POV Sugi
Sedari pagi tidak ada telepon atau pun pesan dari Riri yang masuk ke ponselku, kecuali satu pesan yang baru saja masuk. Riri mengabarkan jika ia ingin pulang lebih awal hari ini dan tidak datang ke Restauran. Perasaannya gelisah karena tidak bisa bertemu dengannya malam ini. Aku turun dari mobil diikuti oleh Pak Doni, samar-samar aku mendengar suara perempuan seperti suara Riri berteriak dari belakang tembok. Dengan cepat aku mencari sumber suara tersebut.
Kami bersembunyi dibalik pepohonan yang rimbun. Seperti dugaanku Riri tengah berada di balik tembok ini sedang berhadapan dengan seorang laki-laki berperawakan tinggi kurus. Kulihat Gia menangis menjerit dibelakangnya melarang Riri menghadapi laki-laki itu.
Rupanya Riri tidak peduli dan tetap ditempatnya bersiap menghadapi serangan. Aku melangkah berniat untuk pergi kesana dan membantunya, tapi tangan Pak Doni menghalangiku.
"Tunggu sebentar Pak, kita lihat dulu apa yang dilakukan oleh bu Riri. Saya yakin dia tidak akan sembarangan" Pak Doni berkata dengan wajah yang awas melihat yang terjadi didepan matanya.
Aku mengikuti apa yang dikatakan oleh pak Doni "aku berharap dia benar-benar bisa membela diri seperti yang pernah ia katakan padaku" Sugi berkata dalam hatinya.
Kulihat dia menghindar dari serangan laki-laki itu dengan gesit, tangannya memukul dari bawah dan mengenai dagunya. Belum sempat laki-laki itu membalas, Riri dengan cepat kembali menendang bagian bawahnya. Laki-laki itu tersungkur dan meraung kesakitan.
"Wah keren sekali wanita ini. Walaupun tubuhnya mungil dia bergerak dengan amat gesit. Serangannya tepat sasaran dengan power yang luar biasa besar" Sugi kembali bergumam sendiri dalam benaknya. Wajahnya nampak lega, ada sunggingan senyum di sudut bibirnya.
Mereka berdua masih memperhatikan dari kejauhan. Ketika Riri tertawa tak waras sambil memegang kayu hendak memukul laki-laki itu, Pak Doni dan Sugi saling berpandangan.
"Hebat sekali bu Riri, penjahat itu sepertinya kena mental. Akting tak waras Bu Riri patut dapat award" Pak Doni berbisik sambil menutup mulutnya hendak tertawa
Mata Sugi tajam melihat pak Doni yang hampir saja terbahak. Pak Doni menelannya kembali, dia hanya bisa terbahak dalam hati untuk saat ini.
Saat Riri meneriakkan kata mengiris-iris, pak Doni spontan bergidik "luar biasa menakutkan" Katanya sambil mengusap-usap lengannya sendiri. Aku pun merasa ancaman bu Riri tadi benar-benar menakutkan.
Saat mereka pergi dari sana, aku mengisyaratkan Pak Doni untuk kembali mengerjai laki-laki itu. Pak Doni mengenakan maskernya dan bergerak menuju sasaran.
Banyak yang tidak tahu latar belakang Pak Doni selain pintar juga pernah menjadi atlit taekwondo kenamaan sama seperti Sugi. Setiap minggu sore, mereka berdua masih sering melakukan latihan bersama dan sparing. Itulah salah satu dari sekian faktor yang menyebabkan keluarga Wijaya memilih mempekerjakan Pak Doni sebagai asisten.
Aku putuskan untuk menunggu sementara di dalam mobil. Dari kejauhan aku melihat bu Riri dan Gia duduk berbicara diatas trotoar.
Sementara itu, Pak Doni mengejar laki-laki tadi ketika hendak melarikan diri. Dia menghajarnya beberapa kali, termasuk mematahkan dua jari tangannya sambil berpesan "kamu mengganggu orang yang salah, jauhi kedua wanita tadi atau saya akan memburumu kembali dan mematahkan semua tulang yang ada ditubuhmu." Bisiknya sebelum meninggalkan laki-laki itu yang tengah kesakitan setengah mati.
Saat Gia dan Riri beranjak dari sana, Sugi keluar dari dalam mobil dan memanggil Riri
"Bu Riri!"
Riri menoleh ke arah suara Sugi. Sugi berjalan kearahnya disusul oleh pak Doni yang baru saja kembali dari tugasnya.
"Bu Riri dan bu Gia mau kemana?" tanya pak Doni
"Saya mau mengantar Gia ke depan, menunggu pesanan taksinya datang" Jawabku dengan perasaan gelisah "Jangan-jangan dia melihat semua kejadian tadi, semoga saja tidak" Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. "Astaga aku baru sadar tanganku sakit. Aku sudah lama sekali tidak latihan, jari tangan kananku ini pasti akan bengkak" Aku meringis tertahan.
"Pak" Sugi menggerakkan kepalanya kearah mereka mengisyaratkan pak Doni untuk menggantikan Riri mengantar Gia kedepan.
Pak Doni tentu saja mengerti isyarat tersebut dan melangkah maju "bu Gia biar saya yang antar, pak Sugi mau bicara dengan bu Riri"
"Tidak apa--apa Ri, aku sama pak Doni saja" Gia mengangguk sambil tersenyum, dia memelukku lagi sambil berbisik "aku akan baik-baik saja, jangan khawatir"
Aku tersenyum padanya "semangat yak" "Hati-hati dijalan" Ujarku sambil melambai kearahnya.
Aku mendekat ke arah Sugi, sakit ditanganku mulai berdenyut. Aku masukkan tangan kananku kedalam kantong jaket, dengan harapan sakitnya akan berkurang. "gimana pak, apa ada yang bapak ingin bicarakan dengan saya?"
"Ikut saya!" perintahnya lalu berjalan kearah mobilnya. Aku mengikutinya tanpa suara. Sugi membuka pintu mobil dan masuk kedalamnya. Awalnya aku ragu, tapi saat aku melihat wajah dingin pak Sugi yang menyembul keluar, aku akhirnya ikut masuk kedalam mobil.
"Tutup pintunya" Ujar Sugi lagi, aku menuruti apa yang ia katakan. Aku melihat pak Sugi membuka kulkas mini yang ada disana, mengambil beberapa es batu dengan jepitan dan menuangkannya kedalam sebuah kantong kresek kecil berwarna putih.
Dia membuka telapak tangan kirinya didepanku seperti meminta sesuatu. Karena tidak mengerti maksudnya, dengan lugunya aku bertanya "Bapak minta apa?"
Ia menarik pelan tangan kananku dari dalam kantong jaketku. Aku mencoba menahannya, tapi wajah dingin Sugi kembali muncul disertai kerutan kecil disebelah alisnya pertanda mulai kesal. Aku akhirnya pasrah memberikan tanganku padanya demi hilangnya kerutan kesal itu diwajahnya. "Kok rasanya mengerikan sekali tampang kesalnya ini"
Jemariku yang ternyata sudah nampak memerah di usapnya perlahan dengan tisu basah.
"Shhh...shi...." Aku mendesis menahan sakit. Kemudian dia menempelkan es batu dalam kantong kresek putih tadi diatas jemariku. Kemudian dia meletakkan tanganku pada jok.
"Ck! Sudah kuduga dia melihat kejadian tadi, aku harus bagaimana ini?!. Apa dia melihat aku yang seperti orang gila itu?. Ahhh sial, mau ditaruh dimana mukaku ini" Aku mulai panik
"Kenapa diam saja?" Suara Sugi mengembalikan aku ke dunia nyata.
"Kenapa pak Sugi tahu, tangan saya bengkak?"
"Saya kan mantan atlit taekwondo" Matanya memandangku tajam
"Bapak melihat kejadian tadi?"
Sugi mengangguk
"Dari awal? Maksud saya semua nya?!"
Ia mengangguk lagi, aku menutup mukaku dengan tangan kiri menahan malu.
"Selain belajar bela diri, sempat sekolah akting dimana?" Sugi bertanya dengan lengkungan senyum samar disudut bibirnya.
"Ahhh ,.. Ck! itu spontan pak" Kataku sambil menunduk
"Mmm Spontan, kalau ternyata orang itu lebih kuat, lebih jago dan memanggil grupnya terus bagaimana?" Ada nada khawatir di dalam pertanyaan Sugi
"Entahlah pak, saya hanya mau menyelamatkan Gia" Jawabku pelan, tiba-tiba merasa mulai menyesal karena bertindak tanpa berpikir panjang.
"Lain kali jangan terlibat perkelahian lagi. Sangat berbahaya. Lihat, baru memukul sekali saja tangan bu Riri jadi merah seperti ini. Kenapa tidak menghubungi saya?" matanya kali ini terlihat teduh memperhatikan.
"Saya tidak berpikir sejauh itu pak"
"Sementara ambil cuti sampai tangan bu Riri pulih benar" katanya kemudian
Aku mengangguk agar percakapan ini cepat selesai tapi dalam benakku berbeda "bagiamana caranya cuti, pak Daniel saja baru landing besok tengah malam. Belum tentu besoknya lagi dia kekantor" aku berpikir tentang pekerjaanku yang menumpuk. "Gia pasti ambil libur setelah kejadian tadi. Sedangkan yang lain sudah punya sederet jadwal yang mereka sematkan di desktop masing-masing" aku menghela napasku tanpa sadar
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 230 Episodes
Comments