Setelah Dua Dekade
Langit kota sedang cerah sore itu. Matahari hampir tumbang di badan langit sebelah barat. Terkatung seorang diri tanpa satupun awan menemani. Di bawah langit, gedung-gedung yang lampunya sudah menyala saling susul-menyusul menggapai langit. Lampu-lampu jalan mulai dinyalakan, meski masih kalah dengan matahari yang belum tenggelam. Jalan raya masih padat, kendaraan yang berlalu-lalang bahu-membahu menciptakan kemacetan. Ingar-bingar dan bisingnya pun tidak mereda barang sedikit. Manusia-manusia masih sibuk dengan urusan masing-masing. Mungkin ada yang menuju rumah sepulang dari pekerjaan. Ada pula yang baru saja berangkat menuju pekerjaan. Atau pemuda-pemuda yang cuma nongkrong santai menikmati wi-fi gratis sambil minum-minum. Atau bocah-bocah kecil yang berlarian menuju masjid, satu-dua singgah di tempat penjual jajan pinggir jalan. Suasana senja sama sekali tak mengubah ramainya kota.
Sementara dalam ruangan sebuah gedung, kebisingan itu tertahan di dinding kaca. Tempat di mana aku berdiri menatap ramainya kota dari ketinggian lantai 15. Tempat aku takzim berdiri mematung dengan kedua tangan bersedekap. Tanpa menoleh ke arah manapun. Ruangan itu sunyi dan senyap sekali. Hanya desis pendingin ruangan yang terus menemaniku.
Tiba-tiba terdengar desis pintu lift terbuka. Seseorang baru saja masuk ke ruangan ini. Bunyi derap langkah terdengar di belakangku. Aku langsung menajamkan pendengaran. Meningkat kewaspadaan. Derap langkah yang aku dengar semakin dekat, tapi aku tetap bergeming. Tidak bergeser barang sesenti. Bahkan untuk menoleh ke belakang pun tidak aku lakukan.
Akan tetapi, kewaspadaanku penuh. Dalam kepalaku, aku sudah menyusun rencana matang jika orang di belakangku ini menyerang. Sudah aku siapkan segala gerakan yang diperlukan. Gerakan yang begitu rapi dan sangat meyakinkan. Langkah di belakangku ini terdengar berhenti, dua meter di belakangku. Tanpa menoleh, aku tahu ia sedang memperhatikanku. Dan aku tetap mematung. Aku sudah sangat siap atas segala serangan yang akan dilancarkan. Karena orang dengan pekerjaan seperti aku, jelas banyak sekali ancaman dan resikonya. Banyak sekali orang di luar sana yang menginginkan nyawaku. Kemungkinan berbahaya akan selalu mengikutiku ke mana pun aku pergi. Salah satunya seperti yang mungkin akan terjadi beberapa saat lagi ini.
Aku mengeraskan kepalan tangan. Gedung ini adalah fasilitas umum, siapa saja bisa masuk dan mendatangiku di sini tanpa perlu akses khusus. Namun, aku tidak takut sedikit pun. Langkah itu kini semakin mendekat. Aku tahu, orang itu tepat di belakangku dan siap membekuk kapanpun ia mau. Aku tetap diam di tempat. Tidak melakukan gerakan apapun. Tidak gentar sedikit pun. Tidak ada darah berdesir atau rasa adrenalin. Diriku benar-benar tenang seperti tidak ada apa-apa yang mengancam. Bukan aku sok jago atau meremehkan orang di belakangku ini. Melainkan karena aku tahu persis siapa dirinya.
"Selamat sore, sobat!"
Aku membalik badan setelah menjadi patung hampir sejam. Membalas hangat salam pria itu. Menyapa ramah. Kami berjabat tangan dan saling merangkul.
Kemudian, brakk, tubuhku dibanting ke lantai dengan keras. Aku mengaduh. Tanpa pikir panjang, aku melancarkan tendangan dari posisi itu. Lantas aku bangkit dan mengirimkan pukulan. Pukulanku mampu ia tangkis, kulancarkan pula tendangan berputar. Tendangan itupun mampu dihindarinya. Ia ganti mengirimkan pukulan tangan kanan. Aku langsung merunduk dan melepaskan tendangan ke arah kakinya. Orang itu gesit sekali melenting ke belakang. Aku mengejarnya. Melompat dan melancarkan terjangan. Orang itu merunduk, terjanganku lewat di atas kepalanya. Sekarang kami bertukar posisi. Ia memunggungiku. Kurang sedetik, ia sudah berbalik dan mengirim pukulan-pukulan cepat. Aku menangkis dengan lincah sambil sekali-kali balas memukul. Gerakan kami begitu kencang. Bunyi lengan beradu, seruan dari mulut, dan napas yang memburu mengisi kesunyian ruangan itu.
Ruangan itu memang ruangan untuk bertarung. Lantai lima belas dari gedung olahraga yang digunakan untuk tempat latihan atlet silat. Sore itu, tidak ada kegiatan latihan, tapi ada pertarungan, yaitu pertarunganku yang bahkan masih berlangsung sengit.
Tendangan dan pukulan saling jual-beli. Pertarungan kami sebenarnya tidak cukup berimbang. Aku kewalahan melayani serangannya yang gesit dan lincah sekali. Sampai akhirnya aku yang terdesak hebat. Saat aku lengah, lawanku melancarkan tendangan yang tak sempat kuelakkan. Aku terpelanting dan jatuh menghantam dinding kaca. Kalau saja kaca itu bukan kaca tebal dan kuat, mungkin aku sudah terlempar jatuh menuju jalan raya di bawah. Lawan berlari memburuku dengan buas. Aku bangkit melompat dengan cekatan, lalu mengirimkan pukulan lagi. Ia menghindar dengan mudah, kemudian balas menghantam bahuku. Aku terhuyung. Sebelum aku sempat menyerang lagi, lawanku sudah berdahulu menendang kakiku sekaligus mengirim pukulan tepat ke wajahku. Tak pelak aku langsung jatuh menghantam lantai dengan keras. Aku tergeletak. Lawanku mengirimkan pukulan lagi, pukulan pamungkasnya. Pukulan yang tepat mengincar wajahku dengan kencang sekali. Tak mungkin kuhindari dalam posisi terjepit seperti itu.
Namun, sebelum pukulan itu benar-benar menghantam wajahku, gerakannya mendadak berhenti. Kepalan tangan itu berhenti dan membeku beberapa senti di depan hidungku. Kepalan tangan tadi lantas terbuka. Berubah menjadi uluran tangan. Aku tersenyum simpul, menyambut uluran tangan itu. Bangkit berdiri.
"Kemampuanmu terus berkembang, Ren!" Pria itu menepuk-nepuk bahuku dengan bangga.
"Ya, seperti yang kau lihat." Aku menepuk jasku, membersihkan debu-debu yang melekat.
"Tapi tetap saja kau belum bisa menandingiku," ucap pria itu pula. Ia beranjak ke pinggir dinding kaca menatap suasana kota.
Aku tersenyum simpul. Sudah terbiasa dengan sifatnya. Aku berkilah, "Kau tidak tahu saja, aku belum benar-benar serius tadi."
"Sudah berapa kali kita bertarung, Ren? Aku hapal dalihmu." Pria itu menoleh padaku sambil menyeringai geli.
Perkenalkan, dia adalah Jantoro. Biasanya kupanggil Jan, dia adalah sahabat karibku sejak kecil. Sejak kami duduk di bangku sekolah dasar. Dia adalah orang yang selalu melindungiku dari siapapun anak nakal yang mengangguku. Karena pada masa itu, aku tidak seperti sekarang yang tangguh dan tidak kenal takut. Saat sekolah dasar, tubuhku ringkih dan pendek. Sikapku yang pendiam, polos, dan tak pandai melawan, membuat banyak anak nakal senang menggangguku. Akan tetapi, ada satu orang yang selalu membelaku dari siapapun yang menganggu, dia itulah Jantoro. Sekarang usia kami mencapai kepala tiga, dan persahabatan itu tetap berlanjut. Meskipun saat ini kami sudah jarang bertemu karena alasan pekerjaan, tapi di sinilah kami biasa bertemu, di arena latihan silat. Untuk bertukar pukulan dan tendangan. Menyalurkan hobi kami sejak kecil. Bertarung. Dan hobi itu benar-benar berguna untuk pekerjaan kami saat ini.
Jan adalah seseorang polisi, tapi bukanlah polisi biasa. Bukan polisi yang biasa menilang pengendara yang tak mengenakan helm, atau polisi yang mengurus kasus perampokan atau pembunuhan kemudian operasi penangkapan tersangkanya disiarkan eksklusif di televisi. Jan adalah polisi elit terbaik yang pernah dimiliki kepolisian kota, bahkan negara ini. Dia adalah polisi khusus yang lebih sering beraksi di belakang layar. Seperti mata-mata yang kalian sering tonton di film-film, Jan adalah ahlinya. Di negera ini, ada puluhan organisasi kriminal yang bergerak secara masif dan memiliki pengaruh besar serta jaringan yang luas. Jan adalah spesialis dalam bidang ini. Dia adalah reserse paling dipercaya untuk menangani masalah tingkat tinggi seperti ini. Tidak jarang juga dirinya berpergian ke luar negeri, untuk menyelesaikan perkara pekerjaannya ini. Yang artinya berurusan dengan organisasi mafia tingkat internasional. Catatannya, Jan tak pernah gagal. Bersama pasukan khusus yang dikepalainya, sudah banyak organisasi kriminal besar yang berhasil ditumbangkan. Reputasinya sangat bagus dan karirnya begitu cemerlang.
Sementara aku, hampir sama dengannya. Pekerjaanku mirip sekali dengan sahabatku ini, tapi aku bukan polisi. Dan aku tidak bekerja untuk pemerintah. Aku bekerja di bawah perusahaan swasta. Dengan tugas yang memang mirip sekali dengan Jantoro.
Namaku Renato. Semua orang yang mengenalku memangggil dengan panggilan Ren. Aku bekerja untuk sebuah perusahaan raksasa di kota ini. Namanya adalah Korporasi Masadepan. Korp. Masadepan sendiri adalah perusahaan yang bergerak di bidang produksi dan pengembangan teknologi. Bidang utamanya adalah memproduksi berbagai macam alat elektronik rumah tangga dengan pemutakiran. Namun, di samping itu, perusahaan ini juga mengembangkan berbagai macam penemuan dan teknologi canggih.
Jabatanku adalah ketua Tim Khusus Anti-Konflik. Salah satu divisi unik yang dimiliki perusahaan ini dan mungkin tidak dimiliki perusahaan lain. Divisi ini dibentuk untuk mengatasi masalah perusahaan yang berkaitan dengan hubungan kerja perusahaan dengan perusahaan lain, baik itu mitra bisnis maupun saingan bisnis. Apapun bentuknya. Akan tetapi, pekerjaanku bukan hanya sekedar negoisiasi dan sebagainya, kadang aku juga terlibat aksi seperti pertarungan dan baku tembak. Bahkan pernah ada perusahaan yang bangkrut dan ditutup karena ulahku, dan tentu saja karena niat buruk mereka terhadap Korp. Masadepan. Itulah mengapa aku sebut pekerjaanku ini adalah pekerjaan yang berbahaya.
Aku beranjak ke dekat Jan. Berdiri bersisian di pinggir dinding kaca, menatap kota yang sore sudah mulai berganti malam.
"Ke mana kau malam ini?" tanyaku.
"Tidak jauh," jawab Jan. "Paling beberapa kilometer dari sini."
"Di mana?"
"Gedung itu!" Jan bergeser sedikit dan mengacungkan telunjuk ke arah sebuah gedung yang menjulang tinggi dan penuh dekorasi bercahaya hijau.
"Lantai Hijau," Aku menyebut nama gedung itu. Gedung yang cukup populer di kalangan penduduk kota. "Ada apa dengan kasino itu? Bukankah bisnis mereka punya izin? Apakah mereka ada kaitannya dengan geng kriminal internasional? Kau mau meratakan bisnis perjudian itu?"
"Tentu saja tidak, sobat!" Jan tergelak kemudian memandangku. "Ya, bisnis mereka memiliki izin. Tidak ada perintah untukku menganggu usaha mereka. Hanya saja, pucuk pimpinan gedung itu terkonfirmasi memiliki kaitan dengan Tengkorak Hitam. Aku akan ke sana malam ini, untuk mencari tahu fakta penting yang lebih dalam."
"Seorang diri?" tanyaku.
"Ya, seorang diri. Aku datang hanya untuk bertanya-tanya, bukan mau cari muka."
"Memang, tapi aku pernah berurusan dengan mereka. Dan mereka bukan orang-orang yang ramah. Jadi, berhati-hatilah!"
"Haha, lucu sekali, Ren!" ucap Jan dengan gelaknya. "Kau lupa aku pernah mendatangi gedung kasino tersohor di Makau, membuat jengkel penghuninya, dan keluar dengan selamat."
"Ya, terserahmu saja."
"Kau sendiri? Akan ke mana?"
"Biasa, negoisiasi bisnis."
Jan membalik badan. Berkata, "Baiklah, ayo!"
Ia berdahulu melangkah. Aku menyusul di belakangnya. Menyeberangi ruangan yang cukup luas itu. Sampai di muka pintu, Jan langsung menekan tombol lift. Tak beberapa lama, pintu terbuka dan kami pun masuk. Meninggalkan ruangan yang tetap sunyi, bahkan semakin sunyi setelahnya.
"Oh, iya, Ren," ucap Jan saat di dalam lift. "Aku lupa, maukah kau kukenalkan dengan rekan kerjaku di kantor?"
"Maksudmu?" Aku menatapnya dengan heran saat ia justru tersenyum geli.
"Gadis muda, Ren! Cantik orangnya!" jawab temanku itu.
"Ah, sudahlah, Jan! Tak usah kaukenalkan aku dengan gadis manapun, tidak perlu!"
Jan tak menjawab lagi. Ia hanya tersenyum geli. Begitu pintu lift terbuka, kami keluar berbarengan dan berpisah di pintu luar. Menuju kendaraan masing-masing.
Beberapa menit kemudian, Jan sudah meluncur dengan mobil sport hitamnya. Menghilang di persimpangan jalan. Sementara aku, menunggangi sepeda motor menyusuri jalanan kota. Di antara sinar-sinar lampu jalan dan lampu gedung-gedung. Menyelinap di antara kendaraan besar yang berdesakan. Menghilang di balik badan truk gandeng.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
Eka Dilla Pahri
wow, kereenn😳
2023-12-11
1
Oka Luthfia
bagus ni kayaknya
2021-03-08
1
Naya can
dari judulnya udah beda, semangat ya,💪💪💪
2021-02-07
1