Aku terjaga pagi-pagi sekali. Di kamar tidurku yang lampunya redup. Rumahku memang terbilang mewah, tapi masih kalah mewah dan kalah luas dibanding rumah Jan. Di rumah ini aku tinggal seorang diri. Sama seperti Jan, tanpa asisten rumah tangga. Jan masih mending di rumahnya yang luas itu tinggal berdua dengan istrinya, sedangkan aku sendirian. Namun, aku tak merasa kesepian. Tak merasa perlu teman di rumah ini. Toh aku jarang berada di rumah.
Aku bangkit dari tempat tidur. Duduk menghadap tembok di samping pintu. Tembok itu putih polos, tanpa ada satu pun meja dan lemari di sisinya. Sengaja aku buat seperti itu karena tembok itu aku gunakan untuk memasang sebuah layar virtual. Saat ini tembok itu masih terlihat biasa, tapi begitu aku masukkan perintah suara, maka tembok itu berubah menjadi layar super canggih yang lebar dan cerah. Layar utama dari sistem operasi komputer yang memungkinkan aku melakukan dan mengendalikan hampir seluruh aktivitas di rumah ini bahkan juga di luar. Dengan kecerdasan buatan yang sama seperti pada sepeda motorku, Dhen. Layar itulah adalah panel kendali, pusat dari segala perangkat elektronik yang tersebar di rumahku ini. Perangkat yang merupakan induk dari semuanya. Dan aku sama sekali tidak membutuhkan tombol atau sakelar atau apapun semacamnya. Aku hanya perlu memasukkan perintah suara. Maka sistem operasi super mutakir yang dinamai SOD-32 itu menyala otomatis.
"Selamat pagi, Tuan Renato! Cuaca pagi ini berawan, dengan suhu udara 24°C. Konfirmasi untuk menampilkan informasi cuaca lebih rinci!"
"Buka notifikasi!" ucapku dengan malas.
"Membuka panel notifikasi!"
Layar berganti. Terlihat kolom-kolom bertulisan tentang berbagai informasi dan pembaruan. Yang teratas adalah panggilan tidak terjawab dari Pak Roy, direktur Korp. Masadepan. Sisanya hanya surel-surel tentang dokumen pekerjaanku atau pesan-pesan masuk dari sosial media dan lain-lain.
Aku baru saja hendak memasukkan perintah suara lagi saat layar tiba-tiba berubah dan berkelap-kelip. Menampilkan tulisan nama Pak Roy.
"Panggilan masuk dari Pak Roy Sudipo!"
"Sambungkan panggilan!"
Layar terlihat memuat halaman. Kemudian panggilan video tersambung dan muncullah wajah Pak Roy di sana. Laki-laki enam puluh satu tahun yang pada usia senjanya masih terlihat segar bugar. Ia adalah pucuk pimpinan tertinggi perusahaan kami. Aku dan Pak Roy memiliki kedekatan tersendiri di luar jabatan dalam perusahaan. Pak Roy ini sudah kuanggap sebagai ayahku sendiri. Sejak ayah kandungku meninggal, aku tinggal dengan Om Sunaryo selama hampir setahun. Setelah itu aku tinggal bersama Pak Roy atas permintaan Pak Roy sendiri. Saat itu ia sudah menjadi direktur perusahaan. Perusahaan kecil yang kelak berganti nama dan kemudian berkembang pesat dalam kurun waktu dua dekade.
Pak Roy dan istrinya pernah punya anak. Namun, malangnya, anak mereka yang masih bayi meninggal pada saat terjadi insiden kebakaran di rumah sakit. Setelah itu mereka hidup berdua hampir satu dekade tanpa ditemani buah hati. Oleh karena itu, mereka memutuskan untuk mengangkatku menjadi anak setelah aku menjadi yatim-piatu. Lagipula Pak Roy dan ayahku adalah teman karib di perusahaan. Pak Roy dan istrinya dengan murah hati merawat dan membesarkanku, membiayai sekolahku, sampai aku tumbuh remaja dan tumbuh dewasa, hingga wisuda sarjana. Setelah itu aku mulai bekerja, membeli rumah dan memutuskan tinggal di rumah sendiri dan membiayai sendiri kuliah pascasarjanaku. Meski sebenarnya tempat aku bekerja adalah perusahaan milik Pak Roy itu sendiri, yakni Korp. Masadepan ini. Sejak itulah aku tinggal di rumah ini sampai sekarang. Hingga akhirnya karirku sampai pada titik ini. Tinggal selangkah lagi jadi direktur, hanya saja aku tidak tertarik memimpin perusahaan.
Pak Roy lebih dari sekedar bos untukku. Lebih dari sekedar atasan. Lebih dari sekedar orang yang mengajarku tentang dunia. Ia adalah sosok ayah. Satu dari beberapa orang yang benar-benar berharga yang aku miliki. Tak terkira jasanya padaku. Sementara istrinya, ibu angkatku, satu-satunya wanita yang aku rasakan kasih sayangnya meskipun bukan ibu kandungku, telah wafat beberapa tahun yang lalu. Satu kesedihan yang juga membuat aku tak kuasa menahan air mata. Hanya Pak Roy yang aku punya sekarang. Ayahku.
"Selamat pagi, Nak!" sapa Pak Roy. Ia terlihat segar sekali dengan seragam yang rapi. Ia tersenyum simpul dengan kumis tebalnya yang mulai beruban.
"Selamat pagi, Pak!" jawabku sambil tersenyum simpul juga dengan wajah bangun tidurku.
"Kau baru bangun, Ren? Bersiap-siaplah, kuharap kau ada waktu sebelum agendamu hari ini. Aku ingin menemuimu hari ini. Ada hal yang ingin aku bicarakan!"
"Maaf, Pak! Kenapa tidak sampaikan sekarang saja?"
"Tidak bisa, Nak. Aku perlu bicara berdua denganmu bertatap mata secara langsung. Jadi, segeralah bersiap-siap!"
"Baik, Pak!" jawabku. Aku tak mau banyak bertanya. Paling-paling Pak Roy akan memaksaku lagi menerima jabatan direktur menggantikannya. Yang mana sudah kesekian kalinya.
"Baiklah, aku tunggu kau di ruang kerja! Selamat pagi!" ucap Pak Roy. Setelah itu ia memutuskan panggilan. Wajahnya lenyap dari layar digantikan layar tema.
"Selamat pagi, ayah!" lirihku. Aku sangat menyayangi dan menghormatinya. Namun, sikapnya yang keras dan kukuh untuk mengangkatku menjadi direktur membuat aku sedikit kecewa. Atau mungkin aku saja yang tidak berpikir, bahwa tidak salah seorang ayah yang ingin anaknya melanjutkan perusahaan. Meskipun aku bukan anak kandungnya, tapi hanya aku yang ia punya. Begitulah.
"Dhen, kunci layar!"
Maka layar itu pun menjadi non-aktif. Kemudian aku beranjak dari tempat tidur. Menuju kamar mandi.
***
Pukul setengah delapan pagi aku sudah sampai di kantor pusat Korp. Masadepan. Dalam ruang kerja atasanku, ayah angkatku, Pak Roy. Aku duduk di depan meja kerjanya, sementara ia takzim menatapku dari kursinya. Tubuhnya masih sehat dan bugar, namun wajahnya tak dapat membohongi usia. Wajah renta itu terlihat penuh rasa lelah, penuh beban kehidupan yang diemban selama puluhan tahun. Terlihat sekali raut wajah yang telah mengenal seluk dunia dan membawa serta segala beban dan dukanya. Aku dapat melihat wajah ayah di wajahnya. Kadangkala aku sedih menatap wajah itu, tapi bagaimanalah.
"Ren," ucapnya dengan suara serak. "Aku ini sudah tua, sudah puas hidup di dunia. Banyak pengalaman, sudah mengalami segala macam pahitnya kehidupan. Sudah sepantasnya aku beristirahat, bukannya terus bekerja sampai lupa usia. Sudah saatnya aku beristirahat dari dunia pekerjaan, menikmati hari tuaku. Menikmati hasil dari apa yang aku perjuangkan selama ini."
Aku menundukkan kepala. Aku mengerti maksudnya. Aku tidak suka mendengarkan hal ini.
"Bahkan boleh jadi," sambung Pak Roy. "Usiaku sudah tidak lama lagi. Enam puluh satu tahun bukan angka yang sedikit. Selama hidupku, aku bukan orang suci dan bukan orang baik-baik. Aku pernah melakukan perbuatan kotor untuk mencapai tujuanku. Banyak penyesalan dan rasa bersalah yang menghantui di hari senjaku ini. Rasanya, sudah saatnya aku berhenti dari dunia bisnis."
Aku menghela napas. Aku bisa menebak dengan tepat apa yang akan dikatakan selanjutnya.
"Jadi, Ren! Kumohon, untuk terakhir kalinya, kumohon agar kau bersedia menggantikan aku. Memimpin perusahaan ini!"
"Pak," sanggahku dengan lembut. "Tidak bisakah orang lain saja, banyak sekali karyawan yang potensial, lebih hebat, lebih cerdas daripada saya. Banyak sekali yang bisa dan yang ingin menggantikan bapak. Kenapa harus saya?"
"Aku tak percaya pada siapapun selain kau, Ren!"
"Tapi ..."
"Aku bukan meminta atau memerintahkanmu, Ren! Aku memohon, aku memohon sekali padamu agar kau mau. Agar aku bisa menikmati hari tuaku, sisa hidupku dengan tenang dan damai."
Aku tak mengerti apa yang dimaksudnya, tapi aku dapat melihat ketulusan, dan keseriusan di wajahnya. Juga kesedihan pada suaranya. Aku tak mengerti apa maksudnya.
"Ren," ucap Pak Roy lagi. "Jangan berpikir terlalu lama! Aku ini ayahmu, yang merawatmu sejak kecil. Kenapa kau menolak memimpin perusahaan ini? Kau layak dan berhak Ren, untuk memimpin perusahaan yang diwariskan ayahmu. Kenapa kau menolak?"
"Bukan begitu, Pak!"
"Renato!" Pak Roy menatapku dengan tajam. "Tak bisakah kau menolongku untuk satu kali ini saja? Aku meminta tolong. Aku belum mau mati, jika anakku tidak memimpin perusahaan ini. Jika anakku tidak menjadi direktur, aku tidak akan bisa mati dalam damai, Nak!"
"Pak, apa yang bapak bicarakan?"
"Ren, aku mohon." Pak Roy berkata dengan suara yang serak bercampur batuk. Terdengar begitu pilu dan menyayat hati. Aku benar-benar terenyuh dengan itu. Namun, aku tetap perlu berpikir berulang-ulang untuk menerima jabatan itu.
"Pak, saya bukannya tidak menghormati, Bapak, tapi perusahaan ini layak dipimpin orang yang lebih bijak, lebih berpengalaman, lebih cerdas dan pandai!"
"Siapa, Ren? Siapa yang kau maksud? Kau yang paling berpengalaman, bijak, dan penuh dengan rencana-rencana cerdas. Kau belum menjabat direktur, tapi berhasil menumbangkan satu perusahaan besar tanpa sisa. Kurang apa dirimu?"
Aku terdiam. Kehilangan kata-kata. Aku memilih menundukkan lagi kepalaku. Aku benci perdebatan ini. Aku tak suka berdebat dengan ayahku sendiri. Hal ini sudah membuat kami berselisih paham selama berbulan-bulan. Separuh dari pekerjaanku adalah berdebat, aku sudah pernah beradu kata dan argumen dengan puluhan pebisnis, pengacara, direktur, manajer, dari puluhan perusahaan di dalam maupun luar negeri. Aku selalu berhasil melakukannya dengan tenang. Namun, perdebatan dengan ayah angkatku ini, adalah yang paling aku hindari.
"Ren! Dengarlah, masa depan perusahaan ini harus diteruskan. Aku tidak mungkin terus hidup puluhan tahun lagi. Mengertilah, Nak! Aku merawatmu sejak kecil sampai kau dewasa dan sekarang lebih hebat daripada aku, agar kau memimpin perusahaan ini. Mengertilah, Nak!"
Aku terus membisu, tak mampu berbuat apa-apa. Posisiku terjepit dalam keadaan serba salah.
"Baiklah, Ren, kalau begitu kuberi kau dua pilihan!" ucap Pak Roy kemudian.
Aku mengangkat wajah dengan penasaran. Apalagi yang akan dikatakan Pak Roy?
"Kau pilih salah satu, Ren!" ucapnya. "Kau memimpin perusahaan ini menggantikan aku. Atau, kau boleh menolak dengan satu syarat!"
"Syarat?" ulangku dengan bingung. Wajahku tercengang. Firasatku tidak enak.
"Menikahlah, Ren!"
Astaga! Permintaan Pak Roy selalu mustahil, selalu tak mungkin untuk aku lakukan. Bagaimana aku mau menjawabnya. Aku benar-benar membisu. Hilang kata-kata sama sekali. Memimpin perusahaan, atau menikah? Ya ampun, Pak Roy memberikan aku pilihan paling berat seumur hidupku. Aku tak bisa memilih satu pun dengan pasti.
"Ren, pilihlah. Aku hanya memohon kau melakukan salah satunya, Ren! Tentukan pilihanmu!"
"Pak, ini pilihan yang benar-benar sulit, Pak! Saya tak bisa memutuskan dengan cepat. Saya perlu berpikir berulang-ulang kali."
"Ren," ucap Pak Roy. Nadanya pilu sekali. Aku tidak tega melihat wajah itu. Mendengar suara seperti itu. Menyedihkan sekali.
"Maafkan saya, Pak!" Aku bangkit dari kursi.
"Ren!"
"Maafkan saya, Pak! Tolong beri saya waktu berpikir. Tolong berikan waktu saya untuk menenangkan diri dan berpikir sematang mungkin. Untuk menentukan pilihan terbaik saya."
Aku beranjak meninggalkan meja Pak Roy. Keluar dari ruangan itu dengan langkah yang santai namun membawa beban pikiran baru lagi dalam hidupku. Sebuah penentuan paling menentukan. Pilihan paling berat antara dua hal yang mustahil untukku. Aku benci harus terjebak dalam situasi ini. Benci sekali.
"Semoga kau tidak salah pilih, Nak!" ucap Pak Roy.
Aku menghela napas dan akhirnya berlalu. Aku tahu Pak Roy pasti menyayangi dan menghargai aku. Aku pun menghormatinya. Kami hanya berbeda pendapat dan cara pandang.
Ini benar-benar menyebalkan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
Wanda Harahap
Menikah aja, asyik ko😀😀
2020-12-04
1
Eka Sari
Pilihan yang sulit..
2020-11-19
1