Aku dan lawan di depan saling bertatap muka. Tajam dan penuh ironi. Kemudian aku menilik punggung tangannya. Menyoroti rajahan gambar dadu dan angka di sana, untuk mencari tahu identitasnya. Dan yang kudapat adalah, lawanku ini merupakan Dadu Lima. Aku kembali menatap wajahnya lagi, yang menyiratkan kekejaman dan kelamnya dunia kriminal. Namun, entah mengapa wajahnya ini familiar. Seperti aku pernah lihat di suatu tempat. Bukan saja wajahnya, tapi juga ekspresinya. Aku yakin persis sekali, aku pernah bertemu dengannya dan dia menatap dengan ekspresi wajah seperti itu, tapi siapa dan di mana? Aku tak sanggup mengingat. Lagipula aku tak punya waktu berpikir. Orang ini harus cepat-cepat kubereskan.
Maka melesatlah tinju kiriku, menyusul pula tinju kananku. Namun, keduanya ditangkisnya, lalu balas memukul dengan lurus mengincar leher. Aku menahan dengan kedua tangan, tapi dia mendorong tubuhku sehingga aku termundur beberapa langkah. Lalu lawan terakhirku ini melakukan tendangan berputar yang menghantamku dua kali berturut-turut. Gerakannya sangat cepat dan tak sempat kuhindari. Maka tendangan itu menghujam dada dan wajahku begitu keras. Aku jatuh terbanting ke belakang sambil berteriak kesakitan. Namun tak berlama-lama, aku berguling ke belakang lalu bangkit. Saat ia maju mengirim tendangan lagi, aku bergerak ke samping dan balas menerjang dari arah yang tak bisa dihindarinya. Pipinya beradu dengan telapak sepatu, segera tubuhnya terbanting ke samping.
Brakk, tubuh lawanku terbanting ke lantai persis di waktu yang bersamaan dengan rekannya yang juga terbanting oleh Jan di seberang sana. Maka mereka pun bangkit dengan amarah meledak-ledak, menggeram buas memburu lawan masing-masing.
Dadu Lima maju membawa tinju ganda. Memukul dari dua arah. Aku menunduk dan langsung memukul area perutnya. Sial, lawanku ini masih sanggup berkilah, ia bergerak membungkuk dan menangkis tanganku. Gerakan selanjutnya, ia mengirim pukulan dari arah kiri. Aku merunduk berputar sambil mengirim menyelusur kakinya. Dengan gerakan gesitnya ia berhasil lolos dari seranganku. Segera kususul dengan pukulan, serangan bervariasi yang cepat bukan main. Akan tetapi, beberapa menit berlalu dengan gerakan seperti itu, tidak satu pun seranganku yang mengenai sasaran. Semakin cepat aku bergerak, semakin lincah juga ia menghindar. Kelihatannya dia yang berada dalam tekanan karena tak punya celah untuk balas menyerang, tapi sebenarnya aku yang lama-lama kelelahan. Aku sudah bertarung hampir satu jam menaklukkan dua petarung yang tak bisa dianggap remeh. Sekarang aku harus menghadapi petarung yang sama kuatnya tapi dengan stamina yang segar. Maka dalam gerakanku yang secepat apapun aku lakukan, lawanku selalu berhasil menghindar. Dan namanya sudah kelelahan, mau tak mau aku berhenti juga. Dan kesempatan itu digunakan lawan sebaik-baiknya. Ia menendang berputar, hingga tubuhku terlempar jauh. Tak main-main, aku sampai membentur dinding yang rasanya jauh di belakang kami. Sialnya lagi, lawanku sudah muncul lagi di depan mata, menghadiahi aku tinju tepat ke wajah. Aku mencoba menghindar dengan merundukkan kepala, tapi kasip, tinju itu lebih cepat dari gerakanku.
"Aaakh!" Aku terpekik, lalu jatuh menghantam lantai. Aku hampir tak sadarkan diri. Mataku sudah berkunang-kunang, suara gaduh seisi ruangan itu sudah sayup-sayup di telingaku. Sudah lemah dan tak kuat lagi aku untuk bangkit. Dan saat aku dapat memandang jelas, Dadu Lima bersiap menghabisiku dengan tendangan pamungkasnya.
Gerakan itu mengincar kepalaku. Aku berpikir, tamatlah riwayatku malam ini. Luka-luka di sekujur tubuhku tak usah dihitung lagi. Serangan terakhir lawan ini hanya akan melengkapi semuanya. Namun, dalam sekali di relung hatiku, aku tak mau menyerah dan tak mau putus asa. Sejak aku kanak-kanak, aku sudah terbiasa dipukuli. Sudah terbiasa dikeroyok, dijadikan bulan-bulanan, diperlakukan seperti maling yang tertangkap oleh warga yang sedang emosi. Tubuhku ini sudah jadi langganan tendangan, terjangan, pukulan, dan segala macam kekerasan fisik. Tanpa aku mampu melawan. Hanya merintih, dan mengaduh kesakitan. Semua anak-anak nakal, kakak kelas sok jagoan, atau teman sekelas yang tak senang dengan aku, bersatu menghakimiku secara liar. Menjadi kenangan buruk masa kecilku. Secara tidak langsung membentuk pribadiku. Saat aku beranjak dewasa, aku tidak menjauhi dunia kekerasan. Pekerjaan yang aku pilih adalah pekerjaan yang justru tak dapat dilepaskan dari kekerasan, perkelahian, dan pertarungan. Bahkan lebih parah daripada sekedar menghajar atau melakukan kekerasan fisik apapun, karena pekerjaanku juga mencakup bunuh-membunuh di kala tak ada jalan lain. Sudah banyak orang jahat, dan lawan-lawan yang menemui ajal di tanganku dalam perjalananku. Akan tetapi, tampaknya malam ini aku menemui lawanku sesungguhnya, yang tak akan memberi ampun. Beberapa detik lagi sepatunya akan menghantam, menghabisi sisa tenaga dan kesadaranku.
Akan tetapi, ada rahasia kecil tentang kisah kanak-kanakku hingga ke dewasa saat ini. Yang membuat aku tidak benci pada dunia. Yang membuat aku tak pernah berpikir bahwa semua orang sama saja. Karena ada orang yang setia melindungi aku dari kejamnya dunia yang aku hadapi. Ada manusia yang berani pasang badan melindungi badanku yang dipenuhi luka. Maka siapa lagi orangnya kalau bukan Jantoro. Sahabatku yang kesetiakawanannya tak perlu diragukan. Dia adalah orang yang selalu membelaku, dan menyelamatkanku dari siapapun anak-anak berandal yang berani macam-macam dengan aku. Dari kami kecil, sampai kami beranjak dewasa. Dan sampai malam ini, Jan masih tetap menjadi Jan yang dahulu. Untuk kesekian kalinya, ia kembali menyelamatkan hidupku.
Karena sepersekian milidetik sebelum tendangan lawan menghantam keras pada batok kepalaku, tubuhnya tiba-tiba diterjang dengan keras hingga terlempar ke samping. Membentur sudut ruangan dan terkapar. Mengeluh kesakitan.
Aku terkesiap dan mengerjap, merasa benar-benar lega dan bersyukur telah selamat dari detik-detik menegangkan tadi. Aku tidak melihat apa yang membuat lawanku tiba-tiba terlempar ke sana, tapi aku langsung tahu, begitu datang satu uluran tangan. Jan. Tadi ia melihat situasiku yang terdesak. Maka ia bergegas menerjang jatuh lawannya dan berlari mendatangiku. Dengan gerakan yang sangat cepat dan kuat, ia melompat menerjang sekeras mungkin. Terjangan tepat waktu yang telah menyelamatkanku, karena jika terlambat sepersekian milidetik saja maka jalan cerita akan berakhir dengan nasib buruk untukku.
Tanpa ragu aku menerima uluran tangan itu. Bangkit berdiri dan melirik tajam lawanku yang juga sudah mulai bangkit di sudut ruangan. Aku mengerjap, melemaskan otot, mencoba mengumpulkan kembali tenaga dan kekuatan. Aku dan Jan berdiri bersisian, tajam mengawasi gerakan lawan.
"Terima kasih, Jan!"
"Jangan menyerah, sobat! Kau harus bisa," jawab Jan.
"Tentu."
"Sedikit lagi kita akan menghancurkan rekor Enam Mata Dadu, lalu meringkus mereka. Yang mana akan menjadi prestasi dan keberhasilan paling tinggi sepanjang karirku sebagai polisi," ucap Jan dengan sangat bersemangat. Matanya berbinar-binar. Tak dapat dibohongi bahwa di wajahnya terpancar rona antusiasme luar biasa.
"Dan aku bangga bisa melakukan ini bersama-sama, mimpi masa kecil kita, 'kan?" sahutku.
"Tentu saja," Jan tersenyum simpul. "Sekarang mari kita selesaikan!"
Aku mengangguk semangat.
"Demi ayahmu!" bisik Jan. Suaranya berbisik, tapi bergetar di telingaku. Getaran itu menjalar sampai dasar hati. Maka seketika aku seperti tersengat listrik yang memicu adrenalin. Tiba-tiba kedua mataku terbelalak oleh gairah. Tiba-tiba luka dan sakitku tak terasa lagi. Tiba-tiba kepalaku membara karena terbakar oleh rasa semangat. Tiba-tiba jantungku berdebar kencang dan napasku memburu. Tiba-tiba muncul kekuatan yang menjalar di seluruh pembuluh darahku. Tiba-tiba ototku menjadi kembali kuat dan siap tempur. Tiba-tiba aku seperti mendapat aliran tenaga yang mengisi ulang staminaku. Tiba-tiba dadaku bertalu oleh injeksi magis dari kata-kata Jan yang benar-benar memengaruhi emosionalku.
Maka pada detik selanjutnya setelah bisikan Jan merasuk jauh ke dalam jiwaku, detik itulah aku langsung berteriak sekeras-kerasnya sambil berlari mendatangi lawan bagaikan macan kelaparan yang mendapat mangsa lezat di depan mata. Aku tak melihat lagi bagaimana Jan, mungkin ia juga berlari garang menuju lawannya sendiri. Sementara aku sudah meraung ganas menyerang membabi buta. Lawanku sedikit terkejut melihat apa yang terjadi padaku. Selama beberapa menit, ia hanya sanggup terus mengelak serangan ganasku dengan wajah yang heran. Pukulanku mengincar berbagai bagian penting tubuhnya. Tendanganku membuat area geraknya menjadi sempit. Gerakanku yang tak dapat ditebak sudah berkali-kali membuat lawan terdesak ke pinggir dinding. Lawanku kali ini benar-benar kubuat tak berkutik, tak punya celah barang sesenti. Dua kali, tiga kali, sampai enam kali pukulanku tak dapat ia hindari. Menghantam leher, dada dan perut. Dan aku tidak berhenti. Aku tidak melihat, tapi aku yakin sekali Junior Fadz-Riel saat ini sedang berdiri tercengang dengan mata terbelalak dan wajah melongo melihat aksiku yang laksana monster mengamuk. Amarah, dendam, semangat, dan berbagai emosi bercampur aduk dan kuubah jadi kekuatan. Aku bagaikan karakter petarung video gim yang mendapat pembaharuan kekuatan super untuk menaklukkan vilain final.
Di masa kecilku, aku sudah puas dipukuli dan ditendang. Dibesarkan oleh rasa sakit dan kebencian. Maka malam ini, aku membuktikan bahwa aku mampu membalikkan keadaan, menukar posisi. Akulah yang kini memukul dan menendang. Menghabisi orang jahat dengan cara mereka sendiri. Mungkin ada yang akan berpikir bahwa apa bedanya aku dengan mereka? Jika aku membalas dengan cara yang sama, maka sama saja aku dengan mereka. Peduli setan. Aku dibesarkan oleh dendam dan kebencian mendalam. Aku tak tahu ke mana rimbanya bocah-bocah nakal yang dahulu pernah semena-mena padaku. Maka dengan pekerjaan ini, aku melampiaskan seluruh rasa sakit yang bertahun-tahun bersarang dalam jiwaku. Bekas luka di sekujur tubuhku ini adalah saksi bisu proses tumbuh berkembangnya aku diiringi oleh kekerasan. Luka adalah makhluk yang tak sudi pergi dari hidupku. Jadi, aku jadikan luka itu kekuatan super untuk melanjutkan hidupku. Melindungi kehormatan dan menjadikan arah perjalananku.
Maka malam ini, kepalan tangan yang dua dekade lalu lemah tak berdaya kini bergerak dengan kecepatan tinggi menghantam wajah lawan. Tak ampun lagi Dadu Lima tertolak membentur tembok. Ia tersandar sambil mengeluh kesakitan.
Sementara di seberang sana, aku dapat mendengar pekik kesakitan. Dadu Enam terkena tendangan Jan yang kencang luar biasa. Tendangan itu membuatnya hilang keseimbangan dan terhuyung miring ke belakang. Maka dalam detik-detik itu, Jan menyelesaikan dengan berlari melewatinya, lalu melompat dan berpijak ke tembok. Menggunakan tembok itu sebagai tolakan untuk berputar menerjang keras bagian kepala belakang lawan. Maka Dadu Enam pun seketika terempas ke lantai. Jatuh terkapar tak berdaya. Melihat itu semangatku menjadi tersulut lagi. Aku kembali manatap tajam lawanku yang masih tersandar lemas di pinggir dinding.
"Hyaah!" Teriakanku mengiringi tendangan yang menghujam bagian kiri dadanya dengan sangat keras. Ia terpekik panjang dengan suara memilukan. Sudah habis tenaga dan tak berdaya. Maka aku habisilah ia tanpa ragu-ragu dengan melancarkan serangan pamungkas. Dengan gaya yang aku tiru dari rekannya tadi, Dadu Tiga. Kaki kananku yang masih belum turun dari dadanya kujadikan tumpuan untuk aku melompat berputar dan menerjang dengan keras. Terjangan itu telak menghantam pipinya dengan kecepatan tinggi.
"Aaaaaaaaakh!" Ia menjerit panjang. Aku mendarat sempurna dengan posisi setengah berlutut, lantas langsung berdiri memunggunginya penuh gaya. Sementara lawanku itu tumbang ke samping, tertelungkup. Terkapar tak berdaya. Tak bergerak lagi sedikitpun.
Maka di malam itu, di tangan aku dan Jan yang kata Junior adalah duo pemuda paling berbahaya dekade ini, Enam Mata Dadu tamat riwayatnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
Eka Sari
Seru, serasa ada didalam novel
2020-11-19
1