Saat itu aku masih duduk di bangku kelas empat sekolah dasar. Masih kecil, masih merupakan bocah polos yang tak tahu cara berkelahi. Aku berjalan kaki pulang dari sekolahku. Menyusuri trotoar jalanan kota yang belum seramai saat ini. Kota ini belum semegah saat ini. Saat itu belum banyak gedung pencakar langit, masih hitungan jari. Kota ini juga masih merupakan ibukota negara, yang kelak dipindahkan ke pulau seberang sepuluh tahun kemudian. Aku menyusuri jalan seorang diri. Membawa pulang rasa kesal, wajah yang lebam dan lengan yang terluka. Hari ini cukup buruk untukku di sekolah. Gerombolan anak nakal menjahiliku. Aku yang tidak terima nekat melawan mereka. Namun, akhirnya akulah yang jadi bulan-bulanan mereka. Jan tidak masuk sekolah hari ini, maka tak ada yang menolongku. Aku tidak menangis. Aku tak pernah menangis karena sakit, karena sedih, atau karena takut. Dalam pola pikirku, menangis adalah hal memalukan yang hanya dilakukan oleh lelaki cemen. Maka dari itu, sesedih apapun aku, sesakit apapun badanku, aku selalu menahan diri agar tidak menangis. Dan ya, aku tak pernah menangis lagi selain saat aku masih bayi. Aku menguapkan rasa sedih dengan mengurung diri. Merasakan sakit badan dengan beristirahat. Dan meluapkan rasa kesal dengan memukuli segala hal yang bisa aku pukul. Menendang segala hal yang bisa aku tendang. Menghajar apapun sampai rasa kesalku hilang. Yang kelak menjadi alasan mengapa aku cinta bertarung. Mempelajari bela diri dan membayar lunas segala perlakuan bocah-bocah nakal itu terhadapku. Dengan mempelajari bela diri, aku dapat meluapkan rasa kesal dan kemarahanku dengan cara yang indah.
Akan tetapi, saat itu, aku belum belajar bela diri. Belum tahu apa-apa. Itulah mengapa, sebagai bentuk dari rasa kesalku dengan apa yang aku alami di sekolah hari itu, saat aku sampai di depan rumah sederhanaku, alih-alih mengucap salam, aku menerjang pintu kayu itu hingga berdebam. Aku masuk dengan membisu. Melepas sepatu dan melemparnya sembarangan ke belakang pintu. Segera masuk kamar, melempar tas, melepas seragam sekolah dasarku kemudian mendaratkan badan di atas kasur. Menatap langit-langit kamar, berdiam diri merasakan sakit-sakit di sekujur tubuhku ini selama beberapa menit. Kemudian aku bangun dan melangkah keluar. Rumahku sepi sekali. Ayah sibuk dengan pekerjaannya di kantor, menjelang senja baru ia akan pulang. Sementara aku biasanya ditemani Bi Yuri, seseorang asisten rumah tangga. Namun, siang ini aku tak dapat menemukan dirinya di sudut mana pun rumah itu. Aku sudah mencari-cari sambil memanggil-manggil, tapi tetap tak kelihatan juga. Aku kebingungan. Tubuh ringkih penuh luka ini mulai merasa lapar, sementara aku tak tahu sama sekali bagaimana cara memasak. Jangankan untuk tahu memasak, meja kompor saja lebih tinggi daripada aku. Tubuhku pendek dan mungil sekali. Namun, di dalam tubuh semungil ini aku menyimpan banyak sekali kesedihan dan rasa sakit. Banyak bekas luka di tubuhku. Lebih banyak lagi luka di hatiku. Dan hari itu, luka itu bertambah lagi. Saat aku terus kebingungan mencari Bi Yuri, bel rumah di pintu depan berdentang keras. Suara berat dan serak seorang laki-laki terdengar memanggil-manggil namaku dari luar. Masalahnya, itu bukan suara ayahku. Aku tak mengenali suara siapa itu, tapi laki-laki itu tahu namaku. Siapa dia?
Aku berlari dari dapur. Buru-buru menuju pintu depan. Pintu itu tak ditutup sejak aku masuk tadi. Terlihat seorang laki-laki paruh baya yang wajahnya mirip dengan ayah. Wajahnya suram dan redup, tidak ada ekspresi menyenangkan sama sekali. Aku hampir tak mengenalinya sebelum akhirnya aku ingat, ia adalah Om Sunaryo, adik dari ayah. Begitu aku sampai, tiba-tiba ia langsung memelukku erat. Aku terkejut dan tak mengerti. Aku kebingungan. Wajah Om Sunaryo begitu memancarkan kesedihan. Aku menatapnya penuh penasaran. Ada apa ini?
"Ren, kuatkan hatimu, nak! Aku tahu ini sangat menyakitkan untukmu. Kuatkan hatimu!" ucapnya. Aku semakin penasaran. Apa maksudnya? Memangnya aku kenapa?
"Kuatkan hatimu, nak! Ayah ...."
Ayah?
"Ayah ... ayah meninggal, nak!"
Astaga! Aku tak percaya ini. Aku melompat lepas dari pelukan. Menjerit histeris sekencang-kencangnya. Menjadi lepas kendali dan mengamuk tak tentu arah. Memanggil-manggil ayah. Luka di tubuhku boleh kutahan, tapi tidak untuk hal ini. Aku tak dapat menahan lagi, air mataku pun tumpah. Akhirnya aku meraung-raung. Menangis sejadi-jadinya. Lupa sudah akan prinsipku sendiri.
Ayah, aku masih kecil ayah. Usiaku masih sepuluh tahun. Masih belum mengerti soal dunia. Ayah pergi tanpa mengajari aku tentang dunia ini. Ini tidak adil. Ayah, pergi terlalu buru-buru. Sudah cukup aku tak mengenal ibu. Tumbuh kanak-kanak tanpa ibu. Ibu pergi tepat saat aku datang. Ibu meninggal saat berjuang melahirkanku. Aku tak pernah melihat wajah ibu, mendengar suaranya, dan merasakan kasih sayangnya. Sekarang, usiaku masih sepuluh tahun, ayah ikut-ikutan meninggalkan aku. Apa-apaan ini, Tuhan?
Saat itu aku benar-benar bersedih. Satu dari beberapa kesedihan paling menyakitkan dalam hidupku. Kalau bisa aku memilih, aku memilih dihajar bocah nakal sekolah berjam-jam tanpa melawan sampai babak belur daripada kehilangan ayah. Ini tak dapat kuterima sedikitpun. Benar-benar menghancurkan hatiku sampai remuk. Selama berhari-hari aku mengurung diri di dalam kamar. Tidak mau makan, tidak mau mandi, tidak mau pergi sekolah, tidak mau melakukan apapun. Aku mengurung diri dalam kamar lama sekali. Kesedihanku membuat aku hilang kendali. Aku marah pada semua orang. Mencari objek untuk disalahkan. Bahkan aku sampai memaki-maki Jantoro, sahabatku, yang datang untuk menghiburku. Berkali-kali aku dibujuk untuk keluar kamar, tapi aku tetap enggan. Hatiku hancur. Terus mengurung diri tanpa ada tujuan dan harapan. Sampai akhirnya aku terbaring pingsan dengan tubuh tanpa tenaga karena sudah berhari-hari tidak makan. Sudah tubuhku ini mungil dan lemah, tambah pula tidak makan berhari-hari, entah apa jadinya. Aku tak sadarkan diri. Di bawa ke rumah sakit dan di rawat selama beberapa hari. Setiap tidur aku terus mengigau memanggil-manggil ayah. Butuh waktu berminggu-minggu untuk mengiklashkan hal ini. Untuk akhirnya terbiasa hidup tanpa ayah. Untuk akhirnya menerima ketetapan tuhan. Meski mengingatnya, tetap saja menghancurkan hatiku berulang-ulang kali.
***
Tiba-tiba mataku terbuka. Ruangan itu sepi sekali. Hanya desis pendingin ruangan yang berbunyi. Aku terbangun dari tidur karena terkejut oleh bunyi getar ponsel. Aku mendengus kesal. Aku bermimpi itu lagi. Teringat kisah menyedihkan saat aku masih kecil. Saat aku masih berusia sepuluh tahun. Cerita menyedihkan saat ayahku pergi selama-lamanya. Aku tertunduk, menghela napas kesal.
Saat itu aku duduk di meja kerjaku, di ruang kerja pribadiku, kantor pusat Korp. Masadepan. Aku sudah pulang dari rumah Jan sejak beberapa jam yang lalu. Aku pulang dari sana membawa pelajaran berharga. Jan telah membuat aku berpikir banyak. Sekarang aku tertidur kelelahan di meja kerjaku setelah memaksa diri untuk mengerjakan dokumen ini sampai larut malam. Dengan kepala yang banyak pikiran itu, akhirnya aku terlelap dan terlempar ke dalam cerita menyedihkan itu lagi dalam mimpi.
Kini aku sudah terbangun, aku menyandarkan kepalaku yang sedikit terasa berdenyut. Masih terbayang-bayang akan kejadian itu, tiba-tiba air mata mengalir tak dapat kutahan. Aku benci sekali menangis, tapi aku tak kuasa menahannya. Kematian ayahku, adalah satu dari tiga hal yang telah membuat aku tak kuasa menahan tangis dan air mata. Untung saja aku seorang diri dalam ruangan itu. Tak ada yang memperhatikan aku. Aku menangis tanpa suara.
Kemudian aku melirik jam, sudah lewat tengah malam. Aku berpikir, apakah aku pulang ke rumah atau tidak. Atau aku tidur di ruang kerjaku ini saja sampai pagi? Aku bingung. Sementara layar komputerku terus menyala. Dalam bingung itu, tiba-tiba terdengar pintu ruanganku di ketuk.
"Siapa?" tanyaku dengan malas.
"Hadni." Terdengar suara seorang wanita.
Hadni? Mau apa dia ke sini malam-malam buta, ini sudah dini hari bahkan. Kenapa dia belum pulang. Hadni adalah sekretarisku. Ia bertugas sejak berbulan-bulan yang lalu. Padahal aku sudah memohon pada Pak Roy, direktur perusahaan, untuk mengganti sekretarisku agar dijabat oleh laki-laki saja. Akan tetapi, beliau bersikeras agar Hadni yang menjadi sekretarisku. Padahal aku sangat enggan bekerja bersama seorang wanita. Tidak nyaman. Alhasil, aku sering sekali mengerjakan dokumen dan lain-lain seorang diri tanpa bantuannya. Tim Khusus Anti-Konflik yang aku pimpin, terdiri atas staf laki-laki seluruhnya. Hanya Hadni ini, yang merupakan anggota wanita dan sekretaris pula.
"Masuk!" ucapku akhirnya.
Seorang gadis yang tingginya kurang lebih dariku muncul dari balik pintu. Ia segera menghampiriku. Gadis ini cukup cantik. Hanya itu yang aku tahu. Aku tak dapat berkata lebih jauh karena aku jarang bahkan tak pernah memperhatikannya. Padahal, jika aku tidak salah, ia selalu memperhatikan aku. Entah hanya perasaanku saja, tapi gadis ini selalu perhatian padaku lebih dari sekedar seorang sekretaris. Dan aku risih sekali dengan itu. Ini juga salah satu alasan mengapa aku malas berada di kantor.
Gadis ini langsung menghampiri mejaku.
"Kenapa kamu belum pulang?" tanyaku.
"Karena bapak belum pulang, Pak!" jawabnya.
"Jangan panggil aku, bapak!" tegasku. Hadni seumuran denganku. Tidak lebih tua dan tidak lebih muda. Lagipula aku merasa risih dipanggil bapak, jadi aku terapkan kepada seluruh stafku untuk memanggilku cukup dengan sapaan Ren. Karena mereka tidak ada yang usianya benar-benar jauh di bawahku. Meskipun Pak Roy bilang ini sebagai formalitas, aku tetap tidak nyaman dipanggil bapak. Padahal pada usiaku sekarang sudah seharusnya aku jadi bapak-bapak.
"Ba–baik, Pak, eh, Ren!" jawabnya gugup.
"Kenapa kau menungguku pulang?" tanyaku lagi.
"Aku lihat kamu kelelahan, Ren!" jawab Hadni. "Kamu memaksakan diri mengerjakan laporan itu, padahal kamu bisa menyuruhku melakukannya. Tadi kamu ketiduran, aku tak sampai hati membangunkanmu. Aku menunggu di luar. Ternyata kamu terbangun, jadi aku sarankan kamu pulang saja untuk istirahat. Biar aku lanjutkan laporan itu!"
"Tidak usah, aku bisa menyelesaikan ini sendiri. Kau yang pulanglah ke rumah untuk istirahat, ini sudah dini hari." Aku acuh menjawab sambil menatap layar komputer. Ternyata masih banyak yang belum aku selesaikan. Aku jadi ragu sendiri bisa menyelesaikannya malam ini dengan mata seberat ini.
"Ayolah, Ren," ucap Hadni. Ia bergeser dan duduk ke bangku di pinggir dinding, melirikku dengan serius. "Kamu itu kelelahan, setiap hari kamu tak pernah diam di kantor. Pergi ke sana-sini, biarlah aku yang mengerjakan itu dan kamu pulanglah!"
Astaga, gadis ini benar-benar menyebalkan. Namun, aku malas berlama-lama berdebat dengannya di tengah malam buta ini. Aku memilih menyerah. Aku menghela napas panjang dengan hawa sebal.
"Baiklah!" Aku beranjak dari kedudukanku. Menatap wajahnya dengan ekspresi seperti bertanya, apakah kau sudah puas? Maka gadis itu juga beranjak dari kedudukannya dengan wajah gembira. Terus terang saja aku tak mengerti gadis ini sama sekali. Meski sejujurnya aku memang tak mengerti tentang gadis manapun. Ia duduk di kursiku tadi. Sementara aku membereskan barang-barangku di meja.
"Baiklah, kau kerjakan semuanya. Besok pagi harus sudah selesai, semua!" tegasku dengan penekanan di akhir kalimat. Berharap dia akan merasa kesal dan menyesal telah menawarkan diri untuk mengerjakan tugas itu.
Sebaliknya, gadis itu justru tersenyum ringkas. Berkata, "Dengan senang hati, Ren!"
Aku tercengang sesaat, tapi, ah sudahlah. Aku tak perlu memikirkannya. Aku meraih ponsel dan kemudian melenggang keluar dari ruangan itu.
"Oh, iya, Ren!" ucap Hadni tiba-tiba.
Aku berhenti melangkah tepat di ambang pintu, tapi tidak menoleh ke belakang.
"Itu di luar, di kursi samping, ada makanan untukmu. Aku membawakannya untukmu tadi, tapi kamu tiba larut sekali dan langsung bekerja."
"Aku sudah makan, Hadni!" jawabku ketus. Aku melangkah keluar dengan acuh.
"Setidaknya bawalah pulang untuk sarapan pagimu nanti!" ucap Hadni setengah berteriak.
Aku tak menjawab. Makanan itu terletak di kursi. Aku hanya melewatinya. Aku tidak tertarik. Apa aku menyakiti Hadni dengan seperti ini? Entahlah. Peduli apa aku. Maka malam itu aku pulang.
Tunggu sebentar, tadi aku terbangun karena ponsel yang berdering. Siapa yang menelepon. Saat itu aku sudah berada di parkiran, siap menunggang sepeda motor. Aku merogoh kantong mengeluarkan ponselku. Terlihat kolom panggilan tidak terjawab. Nama yang tertera adalah, Om Sunaryo.
Om Sunaryo? Ada apa dia meneleponku dini hari begini. Padahal dia sangat jarang meneleponku. Aku juga jarang mengunjunginya. Sekalinya menelepon, dini hari begini. Ada urusan pentingkah? Aku tak dapat menebak. Kepalaku mengantuk sekali. Maka aku putuskun untuk tetap pulang dan menanyakan hal itu esok hari saja.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
Eka Sari
Lanjut..
2020-11-19
2
erlin
next kak
2020-06-11
1