"Ayahmu?" Jan terhenti dari langkahnya dengan wajah melongo.
"Oh, maaf, Jan. Aku belum sempat bercerita padamu. Beberapa hari yang lalu aku baru mengetahui, bahwa ayahku bukan meninggal karena kecelakaan mobil biasa seperti yang kita tahu sebelumnya."
"Hah?" Jan mengerutkan kening. Terkejut sekaligus heran.
"Ayahku ... ternyata meninggal karena pembunuhan. Ia ditembak saat berkendara. Sialnya, pelaku pembunuhan itu masih tidak diketahui sampai sekarang!" jelasku.
"Turut prihatin, Ren, semoga kau tabah!" hibur Jan. Ia merangkul bahu dan menepuk-nepuk punggungku. "Tapi jujur aku juga terkejut, aku juga baru mengetahui itu!"
Aku tersenyum hambar. Berkata, "Itulah kenyataannya, sobat. Namun, tak mengapa, aku baik-baik saja, aku sudah menghabiskan beberapa hari mengurung diri untuk meratapi semuanya, jadi sekarang aku sudah bangkit. Aku harus bisa menerima semua ini."
Jan menatapku dengan wajah peduli dan prihatin. Wajahnya yang tadi antusias seketika berubah drastis. Mungkin dia merasa tak enak hati padaku.
"Tenang saja, Ren, aku janji akan membantu sebisa mungkin untuk mencari tahu tentang pelaku itu!" ucapnya kemudian. Kali ini ia turut tersenyum tawar.
"Terima kasih sekali, Jan!" jawabku. "Justru karena itulah aku begitu ingin menyelamatkan Prof. Ram, agar mesin waktu dapat diselesaikan. Jadi, dengan adanya mesin waktu itu aku akan pergi ke masa lalu untuk mencari tahu siapa pembunuh itu!"
Aku mengeraskan kepalan tangan. Suaraku bergetar karena emosi yang mendalam. Kesedihan yang bercampur semangat antusiasme. Jan sendiri tampak prihatin mendengar itu.
"Benar juga, kau cerdas, sobat!" ucap Jan. Wajahnya perlahan berubah menjadi antusias kembali. Seperti mendapat pencerahan lagi.
"Kalau begitu," sambungnya kemudian. "Ayo kita bergegas berangkat, aku janji akan memberi bantuan apapun yang kau perlukan. Percayalah, mesin waktu itu pasti akan diselesaikan, untukmu. Aku akan melakukan semua yang aku bisa untuk membantu membawa kembali Prof. Ram dengan selamat. Kalau perlu, kita runtuh ratakan siapapun orang yang bertanggung jawab di balik semua ini!"
Aku tersenyum penuh rasa bangga. Aku tak pernah keliru mengandalkannya. Aku balas menepuk-nepuk bahunya, dan berkata, "Kau benar-benar sobatku, Jan! Terima kasih!"
"Ayo!"
Maka setelah saling menyakinkan, kami melanjutkan langkah yang tadi sempat terhenti. Masuk ke dalam lift. Meluncur turun dari gedung yang senantiasa sepi itu. Sejak kami datang sambil pergi lagi, masih tetap diselimuti kesunyian. Seakan memberi kesan muram dan kesedihan. Namun, kami keluar dari sana tersebut membawa rasa semangat dan ambisi.
***
"Bagaimana rencanamu?" tanyaku begitu kami berada di area parkir. Di sana benar-benar hanya ada sepeda motorku dan mobil Jan. Tidak ada kendaraan lain.
"Rencananya begini," jelas Jan. "Kau datang saja ke sana sebagai pengunjung kasino, usahakan jangan ada yang mengenalimu!"
Aku mengangguk paham.
"Sementara aku akan masuk lewat pintu belakang, aku akan melumpuhkan para pasukan penjaga mereka. Kita bertemu di dalam, selanjutnya kau ikuti arahanku nanti!"
Aku mengangguk lagi. Setelah itu Jan masuk ke dalam mobil mahalnya, aku pun menaiki tungganganku. Jan mencari-cari sesuatu di jok belakang, begitu dapat ia melemparkan benda yang diambilnya itu lewat jendela mobil. Aku menyambutnya dengan sigap, ternyata sebuah revolver jenis S&W lengkap dengan peredamnya.
"Gunakan itu untuk berjaga-jaga!"
"Baiklah, terima kasih!" ucapku. Aku menyimpan revolver itu ke kantong lantas menyalakan mesin sepeda motor. Tak mau kalah, Jan menyalakan mobilnya. Selama beberapa detik, ia menekan gas dalam-dalam hingga menimbulkan derum mesin bagaikan ruangan hewan buas. Kemudian kami pun segera meluncur.
Kami melaju beriringan puluhan meter. Melewati persimpangan dan kelokan jalan. Sampai akhirnya kami masuk ke jalan pesisir utara, mendekati area Gedung Lantai Hijau.
Aku menginjak pedal rem, sepeda motor berhenti tepat di depan pintu pagar bangunan tersebut. Sementara mobil Jan menderu melewatiku. Hilang dari pandangan begitu cepat. Aku terus masuk ke area parkir, menggabungkan diri dengan deretan sepeda motor di tempat itu. Ramai sekali. Masih di tempat parkir, keramaian di dalam gedung sudah terdengar. Aku merogoh kantong. Mengeluarkan sebuah radio komunikasi dua arah, berbentuk perangkat kecil yang aku kenakan di telinga. Dengan sistem otomatis, alat komunikasi itu menyala sendiri. Aku tinggal menghubungkan pada frekuensi radio komunikasi milik Jan, yang notabene selalu dia gunakan. Aku mengawasi sekeliling. Bersiap. Meyakinkan diri, dan mulai beraksi.
Aku melangkah santai, melewati pintu masuk gedung itu. Mencoba bergaya layaknya anak muda berandal yang sedang mencari hiburan. Dengan tenang, aku berlagak layaknya pengunjung kasino biasa. Begitu aku masuk di sana, terlihat tempat itu penuh warna hijau dari lantai sampai ke langit-langit. Ramai oleh orang-orang berjas rapi atau berpakaian simpel; pemuda-pemuda berandal yang asik bermain judi, atau pria paruh baya yang dikelilingi wanita seksi; atau juga pria-pria sendu yang duduk di bagian minuman, bermerah mata tak sadar keadaan; mabuk. Aku berkeliling ruangan luas itu. Bergaya sok asik mendekati meja-meja taruhan. Ikut-ikut tertawa, menertawakan orang yang baru saja kalah berjudi dan rugi besar. Padahal aku tak kenal entah siapa. Aku terus melangkah dan menilik tajam area tersebut. Dengan tetap menjaga gaya dan sikap kepura-puraanku. Sedikit menggoyangkan badan mengikuti musik elektronik yang dimainkan oleh DJ di sudut ruangan. Langkah demi langkah, aku menuju tangga di ujung ruangan. Aku terus memperhatikan sekitar, meneliti satu per satu pengunjung atau pelayan di sana. Menelisik tajam tentang siapa saja mereka. Setelah merasa aman, aku menyusuri tangga itu. Sampai di puncak tangga, aku berhenti sejenak.
"Jan, kau dengar aku?" Aku berbicara sepelan mungkin.
"Baik, aku sudah mulai masuk di ruang belakang! Kau dulu naik ke lantai atas, aku menyusul lewat jalan lain!" jawab Jan.
Aku segera mengambil jalan ke kiri. Sebuah koridor pendek yang di ujungnya merupakan tangga lagi. Aku menyusur naik dengan hati-hati. Bersiaga dan waspada. Sampai di atas, aku tiba di ruangan yang mirip dengan ruangan bawah tadi. Banyak meja judi dan berbagai permainan keberuntungan, tempat mabuk, atau sofa-sofa tempat bersantai. Hanya saja di sini tidak seramai di bawah. Tingkat fasilitas lebih tinggi, orang-orang di sini adalah orang-orang dengan taraf hidup yang tinggi. Bukan tidak mungkin mereka berasal dari dunia bisnis, jadi di sini aku lebih terancam untuk dikenali.
Aku menyusur dinding dengan sebisa mungkin menyembunyikan wajah. Langkah-langkah yang berselimut rasa harap cemas itu berujung di pangkal tangga. Tanpa pikir dua kali, aku melangkah naik anak tangga demi anak tangga. Namun, sebelum sampai di ujung jalan, aku berhenti. Mataku tajam menangkap adanya gerakan pada pintu di sisi kanan ruangan. Cukup jauh dari posisiku. Aku mematung dan mengunci pandangan ke arah pintu. Pintu itu terbuka, kulihat Jan muncul dari sana. Berdiri di muka pintu menghadap ke arahku. Tampak ia menyembunyikan tangan kanan dengan sikap waspada. Aku tahu, bahwa dia sedang menyembunyikan sebuah pistol.
Jan memberi kode isyarat dengan tangan, menyuruhku lanjut naik ke atas. Aku langsung menurut tanpa banyak gerak. Menyusur tangga dan berjalan di koridor atas yang di sisi kirinya hanya pagar rendah, di mana aku masih bisa melihat suasana ruangan di bawahku. Aku melihat Jan mengambil langkah penuh kewaspadaan menuju seberang ruangan. Menuju sebuah pintu lagi. Aku lanjut melangkah saat kulihat Jan hilang di balik pintu tersebut.
Aku memasuki koridor tertutup yang tidak terlalu panjang. Menyusuri meter demi meter dengan hati-hati. Sunyi sekali di sana. Sampai aku melihat sebuah pintu di sisinya. Aku mendengar suara ramai dari balik pintu. Aku memberanikan diri mendorong daun pintu sedikit, mengintip apa yang ada di sana. Ternyata merupakan ruangan yang mirip-mirip juga seperti yang sudah aku temui tadi, tapi lebih mewah lagi. Aku menutup pintu itu rapat-rapat. Memilih maju ke ujung koridor, di mana koridor itu berbelok ke kiri.
Penuh siaga, aku menempelkan badan ke sisi tembok yang merupakan sudut persimpangan koridor. Berusaha mengintip, barangkali ada orang yang datang dari arah itu. Benar saja, ada seorang laki-laki berbadan besar yang melangkah buru-buru. Terlihat terus mendekat ke tempat aku mendekam.
Setelah berpikir cepat, aku meraba kantong. Bersiap. Maka dalam detik-detik krusial, aku melompat keluar dari persembunyian dengan revolver sudah teracung. Orang tersebut terkejut bukan main, tetapi ia tak sempat berbuat apa-apa. Tahu-tahu kepalanya sudah memuncratkan darah, dan tubuhnya pun berdebuk jatuh ke lantai.
Apa yang terjadi? Aku menarik pelatuk penuh ketenangan. Dengan revolver jenis S&W yang dilengkapi peredam mutakir itu, aku telah melepaskan tembakan senyap. Peredam itu bukan lagi menahan suara ledakan, melainkan meniadakannya sama sekali. Tidak ada suara apapun. Peluru melesat begitu saja. Desis sedikit pun tidak ada. Benar-benar senjata yang sempurna untuk misi rahasia.
Aku lanjut melangkah dengan mengendap-endap. Revolver kuturunkan, kewaspadaan kutingkatkan. Meter demi meter kutempuh sambil beberapa kali berputar menoleh ke belakang. Memastikan situasi tetap aman. Aku melewati tubuh orang tadi yang tergeletak tak bernyawa. Memandang dengan datar. Aku tidak tahu apakah ini tindakan legal atau tidak, tapi ambisiku telah membuat aku kehilangan rasionalisme. Toh serangan mereka terhadap laboratorium juga merupakan kejahatan, tidak ada salahnya aku membalas mereka. Lagipula di samping itu semua, aku datang ke sini bersama intel kepolisian paling terpercaya, mana mungkin polisi akan menangkapku dengan tuduhan pembunuhan. Kalau pun sekarang aku jadi penjahat, aku tidak peduli. Seperti Hadni pernah bilang padaku, aku punya alasan yang kuat untuk menjadi seperti ini dan melakukan semua ini. Itulah kenapa selanjutnya, aku tidak gentar dan tidak goyah untuk melakukan apapun. Sekalipun untuk merenggut nyawa demi nyawa lagi. Aku tidak peduli. Toh nyawa ayahku telah terenggut dan mustahil dikembalikan. Jadi, aku akan melakukan apa saja untuk mewujudkan sisa-sisa hal yang dapat aku lakukan untuk ayah. Salah satunya mencari siapa pembunuhnya. Dengan ambisi itu aku beraksi malam ini. Karena sejak berawalnya kejadian penyerangan itu, aku sudah naik darah dan kesal luar biasa. Maka tak heran, demi tujuan memperbaiki kembali suasana dan melanjutkan proyek mesin waktu. Aku tak segan-segan membunuh orang. Dan sebenarnya ini bukan yang pertama kali. Sebelum-sebelum ini aku sudah pernah membunuh orang, dalam perjalanan dan petualanganku dalam karir ini. Sudah banyak terlibat pertempuran berbahaya dan pertarungan yang benar-benar memacu adrenalin. Jadi, aku tidak lagi kaget atau merasa lain. Itu juga alasan mengapa aku katakan pekerjaanku adalah pekerjaan berbahaya yang resikonya hidup mati. Persis seperti Jan, sahabatku. Namun, biarpun begitu, kami mencintai pekerjaan kami. Sudah menjadi cita-cita sejak kecil. Dan malam ini, aku merasa sangat bangga dan terhormat karena dapat menjalankan misi penyusupan dan serangan dari dalam terhadap suatu organisasi semi-kriminal, bersama sahabatku. Kami pernah memimpikan ini, meski dulu kami kira kami sama-sama seorang polisi elit. Dan nyatanya kini kami berbeda jabatan, tapi tetap saja mimpi itu terwujud.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments