"Haaai! How are you, Andra!" Sapaan di belakangku membuatku tersentak. Tapi si empunya suara cuek saja melewatiku dan mendekati Andra.
Saat Andra tampak sibuk meladeni Hans, seseorang berbisik padaku. "Buruan ganti baju sana, dandan dikit. Kamu berantakan banget tahu, In!" Lalu seperti Hans, Guruh juga ikut menyapa Andra. Berusaha mengalihkan perhatian pria itu.
Aku menunduk, memandangi pakaianku. Blus katun itu sudah miring tak karuan, juga menempel karena keringat dan kusut karena tadi sempat ditarik Guruh dan Hans bergantian. Aku seperti kucing tersiram air. Hidungku bahkan mencium bau yang tak enak, campuran antara keringat dan sinar matahari yang membakar. Duh, untung pria-pria kesayanganku paham benar soal itu. Tak sia-sia mereka menjadi pria-pria idaman banyak wanita.
Tak hanya itu, Ratih juga sepertinya sudah membaca kebiasaan itu. Ia juga berbisik, "Semua udah di kamar mandi. Ke sana aja!"
Tanpa banyak bicara, aku masuk ke toilet biasa yang telah diubah fungsinya menjadi kamar mandi lengkap oleh Hans ketika aku dan para asisten perempuan mulai sering lembur kerja.
Sebenarnya ada kamar mandi di mess khusus karyawan, tapi Hans tak mengizinkan para gadis termasuk aku menggunakannya. Semua supervisor yang sudah seperti ayah bagiku juga tak setuju. Mereka kuatir, para staf dan karyawan pria yang masih lajang akan punya pikiran tak senonoh saat tahu ada gadis mandi di kamar mandi mereka.
Terbiasa dengan ritme kerja cepat, aku terbiasa mandi dengan cepat juga. Dalam sepuluh menit, aku sudah keluar dengan tubuh beraroma sabun mandi mahal. Oh ya, aku bilang itu sabun mandi mahal, karena Hans membelikannya khusus untukku dari Sydney. Malah ada kosmetiknya juga. Untuk yang satu itu, aku sempat memberikannya pada Ratih. Namun, Ratih bilang terlalu mahal dan ia kuatir malah kulitnya tak cocok. Ratih malah mengajariku cara memakainya. Tak sulit bagiku cara memakainya.
Terimakasih untuk sabun mahal itu. Aku memang jarang pakai, dan sengaja kusimpan di kantor dengan loker terkunci. Tapi kini, aroma lembut seperti bunga mawar itu kini menghapus semua jejak-jejak bau keringat bermandikan sinar matahari dari tubuhku. Ditambah kosmetik yang kusapukan tipis di wajah, tingkat kepercayaan diriku meningkat drastis. Terbukti, Andra melihatku dengan sorot mata bersinar.
"Wow! Lo numpahin sabun berapa banyak, In? Wangi bener!" Goda Guruh. Aku hanya bisa meringis.
"This is that soap, right?" Lalu ia menoleh pada Guruh dan Andra. "I brought her a couple set of bath cosmetic last holiday, Gur. Is it good?" tanyanya dengan senyum tertahan. [Ini sabun itu, bukan? -- Saya belikan dia satu paket perlengkapan sabun mandi liburan lalu -- Apa itu bagus?]
"Really? You have to give me too, Pak. I want my... my wife using this too!" [Benarkah? Anda harus kasih saya juga, Pak. Saya ingin istri...istriku memakainya juga]
Senyum Hans makin lebar. Matanya berputar jenaka. "Your wife? Or... your girlfriend hah?" [Istrimu? Atau... kekasihmu?]
Sementara Andra menatapku sambil tersenyum tipis dari sofa. Ia tak lagi peduli pada dua bapak-bapak yang sibuk berkelakar di dekatnya.
Seperti memahami maksudnya, aku menatap pada Pak Hans untuk meminta izinnya. Belum lagi mengucap Pak Hans sudah berkata, "Ok, you can take my girl now, Mr. Andra. But please, take care her very well. She's still in recovery, so don't take her too late. Return her before ten and make sure she eats something. (Ok, kau bisa bawa gadisku sekarang, Pak Andra. Tapi mohon, jaga dia baik-baik. Dia baru sembuh, jadi jangan ajak dia terlalu malam. Antar dia sebelum jam sepuluh dan pastikan dia makan sesuatu)"
Aku senyum-senyum pada Andra yang mengangguk-angguk mendengar pesan Hans. Lalu Guruh berbisik. Entah apa. Tapi sepertinya pesan juga. Andra kembali mengangguk-angguk. Beruntung bagi Andra punya tinggi badan kurang lebih dengan Hans dan Guruh. Setidaknya ia tak terintimidasi oleh perbedaan tinggi badan.
Aku berjalan lebih dulu ke pintu, diikuti oleh Andra yang masih sesekali berbalik saat Hans atau Guruh berbicara. Dua orang ini kalau sudah diajak mengobrol, bakal sulit berhenti kalau tidak segera diintervensi. Aku sampai harus memanggil Andra. Baru setelah itu kami bisa melenggang menuju mobil yang dibawa Andra.
Lagi-lagi aku dibuat terperangah saat melihat nomor kendaraan yang dibawa Andra.
"Loh ini mobilnya Mr. Bill kan, Kak? Gak papa dipake?" tanyaku sedikit panik.
Biasanya para expatriate atau manajer kantor selalu mendapat fasilitas kendaraan dari perusahaan. Tapi digunakan selayaknya seperti milik pribadi. Tidak digunakan oleh staf atau karyawan lain, kecuali dalam keadaan darurat.
Tentu aku heran ketika melihat mobil untuk Bill, manajer kantor cabang tempat Andra bekerja, dibawa oleh pria itu. Tak hanya aku, dari tatapannya, Hans dan Guruh juga merasakan hal yang sama saat melepas kami berdua di lobby.
"Ini mobil yang saya pake sekarang. Bill ganti mobil. Dia dapet tugas yang lain." Andra seperti membaca pikiranku.
"Oh ya? Beneran? Serius?" Aku masih tak percaya.
Andra mengangguk, menekan kunci dan suara alarm mati terdengar. Ia tak langsung menuju bagian supir, malah membuka pintu untukku. Tak hanya itu, ia juga membantuku naik mobil 4WD itu.
"Mau makan di mana?" tanya Andra sembari memutar mobil keluar dari tempat parkir.
Tampak dua orang bapak-bapak berjejer di teras kantor, berdadah-dadah padaku. Oke... kenapa aku merasa seperti seorang anak gadis yang sedang diantarkan orangtuanya ya? Pak Hans, jadi bapakku dan Guruh... ibuku. Whaatss?
Aku tertawa sendiri sebelum menggeleng-gelengkan kepala, mengalihkan perhatian ke Andra
"Eh? Makan?" ulangku.
"Iya kan tadi mau makan katanya. Di mana?" tanya Andra cepat.
Aku tak tahu apakah Andra berbohong soal mobil ini atau tidak, atau karena aku bisa melihat kalau ia sedang sangat sibuk saat aku memintanya datang tadi, yang jelas tumpukan kertas dan dokumen yang dilempar asal-asalan di jok belakang itu sudah menjawab keingintahuanku. Andra memilihku.
"Kita ke arah kantor kakak aja. Kita makan di Aquatic aja. Inka lagi pengen makan seafood."
"Oke." Tangan Andra sibuk memutar kemudi, berbalik arah.
"Nanti singgah dulu ke kantor Kak Andra ya, Inka kangen sama Kak Tari."
"Oke." Sekali lagi ia hanya mengiyakan.
"Atau Kak Andra lanjutin kerja, biar Inka diantar Kak Tamrin aja!" celetukku ringan. Hatiku terlalu gembira melihat Andra hari ini. Jadi biarlah ia kembali bekerja.
"Tidak kalau itu! Kita makan dulu, baru ke kantor saya. Kamu hanya boleh di ruangan saya, gak boleh ke workshop. Gak boleh ke lab!"
Aku terdiam.
Sejak kapan Andra begitu posesif begini sih? Tapi aku tak berani menjawab. Nanti salah lagi. Belakangan ini Andra aneh, aku jadi bingung menghadapinya. Sudahlah, setel musik saja. Biar suasana tegang cair. Mendadak aku kangen pada mobil Hans. Di dalam mobil bossku itu, aku bebas melakukan apapun, termasuk berteriak-teriak mengikuti syair lagu.
Tapi, tunggu... ini pertamakalinya aku duduk dalam mobil ini. Tak sopan langsung melakukannya tanpa izin.
"Kak, setel musik ya!" pintaku. Andra mengangguk.
Untuk beberapa detik, tanganku sibuk memutar-mutar channel radio. Tak ada yang bagus. Isinya hanya orang bicara dan berita yang membosankan. Aku menyerah.
"Cek dasbor deh, siapa tahu di situ ada kaset," ujar Andra.
Aku mengangguk dan tanganku langsung membuka dasbor.
Braak! Beberapa benda berjatuhan. Aku memunguti satu persatu dan lagi-lagi kaget.
Tubuh-tubuh wanita setengah telanjang terpampang jelas di majalah-majalah yang jatuh di dekat kakiku. Aku memungutinya dengan mulut terbuka.
"Kak, beneran ini mobilnya Kak Andra? Jadi ini ya bacaan Kakak?" tanyaku dengan nada menggoda sambil memperlihatkan bagian depan salah satu majalah itu.
Andra melirik sekilas. Dan tangannya nyaris melepaskan kemudi saat hendak merampas majalah itu. "Hei! Hei! Bukan... ya Allah! Apa itu? astaga Bill, astaghfirullah! Beneran bukan punya saya, In. Bukan saya!"
Aku tertawa terbahak-bahak melihat reaksi panik Andra. Majalah seperti ini bukan hal asing bagiku. Di kantor, para staf pria sering menggoda para staf perempuan, jadi aku sudah kebal menghadapinya. Biasanya aku akan merampas semua majalah itu dan mengadukannya pada Hans. Urusan akan segera tuntas begitu Hans memarahi mereka.
Makanya aku santai saja memasukkan kembali majalah-majalah itu ke dalam dasbor. Aku tahu, majalah itu pasti bukan milik Andra. Tapi melihat wajahnya yang merah padam saat kugoda tadi sungguh menyenangkan. Itu mencairkan suasana kaku di antara kami berdua.
Pikiran jahilku makin besar.
"Iiiih, gak nyangka ih Kak Andra orangnya gitu!" kataku berpura-pura serius. Menahan tawa.
Andra menggeleng-geleng dengan wajah tak enak. "Ya Allah, beneran itu bukan punya saya, itu belum sempat saya pindahin! Bill tuh yang simpen!"
"Padahal Kak Andra itu kan cakep, pinter trus baik lagi. Cewek mana juga bakal mau jadi pacar Kakak. Ngapain coba mesti pake majalah gituan?" godaku lagi.
Tak ada jawaban. Hanya senyuman tipis penuh arti muncul di wajah Andra. Baru ketika aku menoleh padanya, ia kembali berkata, "Percuma, In. Punya semua itu, kalo cewek yang saya suka malah gak suka sama saya kan?"
Kali ini aku tak berani bertanya lebih lanjut. Tak berani mengucapkan satu lagi kalimat tanya yang seharusnya. Nama perempuan yang ia sukai.
Jujur aku trauma. Aku belum bisa melupakan jawaban Andra pada Mas Yudi waktu itu. Saat itu aku sampai dirawat di rumah sakit. Entah bagaimana respon tubuhku saat ia menyebut nama perempuan lain di depanku.
Walaupun merasa ditolak, aku tak ingin terlihat lemah di hadapan Kak Andra. Aku tak ingin dikasihani.
Cinta tak boleh tumbuh terpaksa karena kasihan. Cinta seperti itu takkan berumur panjang.
"Emang udah pasti dia gak suka sama Kak Andra?" akhirnya aku hanya bisa bertanya seperti itu.
Andra menghembuskan napas kuat-kuat dari mulutnya. "Belum sih. Tapi masalahnya, mau nanya itu susah banget. Susah sekali."
"Ya sudah tanya aja kenapa, Kak. Tanya ke dia, suka enggak sama Kak Andra? Mau enggak jadi pacar Kakak? Gitu juga gampang kan?" kataku santai. Sungguh, pandai benar aku bersandiwara sekarang.
Cukup lama Andra diam tak berkata apa-apa. Aku tak heran. Mungkin dia sedang berpikir.
"Kalau saya tanya itu ke kamu, jawabannya apa?" tanya Andra saat aku mengalihkan tatapan keluar jendela.
Pertanyaan itu membuat jantungku serasa berhenti berdetak. Perlahan aku berpaling padanya. Menatapnya tak percaya.
Apa dia serius? Akukah gadis yang ia maksud? Aku harus bagaimana? Atau ini juga sekedar bercanda?
"Naaah kan? Kamu aja susah jawabnya! Baru ditanya begitu sudah langsung terdiam!" Kembali terdengar nada riang dari suaranya.
Ah, ia hanya bercanda!
Rasanya ingin kujitak kepala pemuda tampan di sampingku ini. Untung tadi aku masih berpikir dan tidak langsung menjawab. Kalau saja tadi kuiyakan, pasti hanya rasa malu yang kudapat sekarang.
Mendengar candanya yang menurutku tak menyenangkan itu, aku memilih diam. Andra juga tampak berkonsentrasi pada kemudi.
Seperti ada sesuatu yang melayang-layang membatasi kami berdua saat ini.
Sesuatu yang sulit diucapkan, tapi juga sulit ditanyakan.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments
Langitⁿʲᵘˢ⋆⃝🌈N⃟ʲᵃᵃ࿐
kayaknya Andra juga suka kamu in
2022-11-13
0
adisty aulia
Pernah ke Kaltim... diSangatta sem8nggu.. cukup familiar dengan lingkup kerja pejuang dollar🤭🤭
gregetan ma Bang Andra🙃🙃
2021-12-14
0
Phewhe Dani
Sy dlu tinggal di samarinda, tepatnya dekat kampus unmul (universitas mulawarman), salam rindu dari saya
2021-01-06
0