Aku menyusur koridor itu selangkah demi selangkah. Koridor tersebut berbelok ke kiri. Di ujungnya terdapat sebuah pintu. Dengan sangat hati-hati akan terus mendekati pintu tersebut. Sejenak aku menoleh, koridor ke arah kiri terlihat sepi dan agak gelap. Dari kejauhan tampak lorong yang diapit tembok itu juga berujung pada sebuah pintu.
Aku mencoba membuka pintu itu. Namun tidak bisa, sudah kucoba sekuat mungkin tetap tidak bisa. Mungkin dikunci dari dalam. Maka aku memutuskan lanjutkan melangkah ke koridor menuju arah kiri. Melangkah dengan senyap dan hati-hati. Namun, belum beberapa langkah aku berjalan, terdengar suara pintu terbuka. Langkahku sontak membeku di tempat, dalam detik itu juga aku merogoh senjataku. Aku yakin suara itu berasal dari pintu yang tadi coba aku buka. Padahal tadi pintu itu tidak bisa terbuka. Mengapa tiba-tiba terdengar bunyi derit daun pintu? Maka pasti ada orang di dalam sana, dan orang itu kini membuka pintu tersebut.
Aku membalik badan secepat kilat dan mengacungkan senjata.
Akan tetapi, seketika itu aku tercengang dan sekaligus lega. Orang itu adalah Jan. Ia sempat terkejut dengan gerakanku, beberapa detik kami saling todong senjata.
"Kau rupanya." Aku menurunkan revolver.
"Ssstt!" Jan turut menurunkan senjata dan langsung bergerak cepat ke arahku. Ia sigap sekali memperhatikan sekitar.
"Dengarkan aku," ucapnya. "Seluruh tempat di gedung ini diawasi oleh kamera yang tak terlihat. Lambat laun kita akan ketahuan, jadi jangan heran kalau tiba-tiba ada pasukan penjaga yang menyerang!"
Aku mengangguk paham.
"Ayo!" Jan berdahulu menyusur koridor itu. Melangkah dengan gaya persis seperti seorang mata-mata yang ada di film-film. Aku menyusulnya.
Tanpa perlu aba-aba atau perintah, aku berinisiatif untuk berjalan dengan posisi mundur memunggungi Jan. Memperhatikan dan mengamankan area belakang, sementara sahabatku itu fokus ke hadapan. Dengan kerja sama seperti itu, kami bisa lebih waspada terhadap setiap orang yang bisa muncul dan menyerang tiba-tiba. Revolverku sedia di tangan, siap memuntahkan peluru. Jan pun begitu. Tidak bisa terlukiskan rasa adrenalin, bangga, ambisi, dan semangat yang membuncah seakan meledak-ledak dalam diriku.
Kami melangkah perlahan. Lambat dan waspada. Mengendap-endap agar langkah kami tidak terdengar.
"Kita menuju lantai paling atas," tutur Jan. "Kita tak bisa menggunakan lift, kita bisa celaka kalau sampai mereka tahu. Lift yang ada di bangunan ini dilengkapi sistem keamanan yang bisa mengunci kita di dalam. Itulah kenapa kita harus melewati tangga."
Aku takzim mendengarkan.
"Lantai kedua dari atas, adalah ruangan kerja milik Junior Fadz-Riel, pemilik tunggal gedung dan semua bisnis ini. Kita akan mendatanginya langsung untuk menyelesaikan urusan kita!"
"Baiklah, kalau dia adalah pemilik Gedung Lantai Hijau ini, dia harus bertanggung jawab atas perbuatannya!" sahutku. Genggaman tangan pada revolver semakin erat. Rahangku mengeras. Langkah kami tiba di ujung jalan. Jan mencoba membuka pintu. Awalnya sulit terbuka, tapi Jan berhasil memaksakannya. Namun, begitu pintu terbuka, kami disambut berondongan peluru bertubi-tubi. Senapan serbu menderu dan berdentum-dentum di tangan belasan pasukan tempur yang menghadang kami depan sana.
Jan dan aku dengan gesit menjatuhkan diri. Peluru berdesingan lewat di atas kami. Aku memutar posisi, membidikkan senjata ke arah pasukan tempur itu. Balas menembak beberapa kali. Satu per satu mereka tumbang. Namun, percuma, jumlah mereka banyak sekali. Mereka juga perlahan-lahan maju mendekati kami.
Jan bangkit dengan gerakan yang sangat cepat. Ia buru-buru menutup pintu rapat-rapat. Untung saja daun pintu tersebut tercipta dari bahan yang kuat. Maka saat pintu tertutup, peluru-peluru tadi tertahan di daun pintu. Tak dapat tembus. Berdenting jatuh ke lantai.
"Bagaimana sekarang?" tanyaku. "Mereka banyak dan bersenjata."
"Yah, tidak ada pilihan lain, terpaksa harus begini," jawab Jan sembari merogoh kantongnya. Mengeluarkan beberapa unit senjata berbentuk tabung sebesar kaleng minuman. Namun, jangan salah, senjata itu adalah bom asap keluaran terbaru yang asapnya dapat membunuh orang yang terhirup dalam jangka waktu hitungan detik. Ganas sekali.
Jan bersiap, tiga unit bom asap yang berada genggamannya siap diledakkan. Ia menyerahkan revolvernya padaku sementara. Kemudian dengan hati-hati ia mencoba membuka kembali pintu tadi. Begitu pintu terdorong perlahan dan terbuka celah sedikit saja, maka langsung dengan gerakan yang gesit dan sangat cepat ia melemparkan bom-bom tersebut lantas menutup pintu kembali. Semua dilakukan dengan gapah dan tangkas dalam waktu yang singkat. Lalu terdengarlah ledakan keras tiga kali berturut-turut dari balik pintu tersebut. Disusul suara jeritan orang-orang. Teriakan panik, suara batuk, suara tersedak dan napas yang tersekat, jeritan parau, dan pekik kesakitan.
Dari arah belakang kami, datang pula sekitar tiga sampai empat orang pasukan penjaga. Dengan wajah beringas mereka berlari ke arah kami membawa senjata laras panjang. Namun aku dan Jan tak kehilangan fokus dan kewaspadaan. Dengan revolver masing-masing, kami cekatan melesatkan peluru-peluru tanpa suara sedikit pun. Tanpa ada ampun, tanpa ada celah untuk mereka menyerang. Tidak sampai setengah menit, orang-orang yang mendatangi kami habis berjatuhan.
Selesai dengan mereka, kami kembali berbalik pada pintu. Keributan tadi sudah berhenti, Jan membuka pintu perlahan-lahan. Kami melantas masuk melewati pintu tersebut, tiba di koridor lagi. Jan menutup pintu rapat-rapat. Kami melangkah dengan hati-hati, karena ada lebih dari selusin tubuh bergelimpangan di lantai. Aku meneliti satu per satu. Semua anggota pasukan itu berpakaian sama, yaitu baju terusan berwarna hijau, dengan simbol Gedung Lantai Hijau terpampang di dada kiri. Setelan itu mirip dengan setelan pasukan misterius yang menyerang laboratorium tadi siang. Hanya saja penyerang misterius itu menggunakan baju terusan yang berwarna serba putih dan tak ada simbol apapun di dada mereka. Mereka juga menggunakan tudung kepala dan masker yang menutupi wajah.
"Pakaian mereka mirip dengan penyerang laboratorium itu!" desisku.
"Tentu saja," jawab Jan. Aku menyimpan revolverku kemudian berlutut ke dekat salah satu tubuh yang tergeletak. Aku merampas senapan serbu yang masih dipegangnya. Jan meniru tindakanku, ia turut mengambil senjata itu. Bahkan ia mengambil langsung dua unit. Aku tidak tahu entah dia bisa menggunakan dua senapan serbu sekaligus atau sekedar membawa untuk berjaga-jaga bila kehabisan amunisi. Maka kami kembali melanjutkan langkah dengan membawa senjata baru, senapan serbu jenis M16.
Kami tiba di persimpangan tiga arah koridor. Kami kompak saling memunggungi. Aku menghadap kiri, Jan menghadap kanan. Dan tindakan kami tepat sekali, karena dari kedua ujung koridor berdatangan lagi pasukan keamanan gedung tersebut. Maka tak menunggu apa-apa, senapan serbuku langsung menderu dan memutahkan belasan peluru dalam waktu beberapa detik. Pasukan lawan membawa senjata yang sama, tapi mereka kalah cepat. Tak menunggu waktu yang lama, pasukan yang berdatangan langsung berjatuhan tak karuan. Peluru-peluru ganas menghantam mereka.
"Kau terus ke sana, kita bertemu di atas! Bersiap untuk pertempuran besar!" seru Jan.
Aku mengangguk, maka kami langsung berlari ke arah yang berlawanan. Saling menjauh. Aku menyusur koridor itu sambil terus menembakkan M16 di tangan secara membabi buta. Tak ada kesempatan untuk satu orang pun yang baru muncul di sana untuk menembak. Detik di mana mereka tiba di hadapanku, detik itu pula peluru menembus mereka lantas jatuh tak bernyawa. Aku tiba di ujung jalan, ke arah kiri adalah tangga menuju lantai atas. Terlihat pasukan-pasukan lawan terus berdatangan. Maka aku tak memberi ampun, getaran di tanganku oleh M16 ini tak henti-hentinya. Aku menyerbu bagai orang kesetananan. Ketika akhirnya peluru senjataku habis, aku langsung membuang senjata. Lalu tanpa ragu mengambil senapan serbu M16 yang baru dari tangan korbanku yang sudah tergeletak. Seperti tentara yang sudah mengisi ulang amunisi, aku kembali mengamuk dengan senapan. Dentuman dan deru peluru tak kunjung reda. Sedikit demi sedikit aku melangkah menaiki tangga. Setiap anak tangga demi anak tangga yang kunaiki, maka semakin banyak korban berjatuhan. Entah diberi tuah apa diriku ini, tak ada satupun serbuan peluru lawan yang tepat mengenaiku. Aku tetap maju dengan berani padahal tidak ada pelindung di tubuhku. Padahal salah gerakan sedikit saja, riwayat hidupku bisa tamat di sini. Namun, itu tak membuat aku gentar sedikit pun. Aku seorang diri di area ini, sementara pasukan lawan terus berdatangan, tapi aku tetap mampu bertahan.
Aku tiba di ujung tangga. Aku berhenti dan berlutut, memperhatikan ruangan itu. Ruangan itu adalah restoran, tapi saat ini suasananya gaduh sekali. Para pengunjung menjerit histeris karena panik dan ketakutan. Ada yang berlari ke sana ke sini, ada yang tiarap takut terkena peluru nyasar, ada yang menangis, ada yang bersembunyi di bawah meja, pokoknya seisi ruangan itu benar-benar rusuh. Aku menilik tajam, ruangan itu lebih ramai oleh pasukan berbaju hijau daripada pengunjung umum. Aku berpikir sejenak, jika aku menembaki mereka, bisa-bisa peluruku menyasar dan mengenai pengunjung yang tak bersalah.
Ketika aku memutar otak, tiba-tiba terdengar bunyi tembakan dari seberang ruangan. Tembakan itu menambah panik seluruh pengunjung di dalam ruangan, karena tembakan itu telah membuat pecah lampu yang tergantung di tengah-tengah ruangan. Tembakan yang tepat mematikan penerangan utama ruangan itu. Maka ruangan pun menjadi gelap. Meski sebenarnya tidak gelap total, karena masih ada sejumlah lampu yang menempel di dinding dan beberapa sumber penerangan lain. Aku tahu siapa yang melepaskan tembakan itu, tentu saja Jan. Aku dapat melihatnya di pangkal tangga di seberang tempatku berada.
Pengunjung dievakuasi oleh beberapa petugas untuk meninggalkan ruangan. Ada yang menggunakan lift, ada yang berdesakan di muka tangga di seberang sana. Sementara tangga tempat aku berada, dan tangga tempat Jan, dijaga oleh pasukan keamanan. Pasukan-pasukan berbaju hijau itu tetap bersiaga di posisinya masing-masing. Mereka juga enggan melepaskan tembakan dari sana, karena takut akan melukai pengunjung. Mereka memilih menunggu pengevakuasian semua pengunjung selesai. Aku dan Jan juga menunggu di posisi masing-masing dengan kewaspadaan tidak berkurang.
Setelah seluruh pengunjung dipastikan telah dievakuasi, tidak ada yang tersisa dalam ruangan, maka pasukan berbaju hijau itu langsung menyerbu. Aku tak mau kalah, M16 di tanganku mengamuk tak tentu arah. Dalam hitungan detik, korbanku terus berjatuhan. Namun, mereka seperti tidak ada habisnya, semakin berguguran semakin bertambah banyak yang datang.
Dalam keadaan ruangan yang setengah gelap itu, bunga api memercik di sana sini. Langit-langit dipenuhi suara ledakan senjata beradu nyaring. Atau jerit anggota pasukan yang tertembak peluru. Aku tersurut mundur, turun ke bawah. Senjataku kehabisan amunisi. Maka aku langsung membuangnya sembarang, lantas menyambar senjata milik korbanku yang tergeletak di badan tangga. Ternyata senjata yang kudapat berbeda, bukan senapan serbu M16. Melainkan senapan mesin yang mirip dengan M134 Minigun, tapi bukan. Karena senapan mesin yang kuambil itu adalah senjata keluaran terbaru yang didesain lebih kecil dan lebih ringan. Pasukan berbaju hijau mengepung di muka tangga, tapi dengan senapan mesin di tanganku mereka tidak ada apa-apanya. Tanpa ragu senapan mesinku menyerbu, laras-larasnya berputar cepat. Ratusan peluru melesat kencang. Senjataku meraung ganas, tiga-empat-lima sampai sembilan korban berguguran.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments