Akhir Maret 1997
"Mbak, kita singgah bentar ya?" tanya Pak Pram, supervisor yang menyetir mobil.
Aku mendongak, "Mau ke mana?" tanyaku dengan nada bosan.
"Tuh ke situ, Mbak! Mau sholat Jumat sebentar," jawab Pak Pram lagi dengan sopan, sembari menunjuk ke arah kubah Mesjid Raya yang terlihat dari mobil yang sedang berjalan.
Sebenarnya aku sudah lelah. Dari pagi hingga siang hari ini aku harus ke lokasi, ikut mengawasi proses pembetonan workshop di Surya Pit. Salah satu proyek yang dikerjakan oleh perusahaan tempatku bekerja. Padahal kemarin malam aku juga harus lembur menyelesaikan dokumen tender yang akan disetorkan sebelum jam tiga sore hari ini.
Tapi sekarang perusahaan sedang kekurangan orang. Atasanku, seorang Technical Advisor berkebangsaan Australia sedang membutuhkan banyak bantuan saat ini. Hans, nama Bossku itu memang tak pernah secara langsung meminta bantuan padaku, satu-satunya staf perempuan di kantor. Namun, berbagai masalah yang terjadi akibat kekurangan personil ini turut mempersulit pekerjaanku juga. Jadi mau tak mau akupun turun ke lapangan.
Kepalaku berdenyut-denyut sejak satu jam lalu. Akibat kurang tidur, kurang istirahat dan makan tak teratur. Tapi sepanjang jalan Pak Pram terus bicara, membahas beberapa masalah yang memang tak sempat kami bicarakan tadi saat di lapangan. Memang sudah seharusnya begitu, kami harus memanfaatkan setiap detik yang berharga saat ini.
Padahal perutku juga mulai terasa mulas. Kurasa penyakit
maag-ku juga sudah mulai muncul. Aku baru ingat kalau tadi pagi aku juga melewatkan
sarapan pagi.
"Ya udah. Monggo, Pak!" kataku lesu.
Habis bagaimana? Tak mungkin aku mengatakan yang sebenarnya.
Sholat memang harus disegerakan jika sudah waktunya. Apalagi ini sholat Jum'at.
Biarpun aku bukan muslimah yang taat, sholat juga masih belang bentong, tapi
aku tahu beberapa hal yang pernah diajarkan padaku bertahun-tahun lalu.
Mobil pick-up Daihatsu hitam itu pun meluncur masuk ke
halaman mesjid. Tampak sudah banyak kendaraan roda dua dan roda empat berjajar
rapi di sana. Rata-rata mobil-mobil itu bertuliskan kode perusahaan dan nomor
mobil, bukan plat nomor, tapi nomor dari daftar kendaraan yang dimiliki
perusahaan masing-masing. Biasanya ditempelkan di bagian samping, di pintu
mobil atau bagian belakang mobil agar mudah terlihat. Beberapa karyawan dan
staf perusahaan yang turun dari mobil-mobil itu, tampak mulai masuk ke mesjid
satu demi satu.
"Saya tinggal dulu ya, Mbak," pamit Pak Pram
sambil mengambil kopiah hitam dari laci dasbor. Aku hanya mengangguk dan
bersandar di mobil.
Lebih baik aku tidur sambil menunggu Pak Pram. Tapi... astaga, mobil ini panas sekali! Padahal
baru beberapa menit AC dimatikan, panasnya matahari di luar sudah membakar
sebagian wajahku. Daripada hangus di dalam mobil ini, lebih baik aku keluar dan
beristirahat di teras mesjid saja. Lagipula teras mesjid sudah sepi. Para jamaah
yang tadi berkumpul di luar sudah masuk ke dalam mesjid karena khotbah Jumat
telah dimulai. Tak lupa aku meraih earphone dan walkman dari
dalam tas.
Sampai di teras mesjid, aku celingukan mencari pojokan yang
enak untuk beristirahat sebentar, tapi tetap bisa terlihat dari tempat parkir
mobil kami tadi. Kalau Pak Pram sudah selesai, ia akan mudah menemukanku. Tak
butuh waktu lama, aku sudah duduk bersandar di salah satu sudut teras.
Khotbah Jumat masih terdengar meski telingaku sudah
tersumbat earphone yang sedang meneriakkan lagu-lagu Backstreet Boys. Sengaja kusetel hingga
ke volume tertinggi. Kupejamkan mata untuk mengurangi denyutan menyakitkan di
kepalaku. Satu dua jamaah mesjid masih berdatangan, dan mereka melewatiku. Aku
tahu, mereka melihatku. Desahan mereka saat masuk itu yang membuatku tahu
kehadiran mereka. Ada yang berucap 'astaghfirullah', ada yang tertawa
kecil dan aku juga bisa mendengar suara langkah orang seperti hendak terjatuh.
Aku sangat tahu mengapa mereka terkejut melihatku. Gadis
muda sepertiku, yang saat ini mengenakan rok mini kesukaanku jelas hal aneh jika
duduk seperti ini di teras mesjid. Aku memang suka mengenakan rok mini. Di
manapun, kapanpun, dalam situasi apapun. Tingginya hingga melewati batas paha.
Hobi yang sebenarnya tidak disukai orangtuaku, bahkan bossku sendiri yang
jelas-jelas orang asing. Tapi aku tak pernah peduli soal itu. Walaupun aku
bekerja di lingkungan pertambangan yang hampir semuanya berjenis kelamin pria
dan juga berprofesi sebagai sekretaris dari sebuah perusahaan konstruksi yang
lebih banyak berada di site[1]daripada di kantor. Selama aku suka, aku akan tetap pakai.
Usiaku memang masih sangat muda untuk menjadi seorang
pekerja. Baru 18 tahun. Tapi aku sudah bekerja sejak masuk Sekolah Menengah
Ekonomi. Beragam profesi sudah kujalani. Mengajar les, menjaga toko dan menjadi baby sitter untuk membiayai beberapa
kursus pendukung sekolah kejuruan yang kuambil. Soal bahasa Inggris yang
menjadi bahasa keduaku, itu karena pengaruh Nenek dan Paman. Keluarga dari ibu
kandungku yang sempat mengasuhku. Nenek seorang mantan anggota DPRD yang
kemudian beralih profesi menjadi guru dan kepala sekolah. Seorang mantan
pejuang veteran yang menguasai banyak bahasa. Bahasa Indonesia, Jepang,
Mandarin, Belanda dan Inggris. Aku tinggal bersama Nenek selama dua tahun.
Cukup untuk mempelajari tiga bahasa dari semua yang ia kuasai.
Sementara saat SMP, selama tiga tahun aku dititipkan Papa
pada Paman Hakim. Pamanku ini juga seorang guru. Bedanya ia menguasai dua
bahasa asing, Jerman dan Inggris. Ia juga jago menulis, Matematika, Fisika,
Ekonomi dan membuatku memahami banyak soal dunia psikologi. Paman bahkan
diam-diam mengirimkan beberapa artikel yang kutulis tentang dunia remaja ke
sebuah kolom remaja di sebuah surat kabar.
Berbeda dengan kedua orangtua yang membesarkanku, Nenek dan
Paman selalu memberiku arahan positif untuk siap bekerja. Cara mereka tak
sekeras Papa atau sekaku Mama. Sosok yang mendidik inilah yang menjadikan skill-ku sudah terlatih seperti lulusan
sarjana. Di tahun 1997, pemandangan seorang anak remaja asli Indonesia yang
mengobrol dengan Nenek atau Pamannya dalam dua bahasa berbeda adalah
pemandangan langka. Sejujurnya, aku sangat menikmati tatapan kagum bercampur
iri setiap aku menunjukkan kemampuan itu.
Menurut Nenek, dari sebelas putra-putrinya, hanya Paman
Hakim yang mewarisi kecerdasan linguistik seperti dirinya. Sementara dari
sekian banyak cucu-cucunya, hanya aku dan salah satu sepupu laki-laki yang
menurunkan kemampuan itu. Saat itu aku tak terlalu paham maksud kata-kata
Nenek, apalagi mempercayainya. Baru bertahun-tahun kemudian, setelah mulai
bekerja dan bertemu dengan orang dari berbagai belahan dunia, aku mulai
mengerti arti kecerdasan linguistik. Bahasa awamnya, aku bagai bunglon dalam
dunia bahasa.
Sejak dulu, aku sadar benar potensiku. Aku tahu dari Papa,
kecerdasanku di atas rata-rata ketika secara kebetulan ia membiarkan
sahabatnya, seorang psikiater untuk memeriksaku. Dulu saat masih kecil, Papa
suka mempertontonkan kemampuanku di depan teman-temannya seperti menghafal
ratusan angka dengan cepat, membaca sebelum masuk SD dan ketika aku mampu
menyelesaikan soal-soal yang baru diajarkan satu dua kali. Guru-guruku juga
sadar soal itu. Meskipun aku berulang kali pindah sekolah dan jarang masuk
sekolah karena sakit atau mengikuti tugas Papa, aku tak pernah mengalami
masalah.
Satu kali, aku pernah sakit keras dan terpaksa tidak
bersekolah selama hampir enam bulan. Ketika aku kembali ke sekolah di tahun
ajaran berikutnya, kupikir akan tetap di kelas yang sama. Ternyata tidak. Aku
tetap naik kelas seperti teman-temanku yang lain setelah dengan mudah
menyelesaikan semua ulangan.
Saat di SMP, Paman pernah berdebat soal kecerdasanku ini
dengan Papa dan Nenek. Nenek tak setuju aku mengikuti program akselerasi yang
mempercepat masa studiku. Menurutnya, pendidikan otak dan emosiku harus seiring
sejalan. Nenek ingin aku menjalani pendidikan sama seperti anak-anak lain.
Sampai sekarang aku mensyukuri keputusan Nenek. Karena setelah aku bekerja, aku
mulai mengerti alasannya.
Agar aku tak bosan dengan pelajaran di sekolah itulah, Paman
menghujaniku dengan buku. Sementara Papa mengikuti saran Nenek, memberiku
kursus tambahan. Sayangnya, karena Mama, Papa mulai mengurangi jatah uang
kursus, yang akhirnya menggiringku untuk mencari uang sendiri. Rasa ingin tahu
seperti tumor di kepalaku, jika aku ingin tahu sesuatu, aku akan mengejarnya
sampai dapat termasuk mencari sendiri uang untuk membiayai kursus yang
kuinginkan.
Aku tak hanya kursus kemampuan yang lazim untuk calon
pekerja seperti kursus komputer, bahasa Jerman dan Mandarin, dan mengetik 10
jari. Bahkan aku mengambil kursus kecantikan dan menjahit. Suatu kemampuan yang
memoles penampilanku jauh lebih baik saat bekerja.
Kombinasi usia muda, kecantikan dan kecerdasan ini pasti
memikat pria manapun. Sejak aku mulai kursus kecantikan, lelaki mulai berderet
mendekatiku. Padahal Papa sengaja memilih sekolah khusus perempuan untukku.
Tetap saja, anak laki-laki dari sekolah-sekolah lain berlomba menarik
perhatianku setiap aku melewati pagar sekolah. Penyebab Papa akhirnya selalu
menjemputku tepat waktu. Saat aku bekerja, perhatian pria makin banyak. Kadang
terlalu berlebihan. Jadi aku tak lagi merasa asing dengan semua itu. Biasa
saja.
Anehnya, setelah hampir setahun bekerja dengan rekan kerja
yang kebanyakan pria, perasaanku hanya bergetar untuk satu orang. Tak seperti
teman-temanku yang lain, yang begitu mudah mengagumi pria-pria tampan bahkan
mengidolakan para selebritis. Buatku, para anggota Backstreet Boys hanyalah anak-anak muda yang bersuara indah.
Ketampanan mereka hanya pemanis belaka. Sama seperti semua pria di sekitarku.
Padahal merekalah satu-satu grup band favorit yang kusuka.
Makanya aku ya biasa saja jika dipandangi pria. Mau dengan
kagum, mau dengan meremehkan, atau dengan tatapan penuh nafsu. Aku tak peduli.
Bukan urusanku. Itu urusan mereka. Aku hanya sedang menikmati kebebasan yang
tak pernah kumiliki, dan itu termasuk memilih pakaian apapun yang ingin
kukenakan. Kadang aku malah sengaja menggoda. Lucu melihat ekspresi 'ngenes' di wajah pria-pria itu.
Tapi kali ini rasa tidak nyaman disertai sakit yang meliputi
seluruh tubuh membuatku tak sedang ingin melakukannya. Kebetulan saja kaki
panjangku yang hanya ditutupi sepotong rok mini selonjoran karena rasa tak
nyaman itu. Kakiku dua-duanya juga terasa pegal. Hampir tiga jam aku berdiri
dan berjalan ke sana ke mari, di atas bebatuan dan tanah keras di lokasi tadi.
Aku hampir tertidur ketika kakiku merasakan kain lembut
dengan aroma sabun yang manis. Kubuka mataku. Melihat ada kain putih dilebarkan
menutupi kedua kakiku. Otomatis kepalaku berputar mencari orang yang
meletakkannya. Tapi aku tak sempat. Hanya suara batuk dan seragam biru langit yang
dikenakan orang itu, yang kutahu saat ia berjalan masuk ke dalam mesjid. Aku
yakin itu dia karena hanya ia yang terlihat di sekitarku saat itu.
Dari jendela kaca mesjid, aku melihatnya bergabung di antara
jamaah. Kepalaku celingukan berusaha melihat wajahnya. Tapi ia terus maju
hingga ke bagian depan, jadi aku tak lagi bisa melihatnya. Tapi aku mengenali
seragam itu. Itu seragam kerja sebuah perusahaan alat berat, salah satu kontraktor
besar dari perusahaan tambang di kota ini.
Setidaknya aku tahu di mana posisinya, nanti kalau ia keluar
aku harus berterima kasih. Apapun alasannya, aku mengerti kalau ia menutupi
sesuatu yang seharusnya tak boleh ditunjukkan di mesjid.
Kain putih itu ternyata rok bawahan mukena. Pantas saja
begitu lebar. Entah dari mana pria itu mendapatkannya. Yang jelas aku merasa
terbantu.
Kali ini aku mencopot earphone, menggulungnya
ke walkman dan duduk menunggu dengan takzim. Ikut mendengar
sisa khotbah yang masih berlangsung. Menunduk malu sendiri sembari
mengelus-elus rok bawahan mukena yang kini kupakai selayaknya.
Tak lama aku menunggu, sholat Jumat pun selesai. Aku
berdiri, menunggu pria yang tadi itu keluar di antara para jamaah. Namun,
bukannya pria itu yang keluar menemuiku, malah beberapa orang yang kukenal
melihat dan menyapaku akrab. Aku sengaja tak terlalu merespon, hanya mengangguk
dan kembali celingukan. Aku tahu mereka ingin lebih banyak mengobrol, bahkan
ada yang ingin mengantarku kembali ke kantor. Tapi dengan alasan aku menunggu
Pak Pram, aku menolak mereka dengan terburu-buru. Aku kuatir pria yang kutunggu
keluar tanpa kutahu.
Setelah hampir sebagian besar jamaah mesjid keluar, aku
masih belum melihatnya. Bahkan Pak Pram saja sudah keluar.
"Mbak, ayo!" ajak Pak Pram dengan heran melihat
aku berdiri di depan pintu mesjid.
"Sebentar, Pak! Aku mau balikin ini dulu nih. Tadi dipinjamin,
gak enak kalo gak makasih dulu," kataku sambil memanjangkan leher
memastikan posisi pria tadi.
"Masuk aja, Mbak! Udah gak ada orang. Daripada nungguin
di sini, samperin aja," saran Pak Pram.
Benar juga idenya itu. Aku mengangguk dan masuk ke mesjid.
Tak butuh waktu lama, aku menemukannya. Herannya, aku bisa
mengenali punggungnya, juga mengingat posisi tempat ia sholat saat masuk tadi.
Apalagi sekarang hanya dia satu-satunya berseragam biru muda yang masih duduk
menunduk.
Ngapain sih? Apa dia
sengaja melakukannya?
Aku punya pakarnya pria genit. Papaku sendiri. Jadi aku tahu
semua jurus lelaki. Mereka sengaja melakukan beberapa hal untuk mengundang rasa
penasaran perempuan. Kupikir pria ini salah satunya. Buktinya dia tahu aku
menunggunya, dan dia malah duduk diam berlama-lama.
Mesjid makin lama makin sepi. Kini tak sampai sepuluh orang.
Aku sudah mulai kesal menunggu si pria berbaju biru itu, jadi aku berdiri
hendak mendekatinya. Tapi, makin mendekatinya aku mendengar suara yang asing...
suara orang sedang mengaji.
Suara itu dari pria berbaju biru itu.
Langkahku berhenti. Urung mendekat. Sambil menghela nafas,
aku bersimpuh tak jauh di belakangnya. Tanpa sadar ikut mendengarkan suara pria
itu.
Suaranya jernih, pertanda ia bukan seorang perokok. Nadanya
juga ringan walaupun rendah, tidak berat seperti orang yang sedang memikirkan
beban. Lantunan murrotal-nya sedang dan perlahan, syahdu. Nyaman di
telingaku. Kudukku merinding.
Apa ini?
Ini pertama kali aku mendengar seorang pria mengaji siang
hari di mesjid di kota ini. Untuk ukuran kota pertambangan yang heterogen
secara internasional, jelas ini pemandangan langka. Di sini batas agama dan
budaya hampir tidak terlihat. Yang ada malah kehidupan bebas tanpa aturan
sosial. Tempat di mana hubungan pacaran saja sudah sama seperti berumah tangga.
"Nyari siapa, Mbak?" pertanyaan itu membuatku
menoleh ke belakang. Seorang gadis berjilbab abu-abu berdiri tak jauh dariku.
Ia tersenyum dan mengangguk padaku. Buru-buru aku mendekatinya.
"Anu, Mbak. Itu... ini... ini... " kataku sambil
menunjukkan rok bawahan mukena. "Tadi Mas itu minjemin ke saya. Saya
nungguin mau balikin."
Gadis itu tersenyum saat melihat arah telunjukku. "Itu
rok mukena saya, Mbak. Tadi dipinjam sama Mas Arzi."
"Oh gitu ya, ya udah saya balikin ya Mbak," kataku
sambil menurunkan rok.
"Eeeh, Mbak! Mbak! Tunggu!" cegah si Mbak
berjilbab abu-abu itu. "Jangan di sini! Aurat itu..." Si Mbak itu
menarik tanganku menjauh, menuju ke bagian mesjid tempat perempuan sholat.
Aurat? Oh iya, betul!
Kok lupa sih?
Aku mengikutinya dengan patuh. Begitu kami berada di balik
tirai, aku pun menurunkan rok itu dan melipatnya dengan rapi.
"Makasih ya, Mbak! Ini saya kembaliin," kataku
ramah.
Mbak itu mengangguk-angguk, lalu ia teringat sesuatu,
"Mbak yang kerja di ABS kan? Mbak Ratih, bukan?" tebaknya.
Aku tertawa, menggeleng. "Bukan, Mbak. Itu teman saya.
Nama saya Inka. Inka Nurhayati."
"Oh salah ya! Maaf, maaf. Salam kenal ya Mbak Inka.
Nama saya Saras. Saraswati Ayla Kusumawardani," ujar Saras mengenalkan diri
sambil menyalamiku.
"Panjang namanya Mbak Saras," godaku memecah
kekakuan di antara kami. Saras tertawa tanpa suara, mengangguk-angguk.
"Panggil Inka aja, Mbak Saras. Umur Inka belum dua
puluh," kataku sambil mengganti saya dengan nama, kebiasaanku menyebut
diriku sendiri.
Saras tersenyum. "Iya keliatan. Tadi saya heran, kok
ada anak SMA pake baju kerja begini? Nyari Mas Arzi pula."
Aku membalas senyumnya dengan malu. "Inka gak kenal Mas...
Arzi, Mbak. Tapi tadi dia ngasihin rok itu. Jadi mau sekalian bilang makasih
sih."
"Ya udah, entar saya sampein. Ini Inka mau langsung
balik ke office?"
Aku mengangguk. Tepat saat itu Pak Pram muncul lagi. Ia
tampak memberi isyarat kalau seseorang memanggilku di radio perusahaan. Dengan
tergesa, aku menyalami Saras sekali lagi, lalu keluar mesjid. Sambil berjalan
cepat, aku menoleh ke arah Arzi, berharap ia mau berbalik. Tapi sekali lagi aku
hanya melihat punggungnya.
Ini pertama kali seseorang menutupi tubuhku, bukan malah
memandanginya. Ini pertama kali seseorang tak merasa perlu mengenaliku, tapi
sudah menjagaku dari rasa malu. Ini pertama kali seseorang bersikap baik
padaku, tapi aku tak tahu siapa dia, bahkan tak tahu wajahnya seperti apa.
Ini pertama kali seorang pria membuatku ingin tahu lebih
banyak tentang dirinya. Siapapun dia, dia pasti orang yang baik.
***
[1]
Site: Lokasi Proyek
Kalau kalian mengira seorang sekretaris itu adalah seseorang yang selalu berpenampilan cantik, bersepatu tinggi, bergaya anggun dengan jari jemari lentik terawat, berbicara dengan para atasan eksklusif, turun naik mobil bermerek mewah, mengenakan barang-barang luks dari ujung kepala hingga kaki, bekerja cukup dengan menulis atau mengetik dan bergaji luar biasa.
Maka kalian sepertiku.
Tadinya aku juga berpikir seperti itu. Makanya aku mau saja saat ditawari pekerjaan ini. Mana aku tahu kalau tak semua sekretaris bisa merasakan kenyamanan seperti itu. Malah untuk jenis sekretaris seperti pekerjaanku itu jauh sekali dari bayangan.
Selama tiga bulan pertama saat aku mulai kerja sebagai staf magang, aku mulai belajar menghilangkan bayanganku itu. Dari sekretaris sebelumnya yang akan kugantikan, aku mulai mengerti. Sekretaris bukanlah pekerjaan yang mengutamakan penampilan, tapi pekerjaan yang membuat segala hal di kantor menjadi lebih efisien. Kami bertugas membantu pekerjaan semua orang, meski secara jabatan hanya ada satu atasan.
Ketika akhirnya aku resmi menjadi sekretaris Hans. Aku sudah benar-benar mengubah cara pandangku terhadap pekerjaan seorang sekretaris.
Pagi hari aku memang tampil cantik selayaknya seorang sekretaris. Sepatu hak tinggi, rok span mini dengan paduan blazer, juga wajah yang dimake-up tipis dengan rambut bob terurai cantik membingkai wajah oval dengan sisiran sempurna. Hanya aku selalu menghindari segala bentuk perhiasan, termasuk anting-anting dan gelang. Sesuai peraturan perusahaan, karena faktor keamanan, kami yang berada di lingkungan pertambangan dilarang untuk mengenakan
perhiasan berlebihan. Aku memilih untuk tidak mengenakannya sama sekali daripada repot memasang dan melepasnya lagi.
Dalam perjalanan menuju kantor, di dalam mobil yang menjemputku, biasanya aku memeriksa jadwal hari ini dalam agenda kerjaku. Memastikan semua rencana dan temu janji tidak ada yang kulupakan atau terlewat. Sesekali aku akan menuliskan segala sesuatu yang harus kulakukan untuk memenuhi jadwal itu.
Begitu tiba di kantor, maka saat itulah aku berubah. Dari angsa cantik yang anggun, menjadi si itik buruk rupa.
Sepasang sepatuku akan berubah menjadi sepasang sandal jepit karet yang usang, rambut yang tertata dengan baik itu akan segera kuikat seadanya dan make-up di wajahku perlahan-lahan akan segera terhapus ketika aku menjalankan tugas awal setiap pagi.
Setiap pagi, aku menyusuri hampir semua gedung yang ada di perusahaanku. Mulai dari store, warehouse, dan tiga workshop berbeda. Tugasku di pagi hari adalah bertemu dengan semua jajaran supervisor dan foreman untuk menerima laporan pekerjaan juga tanggung jawab mereka. Aku akan memastikan data itu, mencocokkan dengan laporan tertulis
yang mereka berikan lalu mengumpulkan semua informasi apapun yang memungkinkan jika ada masalah. Aku juga memeriksa progress dari semua pekerjaan dan proyek berjalan. Sebuah pekerjaan yang terlihat mudah, padahal untuk melakukannya aku harus berjalan kaki dari satu gedung ke gedung lain, seperti memutari lapangan bola tiga kali.
Selesai memeriksa dan mengumpulkan semua data, akupun mulai mengerjakan pekerjaan administrasi dibantu dua asistenku. Mereka berbagi tugas berbeda, yang satu khusus administrasi proyek dan yang lain menangani keuangan.
Karena kantor tempatku kerja ini hanya kantor cabang untuk proyek, maka bagian keuangan juga di bawah tanggung jawabku.
Selesai? Tidak! Pagi baru dimulai ketika Hans dan seluruh supervisor berkumpul untuk meeting pagi. Aku menjadi pembicara penengah, mengingatkan, menanyakan dan mengumpulkan semua laporan progress proyek yang mereka tangani. Biasanya satu Supervisor membawahi satu proyek utama dan lima proyek maintenance (perawatan) yang dipimpin oleh Foreman. Kalau ada yang tak terlalu pandai bahasa Inggris, tugasku bertambah menjadi interpreter mereka.
Ketika semua karyawan lapangan meluncur ke lokasi tugas masing-masing, aku memulai rutinitas pagi. Memberikan laporan pribadi pada Hans, memberitahu daftar penelepon masuk yang mencarinya, rencana temu janji hari ini, teman atau relasinya yang sedang merayakan hari spesial. Juga menambahkan dengan berbagai informasi seputar pekerjaan, termasuk masalah yang kami hadapi.
Usai coffee break, aku dan Hans akan sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Hans akan sibuk memeriksa dan mengkoreksi lay-out desain gambar, berdiskusi ***** bengek teknik bangunan pada beberapa ahli, atau sibuk
berbicara via telepon dengan relasinya, sementara aku mulai mengerjakan pekerjaanku sendiri. Membuat aneka macam laporan yang sedari pagi kukumpulkan. Sesekali diinterupsi dengan perintah Hans untuk mengetik atau mengirim beberapa surat dan email.
Pekerjaanku tak kenal istirahat jika kuturuti. Makanya kalau Hans menerima tamu di ruang kerjanya, aku akan senang sekali. Ruang kerja kami memang saling berhubungan. Tak ada pintu pembatas. Jadi agar tamunya merasa
lebih bebas, aku biasanya keluar sejenak dan bersantai di luar. Entah berolahraga basket sebentar atau sekedar ke kantin karyawan meminta dibuatkan semangkuk mie instan.
Lapangan basket yang ada di belakang gedung kantor juga hadiah dari Hans untukku ketika aku iseng memintanya. Saat itu kami berhasil memenangkan sebuah tender setelah aku lembur semalam suntuk mengerjakan dokumen bersama tiga supervisor lain. Aku baru bekerja sekitar empat bulan dan itu lembur pertamaku. Memang bukan lapangan basket dengan ukuran semestinya, karena hanya berupa tiang berjaring dengan luas lapangan hanya separuh dari ukuran normal.
Tapi ketika aku mengira semuanya berjalan normal. Ada saja masalah terjadi. Seminggu yang lalu, salah satu supervisor mengalami kecelakaan kerja dan harus off setidaknya satu bulan pasca operasi. Pengganti sementaranya datang dari kantor pusat, ternyata belum menguasai medan proyek hingga aku terpaksa mendampinginya dan itu artinya aku harus sering ke lapangan bersamanya.
Ini yang membuatku semakin sering merasa menjadi itik buruk rupa.
Sepatu safety sedikit kebesaran harus kukenakan di luar sepatu karet yang kini menggantikan high heels, rambutku tergulung di bawah topi safety dan blazer cantikku akan terlindungi oleh rompi safety oranye norak. Debu-debu akan
beterbangan menjadi pengganti bedak selama aku berada di daratan luas dengan panas membakar di tambang batubara itu. Poni rambutku sudah tak lagi teratur, jatuh lepek karena keringat membasahi seluruh keningku.
Apalagi usai ikut mengawasi pembetonan di proyek pembangunan workshop tadi. Tubuhku seperti dipanggang di atas minyak, dibakar matahari, dan direbus oleh hawa panas concrete puluhan Mpa itu. Paket lengkap menjadi ayam eh... manusia panggang.
Hans tadi yang membawaku ke site. Setelah proses konstruksi reinforced wall selesai dan jam istirahat hampir tiba, secara tak sengaja ia melihatku berpegangan di pagar kayu sambil memijat kepalaku. Aku sempat limbung sejenak. Dalam beberapa langkah saja, Hans sudah berada di dekatku. Ia sudah hafal kondisiku kalau seperti itu. Begitu melihat Pak Pram, pengganti sementara yang ditugaskan menangani proyek ini, ia menyuruh kami segera kembali ke kantor.
Pak Pram tak terlalu tahu soal kesehatanku yang kurang baik. Aku juga merasa tak perlu menjelaskan apapun. Karena itu, wajar dia berhenti di tengah jalan untuk sholat sebentar. Sama saja. Aku juga masih bisa beristirahat tadi.
Tapi kini dalam mobil yang meluncur menuju kantor, seluruh tubuhku sudah mulai sulit diajak bekerjasama. Pusing, capek, mengantuk dan pegal-pegal. Menyatu menjadi kombinasi sempurna untuk berucap dalam hati. Ternyata mencari nafkah itu susah ya...
Mungkin Pak Pram melihat kondisiku yang begitu cepat menurun sejak kami pergi tadi pagi.
"Saya antar pulang saja ya, Mbak? Muka Mbak pucat banget," kata Pak Pram menawarkan sambil membelokkan kemudi menuju tempat parkir kantor.
"Atau kita langsung ke klinik aja?" katanya lagi tak menyerah ketika aku menggeleng.
Aku berusaha tersenyum sebisaku. "Tidak usah, Pak. Saya hanya ngantuk kok." Tepat saat itu mobil sudah berhenti di halaman parkir kantor.
Kutarik nafas dalam-dalam sebelum menghembuskan napas, berharap aku masih bisa berjalan dengan baik. Tak enak rasanya kalau dipandangi dengan iba oleh orang yang tak terlalu kukenal. Andaikan ada Papa, aku pasti sudah minta digendong oleh mereka.
Walaupun sudah berusaha berjalan sepelan mungkin, tetap saja epalaku berdenyut-denyut tak karuan. Aku bahkan tak berani mengangkat kepala karena mataku sudah mulai melihat segala hal di sekitarku berwarna merah kekuning-kuningan. Kukerjapkan mata dua kali. Berusaha melihat dengan jelas. Berhasil. Sedikit.
Aku bisa melihat Hans keluar dari pintu utama, dan ia bergerak cepat mendekatiku. Aku melihatnya. Bingung melihatnya sudah ada di kantor. Tapi aku heran melihat mata biru jernih itu melotot padaku, keningnya berkerut dan tangannya seperti terburu-buru menggapaiku. Otomatis aku ingin menangkap tangannya itu, saat merasakan arus dingin mulai menyergap ujung kakiku dan merayap naik hingga ke pipiku. Aku perlu seseorang untuk menahan tubuhku yang mendadak terasa lemas, tapi yang kutangkap malah angin dan saat mataku mengerjap sekali lagi, hanya kegelapan yang bisa kulihat.
Sayup-sayup teriakan Hans memanggil namaku masih kudengar. Juga suara-suara tak jelas ribut di sekitarku. Aku juga tahu tangan besar Hans menangkap tubuhku. Sampai di situ aku tak ingat apa-apa lagi.
******
"Makanya kalo waktunya makan itu harusnya langsung makan!"
"Iya, Ma."
"Kalo waktunya istirahat ya istirahat!"
"Iya, Ma."
"Kamu itu, iya ma iya ma saja. Tapi kapan bisa bikin orangtua tenang? Kamu mau papamu kena serangan jantung terus menerus dapat kabar gak enak dari kamu, hah?"
"Iya, Ma. Eh... enggak, enggak, enggak! Maaf Ma!" sergahku cepat. Aduh, ya Allah ini mulutku. Bukannya mendengarkan dengan baik, malah asal jawab saja.
"Kan? Begitu memang kamu itu! Kerjanya juga selalu begitu. Untung Mama sudah hafal kelakuanmu. Papamu gak tau, dan awas kalo kamu ngasih tau! Kalo gak nanti dia susul kamu lagi ke sana," omel Mama di ujung telepon.
Aku menghela napas. Begitulah Mama, ibu tiriku. Dia memang tak pernah menyakitiku dengan tangannya seperti berbagai cerita yang kudengar tentang ibu tiri. Namun entah mengapa, Mama seperti berusaha menjaga jarakku
dengan Papa agar tetap selalu jauh. Walaupun begitu, ia memang masih sedarah denganku. Dia adik kandung ibu yang melahirkanku. Juga orang yang mengurusku sejak umurku baru dua hari saat Ibu meninggal dunia, meninggalkan aku bersama Papa. Pria yang kemudian menikahi adik istrinya demi putri yang terlahir prematur ini.
Ibu sakit jauh sebelum mengandungku. Ia terkena kanker leher rahim. Hanya tak pernah menyadarinya. Mungkin karena pernikahan di usia dini-lah yang menjadi penyebab utama. Ibu baru berusia 15 tahun saat menikah. Masih sangat muda. Tapi saat itu, menikah di usia semuda itu adalah hal biasa.
Ibu baru tahu kalau ia sakit parah saat ia memeriksakan kehamilannya. Dokter menyarankan ibu untuk menggugurkanku. Tapi ibu tidak pernah melakukan. Ia berbohong pada Nenek, berbohong pada Papa bahwa ia baik-baik saja dan kehamilannya sangat sehat. Ibu tak pernah ingin didampingi selama memeriksakan diri, sesuatu yang akhirnya disesali oleh Papa sepanjang hidupnya. Ia terlalu sibuk dengan pekerjaannya sebagai polisi yang harus bertugas hingga
ke daerah. Semua orang baru tahu saat Ibu jatuh pingsan di bulan ketujuh kehamilannya. Ibu hanya bangun satu kali usai operasi caesar dan ia hanya menitip pesan pada Papa untuk menjagaku baik-baik.
Sayangnya, Papa tak pernah bercerita tentang Ibu. Cerita tentang Ibu hanya kudengar dari Nenek dan Paman Hakim. Aku juga tak berani bertanya. Hubunganku dengan Papa terlalu jauh untuk menanyakan hal-hal di masa lalunya. Aku juga terlalu takut menyinggung perasaan Mama.
Aku sayang pada Mama. Sangat sayang. Dari awal hanya ia satu-satunya ibu yang kukenal. Saat ia mengasuhku dari bayi, aku tak pernah tahu kalau ia bukan ibu kandungku. Baru setelah adik-adikku lahir, Mama mulai berubah dan perlahan rahasia hubungan kami terungkap.
Tadinya hubungan aku, Papa dan Mama biasa-biasa saja. Normal seperti keluarga bahagia pada umumnya. Aku punya banyak foto kenangan yang menggambarkan saat-saat itu dengan baik. Belakangan setelah melahirkan adikku yang kedua, Mama mulai sering marah-marah. Papa juga bingung menghadapinya. Pengetahuan awam tentang 'Baby Blues Sydnrome' masih sangat minim saat itu, jadi Mama akhirnya dibiarkan menghadapi masalahnya sendiri.
Mama sering menjadikanku sasaran. Tidak dengan memukul. Tapi dengan memberitahu Papa. Papa yang kelelahan saat pulang kerja kontan naik pitam dan sering menyakitiku. Digebuk. Begitu istilahku kalau Papa sedang marah. Apapun jadi sasarannya, kena kepala ya kepala, kena kaki ya kaki. Apa saja.
Nanti Papa akan menyesali perbuatannya sendiri. Lalu ia memberi kompensasi, apapun yang kuinginkan pasti dituruti. Mulai dari mainan, buku, makanan hingga mengajakku naik motor keliling-keliling, meninggalkan Mama dan adik-adikku di rumah. Membuat Mama semakin tenggelam dalam kemarahannya.
Saat menginjak usia sekolah, gap diantara aku dan adik-adikku makin besar. Terutama ketika kemampuanku jauh di atas rata-rata anak seusiaku. Papa mulai membanding-bandingkan anak-anaknya. Jika ada orang bertamu agak lama di rumah, mereka pasti bisa melihat, kalau keluarga kami terbagi dua antara anak Papa dan anak-anak Mama.
Aku juga tumbuh menjadi anak yang manja, keras kepala, tapi cengeng. Satu keinginan tidak dituruti, aku akan berontak, berteriak, menangis dan menjerit sekuat tenaga. Jika sudah seperti ini, biasanya baru berakhir kalau tangan Papa menghantam tubuhku. Aku tak terlalu ingat berapa banyak teman yang jadi korbanku. Tapi setiap kali terjadi masalah, Papa selalu mencarikanku sekolah yang baru.
Ketika masuk sekolah dasar kelas 5, tiba-tiba aku tak bisa berjalan. Selidik punya selidik, ternyata penyebabnya adalah kecelakaan yang pernah dialami olehku dan Paman Sidik, adik dari kedua ibuku yang masih duduk di bangku SMA. Paman Sidik luka parah, tapi aku hanya luka lecet sedikit. Saat itu, Papa hendak memeriksa aku secara lengkap, tapi Mama melarang karena melihatku baik-baik saja. Siapa sangka kurang lebih sebulan kemudian aku tak bisa menggerakkan kedua kakiku akibat pendarahan otak. Setengah tahun lamanya, aku duduk di kursi roda dan bergantung pada orangtuaku. Saat itu aku juga tak lagi pergi ke sekolah sampai akhirnya Papa membiarkanku dioperasi. Itu setelah Nenek datang, memaksa dalam minggu itu juga aku harus dioperasi.
Setelah operasi selesai, Nenek mengultimatum Papa dan membawaku bersamanya. Ia mengasuhku sejak saat itu. Dari sinilah aku belajar memahami bahwa ada sesuatu yang salah pada kedua orangtuaku.
Bagi anak kecil sepertiku, mana kami tahu kalau kekerasan itu bukan kasih sayang. Aku mengira itulah bentuk kasih sayang, dan aku hanya perlu mengerti.
"Violence is always wrong. Whatever reason is, there is always a way without violence." (Kekerasan itu selalu salah. Apapun alasannya, selalu ada jalan tanpa kekerasan)
Oh ya, Nenek memaksaku belajar bicara bahasa Inggris sejak aku tinggal bersamanya. Kadang ia juga berbicara dalam bahasa Mandarin dan Jepang. Walaupun di saat itu, dalam kurikulum pendidikan sekolah dasar belum ada pelajaran bahasa asing, aku sudah mempelajarinya dari Nenek.
Kehadiran Nenek dalam hidupku sangat berarti. Kasih sayang yang tulus tanpa kekerasan dan penuh pengertian mengajarkanku kendali terhadap diriku sendiri. Ia menunjukkan cara menghadapi dan menyelesaikan masalah tanpa
kekerasan.
"Kalau Inka sedih, nangis saja sepuas hatimu. Tapi tak perlu bersuara terlalu nyaring. Menangis takkan menyelesaikan masalahmu, tapi itu akan membuatmu lebih tenang. Kalau kau bersuara dan mengganggu orang lain, yang ada hanya masalah lain lagi," ucapnya suatu hari saat aku bertanya kenapa ia hanya diam mengusap punggungku tanpa memintaku untuk berhenti menangis. Sangat berbeda dengan cara Mama dan Papa yang pasti akan segera membentakku untuk diam.
"Denger! Dengerin dulu Nenek baru ngomong! Dengerin ya Inka! Kalau kamu gak dengerin Nenek dulu, bagaimana Nenek mau dengerin kamu? Sekarang diam, dengerin Nenek!" kata Nenek tegas sekali saat aku mengamuk dan berteriak-teriak karena sesuatu hal. Aku diam dan Nenek menghadiahiku dengan membisikkan kata-kata menenangkan.
Lalu saat aku meninju teman sekelasku karena ejekannya, Nenek menarik tanganku dan menyuruhku menghadapinya.
"Minta maaf padanya, Inka. Nenek sudah bilang kan kalau kekerasan itu salah. Apapun alasannya." Dan setelah aku meminta maaf sambil sesegukan menangis, Nenek mendudukkan di pangkuannya, seraya mengelus rambutku dengan lembut.
"Inka sayang, dimanapun, kapanpun, nanti kamu akan selalu menghadapi kata-kata gak enak dari orang lain. Mau sampai kapan pake kekerasan terus? Inka kan anak cewek, kalo anak cowok yang badannya lebih besar bagaimana?" bisiknya di telingaku.
Aku merenung. Nenek benar. Aku pasti tidak berani.
"Makin Inka marah, makin Inka sebal, makin Inka nangis, orang yang mengejek akan makin senang. Ejekannya akan makin bertambah."
"Jadi Inka harus gimana, Nek? Inka kesel."
"Diejek itu kan gak bikin badan sakit apa-apa, In. Sakitnya itu malah terasa kalo kita mikirin dan masukin ke hati. Jadi lebih baik Inka lupakan saja. Kalau ada yang ledekin, anggap saja kalau orang itu sedang mencari perhatian Inka, mau jadi temennya Inka tapi dia gak tahu caranya. Nah Inka ajarin, Inka kasih tau kalau Inka gak suka diejek. Kalau dia
masih melakukannya, Inka senyumin saja dan gak usah dibalas. Inka tinggalin saja, pasti dia malu sendiri." Jari telunjuk Nenek menekan dahiku lembut, "Lalu di sini Inka harus mikir, bahwa orang yang sedang diejek itu bukan Inka, tapi orang yang mengejek itu sendiri. Bagaimana? Inka ngerti sekarang?"
Tak hanya itu, Nenek mengajar dengan cara yang unik. Ia melarangku belajar dengan cara biasa. Ia selalu menciptakan cara belajar yang tak biasa untukku.
Nenek mengajakku belajar menghafal perkalian dengan bermain loncat tali. Berhitung cepat dengan melukis. Mengingat peta Indonesia dengan pasir pantai. Mengajari kosa kata bahasa Inggris saat berbelanja. Bahkan saat makan di restoran, Nenek mengajariku berhitung dalam bahasa Mandarin dengan menghitung sendok dan garpu.
Kesehatan Nenek menurun sangat cepat dalam dua tahun. Setelah ia merasakan hal itu, Nenek mengirimku kembali ke Papa. Tapi itu tak lama. Papa berulah. Wajah tampan ditambah seragam kepolisian yang ia pakai memancing Papa ke dalam pusaran perselingkuhan. Rupanya setelah aku pergi ikut Nenek, Papa benar-benar kehilangan sosok yang menghibur hatinya.
Saat aku kembali, hubungan aku dan Papa sudah mulai berjarak. Aku kembali jadi sasaran kemarahan Mama. Dan kali ini makin buruk, karena aku juga sudah berani melawan. Seperti pesan Nenek, aku tak boleh membiarkan siapapun menyakitiku lagi. Meski mereka orangtuaku, orang yang membuatku hidup dan menjadi seperti sekarang.
Dalam sebuah pertengkaran yang makin memburuk, aku mencari pertolongan terdekat. Rumah Paman Hakim tinggal hanya dua jam perjalanan dari rumahku, aku meminta padanya untuk mengasuhku.
Paman Hakim seperti Nenek, seorang guru dan juga kepala sekolah. Punya teknik unik tapi tak sama dengan Nenek dalam mengajar. Karena itu, aku kembali mendapatkan pengetahuan baru yang berbeda.
"Ini apa, In?" tanya Paman sambil mengacungkan sebuah buku di hadapanku. Sebuah buku resep.
"Buku," jawabku singkat.
"Hanya buku. Ini memang buku. Tapi Inka tahu apa yang bisa dilakukan sebuah buku?"
"Mmm... memberitahu kita tentang banyak hal."
"Terlalu sederhana. Cari jawaban yang lain!"
"Apa dong, Man?" tanyaku manja.
"Ini, Paman kasih buat kamu. Baca sampai kamu dapat jawaban yang lain dari jawabanmu sekarang, mengerti?"
"Dapat hadiah gak?" tanyaku lagi, tertawa kecil. Pamanku mengangguk sambil mengacungkan jempol kanannya. Asyik! Ini yang kusuka dari pamanku.
Beberapa hari kemudian, aku memberitahu jawabanku pada Paman. Sambil tertawa-tawa, aku berkata, "Buku itu kayak guru kali ya Paman. Inka jadi ngerti banyak cara-cara masak sayur dan ikan, ayam."
"Naaah! Itu dia! Guru! Buku itu adalah guru. Apapun yang kamu baca, buku itu jadi gurumu."
"Bener ya? Waaah berarti dapat hadiah kan?" Mataku berbinar-binar membayangkan hadiahku setelah berhasil mendapat jawaban yang Paman inginkan.
"Loh kan sudah!"
"Sudah? Kapan? Apaan?" tanyaku kebingungan.
"Itu tadi! Inka jadi ngerti cara masak sayur dan lauk kan? Itu bukannya hadiah? Hadiah ilmu."
Krik krik krik....
Paman Hakim tertawa terbahak-bahak. Senangnya dia berhasil mengerjaiku. Aku merengut lalu melemparinya dengan bantal kursi. Begitulah Pamanku, ia guruku, tapi juga sahabatku. Kami sering bercanda bak dua sahabat baik biasa seperti itu.
"Buku itu guru, Neng. Apapun yang kamu baca, itu akan mengajarimu banyak hal."
"Jadi kalo baca buku jorok, ngajarin jorok dong!" potongku setengah bercanda. Paman mengangguk-angguk. Ada senyum tipis di wajahnya. Jorok yang kumaksud artinya sesuatu yang porno.
"Iya, makanya kamu harus pilih buku-buku yang bagus ya, Neng."
"Iya, Pamanku yang cerewet!"
Tapi suatu malam ketika kami baru selesai makan malam, tak sengaja aku memergoki Paman Hakim sedang menangis di teras rumah. Itu pertama kali aku melihatnya.
“Kalo malam-malam begini, dulu saat paman masih kecil, ibumu sering minta paman bernyanyi.”
Perbedaan usia ibu kandungku dan Paman Hakim cukup jauh. Sekitar 10 tahunan. Aku sudah sering mendengar kalau Paman Hakim sangat memanjakan ibuku yang terlahir rapuh sejak bayi.
“Bernyanyi?”
“Iya, karena dia penakut. Kalau habis digoda sama paman-pamanmu yang lain, dia pasti minta dipangku dan dinyanyiin.”
Aku terdiam. Aku tak punya kenangan tentang ibu. Cerita yang kudengar dari Paman, seperti cerita biasa tentang orang lain. Tapi dua bulir airmata yang jatuh di wajah Paman, membuatku sedih dan aku ingin menghiburnya.
“Kalo gitu, nyanyiin buat Inka aja! Anggap aja Inka ini Ibu!” kataku spontan. Kemudian Paman bernyanyi, tapi di akhir nyanyian suaranya menghilang. Malam itu aku mengerti satu hal. Wajahku terlalu mirip dengan ibu. Suaraku yang manja juga. Itu juga alasan Paman Hakim begitu melindungiku. Baginya, aku adalah pengganti adiknya yang tiada.
Malam ini, di salah satu kamar klinik tempat aku dirawat, tiba-tiba aku merindukan keduanya. Merindukan Nenek. Merindukan Paman Hakim. Aku bisa saja menghubungi mereka melalui pesawat telepon yang sama seperti saat menghubungi Mama tadi. Jawaban mereka juga pasti jauh berbeda dari apa yang dikatakan Mama tadi. Mereka pasti akan kuatir. Nenek pasti kuatir dan aku takut, Paman Hakim akan berangkat ke kotaku saat itu juga kalau tahu. Karena
aku tahu, cinta mereka padaku tak lagi perlu dipertanyakan.
Tapi mereka mengajariku menjadi sosok gadis yang kuat, tegar dan tabah. Sakit begini saja, aku tak boleh cengeng. Aku boleh menangis, tapi aku tak boleh menyerah. Pekerjaan ini bagian dari rencana hidupku untuk mencapai impianku. Hidup mandiri tanpa bantuan siapapun.
Kuhapus airmataku yang mulai merebak. Lalu melirik perawat yang berdiri tak jauh dariku. Perawat manis yang tadi mendorong kursi rodaku menuju konter jaga perawat untuk meminjam telepon. Sambil berdiri, aku bertanya, "Mbak, infusnya kan sudah habis. Saya boleh lepas sebentar gak? Mau nyari makan dulu."
Perawat itu tampak ragu.
"Nanti saya balik lagi kok, baru pasang lagi yang baru. Saya lapar."
"Saya belikan saja ya Mbak. Nanti saya ditegur dokter."
"Ya udah deh, saya mau ketemu pak dokternya. Mau izin."
Baru saja, aku berkata seperti itu, seseorang menepuk bahuku dari belakang. "In, Inka? Inka Nurhayati kan?"
Aku menoleh.
Seorang pria muda, dengan stetoskop tergantung di lehernya dan jas putih yang ia kenakan, menatapku dengan mata bersinar, tersenyum lebar seakan-akan berhasil menemukan sesuatu yang ia cari.
"Aku Dirga, In! Dirga Bimantoro! Ingat gak?"
Mendadak aku ingin lantai tempatku berdiri terbuka lebar dan menelanku saja.
Kenapa harus bertemu laki-laki menjengkelkan ini lagi sih?
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!