Faza terbangun saat Zahra menyingkap hordeng dikamarnya. Zahra tertawa geli melihat ekspresi Faza yang menurutnya sangat lucu.
“Tutup dong hordengnya..” Erang Faza memejamkan erat matanya karna sinar mentari pagi yang membuatnya silau.
“Sudah siang mas. Mending sekarang mas bangun terus mandi. Aku udah bikinin sarapan.” Senyum Zahra berkata.
Faza berdecak kemudian bangkit dari berbaringnya. Pria dengan rambut berponi itu kemudian turun dari ranjang dan berlalu begitu saja tanpa mengatakan apapun pada Zahra.
Zahra hanya bisa menggeleng melihatnya. Zahra tau penyebab mood suaminya itu jelek pagi ini. Apa lagi kalau bukan karna Zahra yang sedang mendapat tamu bulanan-nya. Padahal jika Zahra tidak mens mungkin semalam mereka sudah melakukan-nya.
“Mas, besok aku sudah mulai kerja. Pak Santo cuma beri aku cuti tiga hari doang.”
Faza berhenti mengunyah nasi goreng dalam mulutnya menatap heran pada istrinya. Kesal sebenarnya, sudah tidak melakukan ritual wajib dimalam pertama sekarang malah membahas tentang cuti singkat yang diberikan manager restoran tempat Zahra bekerja sebagai waitress.
“Bisa tidak jangan bahas masalah kerjaan dulu? Aku juga cuti, tapi enggak sesingkat itu.”
Senyuman dibibir Zahra perlahan memudar. Nada bicara Faza seperti orang yang sedang marah.
“Kamu marah sama aku?”
Faza berdecak kemudian segera meraih segelas air putih dan menenggaknya sampai habis. Jika menjawab pertanyaan Zahra sekarang mereka berdua pasti akan bertengkar. Dan Faza tidak ingin dihari pertamanya menjadi pasangan suami istri dengan Zahra harus ribut hanya karna masalah sepele.
“Setelah ini kita pergi ke restoran. Kita ajukan lagi cuti untuk kamu.” Ujar Faza.
“Apa? mengajukan cuti lagi?”
Zahra menggeleng tidak percaya. Faza benar benar sangat kekanak kanakan sekarang.
“Ayolah Zahra, kita itu baru menikah kemarin. Masa tiba tiba harus bekerja. Aku aja seminggu cuti. Masa kamu cuma tiga hari. Itupun dihitung dari hari kita menikah. Manager apa seperti itu?”
“Mas tapi..”
“Zahra please.. Kita sudah menikah sekarang.. Memangnya salah kalau kita menikmati waktu berdua saja setelah menikah?” Sela Faza menatap Zahra dengan wajah sendunya.
Zahra menelan sisa makanan dalam mulutnya. Pertanyaan Faza membuatnya tidak bisa menjawab. Mempunyai waktu berdua dengan Faza memang penting untuknya. Tapi pekerjaan-nya juga penting untuk Zahra.
“Aku sudah kenyang.” Ujar Faza kemudian bangkit dari duduknya dan berlalu dari meja makan meninggalkan Zahra yang terus diam ditempatnya duduk.
Hari indah setelah pernikahan bersama Zahra yang Faza bayangkan ternyata tidak nyata. Mereka bahkan bertengkar dihari pertama yang sukses membuat mood Faza turun derastis.
Faza mendudukan dirinya diteras. Pria dengan rambut berponi itu menatap kesegala arah halaman rumah sederhana itu. Rumah itu adalah rumah peninggalan kedua orang tua Zahra. Rumah yang memang tidak semewah rumah kedua orang Faza.
Faza menghela napas. Dulu Faza bercita cita akan menikahi Zahra setelah mempunyai hunian sendiri. Tetapi lagi lagi semuanya tidak sesuai dengan apa yang Faza bayangkan. Tabungan-nya belum cukup untuk membeli rumah.
Deringan ponsel dalam saku celana pendek selututnya membuat Faza tersentak. Faza segera merogoh saku celana pendeknya mengeluarkan benda pipih itu.
Anita, nama itu terpampang dilayar menyala ponsel berkesing hitam milik Faza.
Anita adalah teman sekantor Faza. Salah satu wanita yang dekat dengan Faza ditempat kerja.
“Mau ngapain lagi nih orang telpon. Nggak tau orang lagi bad mood apa yah?”
Enggan mengangkat telepon dari Anita, Faza pun meletakan ponsel miliknya diatas meja. Faza sedang malas berbicara dengan siapapun sekarang. Mood nya benar benar jelek dari semalam.
“Mas..”
Faza menoleh ketika mendengar suara pelan Zahra.
“Aku rasa kita nggak perlu lah datang kerestoran buat minta tambahan cuti sama pak Santo. Aku takut dia marah terus berimbas tidak baik pada pekerjaan aku.”
Faza melengos. Zahra benar benar keras kepala kali ini.
“Ya sudahlah terserah kamu aja.”
Faza enggan berdebat sehingga memilih mengalah. Faza tidak mau semakin memperburuk hari hari indah setelah pernikahan yang selalu dibayangkan-nya.
Zahra tersenyum mendengarnya. Lega sekali rasanya karna akhirnya Faza mau mendengarkan-nya meskipun tampak ogah ogahan.
Ponsel Faza kembali berdering namun Faza tetap mendiamkan-nya membuat Zahra merasa penasaran karna suaminya itu seperti sengaja mengabaikan-nya.
“Mas kenapa telepon-nya nggak diangkat?” Tanya Zahra mendekat pada Faza.
“Udahlah biarin aja, nggak penting juga.”
Zahra mengeryit. Mood suaminya memang sudah tidak bagus sejak dibangunkan pagi tadi. Dan Zahra menebak mungkin memang karna semalam mereka gagal melakukan ritual malam pertamanya sehingga membuat Faza seperti sekarang.
“Memangnya siapa yang telepon kamu pagi pagi begini?”
“Anita.” Jawab Faza singkat.
“Anita teman kerja kamu itu mas? Anita yang suka pake baju sexy?”
Faza melirik kesal pada Zahra yang memang selalu bawel dan banyak bertanya jika sudah membicarakan tentang Anita.
“Jangan bilang kamu mau cemburu. Aku sama Anita itu cuma temenan Zahra. Jangan berlebihan.”
Zahra berdecak. Faza memang selalu bersikap biasa pada Anita. Tapi Anita, dia sepertinya selalu berusaha mengambil perhatian Faza. Zahra mengakui Anita memang cantik bahkan sangat. Hidungnya mancung, kulitnya putih bersih dengan tubuh langsing dan tinggi semampai. Hanya pria bodoh saja yang tidak mau meliriknya.
“Tuh kan.. Kalau sudah begini aku tau apa yang ada dipikiran kamu.” Faza menatap jengah pada Zahra yang memang selalu merasa ciut jika sudah membandingkan fisiknya sendiri dengan Anita.
Faza sendiri juga menyadari itu. Jika dibandingkan dengan Anita, Zahra memang tidak ada apa apanya. Tapi hatinya tidak bisa bohong. Secantik dan sesempurna apapun Anita, yang Faza cintai tetaplah Zahra.
“Dia kan memang cantik, tinggi, langsing. Nggak kaya aku yang pendek, bogel bahkan.” Zahra berkata dengan pesimisme tingkat tinggi membuat Faza semakin kesal. Tapi Faza juga tidak sampai hati marah pada Zahra yang sedang merasa tidak cantik didepan-nya.
Faza bangkit dari duduknya. Pria itu berdiri tepat didepan Zahra yang menunduk merasa tidak percaya diri didepan-nya.
“Kenapa jadi nyela diri sendiri sih. Apapun yang Tuhan kasih harusnya kamu bersyukur Zahra.” Nada bicara Faza sedikit melembut sekarang. Zahra akan sangat sensitif jika sudah pesimis seperti sekarang. Dan Faza tidak mau membuat Zahra meneteskan air matanya.
“Kamu cantik dimata aku. Bahkan mungkin dimata kak Aris juga. Kamu memang pendek, tapi aku suka. Itu membuat kamu terlihat imut.”
Faza tersenyum merasa senang dengan apa yang Faza katakan. Dari awal mereka kenal Faza memang selalu mengatakan Zahra pendek dan dia menyukainya.
“Udah nggak usah sedih, mending sekarang kita jalan jalan aja yuk dari pada suntuk dirumah.”
Zahra mengangkat pelan kepalanya menatap wajah tampan Faza. Itulah yang selalu membuat Zahra merasa nyaman. Meskipun sedang marah tapi Faza bisa menahan dirinya bahkan masih bisa menghiburnya jika Zahra sedang tidak percaya dengan dirinya sendiri.
“Siap siap sekarang sebelum aku berubah pikiran.” Ujar Faza menoel ujung hidung Zahra.
“Aku ambil tas dulu.” Senyum Zahra.
“Oke..” Angguk Faza.
Dan pagi itu Faza mengajak Zahra jalan jalan keliling kota dengan motor gedenya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 298 Episodes
Comments
Fajar Alfiyanshah
lajut 💪💪
2022-07-02
0