Junior tertegun di tempat ia berdiri. Membeku di tempat. Matanya melotot. Mulutnya agak menganga. Beberapa kali matanya mengerjap tak percaya. Beberapa kali bergantian menoleh ke arah Jan, lalu ke arahku, lalu Jan lagi, lalu aku lagi seperti orang panik.
Aku dan Jan kompak tersenyum simpul, melangkah santai mendatanginya. Mengepung dari dua arah. Dengan senyum licik penuh maksud. Junior sendiri balas menatap tajam, wajahnya merah padam. Ia menggeram dengan wajah tebal. Langkah demi langkah pemimpin Gedung Lantai Hijau ini mau tak mau maju memapasi aku. Ia bergerak waspada seperti petarung yang siap berlaga. Matanya tajam mengawasi setiap gerakanku. Lengan-lengan berotot dan kepalan tangan sudah disiapkan. Di belakangnya, aku melihat Jan memberi sebuah isyarat tangan padaku. Isyarat itu adalah aba-aba untukku agar aku yang mengurus Junior sendiri, karena sahabatku itu hendak menghampiri meja kerja Junior. Untuk memeriksa komputer dan perangkat elektronik di sana. Mencari informasi apapun yang bisa berguna. Aku mengangguk pada Jan, lalu kembali menatap Junior di depan mata.
"Luar biasa pertunjukan kalian!" ucap Junior. "Aku akui aku benar-benar sulit untuk percaya, kalian berhasil menaklukkan enam petarung paling berbahaya yang punya rekor panjang selama bertahun-tahun!"
"Sudah cukup jual bicara, orang tua!" tukasku.
Junior terus maju mendekat. Aku mundur langkah demi langkah, untuk menjauhkan orang ini dari meja kerjanya.
"Aku tidak sedang jual bicara, anak muda!" balas Junior. Ia terlihat tersenyum licik. Kali ini ia tersenyum tenang dan tidak sepanik tadi. Mencoba menguasai suasana. Mencoba tetap pada gayanya dan tidak mau kehilangan muka.
"Apa masih ada anak buahmu yang tersisa? Atau kau sendiri yang akan turun tangan kali ini?" tanyaku dengan sengaja memancing emosinya. Sementara itu kami terus melangkah, eksklusif dan intens bagaikan dua petarung di atas ring. Aku mulai menggeser arah, memutar posisi kami selangkah demi selangkah. Kami masih saling berhadap-hadapan, tapi sudah berbeda arah. Junior membelakangi meja kerjanya saat ini.
"Tidak, kali ini aku yang turun tangan sendiri, Renato!" Junior menjawab dengan dingin. Kemudian ia mengangkat kedua tinjunya seakan-akan aku tidak percaya pada kata-katanya dan ia memberikan bukti.
"Oh, ya?" jawabku santai. "Kemarin sahabatku Jan datang ke sini, dan nyatanya kau tidak berhasil menangkapnya. Apa kau sudah yakin?"
Junior menggeram dengan rahang mengeras. Aku berhasil membuat amarahnya tersulut. Napasnya memburu. Matanya melotot. Wajahnya semakin merah padam. Jika ini dalam film atau animasi, mungkin akan terlihat kepalanya yang membara dan berkobar.
"Banyak bicara kau!" bentaknya garang lantas melayangkan serangan pertamanya. Tinju kanan ganas mengincar wajahku. Aku bergerak lincah ke samping, menghindar dengan sempurna. Menurut perhitunganku, gerakannya barusan tak lebih cepat dari Enam Mata Dadu tadi. Tinju kedua Junior menyusul memburu dadaku. Aku menangkis hingga keduanya tangannya terpentang, lalu aku menapakkan telapak tangan kanan ke dadanya. Sambil sedikit mengaduh, lawanku ini termundur satu langkah.
"Kau bilang apa tadi? Aku banyak bicara? Heh, bukankah kau yang banyak bicara dari tadi!" balasku penuh gaya sambil tersenyum mengejek padanya. Wajah lawanku sudah benar-benar terbakar emosi kali ini. Ia mendengus.
"Diam!" bentaknya lagi.
"Tadi aku minta kau bicara baik-baik," lanjutku. "Agar memudahkan urusan kita, tapi kau memilih bertele-tele. Banyak bicara, mempersulit segalanya. Sekarang, bagaimana rasanya?"
"Hyaaaaa ..." Junior membentak keras sambil mengirimkan pukulan cepat dari berbagai penjuru. Sumbu kesabarannya sudah terbakar habis, maka meledaklah amarahnya. Tak dapat ditahan lagi olehnya. Ia menggeram dan mengamuk tak terkendali bagaikan hewan buas yang marah karena sedang asyik memangsa buruan tiba-tiba makanannya itu malah direbut hewan lain. Bukan main emosinya membara. Kali ini kecepatan dan kekuatannya meningkat. Gerakannya menggebubu mengincar banyak bagian penting tubuhku. Pukulan demi pukulan tak ada jeda ia lancarkan. Tubuhku diselimuti serangan ganas selama beberapa saat. Namun, aku selalu berhasil berkelit dan lolos dari semua serangan kilat itu. Aku hanya terus mundur selangkah demi selangkah. Terus mengelak atau menangkis serangan lawan. Meskipun aku bisa menyerang balas, tapi aku belum melakukannya. Aku masih mau bermain-main dengan orang ini.
Hingga aku terdesak di muka pintu di mana aku datang tadi. Yaitu tangga yang merupakan jalan turun ke koridor bawah. Pintu itu terbuka lebar. Sementara aku benar-benar berdiri tepat ambangnya membelakangi deretan anak tangga. Sambil masih sibuk meladeni amukan Junior yang belum berhenti. Sedikit saja aku salah menginjakkan kaki, bisa-bisa aku jatuh dan terguling-guling di badan tangga. Jadi aku
harus benar-benar fokus kali ini. Maka pada salah satu pukulan Junior yang mengincar dadaku, aku menangkapnya. Memilin kepalan itu hingga terpulas sampai ke lengan-lengan. Junior terpekik. Aku menariknya ke arah tangga sementara aku sendiri bergeser ke samping. Ia sedikit terkejut melihat tangga di sampingnya. Dalam lengahnya itu, aku mencekalkan kaki hingga ia terhuyung hampir jatuh ke arah tangga. Namun, ia masih sanggup mengembalikan keseimbangan. Ia melancarkan pukulan lagi, tetapi aku lebih dahulu mengirim serangan yang lebih cepat dan lebih gesit. Pukulanku tiga kali berturut-turut menghujam dada dan bahunya. Ia termundur dan mengeluh sakit.
Aku maju menyergapnya dengan gesit. Tubuhnya kuputar hingga posisinya membelakangi aku. Lantas cepat-cepat kupiting lehernya. Maka aku mengunci anggota tubuhnya hingga ia tak mampu bergerak lagi. Lehernya kujepit dengan lengan.
"Sekarang katakan padaku, di mana Prof. Ram?"
Junior mendengus dan menggeram.
"Di mana Prof. Ram?" ulangku dengan penegasan sambil mempererat cengkeramanku pada lehernya. Ia tercekat. Tercekik dan menjerit kesakitan.
"Di mana Prof. Ram?" tanyaku sekali lagi. Cengkeramanku semakin kencang. Junior semakin menjerit dengan jeritan yang tertahan.
"Nu ... Nusa ... Tengga ... Ra!" Junior menjawab putus-putus di antara suara yang tercekat.
"Di mana?"
"Nu ... Nusa Tenggara!"
Aku tercengang sesesat. Nusa Tenggara? Jauh sekali. Lalu aku melepaskan pitingan itu. Junior menghela napas lega setelah aku lepaskan, tapi tidak lama.
"Aaaaaaakh!" Ia seketika terpekik keras, begitu tendanganku menghantam bahunya dari arah dalam ruangan. Sehingga tak ampun lagi tubuhnya terlempar melewati pintu. Jatuh terempas dan berguling-guling menuruni anak tangga. Brakk, Junior tergeletak di koridor bawah tak sadarkan diri. Bamm, aku pun membanting pintu.
Aku alih menatap Jan yang masih sibuk mengutak-atik komputer kerja di meja Junior. Kemudian aku mendatanginya.
Ia berhenti saat aku datang, menatapku dengan wajah tampak berbinar. Sementara wajahku masih terlipat karena geram pada Junior tadi.
"Nusa Tenggara," ucap Jan begitu aku sampai di depan meja.
"Ya, Junior bilang begitu tadi, entah apa maksudnya!" jawabku. Aku segera mengambil posisi di samping Jan. Ikut memperhatikan layar komputer yang menyala terang dan menampilkan banyak data.
"Dari sini aku dapat banyak data dan informasi penting," ucap Jan.
"Baguslah," sahutku. "Kalau begitu salin!"
"Tentu saja, sobat!" jawab sahabatku itu. Ia merogoh kantong dan mengeluarkan ponselnya. Meletakkan perangkat canggih itu di tepi panel kendali milik komputer Junior. Maka ia segera mentransferkan file berisi banyak data penting yang kami perlukan. Tak butuh waktu lama, cukup beberapa detik saja file yang berukuran lumayan besar itu tersalin ke memori penyimpanan ponsel Jan. Tanpa perlu kabel penyambung, cukup dengan akses jaringan internet.
Kemudian Jan menyimpan kembali ponselnya.
"Jadi, apa saja yang kau dapat?" tanyaku.
"Prof. Ram dibawa ke Nusa Tenggara Timur!" jawabnya dengan nada agak lesu.
Aku melotot dengan kening berkerut. Kemudian menghela napas panjang.
"Jadi Prof. Ram benar-benar dibawa ke sana?"
Jan mengangguk.
"Tapi ...."
"Dengarkan aku dulu," potong Jan. "Aku 'kan pernah bilang, Junior Fadz-Riel, pemimpin Gedung Lantai Hijau ini memiliki afiliasi dengan Tengkorak Hitam. Tengkorak Hitam itu sendiri adalah organisasi kriminal besar yang memiliki jaringan luas tingkat internasional. Mereka punya banyak cabang seluruh negara di Asia Tenggara, dan memiliki ratusan ribu anggota yang tersebar di mana-mana. Tengkorak Hitam inilah yang menyuplai pasukan tempur berani mati yang selama ini melindungi Gedung Lantai Hijau. Dan satu lagi yang kau perlu tahu adalah, Gedung Lantai Hijau sebenarnya ilegal. Mereka berhasil melakukan cara licik dengan menyogok petugas, agar bisnis mereka mempunyai izin resmi."
Aku mendengus.
"Yang aku belum tahu," lanjut Jan. "Adalah alasan utama mengapa mereka menyerang laboratorium kalian dan menculik Prof. Ram."
"Sekarang di mana lokasi pasti mereka?"
"Sebenarnya mereka saat ini masih di pesawat dalam penerbangan menuju Nusa Tenggara Timur. Mereka akan menyekap Prof. Ram di sana, di salah satu markas besar mereka di negeri kita."
"Apa-apaan ini? Sebenarnya apa tujuannya?"
"Aku belum tahu, Ren, tapi ...."
"Tapi apa?" desakku.
"Aku yakin, ada orang lain atau organisasi lain di belakang mereka, dan orang itulah otak utamanya. Dan pasti ia yang sebenarnya punya masalah atau dendam terhadap kalian," ucap Jan.
"Kau benar," jawabku. "Tapi kita tak punya petunjuk apa-apa. Aku sangat tak menyangka mereka membawa lari Prof. Ram sejauh itu, aku mengira Prof. Ram ada di sini."
"Begitulah, sekarang kita harus buru-buru mengejar mereka, sebelum terjadi apa-apa pada Prof. Ram!"
"Tentu saja." Aku menangguk penuh emosi. "Tapi tidak ada jadwal penerbangan komersil saat ini, Jan! Sekarang sudah larut malam sekali."
"Tenang saja, sobat!" ucap Jan. "Urusan itu serahkan padaku. Aku jamin, besok pagi kita sudah menginjakkan kaki di Nusa Tenggara."
"Sekarang bagaimana?" tanyaku.
"Tunggu sebentar, aku perlu menelepon ke markas kepolisian!" jawab Jan. Ia beranjak dari tempatnya dan menuju pinggir dinding. Sementara aku juga beranjak dari tempat aku berdiri. Aku menghampiri satu per satu dari Enam Mata Dadu yang telah tergeletak tak sadarkan diri. Aku berlutut memeriksa penampilan mereka, dan meneliti wajah mereka. Setelah aku lihat-lihat keenam-enamnya, aku tatap lamat-lamat dan kudalami potongan wajah dan tampangnya, aku semakin merasa bahwa aku pernah bertemu mereka. Aku berusaha keras mengingat, tapi tetap saja tidak berhasil. Padahal aku cukup yakin, aku pernah bertemu dengan keenam orang ini. Tapi entah kapan dan entah di mana? Wajah mereka tidak asing.
"Hey, Ren, apa yang kau lakukan?" tanya Jan. Ia sudah selesai menelepon dan kini menghampiri aku yang sedang berlutut meneliti wajah Dadu Lima.
"Jan, tidakkah kau merasa kita pernah bertemu orang-orang ini?" jawabku sembari bangkit berdiri menatap Jan.
"Hmm," gumam Jan. "Aku sendiri pernah bertemu dengan mereka, beberapa kali, tapi bersamamu rasanya baru kali ini."
"Bukan, bukan itu maksudku. Begini, entah mengapa aku merasa pernah bertemu mereka, bertatapan dengan wajah dan ekspresi mereka yang persis seperti tadi, tapi bukan sebagai Enam Mata Dadu."
"Apakah maksudmu kita pernah bertemu mereka sebelum mereka menjadi Enam Mata Dadu?"
"Aku rasa seperti itu," jawabku. "Ekspresi Dadu Tiga tadi membuat aku merasa hal ini. Seperti tidak asing, tapi aku tak bisa mengingat dengan baik apakah aku dulu mengenal mereka? Atau sekedar berjumpa? Atau bagaimana? Siapa sebenarnya mereka ini?"
"Tentang siapa sebenarnya mereka ini, tidak ada yang tahu, Ren. Lagipula identitas asli mereka tidak akan ditemukan di manapun. Semua media dan data yang memuat informasi tentang Enam Mata Dadu, tidak memuat nama asli atau asal-usul mereka. Persis, mereka adalah petarung paling misterius."
"Ya, sudahlah. Mungkin perasaanku saja!" ucapku akhirnya. Meski sebenarnya aku masih penasaran.
"Omong-omong, terima kasih, Ren!" ucap Jan.
"Untuk?"
"Telah membantuku mengakhiri rekor panjang Enam Mata Dadu. Sebentar lagi pasukan kepolisian akan datang dan meringkus mereka!"
"Tentu saja, sobat! Impian masa kecil kita, bukan?"
"Ya, menjalankan misi berdampingan!"
Aku tersenyum bangga.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments