harahap

Wanda Harahap

baru nemu ternyata novel nya sudah lama y
enak ceritanya baru baca koq saya sudah kagum sama mas arzi ya😘😘😘

2022-06-04

0

lihat semua
Episodes
1 Episode 1 - Punggung Lelaki itu
2 Episode 2 - Di antara Pekerjaan
3 Episode 3 - Lingkaran Kehidupanku
4 Episode 4 - Suara Lelaki itu
5 Episode 5 - Pengunjung Tak Terduga
6 Episode 6 - Tanpa Siapapun
7 Episode 7 - Apa Aku Penting Baginya?
8 Episode 8 - Sulit Diucapkan, Sulit Ditanyakan
9 Episode 9 - Pengakuan
10 Episode 10 - Sejuta Rasa Cinta
11 Episode 11 - Kutukan Ulang Tahun
12 Episode 12 - Wajah Yang Menenangkan
13 Episode 13 - Hanya Seorang Teman
14 Episode 14 - Bukan Mahrom
15 Episode 15 - Antara Ratih dan Arzi
16 Episode 16 - Saat Menyenangkan Bersamanya
17 Episode 17 - Terlalu Banyak Pertanyaan
18 Episode 18 - Cemburu
19 Episode 19 - Perjalanan Singkat
20 Episode 20 - Lamarannya
21 Episode 21 - Debat
22 Episode 22 - Janji Kami
23 Episode 23 - Kenangan Masa Lalu
24 Episode 24 - Malam yang Menyenangkan
25 Episode 25 - Calon Keluarga atau Musuh
26 Episode 26 - Ikut Dia Selamanya
27 Episode 27 - Sisi Lain
28 Episode 28 - Lamaran Resmi
29 Episode 29 - Untuk Cinta Sejati
30 Episode 30 - Kemarahannya
31 Episode 31 - Hari-hari Penantian
32 Episode 32 - Berita Buruk
33 Episode 33 - Lebam
34 Episode 34 - Pengumuman
35 Episode 35 - Potongan Kenangan
36 Episode 36 - Undangan
37 Episode 37 - Perhatiannya
38 Episode 38 - Putus
39 Episode 39 - Malam yang Menakutkan
40 Episode 40 - 3 Lelaki: Cinta Tanpa Maaf
41 Episode 41 - Jatuh Cinta Tiap Hari
42 Episode 42 - Racun
43 Episode 43 - Hikmah Di Saat Sakit
44 Episode 44 - Hari Pernikahan
45 Episode 45 - Pengantin Bodoh
46 Episode 46 - Hidup yang Baru
47 Episode 47 - Seandainya
48 Episode 48 - Perjalanan ke Kampung
49 Episode 49 - Mertua
50 Episode 50 - Adik-adik yang Baru
51 Episode 51 - Anak Gembala
52 Episode 52 - Menjelang Pulang
53 Episode 53 - Waktu Untuk Menerima
54 Episode 54 - Rumah Masa Depan
55 Episode 55 - Di Antara Dua Agama
56 Episode 56 - Mengubah Desain
57 Episode 57 - Gadis Berkerudung Hijau
58 Episode 58 - Rumah Tangga
59 Episode 59 - Saatnya Bicara
60 Episode 60 - Selamat Tinggal, Sahabat!
61 Episode 61 - Kecurigaan
62 Episode 62 - Pertengkaran Pertama
63 Episode 63 - Berbaikan
64 Episode 64 - Perdebatan
65 Episode 65 - Kecelakaan Kerja
66 Episode 66 - Tamu Tengah Malam
67 Episode 67 - Kesayangan Allah
68 Episode 68 - Hadiah Dari Tammy
69 Episode 69 - Bukan Sebagai Beban
70 Episode 70 - Alasan Untuk Pindah
71 Episode 71 - Persiapan
72 Episode 72 - Terluka
73 Episode 73 - Di Antara Tragedi
74 Episode 74 - Memaafkan
75 Episode 75 - Berita Kehamilan
76 Episode 76 - Kunjungan
77 Episode 77 - Di Antara Penyesalan
78 Episode 78 - Dari Hati ke Hati
79 Episode 79 - Epilog (Andra) Janji Cinta Pertama
80 Episode 80 - Epilog (Andra) Bye, Love!
81 Preview - Welcome, Love!
82 Catatan Penulis
Episodes

Updated 82 Episodes

1
Episode 1 - Punggung Lelaki itu
2
Episode 2 - Di antara Pekerjaan
3
Episode 3 - Lingkaran Kehidupanku
4
Episode 4 - Suara Lelaki itu
5
Episode 5 - Pengunjung Tak Terduga
6
Episode 6 - Tanpa Siapapun
7
Episode 7 - Apa Aku Penting Baginya?
8
Episode 8 - Sulit Diucapkan, Sulit Ditanyakan
9
Episode 9 - Pengakuan
10
Episode 10 - Sejuta Rasa Cinta
11
Episode 11 - Kutukan Ulang Tahun
12
Episode 12 - Wajah Yang Menenangkan
13
Episode 13 - Hanya Seorang Teman
14
Episode 14 - Bukan Mahrom
15
Episode 15 - Antara Ratih dan Arzi
16
Episode 16 - Saat Menyenangkan Bersamanya
17
Episode 17 - Terlalu Banyak Pertanyaan
18
Episode 18 - Cemburu
19
Episode 19 - Perjalanan Singkat
20
Episode 20 - Lamarannya
21
Episode 21 - Debat
22
Episode 22 - Janji Kami
23
Episode 23 - Kenangan Masa Lalu
24
Episode 24 - Malam yang Menyenangkan
25
Episode 25 - Calon Keluarga atau Musuh
26
Episode 26 - Ikut Dia Selamanya
27
Episode 27 - Sisi Lain
28
Episode 28 - Lamaran Resmi
29
Episode 29 - Untuk Cinta Sejati
30
Episode 30 - Kemarahannya
31
Episode 31 - Hari-hari Penantian
32
Episode 32 - Berita Buruk
33
Episode 33 - Lebam
34
Episode 34 - Pengumuman
35
Episode 35 - Potongan Kenangan
36
Episode 36 - Undangan
37
Episode 37 - Perhatiannya
38
Episode 38 - Putus
39
Episode 39 - Malam yang Menakutkan
40
Episode 40 - 3 Lelaki: Cinta Tanpa Maaf
41
Episode 41 - Jatuh Cinta Tiap Hari
42
Episode 42 - Racun
43
Episode 43 - Hikmah Di Saat Sakit
44
Episode 44 - Hari Pernikahan
45
Episode 45 - Pengantin Bodoh
46
Episode 46 - Hidup yang Baru
47
Episode 47 - Seandainya
48
Episode 48 - Perjalanan ke Kampung
49
Episode 49 - Mertua
50
Episode 50 - Adik-adik yang Baru
51
Episode 51 - Anak Gembala
52
Episode 52 - Menjelang Pulang
53
Episode 53 - Waktu Untuk Menerima
54
Episode 54 - Rumah Masa Depan
55
Episode 55 - Di Antara Dua Agama
56
Episode 56 - Mengubah Desain
57
Episode 57 - Gadis Berkerudung Hijau
58
Episode 58 - Rumah Tangga
59
Episode 59 - Saatnya Bicara
60
Episode 60 - Selamat Tinggal, Sahabat!
61
Episode 61 - Kecurigaan
62
Episode 62 - Pertengkaran Pertama
63
Episode 63 - Berbaikan
64
Episode 64 - Perdebatan
65
Episode 65 - Kecelakaan Kerja
66
Episode 66 - Tamu Tengah Malam
67
Episode 67 - Kesayangan Allah
68
Episode 68 - Hadiah Dari Tammy
69
Episode 69 - Bukan Sebagai Beban
70
Episode 70 - Alasan Untuk Pindah
71
Episode 71 - Persiapan
72
Episode 72 - Terluka
73
Episode 73 - Di Antara Tragedi
74
Episode 74 - Memaafkan
75
Episode 75 - Berita Kehamilan
76
Episode 76 - Kunjungan
77
Episode 77 - Di Antara Penyesalan
78
Episode 78 - Dari Hati ke Hati
79
Episode 79 - Epilog (Andra) Janji Cinta Pertama
80
Episode 80 - Epilog (Andra) Bye, Love!
81
Preview - Welcome, Love!
82
Catatan Penulis

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!