Sepeda motorku melanju kencang. Gesit mendahului mobil-mobil yang tak bisa mengebut. Bermanuver di tengah kondisi jalanan yang padat. Hanya butuh waktu lima belas menit dari gedung tempat aku berangkat tadi, kini aku sudah masuk ke jalan bebas hambatan. Di mana aku lebih leluasa lagi untuk mengebut. Melaju di bawah langit malam yang tiada berbintang. Langit yang bulannya sendirian tak berteman. Seakan seperti diriku, menjalankan semua pekerjaan tanpa teman. Sebab satu-satunya sahabatku, bekerja di tempat yang berbeda. Untungnya aku tetap mampu melaksanakan segalanya dengan baik tanpa rekan kerja. Membuatku semakin dipercaya oleh perusahaan. Meskipun aku tidak pernah menerima saat ditawari jabatan direktur.
Karena bagiku, duduk di kantor dan berkutat dengan berbagai macam dokumen baik di kertas maupun di komputer, adalah hal yang membosankan. Gaji selangit tidak membuatku tergiur saat aku tahu pekerjaannya hanya bersantai di balik meja kerja, telepon sini telepon sana, tanda tangan ini itu, analisis grafik, dan lain sebagainya. Aku lebih senang dengan jabatanku saat ini, berurusan dengan banyak orang baru. Berpindah-pindah tempat ke sana-sini. Rasanya semua gedung di kota ini sudah pernah aku kunjungi. Bahkan juga di kota lain. Berbicara di depan banyak orang dengan gaya khas, dan membuat orang-orang terperanguh dengan kekuatan persuasiku. Terutama saat ada yang berselisih paham denganku, berdebat, beradu argumen. Adalah hal paling memuaskan untukku. Terlebih lagi ketika aku harus berhadapan dengan algojo yang tak bisa diajak kompromi, justru main serang dan main tembak. Bertarung. Hobi sejak kecilku. Adalah alasan mengapa aku mencintai pekerjaanku. Bukan karena gaji yang tinggi, bahkan tidak digaji pun aku akan ikhlas melaksanakan pekerjaanku ini. Karena sejak kecil, inilah yang aku impikan.
Sebenarnya sedikit melenceng, karena yang aku impikan adalah menjadi polisi elit seperti Jan sahabatku. Kami bercita-cita sama, menjadi polisi rahasia yang tangguh. Akan tetapi, di antara kami berdua, hanya Jan yang benar-benar sukses meraihnya dan sukses menjalankan karirnya. Sementara aku, ya setidaknya pekerjaanku saat ini adalah pengganti yang tepat. Serupa tapi tak sama. Aku dan Jan mendaftar di akademi polisi bersama-sama. Melewati setiap tahapan dan tes bersama-sama. Namun, aku gagal lolos karena beberapa alasan. Sementara Jan lolos dengan mulus. Memulai karir dari bawah sampai seperti saat ini. Sementara aku, setelah gagal menjadi polisi, aku mencari peruntungan di banyak perusahaan. Tetap saja mereka sulit menerimaku. Sebelum akhirnya aku diterima di Korp. Masadepan. Meskipun sejujurnya, ada pengaruh orang dalam yang membuat aku diterima. Karyawan lain pun banyak yang meragukan aku pada awalnya. Sampai akhirnya aku terus bekerja dengan baik dan menunjukkan kelasku. Barulah aku mendapat jabatan ini. Bahkan perusahaan yang dulu menolakku kini mengakui kualitasku. Itulah mengapa saat ini aku bekerja untuk perusahaan swasta bukannya lembaga pemerintah atau kepolisian. Aku sudah menikmati pekerjaan ini, dan aku sudah merelakan impian masa kecilku menjadi polisi elit, biar saja itu menjadi profesi sahabatku. Toh aku juga hampir mirip seperti itu, hanya saja aku lebih dekat kepada dunia bisnis, saham, bursa, properti, dan lain sebagainya, alih-alih mafia, kriminal, narkotika, atau geng, yang ditangani Jan.
Hampir pukul delapan malam, aku keluar dari jalan bebas hambatan. Memasuki kota baru, kota tetangga dari kota asalku. Kurang lebih saja padat dan ramainya. Hanya saja tidak terlalu macet. Aku jadi lebih leluasa untuk mengebut dan menyelip. Langit kota ini hampir tidak ubahnya, bahkan bulan justru di tutup awan kali ini. Awan mendung, mungkin sebentar lagi akan turun hujan. Sementara aku terus melaju di jalanan kota layaknya seorang pembalap andal.
Pukul delapan lewat, aku tiba di tujuan. Berhenti di depan sebuah gedung menjulang. Memarkirkan sepeda motor di antara mobil-mobil mewah keluaran Jerman. Sementara kendaraanku sendiri yang roda dua dan pabrikan Jepang. Aku melangkah dengan wibawa dan bergaya melewati pintu masuk. Dengan setelan jas dan celana biru yang kurang rapi karena dipakai bertarung dengan rekanku tadi. Tidak sulit untuk melalui prosedur keamanan di lantai dasar itu, beberapa dari mereka mengenal baik siapa aku. Aku pun meluncur dalam lift menuju lantai puncak. Tempat ruang kerja sang pemilik gedung itu. Gedung yang menjadi kantor pusat PT. Kembang Indah. Perusahaan pemasaran alat elektronik yang bermitra dengan perusahaan tempat aku bekerja.
Aku keluar dari lift, langsung di ruangan itu. Ruangan yang luas dan nyaman. Di seberangku, duduk seorang tua berwajah oriental berkumis tebal di belakang meja kerjanya. Aku melangkah santai menuju meja tersebut. Melintasi ruangan yang berpenerang lampu dengan cahaya kekuningan. Ruangan yang didekorasi dengan corak yang erat sekali dengan budaya Tionghoa. Cukup untuk menjelaskan mengapa di atas meja kerja itu terdapat patung kucing yang dianggap membawa untung.
Henry Purnomo, begitulah nama lahirnya. Namun, dalam dunia bisnis, ia akrab dengan sapaan Koh Shung sebagai seorang keturunan Tionghoa tulen. Pria tua itu sedang duduk di kursi, dengan santun mempersilakan aku duduk.
"Selamat malam, Koh! Apa kabar?" tanyaku sambil duduk dengan takzim.
"Selamat malam, anak muda!" sahut orang tua itu. "Kabarku baik sekali. Terima kasih, kau mau mengunjungiku malam ini. Aneh rasanya, kau ini sudah berapa tahun bekerja dan berbisnis denganku. Kenapa kau terus yang datang ke mari untuk berbincang?"
"Maksud anda, Koh?"
"Seharusnya bukan kau lagi yang datang ke sini, tapi bawahanmu. Kau yang mengutus mereka, bukan kau yang diutus. Kau ini anak muda yang sangat berpotensi, Ren!" Koh Shung tersenyum ramah.
"Terima kasih, tapi saya masih senang dengan pekerjaan seperti ini. Belum tertarik untuk jabatan yang lebih tinggi." Aku bersandar ke kursi itu. Membuat posisi lebih santai. Aku tahu sekali maksud Koh Shung. Seharusnya aku sudah menjadi direktur perusahaan dengan karirku yang terus menanjak selama ini. Namun, seperti yang aku jelaskan tadi, aku lebih senang dengan jabatan ini.
"Kau terlalu merendah, sudah saatnya kau naik pangkat, anak muda! Promosi, kau tahu promosi, 'kan?"
"Terima kasih, Koh, tapi kedatangan saya ke tempat ini bukan untuk membahas perihal pangkat atau jabatan." Aku mulai masuk ke pembicaraan mengenai tujuan awalku. Berbicara setenang mungkin. Sambil tersenyum simpul.
"Jadi," Koh Shung merubah posisi duduknya. "Ada apa gerangan kau datang ke mari?"
"Begini, Koh, saya mau membahas soal pengalihan kerja sama yang anda ajukan. Serta penghentian dana untuk proyek besar kami."
"Ah, itu dia." Koh Shung langsung bereaksi. Ia meraih sebuah map berisi dokumen dari pinggir meja dan mengetengahkannya. "Sampaikan pada Roy, jangan berpikir panjang dan terlalu banyak pertimbangan untuk itu. Karena ini akan membuat kerja sama kita lebih baik tanpa merusak keseimbangan."
"Masalahnya, Koh. Kami tidak bisa menerima ajuan itu."
Seketika wajah Koh Shung berubah masam. Keningnya berkerut tak habis pikir. Keriput di wajahnya semakin terlihat jelas. Ia menatapku tajam.
"Kenapa?" tanyanya penuh penasaran.
"Kerja sama kita sudah berlangsung lama, sudah berjalan baik dan tidak ada masalah untuk pemasaran seluruh jenis alat elektronik. Saya rasa tidak ada kendala apa-apa. Kenapa anda ingin mengalihkan kerja sama kita?"
"Kerja sama kita memang berjalan dengan baik. Masalahnya, sektor baru perusahaan kalian, akan menganggu stabilitas bisnis kita. Grafik pemasaran menurun beberapa bulan ini, sejak sektor baru kalian diresmikan. Pemasaran produk mencapai seluruh dunia dan bukan main-main. Selain pemasaran, kami sudah menjadi investor untuk banyak sekali proyek kalian. Namun, kali ini, proyek kalian tidak dapat aku setujui."
"Tapi, bukankah proyek terbaru kami ini berpotensi untuk menghasilkan keuntungan sangat besar. Bayangkan saja, saat rancangannya selesai, investor-investor kelas dunia banyak yang berminat untuk menjalin kerja sama. Karena proyek terbaru kami, akan menciptakan sejarah. Menciptakan sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya. Investor kelas dunia begitu tertarik, bagaimana mungkin anda berpikir untuk menghentikan dana itu?"
"Justru itu, anak muda, proyek terbaru kalian ini terlalu ambisius. Terlalu besar dan sangat berpotensi gagal. Bayangkan saja ketika berkumpulnya investor kelas dunia, dengan menghabiskan modal ratusan triliun, tapi berakhir dengan kegagalan. Berapa perusahaan akan bangkrut dan ditutup?"
"Apakah anda meragukan kami, Koh?"
"Bukan meragukan, dan bukan pula meremehkan. Setelah banyak sekali proyek mutakir dan canggih yang kalian ciptakan. Alat elektronik yang semakin futuristik. Entah itu papan selancar terbang, jubah tempur, ponsel dan komputer canggih, atau bahkan alat bantu yang memungkin orang terbang. Terhitung banyak sekali yang kami danai, dan semuanya sukses besar, tapi kali ini, aku sendiri sebagai pebisnis yang telah mencapai usia lebih setengah abad merasa tidak yakin dengan proyek itu. Tidak pernah ada sebelumnya. Mungkin karena aku memang tidak berkecimpung di dunia teknologi, tetapi aku merasa tidak yakin dengan proyek itu. Aku akui, Korp. Masadepan sukses menciptakan segala macam teknologi yang dulu hanya ada dalam film fiksi, menjadikannya nyata. Benar-benar nyata. Akan tetapi, tidak untuk mesin waktu."
"Oh, ayolah, Koh! Amerika, Rusia, Jepang, Jerman, dan seluruh negara maju berlomba-lomba menciptakannya. Namun, belum ada yang benar-benar berhasil. Dan ya, negara kita bukan lagi negara berkembang seperti sepuluh tahun yang lalu. Negara kita sudah menjadi negara maju dan perkembangan teknologi yang sudah setara dengan Jepang, Korea, dan lain sebagainya. Itulah kenapa kami ingin mengambil langkah baru untuk mencetak sejarah. Menciptakan teknologi yang tak pernah berhasil diciptakan oleh negara yang sudah maju sejak puluhan tahun yang lalu. Kita tunjukkan kualitas negara kita dalam teknologi."
"Tapi kau lihat, Renato!" ucap Koh Shung dengan nada yang menanjak. "Apa korupsi sudah hilang dari negeri ini? Apa tingkat kriminal sudah mengalami penurunan? Bahkan semakin naik aku kira. Apa bedanya dengan sepuluh tahun yang lalu? Negara kita sudah negara yang maju. Ekonomi kelas atas. Namun, apa warganya sejahtera dan aman?"
"Justru proyek kami untuk menciptakan mesin waktu adalah inovasi terbaru untuk mewujudkan kedamaian. Salah satunya dalam bidang kriminal, atau bahkan kasus korupsi. Mesin waktu akan membuat segalanya jelas, tidak ada lagi fakta yang ditutupi. Segalanya bisa kita ketahui."
Koh Shung tertegun. Lama sekali mataku dan matanya beradu.
"Tapi," ucap Koh Shung akhirnya. "Apa kalian benar-benar yakin akan berhasil? Kau sendiri yang bilang banyak negara maju yang gagal menciptakannya."
"Mereka gagal karena salah persepsi terhadap mesin waktu. Salah konsep dan tujuannya. Sementara kami hadir dengan visi yang berbeda, konsep dan tujuan yang berbeda. 23 orang ilmuwan terkemuka dari dunia sudah terkumpul. 9 di antaranya adalah ilmuwan lokal kita yang paling membanggakan. Salah satunya adalah yang berperan dalam menciptakan jaringan internet termutakir. Kami yakin, kami akan berhasil."
"Kau tidak cukup membuatku yakin," ucap Koh Shung.
"Bagaimana jika saya sendiri dengan seluruh harta kekayaan yang saya miliki akan mengganti kerugian perusahaan anda, jika proyek kami gagal," tantangku. Aku tersenyum penuh kepuasan. Koh Shung yang terkejut. Keningnya tambah berkerut. Mungkin dia berpikir, anak ini sudah gila.
"Kau terlalu berani, anak muda, kita bukan bicara soal uang yang hanya senilai jutaan atau miliaran. Kau sangat tahu hal itu," jawab Koh Shung.
"Anda tidak usah memikirkan tentang bagaimana saya akan melakukannya, sekarang apa anda setuju dengan pertaruhan ini? Jika setuju, maka tarik kembali keputusan anda. Lanjutkan aliran dana untuk proyek kami. Dan batalkan pengalihan kerja sama." Aku berbicara penuh dengan ketenangan. Koh Shung justru sebaliknya, terlihat dalam tekanan. Dia tidak heran, dia sudah berulang kali berurusan denganku. Dia sudah hapal sekali denganku. Ia terdiam lama penuh pertimbangan. Sementara aku tersenyum sambil menunggu keputusannya.
"Baiklah," ucap Koh Shung menyerah. "Aku setuju!"
Aku tersenyum lebar. "Baiklah, terima kasih, Koh! Senang berbisnis dengan anda!"
Koh Shung hanya menyeringai.
"Maaf, saya harus buru-buru kembali. Selamat malam!"
Urusanku selesai. Aku tegak, meminta diri untuk meninggalkan ruangan itu dengan sopan. Meninggalkan Koh Shung dengan wajah yang menampakkan ekspresi tak habis pikir.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
erlin
next
2020-06-11
1