"Di mana Prof. Ram?" Junior memiringkan kepalanya dan tertawa bagai orang sinting.
"Jangan tertawa kau, keparat!" bentakku. Aku tak peduli lagi dia orang yang lebih tua dariku, amarahku membuat aku tak terkendali.
"Sabar dulu, Ren! Antara Gedung Lantai Hijau dan Korporasi Masadepan tak pernah ada permusuhan, permasalahan, dan persaingan. Bahkan masalah kecil sudah diselesaikan. Bagaimana bisa kau menuduh kami seperti itu?"
Kali ini Jan maju menyusulku. Ia tersenyum penuh maksud. Sahabatku ini merogoh kantong dan meletakkan ponselnya ke atas meja kerja Junior, menyodorkan layar yang menampilkan tiga foto pasukan penyerang misterius yang menyerang laboratorium kami.
"Bukankah mereka anggota kalian?" ujar Jan secara sarkas dan menyeringai puas.
Junior tertawa lagi dengan gelak. Berkata, "Begitukah cara seorang polisi elit mengambil kesimpulan?"
Wajah Jan terlipat. Ia menarik lagi ponselnya dan berkata, "Jangan kau kira aku salah mengingat!"
"Kau benar, Jan, kau benar, tenang saja!" ucap Junior. "Mereka memang anggota kami, tapi kenapa kau tidak berpikir kalau mereka telah dipecat dari sini karena gagal menangkapmu kemarin, dan mereka kemudian bekerja untuk orang lain atau organisasi lain lalu menyerang laboratorium itu?"
Dorr, aku menarik pelatuk. Peluru melesat dan menusuk, tapi bukan Junior, aku tidak membidiknya. Aku telah menggeser arah laras. Peluru yang aku lesatkan menghantam dinding di belakang sana. Bukan tembakan sembarangan, karena peluru itu menancap tepat pada sebuah tulisan yang terpampang di dinding.
"Selemah dan sebodoh apapun anggota pasukan, mereka tetap ada gunanya kecuali mereka mati!" Jan membaca tulisan itu keras-keras seakan Junior belum mengetahui ada tulisan itu di ruangannya. "Itu 'kan salah satu prinsip kalian?"
"Jangan berkilah lagi! Katakan di mana Prof. Ram?" tegasku. Senapanku kembali membidik kepala Junior. Namun, lagi-lagi orang ini tidak ada gentarnya.
"Baik, baik," ucap Junior pula. "Kalian tidak sebodoh yang aku kira. Tiga orang itu memang anggota kami. Dan memang kami yang menyerang kalian!" Ia menuding wajahku saat mengatakan kata terakhir.
Aku menyeringai mengejek. Lalu berkata, "Heh, mengutip kata-katamu tadi, bukankah antara Gedung Lantai Hijau dan Korp. Masadepan tidak ada permusuhan, permasalahan, dan persaingan. Kenapa kalian tiba-tiba menyerang laboratorium kami? Ingin menggagalkan proyek kami?"
Junior tertawa lagi. Sampai tawanya reda baru ia menjawab, "Kalian bisa tahu itu nanti, tapi sekarang aku ingin menonton sedikit pertunjukan."
Keningku berkerut, wajahku masih terlipat, kesal dan jengkel. Sementara Jan tampak lebih santai, ia sudah berpengalaman berhadapan dengan orang ini.
"Jadi, biarkan aku melihat pertunjukan yang seharusnya seru ini!" Junior sedikit memutar arah kursi kerjanya.
Aku masih tak mengerti apa yang dimaksud orang tua ini. Kalau saja aku menuruti kata emosi dan amarahku, mungkin sudah pecah kepala orang ini olehku. Namun, aku sadar itu adalah tindakan bodoh, membunuhnya hanya akan menutup jalan informasi kami. Jadi, aku memaksakan diri bersabar, menunggu dan melihat apa yang akan dibuatnya.
Junior bertepuk tangan dua kali. Terlihat seperti patih zaman kerajaan yang sedang memanggil pengawalnya. Ternyata ia betul-betul sedang memanggil orang. Mungkin saja anak buah atau pasukannya yang masih tersisa. Aku mendelik heran dengan gaya uniknya itu. Sekarang aku mengerti maksud kata pertunjukan yang ia sebut tadi. Ia ingin melihat aku dan Jan menghadapi anak buahnya lagi. Dan mungkin ini adalah pasukan yang paling dia andalkan dan dirasanya akan menaklukkan kami.
Aku dan Jan bersiaga. Menatap ke sekeliling dengan tajam. Menunggu dan mencari tahu dari arah mana anak buah Junior itu akan muncul.
Aku menatap tajam ke arah tangga yang menuju lantai atas di sudut kanan ruangan. Sementara Jan mengawasi tajam pintu lift di seberangnya. Akan tetapi, baik aku maupun Jan, telah salah menduga. Anak buah Junior tidak muncul dari sana. Tidak turun dari tangga, tidak juga keluar dari dalam lift. Mereka justru datang dari arah yang tidak disangka-sangka. Membuat aku tekejut dan mau tak mau kagum.
Karena saat aku tajam dan fokus menghadang tangga, serta Jan menatap lekat arah pintu lift, tiba-tiba saja sebuah tingkap menjulur turun di langit-langit ruangan. Membuka lubang tingkap yang cukup lebar. Aku dan Jan yang terkejut langsung mengalihkan fokus ke sana. Mengawasi dengan tajam.
Maka melompat terjunlah beberapa orang dari sana. Melakukan gerakan salto dan mendarat, lalu berbaris rapi di belakang Junior. Satu, dua, tiga sampai enam orang. Mereka berdiri dengan bersedekap memandang kami. Masing-masing mengenakan pakaian yang sama, celana hijau dan baju putih seperti atlet bela diri. Mereka menatap tajam ke arah aku dan sahabatku.
Aku tercengang, menilik dan meneliti enam orang itu satu per satu. Keenam orang itu tidak bersenjata, benar-benar bertangan kosong. Mungkin hal itu yang membuat Jan tiba-tiba menurunkan senjatanya. Dia tersenyum penuh antusias. Matanya berbinar.
"Enam Mata Dadu!" lirihnya padaku.
"Enam Mata Dadu?" Seketika aku terbelalak dan langsung beralih menatap kelompok orang itu lagi seakan tidak percaya. Kemudian aku meniru tindakan Jan untuk menurunkan senjata. Aku pernah mendengar cerita tentang Enam Mata Dadu, dari banyak orang yang pernah aku temui. Jan juga selalu bercerita tentang mereka. Namun, aku belum pernah bertemu mereka secara langsung sebelumnya. Hal itu karena wilayah kerja mereka bukanlah urusan bisnis seperti aku, melainkan wilayah kriminal. Karena Enam Mata Dadu adalah kelompok pembunuh bayaran paling berbahaya di seluruh penjuru negeri. Mereka bisa bekerja untuk siapa saja dan organisasi mana saja. Mereka punya punya ciri khas tersendiri dalam beraksi, yakni cara mereka menghabisi target dan lawannya tidak menggunakan senjata. Tidak senjata tajam, apalagi senjata api. Mereka sepenuhnya beraksi dengan tangan kosong. Hanya dengan mengandalkan teknik bela diri yang mahir, mereka sudah melanglang buana dan memakan ratusan korban. Mereka adalah pelaku kriminal berkelompok yang paling sulit ditaklukkan kepolisian dan aparat keamanan. Mereka selalu lolos setiap kali dilakukan operasi penangkapan. Nama Enam Mata Dadu sangat terkenal di kalangan dunia hitam. Bahkan tak jarang juga orang-orang dari luar dunia kriminal itu seperti pebisnis, pelaku dunia hiburan, atau tokoh politik yang menggunakan jasa mereka untuk tujuan-tujuan tertentu. Dari segi penampilan, Enam Mata Dadu juga memiliki ciri khas. Setiap beraksi mereka selalu mengenakan baju putih khas atlet bela diri dan celana hijau yang seragam. Serta logo pribadi mereka yang tentu saja merupakan gambar dadu, terpampang di dada kiri masing-masing. Selain itu, lambang mereka juga tercantum sebagai tato yang dirajah di punggung tangan kanan masing-masing. Uniknya, logo itu menampilkan mata dadu dengan angka yang berbeda-beda pada setiap anggota, mulai angka satu sampai enam. Sebagai ciri identitas masing-masing sesuai nama mereka, Enam Mata Dadu. Dan malam ini, aku bisa melihat jelas tato itu dengan mata kepalaku sendiri berjarak hanya beberapa meter. Padahal menurut kabarnya, Enam Mata Dadu menghilang dari dunia hitam sejak setengah tahun yang lalu. Tak pernah muncul lagi di mana-mana, tapi tiba-tiba malam ini mereka berdiri menantang di depan mata dan siap bertarung menghadapi kami.
Aku menilik wajah mereka satu per satu. Entah mengapa aku merasa familiar. Sepertinya, mereka seumuran dengan aku dan Jan. Kalau pun lebih tua, pasti hanya lebih tua satu sampai dua tahun. Menurut cerita Jan, mereka tak pernah terkalahkan. Jan sendiri tak pernah berhadapan langsung dengan mereka, karena sahabatku ini tak pernah mendapat tugas langsung untuk menangkap Enam Mata Dadu. Jan selalunya beraksi menumpas organisasi kriminal, sedangkan Enam Mata Dadu tidak terafiliasi dengan organisasi apapun. Mereka murni independen dan hanya menerima tugas dari klien yang sanggup membayar mahal. Memang Jan pernah satu atau dua kali bertemu dengan Enam Mata Dadu dalam tugasnya, tapi tak sempat untuk bertarung. Enam Mata Dadu tak suka bertarung dengan orang yang bukan pesanan klien mereka. Jadi, enam petarung andal itu akan hilang dan bersembunyi entah di mana setelah menyelesaikan tugas. Dan kini, akhirnya kami bertemu dan akan benar-benar bertarung. Mungkin karena itulah Jan begitu antusias dan bersemangat.
"Kenapa? Terkejut?" tanya Junior penuh semringah.
"Sebenarnya iya," jawab Jan. "Tapi aku senang sekali akhirnya bisa bertemu lagi, dan akan benar-benar berhadapan dengan Enam Mata Dadu!"
Aku terdiam. Hanya menatap lagi keenam pria bertubuh tegap itu, mereka terlihat tersenyum licik. Siap bertarung.
Jan menurunkan senjatanya ke lantai. Berkata, "Aku siap untuk pertarungan yang sudah lama aku tunggu ini!"
Aku tak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tapi aku tak mau merasa takut, maka aku turut meletakkan senjataku. Maka kami pun bertangan kosong sekarang. Sekilas aku teringat pada orang tua misterius yang mempecundangi aku di laboratorium, aku jadi berpikir sendiri dan menebak-nebak sejauh apa kemampuan bela diri Enam Mata Dadu ini. Mendengar rekor mereka yang tidak terkalahkan itu pasti kemampuan mereka tak main-main. Jika saja kemampuan mereka paling tidak setingkat dengan orang tua misterius itu, maka aku bukanlah tandingan mereka. Namun, jauh dari pikiran seperti itu, aku tak mau hilang muka. Aku meyakinkan diri dan bersiap. Melemaskan otot-otot dan sendi.
"Tunggu sebentar, teman-teman! Enam lawan dua jelas tidak adil!" ucap Junior. "Jadi aku akan beri kesempatan untuk pertarungan dua lawan dua!"
"Majulah siapapun di antara kalian, aku sudah tidak sabar!" seru Jan. Ia bergaya layaknya petarung yang menunggu lawan di atas ring.
"Kita tentukan dengan ini," jawab Junior. Ia menarik laci meja kerjanya. Mengeluarkan dua buah dadu kecil. Ia memandangku dan Jan sambil tersenyum licik, lalu pemimpin Gedung Lantai Hijau ini mengguncang kedua dadu tersebut. Lantas menjatuhkannya ke atas meja. Dadu berhenti, semua mata segera menilik angka yang muncul.
"Satu dan empat!" ucap Junior penuh semangat. "Silakan Dadu Satu dan Dadu Empat!"
Dua dari enam orang itu maju. Satu berhadapan dengan Jan, satu lagi berhadapan denganku.
Aku tersenyum simpul menatap lawanku. Ia mengangkat dua kepalan tangan sembari tersenyum licik. Ia memberi isyarat agar aku menyerang lebih dulu. Dari tato di tangannya, dapat aku ketahui bahwa lawanku ini adalah petarung yang berangka Dadu Satu. Maka Dadu Empat berhadapan dengan Jan di sisi ruangan sana.
Mata kami bertemu dan saling menatap tajam. Detik demi detik terasa menegangkan. Maka pada detik yang entah ke berapa, tinjuku melayang cepat memburu wajah lawan. Ia bergerak tangkas menghindar. Aku mengirim lagi pukulan susulan dengan bertubi-tubi dalam kecepatan yang tinggi. Mengincar ke banyak bagian secara sembarangan.
"Hyah!" Kami saling membentak garang mengeluarkan tenaga.
Gerakanku dapat dihindari olehnya dengan sempurna. Gerakan terakhir dari rentetan itu berhasil ditepis dengan baik. Juga ditangkap olehnya, lalu secepat kilat mengirim pukulan dari arah samping. Aku menangkis pukulan itu. Lengan kami beradu dengan keras. Mata kami juga kembali beradu tajam. Waktu seakan berhenti dan kami membeku dalam posisi itu. Namun hanya sekejap, kejap selanjutnya lawanku sudah meluncurkan serangan cepat lainnya dari banyak arah. Tak main-main, pukulannya mengincar dada dan leherku dengan gesit. Maka aku tak mau kalah gapah, dengan lincah aku berkelit, menangkis sesekali, lalu balas menyerang.
Brakk, akhirnya tendanganku berhasil membuatnya tersurut mundur.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments