Atas Nama Ayah

Terik siang sudah menguasai hari saat aku bersiap-siap. Aku sudah mandi, sudah kembali segar dan bugar. Sudah kembali bertenaga. Sudah kembali bersemangat untuk melanjutkan hidup. Ada pekerjaan yang menungguku. Setelan kerjaku yang baru, rapi membalut tubuh. Maka siang itu, sepeda motor kesayanganku keluar dari garasi. Melaju di jalanan kota. Dengan suasana hati yang tak lagi semuram kemarin, tidak segundah kemarin. Meski masih ada sisa-sisanya, tapi biarlah. Aku sadar, bersedih terus-menerus juga tidak akan bisa mengubah apapun. Jadi lebih baik aku kembali bekerja, mencari kedamaian itu.

Tidak memakan waktu yang lama, sepeda motorku sudah masuk ke area parkir milik gedung kantor Korp. Masadepan. Dari parkiran aku segera masuk ke dalam. Menyapa setiap staf yang aku lewati dengan ramah. Mereka pun lega aku tak lagi seperti kemarin. Aku masuk kerja dengan baik-baik saja hari ini tanpa ada halangan apapun, meski sudah tiga hari aku absen tanpa meminta izin. Bahkan hari ini aku datang ke kantor saat matahari sudah lewat di atas kepala. Karyawan lain mungkin akan menerima sanksi pemotongan gaji atau semacamnya, tapi tidak untukku. Sebagai anak angkat dari direktur perusahaan, aku tidak dikenakan sanksi apa-apa. Memang terdengar tidak adil dan cenderung tidak baik, tapi itulah adanya. Lagipula, sebagai ketua Timsus Anti-Konflik, pekerjaan utamaku bukanlah di kantor. Aku bekerja dengan datang ke kantor perusahaan lain dengan segala macam urusan dan pertemuan. Jadi tidak mengheran jika aku jarang berada di kantor. Ditambah lagi, diriku ini termasuk orang yang dihormati oleh staf lain karena reputasiku, jadi mereka pasti akan memaklumi jika sesuatu terjadi padaku.

Aku tiba di ruang kerja. Hadni menyambutku dengan antusias.

"Hai, Ren!" sapanya. "Ternyata kamu datang juga, padahal seharusnya istirahat saja dulu. Hmm, tak apalah. Aku senang melihatmu kembali segar dan bersemangat."

Aku tidak menjawab, tapi aku melemparkan senyum ramah. Aku sudah melonggarkan sikapku pada Hadni, dan mungkin juga pada wanita lain. Sejak pagi tadi, aku mendapat pencerahan dan akhirnya memutuskan untuk merubah pola pikirku. Aku telah salah selama ini karena selalu tak acuh dan kasar pada Hadni. Aku boleh saja trauma akan masa lalu dan tidak ingin menjalin hubungan, tapi bukan artinya aku harus acuh tak acuh, menjauh, dan tak menghargai wanita. Tidak ada salahnya aku menghargai dan menerima perlakuan Hadni padaku. Yang penting aku bisa menjaga hati dan perasaanku sendiri. Selama tidak ada ikutan khusus antara aku dan Hadni, maka aku akan baik-baik saja. Tidak ada salahnya aku berhubungan baik dengannya sebagai sekretaris dan atasan. Toh dia menjalankan tugasnya dengan baik dan dengan senang hati. Meskipun aku tahu, Hadni menyimpan rasa padaku, tapi biarlah. Aku yakin dia wanita kuat.

"Hadni, laporan kemarin sudah selesai?" tanyaku begitu aku sampai di meja kerja.

"Sudah, Ren! Dari kemarin sudah selesai!"

"Baiklah, terima kasih."

Hadni tersenyum semringah. Aku tak pernah melihat dirinya sebahagia itu. Mungkin hari ini dia benar-benar bahagia karena aku telah merubah sikapku padanya. Tidak lagi menghindar seperti hari yang sudah-sudah.

"Bagaimana proyek Mesin Waktu?" tanyaku.

"Data yang diperbarui tadi pagi dari laboratorium, proyek sudah berjalan 90%." Hadni membacakan data di gawainya.

"Wah, bagus sekali. Sedikit lagi sempurna, ini sudah bulan ke enam pengerjaannya. Pasti akan siap tidak lama lagi."

"Benar, aku juga tidak sabar menunggunya," timpal Hadni.

"Bagus, bagus!" gumamku.

"Hm, Ren, bolehkah aku bertanya?" Hadni berdiri dari kedudukannya dan mendekat ke arah meja.

"Silakan," jawabku.

"Apakah kamu sudah mengetahui, tentang kronologi pembunuhan ayahmu?"

Aku terhenti dari pekerjaanku di komputer dan langsung menatap Hadni.

"Maaf, Ren! Maaf!" Hadni buru-buru berkata begitu takut aku akan marah.

"Tidak apa-apa, Hadni. Aku hanya sedikit terkejut, tapi jujur, aku tidak tahu kronologi kejadiannya. Aku hanya tahu bahwa ayahku dibunuh, aku tidak sempat bertanya kronologi kejadiannya. Kenapa kamu bertanya seperti itu? Apa kamu tahu?"

"Hmm, aku sudah mencari informasi dan data tentang itu. Dan ternyata kejadian itu pernah dimuat di media berita saat itu. Aku sudah mengumpulkan semua informasinya."

"Jadi, bagaimana?" tanyaku penasaran.

"Jadi, sore itu ayahmu pulang dari kantor lebih awal. Beliau mengendarai mobil dari kantor menuju rumah. Namun, di tengah perjalanan, tepatnya di Jalan Pesisir, mobil itu mengalami kecelakaan tunggal. Mobil itu tiba-tiba oleng, tidak terkendali dan akhirnya menabrak pembatas jalan kemudian terbalik. Orang-orang mengira itu kecelakaan biasa yang disebabkan pengemudinya mengantuk atau terjadi kerusakan teknis pada mesin, tapi ketika diperiksa, ayahmu sudah tergeletak dengan kepala bersimbah darah. Meninggal di tempat, padahal kecelakaannya tidak terlalu parah. Kepolisian langsung menyelidiki kejadian ini. Setelah dilakukan otopsi, didapati lah sebutir peluru yang bersarang dalam kepalanya. Di badan mobilnya juga ditemukan dua butir peluru. Jadi, kepolisian menyimpulkan bahwa ayahmu telah menjadi korban penembakan saat berkendara. Penembak melepaskan tiga kali tembakan dan tembakan yang ketiga tepat sasaran. Itulah kenapa mobilnya tiba-tiba hilang kendali dan terbalik. Sayangnya kepolisian menemui jalan buntu untuk mencari tahu siapa pelaku pembunuhan itu."

Aku tertegun kemudian menunduk lesu. Bertopang dagu ke meja. Melamun.

"Maaf, Ren!" ucap Hadni lembut.

"Tidak apa-apa, Hadni. Terima kasih sudah mengumpulkan informasi itu untukku!"

"Iya, Ren. Aku rasa kamu memang perlu mengetahuinya." Gadis itu akhirnya tersenyum melihat wajahku yang tidak lagi murung.

"Oh, iya, Ren. Aku ada saran untukmu!" ucapnya kemudian.

"Saran?"

"Begini, Ren, berhubung Proyek Mesin Waktu sebentar lagi akan selesai. Aku sarankan kamu gunakan mesin waktu itu, untuk pergi ke masa lalu, agar kamu bisa mencari tahu siapa pelaku pembunuhan itu!"

"Benar juga kamu, Hadni!" ucapku seketika antusias. Kenapa aku tak terpikir hal itu. "Baiklah, terima kasih atas sarannya, Hadni!"

"Sama-sama, Ren!"

"Oh ya, terima kasih juga atas semua bantuanmu. Aku merasa sangat terbantu. Sekarang aku mendapatkan kembali semangatku, dan aku janji akan melaksanakan saranmu tadi."

"Iya, Ren. Yang penting kamu tidak sedih lagi," jawab Hadni. Ia tersenyum lagi dengan polosnya. Lagi-lagi aku merasa seperti melihat seseorang yang membuat aku tenang, tapi entah siapa.

"Hadni, kamu ... kamu benar-benar tulus melakukan semua ini untukku?"

Hadni mengangguk sambil tersenyum.

"Apa kamu akan terus seperti ini, maksudku akan terus ... cinta padaku, walau bagaimanapun diriku ini?" tanyaku dengan heran.

"Tentu saja, Ren!" jawabnya tanpa ragu.

"Bagaimanapun keadaan diriku?"

"Bagaimanapun, Ren. Sekalipun kamu jatuh miskin dan tak punya harta benda lagi, aku masih bersedia menemanimu!"

Seketika aku terdiam. Aku tak tahu harus berkata apa lagi. Sementara Hadni, terus kupandang dirinya hanya terus tersenyum-senyum.

"Hm, terima kasih, Hadni!" ucapku akhirnya. "Tapi, maafkan aku, hatiku ini masih terlalu keras dan sangat tertutup. Aku sama sekali tak tahu tentang perasaanku, tidak mengerti dengan hatiku sendiri. Jadi aku tidak bisa berkata pasti!"

"Tidak mengapa, Ren. Aku mengerti perasaan kamu! Tak usah terlalu memikirkan perasaan aku, aku baik-baik saja."

Aku terdiam lagi cukup lama. Melamun dan tenggelam dalam macam-macam pikiran.

"Eh, maaf, Ren! Ini jam kerja, tapi aku membicarakan hal bersifat pribadi!" ucap Hadni tertunduk malu.

Aku tersenyum sambil geleng-geleng kepala. Setelah itu aku kembali ke layar komputerku. Hadni juga kembali ke gawainya. Melanjutkan pekerjaan masing-masing. Namun, aku tidak lama, aku segera beranjak dari meja kerja.

"Hadni, aku akan pergi sekarang, aku mau mengunjungi laboratorium itu, memeriksa perkembangan terbaru. Jadi, tolong akumulasikan data di komputer itu!"

"Oh, siap, bos!" jawab Hadni dengan semangat. Ia beralih ke meja kerjaku. Mengerjakan arahan yang aku sampaikan.

"Baiklah, sampai jumpa!" Aku berlalu meninggalkan ruangan itu.

"Hati-hati!"

***

Sebelum pergi meninggalkan kantor itu, aku singgah di ruang kerja Pak Roy. Kali ini aku datang baik-baik, mengetuk pintu dan meminta izin dengan sopan.

Pak Roy terlihat lega dan senang sekali melihat kedatanganku. Aku duduk di depan mejanya dengan takzim.

"Maafkan aku, Ren!" ucap Pak Roy langsung.

"Sudahlah, Pak. Saya terlalu terbawa perasaan waktu itu, maafkan perbuatan saya yang tidak sopan kemarin."

"Aku tak marah padamu, kau pantas untuk berbuat seperti itu padaku, Nak! Aku mengerti perasaanmu, maafkan aku, ya!"

"Saya sudah maafkan, Pak!"

Pak Roy terdiam setelah itu. Wajahnya nampak tertekan dan terpukul. Sedih sekali. Aku iba melihatnya. Entah mengapa ia kelihatan begitu murung dan gundah, yang teramat sangat, dan tak pernah aku lihat selama belasan tahun tinggal bersamanya.

"Oh ya, Ren! Bagaimana dengan pilihan kemarin?" tanyanya kemudian.

Kali ini aku yang bungkam, tak bisa menjawab.

"Maaf, Pak, saya harus berangkat sekarang!" Aku langsung mengalihkan pembicaraan. Bangkit berdiri meninggalkan ruangan itu, sebelum urusannya menjadi rumit.

Pak Roy hanya tertegun menatap aku melangkah keluar. Mungkin merasa tidak enak hati, dan kali ini tak mau terus memaksa.

Aku meninggalkan ruangan itu. Meninggalkan gedung kantor itu. Melaju menuju sebuah bangunan yang terisolasi di ujung kota. Laboratorium milik Korp. Masadepan yang menjadi tempat pengerjaan proyek penciptaan mesin waktu. Di sana terhadap puluhan pekerja yang diawasi langsung oleh 23 ilmuwan terkemuka dunia. Dan membanggakan sekali untukku, kelompok ilmuwan itu dipimpin oleh ilmuwan yang berasal dari dalam negeri. Merekalah yang bertanggung jawab selama hampir enam bulan ini, menghabiskan dana triliunan rupiah untuk menciptakan perangkat yang akan mencetak sejarah baru dalam dunia teknologi.

Aku mengendarai sepeda motorku dengan santai kali ini. Melintasi jalanan siang yang dipenuhi kendaraan milik pedagang keliling. Itulah kenyataannya, dunia sudah berubah dengan revolusi teknologi yang semakin maju. Namun, tetap saja ada hal-hal tempo dulu yang tak bisa dihilangkan.

"Panggilan masuk dari Sanjaya!" Terlihat nama Sanjaya di layar kaca helmku berkelap-kelip.

"Panggilan masuk dari Sanjaya!"

Sanjaya adalah perwakilan Timsus Anti-Konflik yang kutugaskan mengawasi perkembangan di laboratorium. Kenapa dia tiba-tiba meneleponku?

"Sambungkan!" ucapku.

"Hallo, Sanjaya?"

"Hallo, Pak! Gawat, laboratorium diserang!" seru Sanjaya langsung tanpa tedeng aling-aling. Suaranya terdengar terengah-engah.

"Apa?" Aku terkejut bukan main hingga hampir-hampir kehilangan fokus berkendara. "Siapa yang menyerang kalian?"

"Ada sekelompok orang berpakaian serba putih, bertopeng seperti ninja, membawa senjata api. Mereka mengancam seluruh penghuni laboratorium!"

Sialan, aku tak pernah menyangka akan terjadi hal semacam ini. Selalu ada saja hal mengejutkan dalam hidupku. Kejutan demi kejutan ini semakin membuat kesabaranku habis. Serangan ini jelas sekali berniat menggagalkan proyek kami. Dan aku takkan pernah membiarkan hal ini terjadi. Siapapun yang mengirim serangan ini, pasti punya dendam serius pada Korp. Masadepan. Ini bukan pertama kalinya terjadi serangan pada proyek dan perusahaan kami. Aku tidak heran lagi, dunia bisnis sekarang juga memiliki sisi gelap di mana orang-orangnya menghalalkan segala cara. Sekalipun cara kotor semacam ini. Maka aku berpikir dan berhitung cepat.

"Sanjaya, kau amankan laboratorium utama. Turunkan semua pasukan algojo yang ada di sana! Berusahalah sebisa mungkin menahan serangan itu sampai bantuan datang!"

"Siap, Pak!"

Sambungan langsung terputus.

"Sambungkan panggilan kepada Dani!" Aku memasukkan perintah suara dengan buru-buru.

"Hallo, selamat siang, Pak Ren! Siap menerima arahan!"

"Dengarkan baik-baik, laboratorium diserang oleh pasukan misterius, segera kirimkan pasukan bantuan ke sana! Kirimkan pesan darurat ke setiap regu di pos masing-masing!" Aku menyampaikan arahan dengan singkat dan jelas.

"Siap, Pak! Laksanakan!"

Sambungan langsung kuputus tanpa basa-basi. Yang barusan aku hubungi adalah Dani, ketua Tim Algojo. Dia adalah yang memimpin dan mengkoordinir pasukan itu. Tim Algojo itu sendiri adalah sub-divisi Timsus Anti-Konflik yang bertugas spesialis menangani perkara kekerasan. Mereka adalah pasukan tempur yang paling aku percaya. Jadi, setiap kali ada serangan semacam ini, kami tidak perlu meminta bantuan pasukan polisi. Karena kami punya pasukan khusus sendiri.

"Dhen, nyalakan tanda darurat ke semua lalu lintas internet yang terhubung ke kantor!" perintahku.

"Menyalakan!"

Baiklah, sekarang giliranku. Aku menarik gas dalam-dalam melaju sebisa mungkin. Aku tidak boleh terlambat. Hal-hal yang buruk bisa terjadi. Jika proyek ini sampai gagal, maka habislah riwayatku. Bisa-bisa aku bangkrut kehabisan seluruh harta untuk mengganti kerugian perusahaan Koh Shung sebagai pertaruhan kami.

Namun, sebenarnya bukan itu yang aku cemaskan. Kehilangan seluruh kekayaan bukanlah musibah untukku. Hanya saja, jika proyek ini gagal, aku tidak bisa pergi ke masa lalu untuk mencari tahu siapa pembunuh ayahku. Itu yang aku cemaskan.

Jadi, proyek itu tidak boleh sampai gagal. Sudah hampir sempurna. Aku harus tiba ke sana secepatnya mungkin. Sebelum semuanya terlambat. Para pasukan penyerang itu jelas tak bisa menunggu. Aku tidak gentar dan tidak takut. Ini giliranku untuk beraksi seperti Jan. Pasukan penyerang itu tak tahu akan berhadapan dengan siapa. Bukan lagi dengan adrenalin dan semangat kerja biasa, aku melaju menuju mereka membawa semangat membara atas nama ayahku.

Terpopuler

Comments

Wanda Harahap

Wanda Harahap

Hebat👍🏻 Gambaran Masa Depan

2020-12-04

1

Eka Sari

Eka Sari

next..

2020-11-19

1

lihat semua
Episodes
1 Jan dan Ren
2 Pertaruhan dengan Koh Shung
3 Meledakkan Mobil
4 Ingin Pergi ke Masa Lalu
5 Tentang Ayah
6 Pilihan Paling Berat
7 Benci, Trauma, dan Penyesalan
8 Kebenaran dari Masa Lalu
9 Keinginan yang Mustahil
10 Atas Nama Ayah
11 Pertarungan Terhormat
12 Pertaruhan Paling Emosional
13 Konspirasi di Balik Semua Ini
14 Aksi Menyusup
15 Pertempuran Besar
16 "Di mana Prof. Ram?"
17 Enam Mata Dadu
18 Pertarungan Babak Akhir
19 Tamat Riwayatnya
20 Wajah Tidak Asing
21 Penerbangan ke Nusa Tenggara
22 Dendam yang Belum Selesai
23 Serbuan di Pelabuhan
24 Di Ujung Gang
25 Sisi Lain Kehidupan
26 Telepon Mengejutkan
27 Aksi Penyamaran
28 Kobaran Api di Tengah Laut
29 Ledakan demi Ledakan
30 Kau ...
31 Si Orang Tua
32 Tanpa Nama
33 Tendangan Maut
34 Kau Tidak Tahu
35 Bunuh
36 Bala Bantuan
37 Penerbangan Pulang
38 Kepulangan
39 Cerita Dini Hari
40 Sidang dan Pemulihan
41 Konsep Waktu dan Kehidupan
42 Pergi ke Masa Lalu
43 Wajah Tidak Asing(2)
44 Pengkhianatan
45 Katakan Padaku
46 Mata Dibalas Mata
47 Pergi Sejauh Mungkin
48 Kakek Baik
49 Harta dan Ketenangan Hidup
50 Bersembunyi Lebih Jauh
51 Mencapai Kesendirian
52 Pulanglah
53 Tentang Jan
54 Direktur?
55 Tan dan Liani
56 Kembali ke Tujuan
57 Orang Tua Jan
58 Sekarang Aku Bisa Tenang
59 Dibebaskan
60 Pidato Perpisahan
61 Alasan Sempurna Untuk Jatuh Cinta
62 EPILOG
Episodes

Updated 62 Episodes

1
Jan dan Ren
2
Pertaruhan dengan Koh Shung
3
Meledakkan Mobil
4
Ingin Pergi ke Masa Lalu
5
Tentang Ayah
6
Pilihan Paling Berat
7
Benci, Trauma, dan Penyesalan
8
Kebenaran dari Masa Lalu
9
Keinginan yang Mustahil
10
Atas Nama Ayah
11
Pertarungan Terhormat
12
Pertaruhan Paling Emosional
13
Konspirasi di Balik Semua Ini
14
Aksi Menyusup
15
Pertempuran Besar
16
"Di mana Prof. Ram?"
17
Enam Mata Dadu
18
Pertarungan Babak Akhir
19
Tamat Riwayatnya
20
Wajah Tidak Asing
21
Penerbangan ke Nusa Tenggara
22
Dendam yang Belum Selesai
23
Serbuan di Pelabuhan
24
Di Ujung Gang
25
Sisi Lain Kehidupan
26
Telepon Mengejutkan
27
Aksi Penyamaran
28
Kobaran Api di Tengah Laut
29
Ledakan demi Ledakan
30
Kau ...
31
Si Orang Tua
32
Tanpa Nama
33
Tendangan Maut
34
Kau Tidak Tahu
35
Bunuh
36
Bala Bantuan
37
Penerbangan Pulang
38
Kepulangan
39
Cerita Dini Hari
40
Sidang dan Pemulihan
41
Konsep Waktu dan Kehidupan
42
Pergi ke Masa Lalu
43
Wajah Tidak Asing(2)
44
Pengkhianatan
45
Katakan Padaku
46
Mata Dibalas Mata
47
Pergi Sejauh Mungkin
48
Kakek Baik
49
Harta dan Ketenangan Hidup
50
Bersembunyi Lebih Jauh
51
Mencapai Kesendirian
52
Pulanglah
53
Tentang Jan
54
Direktur?
55
Tan dan Liani
56
Kembali ke Tujuan
57
Orang Tua Jan
58
Sekarang Aku Bisa Tenang
59
Dibebaskan
60
Pidato Perpisahan
61
Alasan Sempurna Untuk Jatuh Cinta
62
EPILOG

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!