"Jadi apa keputusanmu, In? Operasi? Atau menunggu waktu yang tepat?" tanya Arzi saat kami tengah menyantap makan siang.
Tanganku yang sedang mengaduk sup, berhenti. Lalu aku menghela napas dan menatap Arzi.
"Aku gak mungkin operasi, Pak."
Kali ini tangan Arzi yang membeku di udara. "Maksudmu?"
"Biaya operasi segitu besar, dapet dari mana aku? Aku juga gak mau ngerepotin orangtuaku."
Sendok di tangan Arzi lepas, ia memandangku lekat. "Kamu gak punya asuransi? Perusahaanmu gak nanggung biaya pengobatan? Terus selama ini kalau kamu sakit gimana? Siapa yang bayar?"
Aku mengangkat bahu. "Kalau itu hanya sakit biasa, aku biasa pake akun perusahaan di klinik. Tapi ini kan beda. Aku harus operasi di rumah sakit sini. Aku bahkan belum setahun bekerja di perusahaan. Soal asuransi atau biaya pengobatan, selama ini aku gak pernah mikirin. Mikirnya kerja aja."
Tangan Arzi memainkan sendoknya. "Gak mungkin gak ada, Inka. Perusahaanmu itu kan cukup stabil. Apalagi kamu. Coba kamu cek dulu dan omongin baik-baik ke perusahaan. Mungkin saja ada, tapi kamu aja yang gak tau."
"Mungkin. Tapi selain itu, aku juga gak tau harus gimana, Pak? Ini pertama kalinya aku dengar kata operasi. Dirawat di rumah sakit aja dulu banget waktu aku masih kecil. Kemarin dirawat, orang lain yang urusin. Jadi aku benar-benar gak tahu dan gak ngerti harus bagaimana sekarang?"
Aku bisa mendengar suara berat napas Arzi yang ia hembuskan. Entah ia mengerti atau tidak, tapi itulah yang kurasakan saat ini. Semua masalah datang bertubi-tubi, dan sejujurnya aku merasa sendirian. Arzi memang menemaniku, tapi tetap saja ia bukan siapa-siapa.
"Bagaimana dengan keluargamu? Kekasihmu? Apa rencana kalian? Apa dia tahu kamu seperti ini?"
Aku menjawab dengan gelengan kepala. Tak yakin. Hubungan kami masih sangat baru. Membicarakan sesuatu sensitif seperti uang, sangatlah tidak enak.
"Orangtuamu? Saudaramu?" tanya Arzi lagi. Aku bisa melihat sorot matanya kali ini.
Sakit biasa saja aku dianggap sudah sangat merepotkan oleh Mama. Entah bagaimana kalau mereka tahu, aku harus menjalani operasi. Aku terlalu lelah menghadapi kemarahan Mama. Iya kalau Papa mau membelaku, kalau tidak?
Aku kembali menggeleng. "Aku hanya punya Papa dan aku tak ingin menambah masalah orangtuaku, Pak. Mama pasti ribut kalau harus mengurusiku saat sakit. Buat mereka, setelah aku kerja, berarti tanggung jawab mereka sudah selesai."
Setelah mengatakannya, aku berusaha tersenyum dan menunduk menyantap kembali sop buntut yang mulai dingin.
"Inka... " Suara Arzi begitu pelan. Ia masih menunduk.
Kepalaku terangkat lagi. Lalu sedetik kemudian ia mengangkat wajahnya.
"Kalau semua jalan yang kamu pikirkan saat ini buntu, saya bersedia membantumu," kata Arzi dengan tatapan tegas. Aku tersenyum mendengarnya. Senang sekali mendengar tawaran yang begitu tulus.
"Aku tak mau berhutang, Pak. Merepotkan. Belum tentu aku juga bisa membayar kembali."
Arzi menggeleng. "Bukan itu yang saya tawarkan, In."
Bibirku terbuka. Maksudnya?
"Menikahlah dengan saya, Inka. Ikutlah dengan saya. Saya akan mendampingimu, mengurusmu, menjagamu, mengobatimu, merawatmu dan memberikan semua yang kamu butuhkan. Kamu tak perlu membayar apapun. Tinggal di sisi saya saja itu sudah cukup," kata Arzi. Suaranya sangat jelas. Terlalu jelas hingga membuat pelayan yang sedang lewat mengantar pesanan meliriknya, dan beberapa tamu lain di restoran itu memperhatikan kami berdua.
Aku tak tahu harus menjawab apa. Lamaran Arzi terdengar tulus, hingga aku bahkan ingin segera mengiyakan. Tapi bukan otakku yang bermasalah, otakku terlalu sehat untuk berpikir betapa banyak perbedaan di antara kami.
Yang jelas Arzi mungkin melupakan satu hal. Aku sama sekali tidak mencintainya.
Maka aku tersenyum manis padanya. Menatap tulus. "Makasih banyak, Pak. Tapi aku ingin menikah karena aku mencintai suamiku, bukan karena aku butuh bantuan."
Kurasa Arzi mengerti, karena ada senyum muncul di wajahnya saat ia mengangguk-angguk. "Saya tahu, Inka. Tapi kapanpun kamu ingin menerimanya. Saya akan tunggu." Ia menunduk lagi. “Lagipula Inka... di mata Allah, alasan pernikahan itu adalah kebaikan untuk kedua belah pihak. Jika pernikahan itu bisa membantumu dan saya senang bisa membantumu, itu bisa membuatmu dan saya sama-sama bahagia, maka alasan itu saja sudah cukup.”
Aku tak menjawab lagi, hanya diam menghabiskan makan siangku. Begitu pula Arzi. Mendadak suasana kaku tercipta di antara kami.
*****
Tapi aku ingin menikah karena aku mencintai suamiku, bukan karena aku butuh bantuan.
Mengingat jawabanku saat bicara dengan Arzi, membuatku memikirkan pernikahan sebagai cara untuk keluar dari semua masalah ini sekaligus.
Menikah akan membuatku memiliki seseorang untuk bergantung, menghindari Dirga selamanya dan mungkin melepaskan diri dari bayang-bayang kecemburuan Mama. Aku juga bisa menghilangkan aneka gosip tak enak karena status lajangku di kota ini. Semua akan selesai kalau aku menikah.
Tapi dengan siapa?
Tentu aku memikirkan Andra sebagai calon utama. Hanya saja, apa aku bisa yakin hidup bahagia selamanya dengan dia? Tak sadar aku menggeleng-geleng. Tidak mungkin! Bagaimana bisa aku memikirkan pernikahan sebagai jalan keluar dari masalah?!
Sudahlah, ini saatnya aku bekerja. Aku tak boleh memikirkan masalah pribadi saat ini. Terlalu banyak masalah di kantor yang tak boleh dianggap remeh. Pengurangan budget, pengurangan jumlah karyawan, project cost yang meningkat tajam...
"Ada apa, In?"
Aku mendongak, menatap Dirga yang tiba-tiba sudah berdiri di depan meja kerja. Keningku berkerut melihatnya. "Mas, ngapain di sini?" tanyaku sebal.
Dirga menghela napas. "Gimana? Mas dapet info katanya kamu berobat ke Balikpapan. Kok gak ajak-ajak Mas? Mas loh yang meriksa kamu dari awal."
Bahuku terangkat. Tak berarti dia bisa mengendalikan aku.
"Mau pergi dengan siapa, itu bukan urusan Mas. Itu urusanku!" sergahku.
Dirga diam. Tapi bukannya menyingkir, ia malah duduk di depanku.
"Papa nelpon, dia nanya kapan kamu mau pulang untuk cuti? Udah hampir setahun, dan kamu belum pulang juga. Papa nyuruh Mas nganterin. Mas gak cerita kalo kamu sempat ke Balikpapan."
"Aku sibuk. Lagi banyak kerjaan. Soal aku pulang atau tidak, nanti aku pikirin."
"Tapi, In. Kamu harus mikirin kesehatanmu juga. Mas tahu, pasti dokter sudah bilang kalau kamu harus operasi, kan? Itu perlu persiapan. Jadi sebaiknya ... "
"Could you please stop involving in my life, Mas?!" [Bisakah kau berhenti ikut campur urusanku?]
"Inka ..."
Aku berdiri, memutari mejaku untuk mendorong Dirga keluar. Ia masih mencoba untuk bicara, tapi aku tak perduli. Beberapa teman-teman kerjaku memperhatikan tingkah kami berdua.
"Next time, jangan pernah ke kantor saya lagi, Pak Dirga! Tidak enak dilihat sama orang-orang. Kalau Anda perlu membahas masalah pribadi yang tidak penting, sebaiknya lewat telpon saja. Terima kasih banyak," kataku dengan nada resmi tepat di depan meja front office. Ratih yang berdiri di situ termangu menatap kami.
Saat kembali ke kantorku, aku berhenti dan bicara pada Ratih. "Mbak, maaf. Siapapun yang datang, mau dokter, mau presiden, tanya dulu apa aku mau ketemu atau tidak? Aku sibuk banget dan gak sempat ngurus urusan begini."
"Iy... iya, In."
"Makasih. Tolong ya, Mbak!" pintaku tegas. Aku mungkin lebih muda dari Ratih. Tapi di kantor, aku atasannya dan aku benar-benar membutuhkan konsentrasi saat ini. Krisis moneter yang melanda Indonesia, mulai mempengaruhi operasional perusahaan.
Tapi belum sempat aku duduk, telepon di mejaku telah berbunyi. Suaranya berasal dari nomor telepon line pribadi. Artinya seseorang yang berada di lingkaran pentingku. Bahkan Dirga tak tahu nomor telepon ini. Buru-buru aku mengangkatnya.
"Halo? Inka?"
Suara Andra. Mendadak seluruh energiku kembali. Dengan riang aku menjawab, "Ya, Kak Andra. Ini Inka."
"Mau makan siang bareng gak?"
Aku langsung mengiyakan ajakan itu. Akhirnya setelah sekian minggu menunggu. Ia pulang. Tak ada lagi yang perlu kukuatirkan. Ada Andra, dan pasti semua masalahku akan segera terpecahkan.
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments
listia_putu
suka sama alur ceritanya, ringan dan mengalir....❤️❤️❤️❤️
2022-08-20
0
Annisa Rahma
whooaaaa aku juga mau donk kalo dilamar begitu... mas arzi manis banget sih 😍😍😍😍😍😍
2021-11-24
1
Irawati Haryanto
sesekali, bilang koq gak pake handphone,lah lgsung sadar klo ini thn 90'an yaakk 😀
2020-12-02
0