Malam itu Andra menungguku di depan pintu rumah kos. Pikiranku yang sedang tidak karuan, membuatku lengah. Aku lupa memikirkan cara menghindarinya malam itu. Kupikir hanya dengan lembur sebentar, kami takkan bertemu.
"Sudah lama?" tanyaku sambil mendekatinya.
Andra menggeleng. "Enggak, baru aja. Tadi ada Ibu kosmu nemenin ngobrol."
"Tunggu ya sebentar, Inka mandi dulu," kataku.
Tangan Andra menahan langkahku. "Tunggu, Ka. Saya sebentar aja kok."
"Hmmm... "
Mata Andra lurus menatapku. "Papa kapan ke sini?"
"Papa?" tanyaku bingung. Apa maksudnya? Kami saling bertatapan dan ingatanku kembali pada obrolan kami beberapa hari sebelumnya. Tentang rencana kedatangan Papa. Ah, aku ingat sekarang.
"Oooh itu... Papa ada rencana lain, jadi dibatalin. Emang kenapa, Kak?"
Aku tak ingin memberitahunya kalau baru kemarin kuminta Papa untuk membatalkan rencana kedatangannya itu. Perasaanku masih tak karuan dan lagipula Papa terlalu pandai membaca isi hatiku. Tak mungkin aku menghadapi dua pria ini sekaligus. Bersembunyi dari Andra saja sudah sulit, apalagi dengan Papa.
Kecewa jelas terlihat di wajah Andra, tapi dengan cepat ia menyembunyikannya dengan senyum.
"Syukurlah, kebetulan saya harus bertugas ke Bontang beberapa hari. Malam ini saya harus berangkat. Kamu gak masalah?"
"Tugas?" tanyaku bingung. Andra mengangguk. Aku menghela napas mengerti.
Tangan Andra merogoh sakunya, mengambil sesuatu. Kunci. "Ini kunci kamar saya. Kalau kamu mau pakai. Saya sudah ngomong ke Yudi juga."
Aku hanya mengangguk dan mengambil kunci tersebut. Setelah itu aku berdiri cukup lama melepas mobil Andra. Setidaknya sekarang aku punya waktu untuk berpikir.
Setelah mandi dan berganti pakaian, aku merasa dadaku sedikit sesak. Ingin menangis, tapi airmataku sudah jatuh terus dari kemarin. Aku lelah.
Daripada di rumah, lebih baik aku jalan-jalan sebentar sambil mencari makanan untuk dimakan. Perutku tak terlalu lapar. Tapi sepanjang siang aku makan hanya sekedarnya. Kalau tak ingin pingsan lagi dan Dirga akan mengambil keputusan sendiri untukku, aku harus sehat.
Kuputuskan berjalan kaki ke rumah Ratih yang tinggalnya tak jauh dari tempat kos. Siapa tahu setelah mengobrol dan bercanda dengan mbak bersuara lembut itu, hatiku akan jauh lebih tenang. Mungkin saja nanti akhirnya aku bisa cerita beban yang sedang kusimpan di hatiku ini.
Dari dulu aku suka berjalan kaki. Langkah pelan saat berjalan membuat aku seperti berpikir dari satu cara ke cara lain. Setiap kali punya masalah, aku selalu memikirkan dengan berjalan. Selain baik untuk kesehatan, aku juga bisa mengamati banyak hal di sepanjang jalan. Menikmati semua yang kulihat itu.
Kendaraan yang berseliweran, udara malam yang berhembus, lampu-lampu jalan yang menyala terang, rumah dan toko yang berjejer dan tentu saja orang-orang yang juga menikmati malam sepertiku. Seperti...
Seorang pria sedang berdiri di depan sebuah rumah kayu berwarna gelap. Ia tengah menatapku. Ia berdiri di sana dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celananya, adalah seseorang yang kukenal. Senyumnya mengembang saat tatapan kami bertemu. Sepertinya ia sudah melihatku sedari tadi. Otomatis aku mempercepat langkah mendekatinya.
"Loooh, Pak Arzi? Tinggal di sini?" tanyaku bingung. Aku memperhatikan sekitarnya.
Arzi mengangguk. "Iya, di situ. Mess perusahaan." Telunjuk Arzi menunjuk ke arah rumah kayu berwarna gelap besar bertingkat dua yang ada di belakangnya. Aku mengangguk-angguk. Dekat sekali dengan rumah kosku dan tak jauh dari rumah Ratih.
"Mau ke mana, Mbak?" tanya Arzi. Ia sudah mengalihkan pandangan. Seperti biasa, setiap kali kami bicara, ia lebih banyak menatap ke arah lain. Lama-lama aku terbiasa juga.
"Nyari makan sih, Pak. Tapi ya sambil jalan-jalan juga."
"Sekalian yuk, saya juga mau ke Town Hall," sergah Arzi. Benar juga, daripada sendirian. Aku pun mengangguk.
Tepat saat itu sebuah angkot lewat, Arzi membiarkanku naik lebih dulu baru dirinya. Hanya ada dua tempat tersisa untuk kami, jadi Arzi duduk di sebelahku. Meski duduk berdampingan, aku bisa melihat kalau pria itu berusaha menghindari sentuhan denganku. Aku menyeringai.
Kalau saja tak ada kerjasama perusahaan, pasti kukerjai pria seperti ini. Sok jual mahal pada perempuan. Padahal kalau ditawari mereka berubah jadi serigala yang takkan melepas kesempatan.
Untunglah, tak lama ada beberapa penumpang. Ketika akhirnya ada ruang diantara kami, aku bisa melihat wajah Arzi yang lega. Aku hanya tertawa geli melihat raut wajahnya. Sungguh berbeda dengan semua pria yang kukenal.
Kami tiba di Town Hall dan berjalan beriringan menuju tempat para penjaja makanan. Kami memilih sebuah meja kosong di pojok, dan saat aku duduk, Arzi bertanya apa yang ingin kupesan.
"Nasi goreng," jawabku.
Saat Arzi memesan, aku tertawa sendiri. Bisa-bisanya aku pergi dengan seorang pria yang hampir seumur dengan pamanku itu. Mungkin karena aku dekat dengan Papa dan pamanku itulah makanya aku merasa nyaman bersama Arzi. Mendadak aku kangen mereka semua.
"Ngelamunin apa?" tanya Arzi sambil duduk di sampingku.
"Enggak," elakku sambil menggeleng.
"Sering makan di sini?" tanya Arzi lagi.
"Hmmm, kalo siang paling sama teman-teman atau pas kebetulan lewat. Kalo malam, ya kalo ada yang mau nraktir aja. Males jauh-jauh nyari makan aja."
Arzi mengangguk-angguk. "Ya udah, nanti kalo pengen makan di sini, bilang aja ke saya. Seumur hidup Inka pun saya traktir kalo mau."
"Iiih, Bapak! Rayuannya... hahaha... "
Suara tawa kami berdua bersahutan. Ternyata, ia lumayan enak diajak ngobrol.
Tak lama nasi goreng kami berdua datang. Tanpa banyak bicara, kami mengobrol. Aku gampang sekali lupa diri kalau sudah diajak bicara. Apalagi jika itu menyangkut sesuatu yang menyenangkan. Arzi berulang kali bertanya tentang kota asalku dan dengan senang hati aku bercerita.
"Bulungan itu kota lain selain Tarakan. Jadi harus menyebrang lagi pakai kapal. Di sana ada dua pulau terpisah. Satunya Tanjung Selor dan satunya lagi Tanjung Palas."
"Saya baru dengar nama dua kota itu," kata Arzi.
"Bukan, Pak! Itu satu kota kecil. Tapi dipisahkan oleh sungai besar. Bapak pernah naik ketinting?"
"Ketin...ketinting?" Arzi mencondongkan tubuhnya, memasang telinga. Keningnya berkerut.
"Iya. Tau ketinting itu apa?" tanyaku lagi.
Arzi menggeleng. Tangannya berhenti menyuap nasi.
Aku mengangkat tangan. Memberi contoh bentuk yang ada di benakku. "Ketinting itu perahu kecil, dengan satu mesin di bagian belakang. Itu kendaraan yang digunakan untuk warga di kampung saya menyeberang."
"Oooh ngerti deh saya. Yang kayak di Samarinda bukan? Yang seperti di pasar terapung?"
"Benar ituuu!" pekikku senang. Senyum lebar juga merekah di wajah Arzi.
Lalu Arzi bertanya, "Itu kan kecil banget, berarti bahaya dong, bisa jatuh. Kamu bisa berenang?"
Aku tersenyum malu dan menggeleng pelan. "Enggak, Pak!"
"Nanti kalo jatuh gimana?" tanya Arzi bingung.
"Kan ada paman-paman saya, Pak!" jawabku mengangkat bahu. Aku sudah pernah terpeleset saat akan naik perahu 2 kali, tercebur karena didorong sepupu satu kali dan karena bercanda di atas perahu sekitar 3 kali. Sisanya aku lupa. Tapi begitulah yang terjadi. Selalu ada orang yang menjagaku setiap kali berada di dekat air.
Arzi tersenyum lagi. Mengangguk mengerti. "Tapi Ka, mereka gak selalu ada untukmu. Mau sampai kapan menggantungkan nasibmu di air dengan mereka. Kenapa gak belajar berenang?"
Aku mengangkat bahu. "Gak ada yang ajarin. Bapak gimana? Bisa berenang?"
Jempol Arzi terangkat lurus. "Tentu saja! Saya bahkan sering melompat di dam tiap selesai ngangon kambing."
"Benarkah? Waah kebetulan, kalo gitu Bapak aja ajarin aku berenang gimana?" pintaku.
Kukira ia akan mengangguk, tapi tangan Arzi malah melambai-lambai menolak.
"Kita bukan mahrom, Ka. Saya mana boleh ngajarin kamu berenang," jawab Arzi sebelum menunduk dan makan.
Keningku berlipat, mahrom? Apa itu? Kurasa aku pernah dengar dulu dari ustad tentang itu. Tapi aku lupa. Selama jadi muslim, aku jarang memahami bahasa Arab. Jadi aku tak mengerti. Tapi sudahlah, nanti aku bisa tanya teman yang lain.
Cerita kami terus mengalir sepanjang makan malam itu. Bertukar cerita tentang perbedaan tempat kami dilahirkan. Ternyata meski sama-sama Indonesia, budaya dua kota kami sangat berbeda satu sama lain. Tak terasa, hingga nasi goreng pun selesai kami makan.
Aku sungguh tak menyangka saat Arzi bertanya, "Waktu itu kamu nanya soal kanker, apa ada yang sedang sakit?"
Awalnya aku menatap Arzi, tapi hanya beberapa detik karena pria itu menoleh ke arah penjual nasi goreng dan mengangkat tangan memanggil. Untuk beberapa saat pertanyaan itu bergantung karena Arzi sibuk dengan si penjual nasi goreng. Membayar dan membiarkan piring-piring kami diangkat.
"Mau pulang?" tanya Arzi lembut. "Atau masih ada yang ingin diceritakan ke saya?" lanjut Arzi.
Ia tersenyum. Hanya senyum biasa. Tak ada kata-kata manis merayu di bibirnya. Hanya sebuah kalimat tepat untuk membuatku menganggapnya... sahabat.
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments
Langitⁿʲᵘˢ⋆⃝🌈N⃟ʲᵃᵃ࿐
cerita aja in
2022-11-14
0
Azkia Nurfalah Kue
Naff mau tanya pak Azri umur ny brpa tahun y ko seumuran SM pman ny INKA berrti udah berumur dong
2021-10-18
0
Irawati Haryanto
ternyata ceritanya masih 1 pulau dgn saya yg dibalikpapan.. jadi ngerasa emank kejadian nyata yg dituang melalui novel ini.. sukaakk thor 🤗🤗
2020-12-02
0