Aku masuk ke sebuah rumah mewah. Dengan desain interior yang cukup elegan. Serasa seperti memasuki sebuah museum kuno di malam buta. Sepi sekali. Sunyi pula. Rumah ini bukan main luasnya. Akan tetapi, rumah seluas ini hanya dihuni oleh dua orang. Rumah bernilai miliaran ini adalah rumah kediaman sahabatku, Jan. Dan memang hanya ia dan istrinya yang tinggal di rumah ini. Ya, Jan sudah menikah. Pengantin baru yang menikah beberapa bulan yang lalu. Ia dan istrinya tinggal berdua di rumah mewah seluas ini tanpa ada seorang pun asisten rumah tangga. Mereka juga belum memiliki buah hati. Dan malam ini aku mampir ke kediaman mereka. Diajak untuk makan malam setelah aksi gila-gilaan sobatku itu yang sengaja membakar mobil mewahnya.
Aku melewati ruang tamu, menuju ruang tengah bersama dengan tuan rumah yang baru saja keluar dari kamar usai berganti baju.
"Jan," panggil istri Jan dari dapur. "Kamu sudah pulang? Ada siapa?"
"Ini, ada Ren. Aku ajak dia makan malam di sini," jawab Jan. Istri Jan muncul dari balik pintu. Menghampiri kami di ruang tengah.
"Eh, ada Renato! Bagaimana kabarmu? Lama tidak berjumpa, ya!" sapa istri Jan dengan ramah.
"Hai, Fitri," sapaku dengan ramah pula. "Kabarku baik."
Fitri adalah istri Jan. Ada kisah unik tentang sahabatku dan istrinya ini. Inilah bukti lain bahwa sahabatku ini benar-benar orang yang visioner. Selain berhasil mewujudkan semua impian masa kecilnya, ia juga benar-benar membuktikan cintanya. Aku, Jan, dan Fitri saling kenal sejak enam belas tahun yang lalu. Karena Fitri ini adalah teman sekelas kami sejak pertama masuk sekolah menengah atas. Sampai lulus sekolah, aku, Jan, dan Fitri selalu satu kelas. Kami bertiga cukup dekat sebelum akhirnya terpisah di perguruan tinggi.
Sejak pertama kenal, sahabatku ini sudah jatuh cinta pada Fitri. Sejak saat itu pula, hari-harinya berubah. Ia selalu mengulang-ulang berkata padaku ia akan melamar gadis pujaannya itu. Ia sangat yakin sekali cinta mereka akan bertahan sampai bertahun-tahun ke depan. Ia bahkan sudah menyusun rencananya, tapi aku selalu meragukannya, menganggap itu hanya gaya-gaya anak remaja labil yang terbawa suasana dimabuk cinta. Lama sekali ia memendam perasaannya yang hanya diketahui dirinya sendiri dan aku. Dia tidak mau buru-buru mengutarakan perasaannya, ia tidak berniat untuk menjalani hubungan pacaran. Ia memilih terus memendam perasaannya, ia selalu meyakinkan aku bahwa ia akan menyampaikan perasaannya saat kelak ia melamar gadisnya itu. Sepanjang perjalanan kami, ia benar-benar terus mempertahankan perasaannya itu. Sampai lulus, dan berpisah. Aku dan Fitri masuk universitas yang sama, sementara Jan masuk akademi kepolisian. Jan adalah orang yang setia. Setelah kami wisuda, akhirnya waktu yang ia tunggu-tunggu pun tiba. Ia menyatakan perasaannya pada Fitri. Ia mencapai tujuannya, perkataannya terbukti, ia akhirnya melamar Fitri. Namun, penantian panjangnya harus tertunda, karena Fitri belum bisa menerima lamaran itu, ia belum siap untuk menikah. Ia berkeinginan untuk melanjutkan kuliahnya ke luar negeri. Jan harus menerima hal itu dengan lapang dada. Ia tidak ditolak, hanya saja ia harus sabar menunggu, menunggu Fitri menyelesaikan pendidikannya. Hampir enam tahun Fitri berada di Inggris. Hampir enam tahun itu pula Jan mempertahankan cintanya. Sampai akhirnya Fitri pulang ke tanah air. Jan pun membuktikan kesetiaannya, ia kembali melamar gadisnya itu, dan begitulah, lamarannya diterima. Berlangsunglah pernikahan mereka. Kepastian tentang perasaan yang telah ditunggunya sejak SMA, sejak hampir dua dekade yang lalu akhirnya terjawab. Bahwa cintanya berbalas dan berlanjut kepada pernikahan. Betapa kisah cinta yang inspiratif.
"Hey!" seru Jan.
"Eh, a-apa?" Aku terperanjat, terbangun dari lamunan karena seruan Jan barusan.
"Apa yang kau pikirkan?"
Aku menggeleng sambil tersenyum simpul.
"Ke mana saja, Ren? Lama tidak kelihatan?" tanya Fitri. Kami pun berangsur menuju ruang makan.
"Biasalah, Fit! Akhir-akhir ini aku banyak sekali jadwal. Ya, kamu 'kan tahu, kami sedang ada proyek besar-besaran," jelasku. Aku dan Jan duduk di kursi, takzim menghadap meja makan. Sementara Fitri menuju kompor melanjutkan masakannya. Sebagai informasi, kompor yang ia gunakan adalah kompor supercanggih yang diproduksi di Korp. Masadepan.
"Oh, proyek mesin waktu itu, ya?" tanya Fitri.
"Iya," jawabku singkat.
"Ren, kalau sudah selesai nanti. Aku boleh pinjam, ya, mesin waktu itu," ucap Fitri.
"Itu urusan gampang," jawabku sambil tersenyum ramah saat Putri memandang ke arah kami. Ia tersenyum geli. Jan yang duduk di depanku justru bingung dan tersenyum aneh.
"Memangnya kamu mau melakukan apa? Pergi ke masa lalu? " tanyanya pada Fitri.
"Iya, aku mau pergi ke masa lalu," jawab Fitri tegas. "Ke masa di mana kita belum saling kenal. Aku mau tahu, sebelum mengenalku, wanita mana saja yang pernah singgah di hatimu!"
Seketika tawaku pecah. Fitri pun turut tertawa. Aku sendiri tertawa terbahak-bahak tanpa dapat ditahan. Memenuhi ruangan itu. Jan memandangku sambil bersungut sebal.
"Kalau perihal itu, Fit!" ucapku kemudian. "Kamu tidak perlu susah payah pergi ke masa lalu untuk mencari tahu. Kamu cukup duduk saja di depan sini, aku bisa ceritakan secara lengkap dan terperinci. Aku dan Jan sudah berteman sejak kami SD, apa yang tidak aku ketahui tentang dia."
"Oh, iya, Ren?" ucap Fitri tertarik. Masakannya telah matang. Ia mengangkat dan meletakkannya di atas meja. "Bisakah kamu ceritakan sekarang!"
"Eh, Ren! Ssst, jangan! Jangan ceritakan!" Jan cepat-cepat bereaksi. Wajahnya terlihat gugup. Sementara aku tergelak puas.
Fitri menyiapkan piring-piring dan nasi untuk kami. Setelah itu dirinya pun duduk turut bergabung dengan wajah semringah.
"Jadi, Ren? Bagaimana ceritanya? Ada berapa?" rentet Fitri dengan iseng sekali.
"Entah mengapa, aku jadi menyesal mengajakmu makan malam di sini, Ren!" tukas Jan. Fitri terkekeh.
Aku hanya tersenyum-senyum geli menatap wajah Jan yang kikuk dan gugup bercampur sebal.
"Sudahlah, ayo kita makan!" ucap Jan kemudian. Ia meraih piring dan menyendok nasi.
"Jadi, sebenarnya dulu itu Jan adalah lelaki yang bisa dikatakan playboy, sering bergonta-ganti wanita," jelasku. Fitri langsung tergelak. Sementara Jan wajahnya memerah. Ia menatap kesal padaku dengan wajah tidak terima.
"Tapi jujur saja, Fit!" lanjutku. "Setelah mengenal kamu, Jan berubah menjadi lelaki setia dan gentlemen. Benar-benar berubah, sejak jatuh cinta padamu. Dia mampu mempertahankan cintanya selama enam belas tahun."
Fitri tersenyum lagi, tapi dengan senyuman yang berbeda. Dan Jan akhirnya tak lagi menatap kesal, kali ini wajahnya memerah tersipu.
"Jadi, kamu beruntung," tutupku. Setelah itu aku meniru sobatku, meraih piring dan menyendok nasi.
"Aku yang beruntung," ucap Jan. Kali ini nadanya serius. "Dia mau menunggu aku!"
"Ya, kalian berdua sama-sama beruntung," ucapku. Tersenyum simpul. Sepasang suami istri di hadapanku saling berpandangan beberapa saat, sebelum akhirnya menyantap makanan masing-masing. Mereka romantis sekali.
"Ren," panggil Jan kemudian. Aku menoleh. Tanpa sedikit pun mengira apa yang akan dikatakannya.
"Kapan kau akan menyusul?" tanyanya.
Seketika wajahku berubah. Wajah Fitri turut berubah melihat perubahan wajahku. Aku tak pernah bisa menjawab pertanyaan itu. Jangankan menikah, dikenalkan dengan seorang gadis saja aku enggan. Malas. Terus menerus merasa belum tepat waktu. Karena trauma dengan kejadian di masa lalu.
"Sampai kapan kau akan terus seperti ini?" tanya Jan pula.
Aku menggeleng. Tersenyum tawar. Tak dapat menjawab. Ini adalah salah satu rahasia kecilku, yaitu aku enggan menjalin hubungan dengan wanita manapun. Tidak tertarik sama sekali. Aku bukan pengidap kelainan. Aku masih memiliki ketertarikan dengan wanita, masih bisa memandang wanita dengan rasa kagum akan kecantikan. Namun, tidak untuk jatuh cinta dan menjalin hubungan. Aku tidak mau lagi.
"Apa yang kau cari selama ini?" lanjut Jan. "Impian masa kecil kita sudah tercapai. Kita sudah kaya, harta berlimpah, pekerjaan menyenangkan, karir cemerlang. Dan aku sudah melengkapi semuanya, dengan Fitri. Bagaimana denganmu?"
Aku masih membisu tak dapat menjawab. Pengalaman masa lalu selalu menghantuiku. Membayang-bayangi sehingga aku tak pernah bisa jatuh cinta. Jera. Itulah yang aku rasakan sekarang. Bagiku, kenangan itu bukan saja kenangan pahit atau kenangan menyakitkan, tapi juga kenangan menjijikkan.
"Ren, kau terus bekerja. Menghasilkan uang setiap hari. Kau terus bekerja, semakin kaya. Kau terus berlari semakin jauh. Semakin jauh, tapi apa yang kau kejar? Apa yang kau cari? Seluruh harta kekayaan yang kau miliki. Jujurlah, apa kau bahagia? Apa kau tenang?"
Aku tertegun. Dia benar. Sahabatku bukan orang yang bijak menasihati orang, tapi kali ini dia benar sekali. Aku kaya raya, harta berlimpah. Tadi sahabatku juga sempat berkata, aku mampu membeli belasan unit mobil mewah keluaran terbaru jika aku mau. Akan tetapi, seluruh kekayaan itu tidak membuat aku benar-benar bahagia. Tidak benar-benar membuat aku merasa damai dalam hidup. Aku menikmati pekerjaanku, tanpa orientasi harta sedikitpun, aku senang menjalani pekerjaan ini. Rutinitas ini. Hal yang kuimpikan sejak lama. Namun, tetap saja ada hal yang membuat aku merasa kurang. Ada satu bagian yang hilang dari diriku. Ada kekosongan yang harus diisi. Aku membohongi diri sendiri bahwa aku bahagia dengan semua ini. Segala kelebihan yang aku miliki, hanya membuka lubang penjelasan bahwa aku tidak benar-benar bahagia. Sahabatku benar, aku terus berlari kencang. Berlari terlalu jauh, tapi tak tahu ke mana arah berlari. Tak tahu entah apa yang aku kejar. Tak tahu pula kapan aku harus berhenti. Semakin hidupku penuh, semakin aku merasa kosong. Tetap saja ada hal yang kurang. Jelas sekali. Ayahku telah tiada. Ibuku telah tiada. Aku tak punya sanak-saudara. Wajar saja aku terus merasa hampa. Aku tak punya
keluarga. Hidup sebatang kara. Semakin jauh berlari entah untuk siapa.
Namun, rasa jera akan masa lalu membuat aku benci akan cinta. Sekarang aku mengerti, seluruh uang yang aku punya bukanlah harta. Seluruh karir cemerlangku juga bukan harta. Melainkan keluarga yang sudah tak kumiliki lagi yang justru aku butuhkan. Masalahnya, aku tak bisa menjamin aku akan berkeluarga dalam waktu dekat.
Jadi, Tuhan, tolong izinkan aku pergi ke masa lalu. Untuk melepas rindu dengan ayah dan ibuku. Untuk mencari makna bahagia yang sebenarnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
Ainun Dewi
terlalu bertele2
2021-04-14
1
erlin
keren kakk lanjuttt
2020-06-11
1
𖣤᭄☘𝑺ᴇᴎᴤᴇᴎ͠ ⍣ᶜᶦᶠ//@sensen_se
sampai disini narasinya masih panjang banget ya kak 😁😁 banyak kosakata jd tidak terkesan di ulang-ulang. nice 👍
2020-06-03
1