Aku telah sampai di kostan, badannya terasa sakit, lelah sekali. Setelah makan malam dan membersihkan diri aku merebahkan tubuhku dikasur yang tidak berdipan yang kubeli beberapa bulan yang lalu. Ini saja sudah cukup nyaman bagiku. Pikiranku melayang pada sosok Pak Sugi yang baru saja aku temui.
Aku bukan tipe orang yang selalu melihat penampilan saat pertama kali bertemu dengan seseorang. Tapi kali ini entah kenapa aku tertarik memperhatikan sosoknya. Untuk ukuran seorang manager suatu Restauran, ia sangatlah detail dan visioner. Belum lagi parasnya yang ganteng dengan bentuk rahang yang kuat, badannya tinggi athletis, dan penuh kharisma dengan pembawaan yang tenang. Aku seperti melihat tokoh nyata dari karakter fiksi dalam sebuah novel cinta terbitan Harlequin. Aku pikir dia orang yang dingin, berjarak dan suka mengintimidasi ternyata aku salah, orangnya cukup beralasan. Aku tahu aku bersalah dan memang sepatutnya bertanggungjawab untuk kesalahanku.
Tadi setelah membaca isi dari kontrak perjanjian kerja yang ia sodorkan kepadaku tepat sebelum kami membahas beberapa hal secara mendetail, ia ternyata menambahkan insentif yang bernilai lumayan perbulannya. Bahhkan ia menambahkan satu kali makan siang atau malam secara gratis untukku setiap berkunjung ke restauran selama masa perjanjian. Sungguh tidak terduga. Aku akan sangat sibuk untuk beberapa bulan ini, semoga saja semuanya berjalan dengan lancar.
Tanpa aku sadari sedetik kemudian, aku sudah berada di alam mimpi.
Didalam ruangannya Sugi masih duduk di kursi kerjanya. Ia masih membaca informasi yang diberikan oleh Riri beberapa saat yang lalu. Informasi media yang diberikan oleh Riri nampaknya cukup menarik perhatiannya. Sugi bisa melihat bagaimana Riri benar-benar detail memberikan informasi yang penting pada masing-masing media tersebut.
Sugi tanpa sadar menyunggingkan senyum mahalnya itu di depan Pak Doni. Tentu saja Pak Doni yang sedari tadi sedang menunggu perintah Sugi kaget melihat wajah dengan senyum seperti itu, tapi dia hanya bisa terdiam.
Sugi tiba-tiba saja teringat bagaimana tadi Bu Riri menyelamatkan anak yang tersedak tadi. Beruntung bu Riri tadi ada di sana, kalau tidak pasti menjadi masalah besar untuk image restaurannya.
"Pak Doni tolong dijadwalkan pelatihan P3K termasuk menangani orang tersedak untuk semua staff disini secepatnya.
"Baik Pak, akan saya jadwalkan dalam waktu dekat.
"Hmm ternyata informasi yang bapak dapatkan tentang bu Riri tidak salah. Kalau informasi yang dia berikan di awal saja bisa selengkap ini, saya yakin hasil kinerjanya juga baik"
"Iyah pak semoga hasil kerjanya memang sesuai laporan yang saya terima" Kata pak Doni pelan. Dalam hatinya ia sangat berharap hasil kerja Riri memang seperti informasi yang ia dapatkan. Kalau tidak sudah pasti orang yang bertanggung jawab adalah ia sendiri. Belum lagi ternyata pak Sugi berbaik hati memberikan gaji untuk Riri beserta voucher makan. Itu menambah beban tanggung jawab juga pada dirinya sendiri. Kening Pak Doni berkerut memikirkan hal itu.
"Pak Doni pasti berpikir kenapa saya memberikan gaji dan voucher makan pada bu Riri, benar kan? "
"Seharusnya aku sudah tahu dia memang ahlinya membaca pikiran orang lain" Pak Doni bergumam dalam hati
"Iyah pak" Jawab pak Doni singkat
"Itu untuk mmenambah semangat bu Riri saja pak, biar kerjanya lebih baik. Masa saya memberikan orang lain pekerjaan tanpa imbalan. Memangnya saya sekejam itu. Lagian kalau ternyata kinerjanya buruk yah tanggung jawab pak Doni lah sama si informan orang pusat itu. Gimana seharusnya saja pak" Sugi memandang Pak Doni dengan pandangan mengancam.
"Tuh kan, saya lagi yang kena duh! " Pak Doni mengusap bulir keringatnya yang mengalir begitu saja di pelipis kanannya.
"Saya mengerti pak" Jawabnya tanpa sedikitpun nada protes.
_________________
Sementara itu dalam mimpinya Riri sedang berlari kencang. Menyusuri jalan setapak panjang nan gelap. Terlihat dua orang laki-laki dengan wajah sangar berpakaian preman mengejarnya dengan gesit. Riri menyelinap diantara rerimbunan perdu di pinggir jalan, dengan harapan mereka tidak bisa menemukannya.
Suara nafasku memburu, aku bisa mendengar degupan jantungku sendiri yang bertalu-talu. Keringat ku menetes membanjiri dahi dan leherku. Dengan mata yang awas aku berjongkok gemetar memeluk tubuhku sendiri. Tiba-tiba saja sebuah tangan menepuk pundakku dan aku terhenyak. Seketika aku bangun dari tidurku. Aku menatap plafon yang berwarna putih dipenuhi bercak cokelat diatasku dengan nafas yang tidak beraturan. Aku bisa merasakan dahi dan badanku basah karena keringat. Beberapa saat aku masih hanya bisa terdiam mencoba mengatur kembali nafasku. Untung saja lampu kamar tidak pernah aku matikan. Semenjak aku hidup sendiri aku tidak pernah sekalipun tidur dengan keadaan kamar yang gelap gulita. Aku selalu merasa was-was saat gelap.
"Sialan, mimpi itu datang kembali" Aku menggerutu sendiri. Aku mengusap-usap mataku dengan gusar. Semua serasa nyata, aku ingat sekali waktu itu. Malam aku pulang dari bekerja ada dua orang asing tiba-tiba saja mengejarku, karena jalanan ramai aku mampu menghindari kedua orang tersebut. Tapi rasa takut yang aku rasakan saat itu menjadi mimpi rutinku selama seminggu setelahnya.
"Setelah dua tahun berlalu kenapa mimpi ini muncul kembali?" Aku bertanya- tanya dalam hatiku. "Yang aku tahu setiap mimpi ini muncul, akan terjadi sesuatu yang buruk. Dua tahun lalu orang suruhan pamanku menemukan tempatku indekos. Beruntung mereka memasuki kamar yang salah, sehingga aku bisa dengan cepat kabur dari tempat itu"
Aku mengusap peluh di dahiku dengan perlahan sambil bangun dan mengambil segelas air di meja kecil disebelah tempat tidur. Aku meneguk air putih itu dengan tandas, kemudian meletakkan kembali gelas kosong itu keatas meja. Aku kemudian meraih Boneka beruang pemberian orang tuaku yang telah lama tiada. Hanya boneka beruang inilah satu-satunya kenangan yang ia miliki saat ini.
Aku memeluk erat boneka beruang itu dengan perasaan sedih yang teramat sangat. "Aku sangat merindukan kalian, Ibu, Ayah, Kak Damar" Aku bergumam sendiri. Air mataku kembali jatuh dengan deras. Ini air mata pertamaku semenjak kejadian tujuh tahun silam itu. Padahal aku sendiri sudah berjanji untuk tidak akan menangis lagi. Sayup- sayup dalam isak tangisku, aku bisa mendengar suara gemericik air hujan yang mulai turun deras diluar sana. Hembusan dingin angin malam bisa kurasakan dari dalam kamar yang kecil ini.
"Aku akan baik-baik saja... Aku akan baik- baik saja" Ulangku berkali-kali sambil menarik nafas panjang. Setelah merasa lebih baik aku meletakkan kembali boneka itu di atas meja dan beranjak dari tempat tidurku untuk mengganti bajuku yang basah dan mencoba kembali untuk tidur. Akhirnya mata ini bisa terpejam kembali sekitar pukul 04.00 pagi.
Aku dikejutkan oleh bunyi weker yang sejak tadi tanpa sadar aku tunda entah berapa kali. Jam di ponselku menujukkan pukul tujuh lewat dua puluh menit. Tentu saja aku terperanjat dan bergegas bangun untuk bersiap-siap kekantor. "Sial..sial!!! " Aku memaki dalam kepanikanku sendiri.
Memang ini bukan pertama kalinya ia terlambat, tapi memang ia sangat ingin mengubah kebiasaan buruknya itu.Ia sudah bisa membayangkan betapa macetnya jalanan di jam-jam seperti ini.
Dengan mata yang masih belum melek benar, dalam perjalanannya hari ini ke kantor beberapa pekerjaan hari ini terlintas dipikirannya. Ditambah sepulang bekerja ia masih harus bekerja untuk Bapak Sugi, Ia tahu ini akan menjadi hari yang panjang untuknya.
"Arghhh!!!" aku meremas stang motorku dengan gemas.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 230 Episodes
Comments