Pagi itu aku melarikan sepeda motorku dengan kencang. Membawa rasa gelisah sepanjang perjalanan. Membawa rasa sebal, kesal, dan serba salah yang menodong tepat ke kepalaku.
Matahari menanjak naik ke badan langit kala itu. Semakin lama semakin terik dan panas. Persis seperti panas kepalaku yang tengah diserang gundah. Berputar otak dengan keras karena dua pilihan yang menyiksa pikiranku. Benar-benar membuat kacau hari cerahku. Mengaduk emosi dan jalan akalku. Tetapi aku tak bisa juga menyalahkan siapa-siapa. Pak Roy yang memberikan aku dua pilihan sudah melakukan hal yang benar. Hanya aku saja yang sedikit tidak normal karena tidak tertarik menjadi pemilik perusahaan terbesar seantero negeri yang mana orang lain akan memperjuangkan dan memperebutkan kedudukan ini. Ditambah pula aku adalah laki-laki yang betah membujang tanpa sedikitpun tertarik untuk menjalin hubungan bercinta-cintaan seperti orang lain. Banyak bocah-bocah labil yang baru berusia belasan, berlagak paling sedih dan paling menderita di dunia karena tak kunjung menemukan cintanya. Sementara aku yang sudah seusia mereka saat mereka baru lahir, malah dengan sengaja mengabaikan wanita-wanita yang mengantre ingin mendapatkan hatiku. Aneh, bukan?
Apakah aku akan terus menjalani hidup seperti ini? Benar juga kata sahabatku, Jan, sampai kapan aku terus begini. Hidup terus berjuang, tapi tak tahu untuk apa perjuanganku. Aku harus berubah. Sesenti demi sesenti menggeser pola dan cara berpikir. Meski jauh di dalam sana, tetap saja rasa itu menguasai tiap sisi. Salah satunya, rasa enggan menjalin hubungan dengan wanita. Akibat trauma akan pengalaman masa lalu yang menyakitkan, menyebalkan, bahkan menjijikan. Selama hidupku, aku pernah punya seorang kekasih. Orang yang bukan sanak keluarga, tapi kucintai lebih dari apapun. Rela melakukan apa saja demi kebahagiaannya. Namun itu hanya sepotong hal menyebalkan yang telah ribuan kali aku sesali. Setiap teringat akan membuat aku mengumpat. Bodoh sekali diriku ini. Bodoh betul. Segala hal yang masih bisa aku ingat meski beribu kali kucoba lupakan. Mungkin aku harus menyarankan perusahaan untuk menciptakan teknologi yang dapat membuat manusia melupakan masa lalu, jadi aku bisa leluasa membuang sampah itu sepenuhnya. Tapi setidaknya, potongan kisah itu dapat kujadikan pelajaran berharga. Potongan kisah yang benar-benar tak ingin kuulang barang sekali. Sehingga aku memutuskan hidup seorang diri sampai hari ini, sejak dua tahun lalu.
Dua tahun yang lalu, masa di mana aku menjadi bodoh. Bisa-bisanya aku jatuh hati padanya. Pada makhluk laknat itu.
Saat itu aku sudah bekerja di Korp. Masadepan, menjabat sebagai anggota Timsus Anti-Konflik. Masih menjadi anggota, belum menjadi ketua. Saat itu, aku dekat dengan seseorang gadis muda yang bekerja sebagai penulis teknis perusahaan. Hubunganku dan gadis itu dekat sekali. Awalnya hanya pertemanan biasa layaknya rekan kerja sekantor. Namun, lama keamanan sifatnya meluluhkan hatiku. Membuat aku merasa bahagia setiap kali bersamanya, untuk sekedar mendengar suara tawanya. Sejak sekolah menengah, aku sudah pernah menjalin hubungan cinta-cintaan atau semacamnya itu. Akan tetapi, jelas aku belum mengerti arti cinta sebenarnya. Saat itu aku paling hanya ikut-ikutan atau gaya-gayaan seperti halnya aku selalu meledek Jan ketika ia membicarakan Fitri. Namun, gadis rekan kerjaku itu berbeda, ia telah membuat aku merasakan hal yang tak pernah aku rasakan sebelumnya. Cinta yang sebenarnya penuh ketulusan hati.
Berlangsungnya hari demi hari, cinta yang tumbuh semakin subur dan berbunga. Maka pada puncaknya, aku menyatakan perasaanku padanya. Dan seperti yang aku harapkan dulu, ia juga merasakan hal yang sama. Cintaku berbalas. Maka kami pun menjalin hubungan. Sepasang kekasih.
Hubungan itu berjalan harmonis selama beberapa bulan. Memang sepanjang masa-masa itu, tetap diterpa berbagai masalah dan problema. Sering berselisih paham dan bertengkar, tapi hubungan kami masih berlanjut. Meskipun diam-diam, di setiap pertengkaran aku selalu menyimpan sakit hati atas kata-katanya. Aku mulai merasakan hal aneh, seakan dia telah berubah memperlakukan aku. Aku juga sering menangkap ia berbohong padaku entah apa tujuannya. Serta beberapa hal menyebalkan lain. Salah satunya adalah ia seringkali mengancam bahwa dia akan mengundurkan diri dan pindah dari Korp. Masadepan, bekerja ke perusahaan lain yang jauh dariku. Tentu saja aku yang tidak berakal saat itu akan memohon-mohon agar ia jangan meninggalkan aku. Menjijikan sekali aku itu.
Bulan-bulan berlalu seperti itu. Dengan progres hubungan yang aku rasa semakin menurun. Potret romansa yang ada diawal kisah tadi hilang begitu saja. Kontras sekali dengan keadaan terkini. Jauh berbeda.
Puncaknya adalah bulan akhir hubungan kami. Diterpa masalah setiap hari. Dan semuanya berakar dari kesalahan sepele yang dibesarkan. Kesalahan yang berasal dari perbuatanku. Yang entah memang kesalahanku atau dia saja yang selalu menganggap itu kesalahanku. Di waktu-waktu itu dia telah benar-benar berubah dari gadis yang pertama aku kenal. Drastis sekali. Namun, celakanya, dia menuduh aku yang berubah. Aku yang tidak seperti dahulu lagi. Satu hal lagi yang aku benci dari dirinya.
Perdebatan demi perdebatan terjadi. Namun, tetap saja aku tidak akan pernah benar. Ia selalu punya seribu satu dalih.
"Kau sudah tak seperti dulu lagi," ucapnya suatu waktu.
"Apanya yang tidak seperti dulu lagi?" tanyaku sebal.
"Ke mana Ren yang perhatian, yang selalu memperhatikan aku, yang selalu pengertian dan mengetahui apa inginku? Ke mana?"
"Aku masih seperti itu, aku masih seperti dulu. Tidakkah kau merasakannya? Apa aku tidak lagi perhatian? Sebenarnya perhatian itu apa? Apakah perhatian itu dengan terus menanyaimu 'sudah makan? sudah minum? sudah mandi? sedang apa? jangan ini jangan itu', hah? Apa hanya seperti itu? Ayolah, tahun berapa ini?"
"Justru kau tak pernah lagi memperhatikan aku! Kau hanya sibuk dengan pekerjaanmu, tak pernah lagi menyempatkan waktu untukku. Tidak pernah."
"Aku memang sibuk dengan pekerjaanku, ini tuntutan. Aku tak bisa menomorduakan pekerjaan, karena aku bekerja juga untuk dirimu. Lihat, 'kan? Kau yang tidak mengerti aku."
"Kembalikan Renato-ku yang dulu!"
"Tak percayakah kau aku masih sama? Kau yang berubah, itulah kenapa aku kau pandang aneh."
"Aku ragu apa masih ada cinta di hatimu?"
"Jangan mendoakan aku berubah! Aku berjuang bersusah payah mempertahankan perasaan ini. Bersusah payah terus mencari cara agar rasa cinta tidak berubah menjadi benci. Sementara kau hanya sibuk menekan!"
Itu adalah satu dari puluhan perdebatan kami. Aku tak pernah mengerti lagi jalan pikiran wanita itu. Entah tersumbat apa. Sekalipun ada banyak kebaikan yang ia lakukan, semuanya tertutup rapat oleh rasa benci. Sebaliknya, ada banyak hal menyebalkan yang terpampang nyata. Salah satunya adalah dia pernah berkata padaku, "Aku tidak mengharapkan kau selalu ada untukku. Aku hanya butuh kehadiranmu di beberapa waktu. Aku tidak bisa memaksamu untuk terus hadir di setiap detik. Kau juga punya kesibukan, dan aku tidak berhak mengatur hidupmu!" Dengan manis ia ucapkan itu membuat aku terlena. Namun, dalam hitungan hari, entah pikun atau apa, bisa-bisanya dia mengomel bahwa, "Kau tak pernah lagi punya waktu untukku, kau hanya sibuk dengan urusanmu sendiri, kau lupa ada aku di hidupmu. Kau tak pernah lagi selalu ada seperti dahulu. Kau tak ada saat aku butuhkan. Kau terlalu sibuk sendiri! Apa sebenarnya masih ada aku di hatimu?"
Kurang hipokrit apa dirinya?
Setelah berhari-hari digerus oleh kata-kata menikam. Dalam bulan penghujung hubungan, hatiku akhirnya menyerah kalah. Sesudah mati-matian aku berjuang mempertahankan perasaan itu, takdir Tuhan menyelamatkan aku dari perangkap maut. Perasaan itu memudar dengan sendirinya. Hilang tak berbekas seperti sistem otomatis. Berganti amarah dan benci.
Maka pada suatu hari, aku benar-benar menghilangkan dia dari hidupku. Tidak ada kata "putus" secara eksplisit dalam hubungan kami, namun harfiahnya aku telah terbebas darinya.
Maka pada suatu hari, aku benar-benar mengabaikannya. Menganggap dia orang asing yang tidak pernah kukenal. Aku menjalani rutinitas seperti biasa, datang ke kantor dan bekerja, tapi memutus semua interaksi dengannya. Secara kasar tak acuh padanya. Tidak menjawab sapaannya. Menghindar saat diajak bicara. Menjauh saat di dekati. Menghapus semua foto, video, atau file yang terkait dengannya di semua perangkat elektronikku. Menghapus seluruh jejak media sosial yang berhubungan dengannya sampai tidak bersisa. Bahkan tombol like yang pernah aku berikan kepada setiap kirimannya, aku musnahkan satu per satu. Itulah aku ketika sempurna sekali membenci. Tidak ada celah. Ia sudah menyadari perubahanku dan kali ini telak menyakitinya. Ia memohon agar aku seperti dulu, tapi terlambat sudah. Ia memohon dengan segala cinta dan ketulusan, tapi aku sudah tak lagi punya belas kasihan.
Selama satu minggu ia kubuat menderita seperti itu. Ia memang terlihat murung dan bersedih, tapi aku masa bodoh. Tidak ada rasa belas kasihan sedikit pun. Ia jadi sering mengunggah kiriman berbau galau di sosial media. Aku justru tertawa menyaksikannya. Aku sudah benar-benar berubah, seperti inginnya dahulu. Berubah menjadi monster jahat yang tak berhati. Dan aku tidak peduli. Masa bodoh. Dia berhak menelan segala dosis benci dariku. Segala cinta dan rasa yang dulu pernah ada, tidak kubuang, melainkan pergi dengan sendirinya.
Maka pada suatu hari, ia memaksa bicara padaku. Untuk terakhir kalinya, aku layani maunya dengan malas sekali.
"Aku hanya ingin bertanya satu hal," ucapnya penuh gaya.
"Hmm,"
"Tolong jawab dengan jujur!"
"Hmm,"
"Dan jangan ada yang kau tutupi!"
"Hmm,"
"Apakah perasaan itu masih ada di hatimu?"
"Tidak."
"Baiklah, terima kasih!" Ia tersenyum pahit. Aku tersenyum puas. Lalu ia pergi membawa kesedihan. Sementara aku tertawa penuh kemenangan.
Itulah terakhir kali bertemu dengannya. Sampai saat ini entah dia masih bekerja di perusahaan ini atau tidak, aku tidak tahu. Tidak pernah tahu-menahu lagi tentang dirinya.
Itu adalah pelajaran paling berharga dalam hidupku. Pengalaman hidup yang merubah hidupku menjadi seperti ini. Sejak saat itu, aku benci sekali untuk menjalin hubungan. Tidak ada wanita manapun yang membuat aku tertarik lagi. Mau bagaimanapun perlakuannya padaku, siapapun dia, tidak akan membuat aku luluh. Memang pasti terasa menyenangkan dan membuai, tapi itu hanya di awal, setelah selanjutnya ada perangkap yang sudah menanti. Aku belajar dengan baik. Aku bukannya tidak menghormati wanita. Jauh di dalam hatiku aku yakin, masih ada wanita hebat yang benar-benar penyayang, setia, dan sempurna seperti Fitri, istri Jan; atau mendiang ibu angkatku, istri Pak Roy. Pasti ada. Namun, aku tak pernah bisa mendapatkan itu pada wanita lain manapun yang aku temui sepanjang karirku. Rasa benci, trauma, dan penyesalan akan masa lalu membuat aku jera dan enggan untuk mengulang menjalin hubungan. Aku tidak ingin hal seperti dahulu terulang lagi.
Jadilah aku membujang selama dua tahun, sampai hari ini. Tidak dekat dengan wanita manapun. Sekalipun ada wanita yang mendekatiku, aku menjauhinya. Aku lebih memilih fokus pada pekerjaanku. Sampai kapan aku tak tahu.
Dan pagi ini, aku disuruh untuk memilih memimpin perusahaan atau menikah. Sudah gila apa? Keduanya mustahil.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
IG : @7theaven.erwin
wew..ternyata gak hanya aku aja ya yang persis mengalami hub spt ren dan ex nya ya..
baca 1 demi 1 kalimat serasa menohok hati ini betapa pencerminan hub ku diwakilkan oleh author utk dituliskan di chapter ini..thanks ya thor..udah ke 2x nya dapet pengalaman seperti renato..cewe semua sama aja..😤
2020-06-17
2
erlin
memang berat kalau sudah pernah trauma... terlalu menyakitkan....
2020-06-11
1
𖣤᭄☘𝑺ᴇᴎᴤᴇᴎ͠ ⍣ᶜᶦᶠ//@sensen_se
😆😆😆😆
dingin kali kau ren
2020-06-03
1