Brakk, tubuhku membentur dinding usai terkena tendangan lawan. Aku mengejapkan mata. Mengumpulkan lagi tenaga dan fokus. Aku memperhatikan dengan tajam. Satu dari dua lawanku maju mendekat membawakan kepalan tangan. Aku bergeser untuk menghindar, dengan gerakan yang cepat dan lincah aku menepis kepalan tangan itu. Dalam detik itu pula, aku menarik tangan itu dan kirimkan pukulan cepat ke bagian kepala belakangnya. Membuatnya terhuyung ke tepi dinding. Temannya kini turut maju dan melancarkan tendangan, aku dengan sigap menepis tendangannya dan balas menendang. Tendanganku tepat menghantam dadanya, hingga orang itu terhuyung ke belakang dan mengaduh kesakitan. Tendanganku tadi juga membuat tubuhku berputar balik, maka langsung saja kuhadiahkan pukulan ke lawanku yang terdesak di pinggir dinding. Dirinya terperenyak jatuh ke dekat temannya yang sudah tergeletak tak sadarkan diri, temannya yang tadi sudah aku taklukkan paling awal. Aku segera beralih ke temannya yang satu lagi, terlambat sedetik saja pukulan pasti sudah menghantam telak ke wajahku. Aku sigap mengindar sehingga pukulan berbahaya itu hanya mengenai tempat kosong. Tanpa membuang waktu, aku menangkap tangannya. Memutar ke belakang dan membekuknya dengan mudah. Kakiku bergerak lincah mengait kakinya, tak ampun badannya tumbang ke belakang. Sementara temannya yang satu lagi sudah bangkit kembali. Berusaha menyergapku dengan cepat. Namun, gerakanku lebih gesit dan lebih cepat, aku menghindar dengan melompat menjauh. Ia menatapku dengan kesal, lantas melompat mengejarku. Aku menyambut pendaratannya dengan tendangan berputar. Brakk, tubuhnya terbanting keras. Menimpa temannya tadi yang baru saja berusaha berdiri. Tak ampun keduanya tergeletak tak berdaya.
Aku berputar ke arah orang tua tadi. Kini jarak kami lebih dekat. Namun, tetap saja tak ada raut gentar atau gelisah di wajahnya. Ketenangan orang tua ini sangat luar biasa. Aku saja tak mampu menyembunyikan rasa kesal, emosi, dan wajah yang penuh dengan pemikiran. Mata kami bertemu, beradu dengan tatapan tajam. Beberapa detik sebelum akhirnya aku maju melancarkan pukulan. Namun, tangan orang tua itu lebih cepat menepis dan memapasi wajahku dengan telapak tangan satu lagi. Aku tersurut mundur dengan mata membeliak, terkejut bukan main. Gerakannya sangat cepat dengan refleks yang luar biasa. Aku menjadi sangat tertarik untuk tahu siapa sebenarnya dirinya.
Sekali lagi aku kirimkan serangan. Aku melancarkan tendangan berputar dengan kaki kanan. Orang tua itu mundur selangkah dengan gerakan yang tenang tanpa ada perubahan sedikitpun di wajahnya. Dengan gerakan yang mengejutkan, ia balas mengirimkan tendangan. Tendangan berputar yang persis seperti tadi aku lakukan, tapi dengan lompatan sehingga tenaganya jelas lebih kuat. Dalam kejutku aku bergerak menghindar ke samping. Namun kasip, tendangan itu tepat dan telak menghantam wajahku.
"Agh!" Aku terlempar dan menghantam dinding. Aku mengaduh kesakitan. Aku mengejapkan mata dan mengusap wajah. Pandanganku berkunang-kunang. Tendangan barusan membuatku kehilangan fokus dan keseimbangan. Menghantam tepat di kepalaku. Aku berusaha keras untuk mengumpulkan kembali tenaga. Kulihat, orang tua misterius masih diam di tempatnya.
Aku melangkah lembam mendatanginya. Aku melancarkan tinju kanan dengan cepat. Orang tua itu hanya menggeser sedikit kepalanya. Namun, gerakanku tadi hanya tipuan, aku merubah arah gerakan dan menghantamkan punggung tangan dengan gerakan yang aku rasa sudah sangat cepat. Akan tetapi, di luar dugaanku, gerakan orang tua itu lebih cepat lagi. Tanganku ditepisnya lalu ia mendorong bahuku. Jelas aku langsung terhuyung dan terputar ke belakang dengan tubuh miring tak seimbang. Sebelum sempat aku melakukan apa-apa, sepatu yang dikenakannya sudah menghantam wajahku dengan keras. Tidak pelak wajahku dan lantai bertemu dan beradu dengan keras. Telingaku langsung berdengung. Pandanganku mulai kabur. Kepalaku sakit bukan main. Aku berusaha bangkit tapi gagal, badanku kembali terjatuh dengan sendirinya. Sepanjang karirku, aku tak pernah berjumpa dengan lawan setangguh orang tua ini. Sejak pertama kali aku belajar dan jago bela diri, sebelum orang tua ini, hanya Jan yang sanggup menaklukkan aku. Namun, hari ini aku dipecundangi begini mudahnya. Rasa penasaranku akan siapa orang ini semakin menjadi-jadi.
Aku berusaha bangkit lagi, dan kali ini berhasil. Aku berdiri tapi masih gontai dan kurang keseimbangan. Aku menatap orang tua itu dengan mata mengerjap. Dengan wajah penuh kekesalan.
"Siapa kau sebenarnya?" tanyaku.
Orang tua itu malah tertawa. Tawanya hambar. Lalu ia menjawab, "Aku bukan siapa-siapa. Bukan kau yang namanya dikenal seantero negeri dengan reputasi terbaik. Ke mana pun aku pergi, tidak akan ada yang tahu namaku. Percuma kau bertanya, karena aku tak punya nama!"
Aku mendelik dan tercengang. Orang tua ini benar-benar aneh. Gayanya sudah seperti pendekar di novel-novel silat. Namun, aku akui, dia memang hebat dan memiliki kemampuan tinggi. Begitu lihai dan gerakannya sangat cepat. Sungguh sangat disayangkan dia berada di pihak yang berseberangan denganku.
"Kau masih mau melanjutkan, anak muda?"
Aku diam. Kemudian secara mendadak langsung maju dan mengirim tendangan kaki kanan. Orang tua itu putar tubuhnya ke samping. Mengirim pukulan ke bagian punggungku. Aku hendak berkelit, tapi setelah mendapat pukulan telak berkali-kali tadi, gerakanku menjadi lambat dan kurang gesit. Maka tak ragu lagi pukulan itu menghantam tepat dan membuat aku terdorong beberapa langkah. Saat aku memutar tubuh, tendangan berputar dan melompat seperti tadi sudah menyambutku demikian cepatnya. Aku tak punya waktu sedetikpun untuk melakukan gerakan apapun. Tubuhku terlempar ke samping membentur tembok. Aku mendekam di tembok itu, lemas dan kehilangan tenaga, merasakan sakit yang menjalar dari kepala sampai kaki. Sungguh, lawan paling tangguh yang pernah aku temui. Aku benar-benar besar kepala selama ini. Merasa diri sudah paling hebat. Lupa bahwa masih ada langit di atas langit.
Orang tua tersenyum mengejekku. Kali ini untuk pertama kalinya, ia yang melangkah mendekati aku. Aku bangkit dan meluruskan badan. Bersiap untuk gempuran selanjutnya.
Tanpa aba-aba, aku langsung melancarkan pukulan beruntun dengan gerakan secepatnya yang aku mampu. Namun, ironisnya gerakan orang tua itu lebih cepat lagi menangkis semuanya dengan presisi. Dalam gulungan-gulungan gerakan yang cepat dan hampir tak terlihat itu, tiba-tiba telapak tangan orang itu sudah menapak di wajahku. Aku syok bukan main, gerakanku langsung terhenti seakan membeku. Entah kapan ia melakukan gerakan itu. Semuanya serba tiba-tiba. Brakk, dengan keras ia membanting tubuhku ke lantai. Aku menjerit kesakitan. Untuk kesekian kalinya aku terbanting tak berdaya. Tergeletak setengah sadar. Suara tawa orang itu sudah terdengar jauh. Pandanganku sudah seperti berkabut. Benar-benar buram. Aku sanggup menahan segala sakit ini, tapi rasa malu dipecundangi seperti yang membuat batinku tersiksa.
Aku tak mendengar ada pasukan menerobos masuk, tapi tiba-tiba saja muncul rentetan tembakan cepat ke arah orang tua itu. Orang tua langsung menjatuhkan diri. Merangkak mencari tempat berlindung. Karena biarpun sehebat apa juga kemampuannya, tetap tidak mungkin ia sanggup melawan timah panas berkecepatan tinggi itu. Aku berusaha mencegah ia merangkak menjauh, dengan menyergapnya. Namun, sekali meronta saja, ia berhasil membuat tubuhku terguling membentur dinding. Rentetan tembakan terus menderu kencang. Berdenting menghantam tembok di atasku. Belasan butir peluru jatuh bergerincing di dekatku.
Tembakan berhenti. Aku bangkit berdiri setelah berusaha bersusah payah. Ternyata pasukan Tim Algojo telah menyusulku ke sini. Berarti urusan di ruangan utama tadi selesai. Dipimpin oleh Dani, pasukan itu bersiaga di setiap sisi. Aku segera memandang ke sekeliling. Keseluruhan ilmuwan yang tadi tertodong senjata kini sudah bebas berdiri, penodong mereka sudah terkapar diterjang peluru tak bersisa. Aku segera mendatangi Dani.
"Ke mana orang tua tadi?" tanyaku lekas.
"Saya tidak melihat ada orang tua di sini, Pak! Tapi seluruh pasukan penyerang sudah dilumpuhkan! Sebagian ada yang berhasil meloloskan diri!"
Aku memandang lagi, menyapu seluruh bagian ruangan itu dengan penuh rasa tidak percaya. Cepat sekali orang tua itu menghormati. Padahal beberapa detik yang lalu ia berada di sampingku dengan merangkak bersusah-payah. Aku menggeleng dengan kesal.
"Bapak-bapak profesor sekalian, silakan kembali ke utama! Bangunan ini sudah bersih dari para penyerang!" ucap Dani.
Belasan ilmuwan itu langsung buru-buru menuju pintu lorong dan keluar.
"Kawal mereka!" perintah Dani. Maka empat orang bawahannya langsung patuh dan segera mengambil posisi di belakang gerombolan ilmuwan itu.
"Pak, bagaimana sekarang?" tanya Dani.
"Bereskan semua bekas pertempuran! Panggil tim medis untuk semua anggota yang terluka!" Aku menjawab sambil melangkah menyusul para ilmuwan tadi.
"Siap!"
Kami segera kembali ke ruangan utama, ruangan paling luas yang kini harus berantakan. Dengan selongsong peluru di mana-mana, kerusakan perangkat elektronik yang tak dapat dielakkan, ada yang rusak ringan ada yang rusak berat. Jelas sekali banyak kerugian yang dialami perusahaan kami. Meskipun tidak seberapa dibanding jika gagalnya proyek Mesin Waktu. Beruntung, Mesin Waktu yang belum sempurna selesai itu tidak mengalami kerusakan apa-apa.
Selama beberapa menit, pasukan Algojo bahu-membahu membereskan sisa pertempuran. Membersihkan setiap ruangan yang berantakan. Tim medis juga telah tiba untuk mengurus anggota dan petugas keamanan yang terluka. Perwakilan kepolisian juga dihubungi untuk menyidiki aksi penyerangan ini. Ambulans juga datang untuk mengangkut mayat-mayat yang bergelimpangan korban pertempuran. Namun, sangat aneh, sistem keamanan dan kecerdasan buatan yang kami miliki, tidak berhasil mendapatkan info spesifik apapun berdasarkan wajah orang-orang yang melakukan serangan itu. Informasi yang kami dapatkan hanya alamat, manifest jejak perjalanan, serta catatan kepolisian bahwa mereka adalah residivis dan ada juga merupakan buronan kepolisian. Tidak ada indikasi apapun tentang siapa yang mengirim mereka. Orang yang berada di balik serangan ini benar-benar merencanakan semua dengan rapi.
***
Hampir sore, ruangan utama beserta seluruh ruangan lain di bangunan itu sudah dibereskan. Bekas-bekas pertempuran yang berantakan sudah dirapikan. Hanya perangkat elektronik yang rusak dan mengalami korsleting yang tersisa dan tak dapat diatasi dengan cepat.
Aku duduk di sebuah sofa, di sebuah sisi ruangan paling luas itu. Aku melihat hampir seluruh profesor dan ilmuwan di sana duduk dengan wajah gelisah. Masing-masing hanya terdiam dan menenangkan diri. Mereka mengalami guncangan mental dan trauma. Salah satunya duduk di sampingku.
"Maaf, Prof, kami mohon maaf atas kejadian tadi. Selanjutnya kami janji akan memperketat keamanan di sini!" ucapku.
"Tidak apa-apa, Tn. Ren!" jawab profesor itu.
"Semuanya baik-baik saja, 'kan?" tanyaku.
"Baik, Tn, Ren! Semua baik-baik saja!"
"Omong-omong, mana Prof. Ram?" tanyaku.
"Prof. Ram?" Profesor di sampingku itu langsung menoleh ke kiri ke kanan. Mencari-cari dan menilik rekan-rekannya satu per satu.
"Ya ampun, Tn. Ren! Prof. Ram tidak ada di sini, dia ... dia hilang!" Seketika profesor itu panik.
"Apa? Tidak mungkin, semua profesor selamat tadi, 'kan?" seruku tak percaya. Aku turut menoleh mencari-cari. Namun, benar saja, aku baru menyadari seluruh ilmuwan yang ada di ruangan itu hanya berjumlah 22 orang. Kurang satu, yaitu Prof. Ram. Ini benar-benar gawat. Kenapa aku baru menyadarinya.
Aku langsung beranjak dari kedudukanku. Melangkah tergesa-gesa menuju pasukan algojo yang masih bersiaga.
"Ada apa, Pak?" sambutnya.
"Di mana Prof. Ram?" tanyaku buru-buru.
"Prof. Ram? Memangnya tidak ada di sini, Pak?" Salah satu algojo itu menjawab. Mereka segera berpencar mencari tanpa disuruh. Ruangan itu menjadi ribut lagi karena baru sadar perihal hilangnya Prof. Ram.
"Iya, Pak! Prof. Ram tidak ada!" ujar algojo yang masih berdiri di dekatku.
"Ini benar-benar gawat!" Aku mengeluh. Satu lagi hal lagi yang aku lewatkan. Aku benar-benar lengah dan ceroboh. Prof. Ram tidak ada di sana. Ia menghilang misterius. Padahal ia adalah tokoh kunci yang paling dibutuhkan dan paling berpengaruh.
"Tn. Ren!" panggil seorang profesor di belakangku. "Saya baru ingat, saat kami ditodong dan diancam oleh orang-orang berpakaian putih tadi, saat kami digiring ke ruangan belakang tadi. Prof. Ram tidak ada bersama kami. Beliau digiring ke tempat lain."
Astaga, aku tidak menyadari hal itu. Aku kira seluruh ilmuwan ada di sana saat aku bertarung dengan tiga pengawal dan orang tua misterius tadi. Ternyata Prof. Ram memang tidak ada di sana sejak awal. Bagaimana mungkin aku bisa tidak sadar.
"Mereka benar-benar cerdik!" ucapku penuh emosi. Orang yang berperan di balik serangan ini benar-benar pintar. Mereka tidak mengincar mesin waktu, tidak juga ingin merusak semua fasilitas laboratorium ini. Target mereka adalah Prof. Ram Ranayuda. Orang paling penting dalam proyek ini. Prof. Ram adalah ilmuwan yang mengepalai proyek ini, memimpin 22 ilmuwan lainnya. Ilmuwan lokal membanggakan yang aku sebut-sebut tadi. Aku benar-benar kecolongan. Aku sangat mengerti sekarang kenapa seluruh profesor di bawa ke ruangan belakang. Serta pasukan berpakaian putih itu jumlahnya banyak sekali namun mudah dilumpuhkan. Semua itu hanyalah pengalih perhatian. Sementara penyerang sebenarnya sudah menculik dan membawa lari target mereka sesungguhnya, Prof. Ram Ranayuda.
Dengan tidak adanya Prof. Ram, maka dipastikan proyek mesin waktu ini tidak akan bisa dilanjutkan. Aku menggeram kesal. Bagaimana mungkin aku bisa kecolongan begini rupa. Kalau begini caranya, sama saja proyek kami di ambang kegagalan. Rugi besar. Untuk perusahaan, apalagi diriku pribadi.
Aku tak bisa tinggal diam. Aku harus mencari dan menyelamatkan Prof. Ram. Harus berhasil. Karena seluruh harta bendaku dan informasi tentang kejadian pembunuhan ayahku, dipertaruhkan dalam hal ini. Pertaruhan paling emosional dalam hidupku. Aku tidak boleh gagal. Karena proyek ini harus berlanjut dan diselesaikan. Demi ayah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments