Aku masih tak percaya mengingat apa yang kulihat tadi. Sepanjang jalan menuju Mesjid, aku menyetir sambil setengah melamun. Untunglah, jalanan pagi ini masih cukup sepi.
Arzi pasti mengatakan sesuatu pada Ratih, hingga ia menangis seperti itu. Juga, alasan apa yang membuat Ratih tidak mengatakannya padaku?
Otakku sulit mencerna semua yang terjadi ini. Hubungan Arzi dan Ratih berbeda dengan hubungan cintaku dengan Andra. Mungkin karena hubungan mereka didasari keinginan untuk menikah tanpa pacaran seperti seharusnya seorang muslim, tidak sepertiku dan Andra yang lebih mengikuti kebanyakan orang. Pacaran untuk saling mengenali satu sama lain.
Menarik sebenarnya. Bagiku, perkenalan tanpa cinta seperti yang dilakukan Arzi dan Ratih itu justru sangat langka. Kalau mereka bisa saling cocok, itu pasti luar biasa. Hanya saja. kadang sulit bagiku memahami pemikiran orang-orang dewasa ini. Terlalu jauh. Terlalu banyak pertimbangan.
Begitu berbelok masuk ke dalam parkiran Mesjid, aku sudah melihat Arzi. Ia nampak mengobrol dengan dua orang pengurus Mesjid berbaju putih. Saat ia mendengar deru mobilku, Arzi menoleh dan memperhatikanku sampai aku berdiri di depannya. Sementara kedua pengurus tadi meninggalkannya.
"Pagi, Pak Arzi!" sapaku sopan.
Arzi mengangguk. "Assalamualaikum, Inka!"
"Waalaikumsalam. Maaf Pak, aku lupa ngasih salam." Tak sadar tanganku menggaruk kepalaku.
Arzi hanya tertawa kecil. "Gak papa, In. Ayo masuk! Di dalam aja. Lebih adem."
Kami berjalan beriringan masuk ke ruangan pengurus. Arzi mempersilakan aku duduk dan ia sendiri mengambil kursi yang lain. Aku langsung mengeluarkan dokumen yang kubawa, dan menyodorkannya pada Arzi. Sambil menjelaskan semua rincian detail mengenai rencana maintenance dalam rumah ibadah umat Islam itu.
Arzi memperhatikan semuanya, sesekali bertanya. Lalu ia diam memperhatikan lagi. Sampai semuanya benar-benar ia pahami.
"Jadi proyek ini hanya seminggu, semuanya selesai?" tanya Arzi, sekali lagi ia membaca dokumen yang kubawa itu.
Aku mengangguk, sambil menutup kembali map tempat dokumen penawaran itu dan menyerahkan pada Arzi.
"Sebentar sekali. Terus, kita gak ketemu lagi ya?" tanya Arzi lagi. Ada kedut di sudut bibirnya, menahan senyum.
"Sebenarnya, entar kalo kerjaannya udah mulai juga, aku gak bakal ke sini lagi. Nanti ada Supervisor lain yang lanjutin. Kalo Bapak mau ketemu aku sih ya datang aja ke kantor atau ke rumah."
Arzi menggeleng. "Gak enak ketemu Ratih kalo saya ke kantormu. Saya kuatir dia salah paham," katanya tanpa melihatku. Tangannya sibuk menyimpan dokumen penawaran yang aku serahkan itu ke dalam laci meja.
Aku yang tadinya hendak berdiri dan berpamitan, urung melakukannya dan kembali duduk. "Nah itu, aku mau nanya. Bapak sama Mbak Ratih itu tadi kenapa? Kupikir kalian... "
"Pikir apa sih, In? Sudah saya jelasin sejak tadi malam kan? Kami itu hanya pernah mencoba saling mengenal. Ta'aruf. Sayangnya kami gak berhasil. Ratih dan saya itu gak cocok. Apalagi sekarang."
Kata asing lagi. Aku menggelengkan kepala. "Tapi Mbak Ratih masih sayang loh sama Bapak!" tekanku berusaha meyakinkan Arzi.
Tawa Arzi pecah. Ia menggeleng-geleng. "Sekarang itu yang saya harapin itu cuma kamu jadi sayang sama saya, In. Kalo yang lain, buat saya udah berakhir." Nadanya bercanda, tapi matanya terlihat serius.
Tak sadar aku cemberut. "Padahal Mbak Ratih itu cantik, baik, lembut lagi. Aku sayang banget sama Mbakku itu loh, Pak. Bapak jadian aja lagi deh sama Mbak Ratih."
"Kamu ini... terus tunangannya yang sekarang mau dikemanain? Sudah ah bahas itu terus. Kamu habis ini mau kembali ke office atau ada meeting lain?" tanya Arzi mengalihkan tema obrolan kami.
Aku mengangkat bahu. "Mau ke minimarket bentar. Mau nyari es krim. Dinginin hati! Sebel ih sama Bapak. Mau dicomblangi juga."
"Kalo gitu saya boleh numpang sampai minimarket itu?" tanya Arzi dengan mata jenaka.
Hah? Numpang mobilku? Aku menatap Arzi yang segera mengalihkan tatapannya. "Bapak tadi naik apa ke sini?"
"Numpang sama teman yang kebetulan lagi mau beli barang. Kami janjian ketemu di situ lagi."
"Ya udah aku anterin deh sekalian ke kantor Bapak. Kasian orangtua disuruh jalan kaki," godaku sambil berdiri.
"Kasian sama adikmu ini gitu," sambar Arzi tak mau kalah. Beriringan kami menuju tempat parkir.
Dalam mobil, aku berencana membahas soal Ratih lagi. Tapi belum lagi menemukan kalimat yang tepat, malah Arzi yang lebih dulu bicara.
"Ratih... kapan rencananya nikah, In?" tanya Arzi.
"Kenapa, Pak? Mau bawa lari pengantinnya?" godaku lagi. Menoleh sedikit sebelum kembali menatap lurus ke depan. Arzi tertawa kecil. Menggeleng-geleng.
"Kalau kamu gak ada teman buat ngehadirin, saya nawarin diri nih jadi kandidat."
"Iih, Bapak. Kalo Mbak Ratih nikah, aku pagar ayunya loh."
"Benarkah? Wah menarik!" Mata Arzi bersinar. Mata kami tak sengaja saling bertatapan sekilas.
"Menarik? Kenapa?" tanyaku.
"Menarik melihat cewek tomboy nanti pakai kebaya. Pasti... lucu," balas pria itu menggodaku sambil menahan tawa. Aku tertawa mendengarnya.
Setelah tawa kami mulai menghilang, barulah Arzi berkata dengan wajah serius. "Hubungan saya dan Ratih sudah benar-benar berakhir, In. Jaaauh sebelum ada tunangannya sekarang. Saya tidak cocok dengan Ratih. Untuk memulai obrolan saja sulit."
"Sulit? Kok bisa sih?"
Arzi mengangkat bahu. "Saya juga gak ngerti. Mungkin karena sifat kami hampir mirip. Sama-sama pendiam."
Aku hampir menyemburkan ludah mendengar kalimat terakhirnya. "Pendiam? Bapak pendiam? Apanya yang pendiam? Bawel nyo iya!" candaku tak tahan.
Arzi tertawa lagi. "Nah itu... kalo sama kamu, pendiam saya jadi ilang. Kabur entah ke mana! Artinya kita emang cocok."
Lagi-lagi kami tertawa berderai bersama.
Aku memutar kemudi memasuki tempat parkir Town Hall. Tepat di sisi samping minimarket, dan aku bisa melihat mobil bertulis kode perusahaan Arzi terparkir. Sengaja aku memilih memarkirkan mobil di sisi mobil itu. Pasti mobil ini yang akan ditumpangi Arzi.
"Masih belanja deh temannya Bapak!"
"Ho oh. Kalo gitu saya ke minimarket aja sekalian."
Aku baru selesai mengunci pintu mobil dengan kunci otomatis dan Arzi berdiri menunggu, ketika seseorang memanggilku dari belakang. Kami berdua sama-sama menoleh, dan aku terkesiap melihat Tamrin dan Yudi mendekat.
"Halo Dek!"
"Kak Tamrin, Kak Yudi! Ngapain di sini? Gak kerja?" tanyaku bingung sembari memperhatikan pakaian mereka yang terkesan santai. Sama-sama memakai kaos biasa, bukan seragam. Keduanya memandangiku dan Arzi bergantian. Aku tak peduli.
Tidaklah aneh menghabiskan waktu bersama pria di jalan seperti ini. Pekerjaanku, lingkungan sosial sekitar kami, semua itu biasa saja. Hampir 90% rekan kerja dan relasiku adalah pria. Kalau hanya karena jalan berdua itu sesuatu yang wajar.
Tamrin menggeleng, sembari mengangkat tangannya. "Shift malam, Dek. Kamu sendiri? Ngelayap jam segini. Bukannya kerja."
Aku tertawa. "Barusan selesai meeting dengan... eh iya, aku lupa ngenalin..." Aku menoleh pada Arzi yang berdiri di sisiku. "Ini Pak Arzi. Pak, ini teman-temanku Kak Tamrin dan Kak Yudi."
Ketiganya saling memberi salam dan berjabat tangan. Tapi entah mengapa, aku merasa tatapan berbeda terpancar dari kedua sahabat Andra itu. Tak banyak yang kami obrolkan. Karena hanya beberapa menit kemudian, aku dan Arzi sudah kembali berjalan menuju minimarket. Yudi dan Tamrin memilih pulang.
"Mereka itu sahabat pacarku, Pak," kataku menjelaskan. Aku tak enak melihat raut wajah teman-teman Andra tadi saat menatap Arzi. Aku juga bisa melihat Arzi terlihat tak nyaman. Karenanya, aku putuskan untuk memberitahunya agar mengerti situasinya.
"Mmmm..." Hanya dehem. Tidak ada komentar dari Arzi. Ia hanya mengangguk-angguk.
"Pacarku lagi tugas ke kota lain. Sebentar lagi pulang. Kami juga sebenarnya baru jadian, Pak. Baru berapa hari gitu, sebelum aku... "
"Eh iya, saya lupa nanya. Katanya mau ditemani untuk berobat. Gimana? Sudah dapet kabar?" tanya Arzi tiba-tiba. Aku terdiam. Oh iya, aku melupakan hal itu.
Dengan malu-malu, aku menggeleng. "Aku gak ngerti harus mulai dari mana, Pak. Ada sih temanku yang bisa ngurusin. Tapi aku gak mau sama dia. Kalau sama dia, pasti semua orang bakal tahu."
Arzi berhenti melangkah. "Kalo begitu nanti saya yang atur ya, kamu atur izinmu saja dengan kantor. Gimana?"
Tanpa ragu, aku mengangguk penuh keyakinan.
Arzi menraktirku lagi. Kali ini ia membelikanku dua batang es krim. Ia sendiri tak menyukai es atau segala yang dingin-dingin. Giginya sakit, katanya. Jadi aku tenang-tenang saja menyantap kedua es itu di depannya. Kami mengobrol lagi cukup lama. Lebih tepatnya, bercanda. Sungguh, kalau dengan Arzi, aku jarang bicara serius.
Tak lama, teman yang ia tunggu selesai berbelanja dan Arzi pun pamit.
Sepanjang perjalanan pulang sendirian, aku kembali memikirkan tentang Ratih. Ada perasaan tak enak menyelinap di dalam hatiku, tapi aku tak ingin memaksakan diri menjadi mak comblang lagi. Arzi sudah mengatakan isi hatinya, dan aku merasa ia benar. Aku tak bisa memaksa jika perasaan Arzi memang sudah tidak ada apa-apa. Hubungan mereka sudah lama berakhir, meski di hati Ratih masih tersimpan rasa sayang untuknya. Ratih sudah bertunangan, dan jelas aku tak boleh ambil bagian merusak janji dua keluarga untuk menyatukan keduanya. Tidak.
Tapi kurasa itu hanya alasanku saja. Entah mengapa, di sudut hatiku yang paling dalam, aku menyukai status Arzi yang bukan milik siapa-siapa.
******
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments
gaby
Kalo menurut pandangan gw, si Arzi ini munafik, sok alim. Pura2 ga mau bertatap mata & bersentuhan tapi mepet Inka mlulu. Ngegombalin Inka mlulu, katanya bkn Mahrom tp ko modusin Inka mlulu. Justru gw lbh respect ke Andra, dia bkn tukang gombal kaya Arzi. Tp syg gw dah baca endingnya kalo Andra jd sadboy😥😥
2023-02-22
1
Annisa Rahma
ayoloh inka mulain suka nih... 🤭🤭🤭🤭
2021-11-24
1
Calzi
gemessssss.. kenapa cerita kaya gini yg baca kurang banyakkkk. atau mungkin pembaca yg pinter emang dikit 😝
2021-08-04
0