Langit kota sedang cerah sore itu. Matahari hampir tumbang di badan langit sebelah barat. Terkatung seorang diri tanpa satupun awan menemani. Di bawah langit, gedung-gedung yang lampunya sudah menyala saling susul-menyusul menggapai langit. Lampu-lampu jalan mulai dinyalakan, meski masih kalah dengan matahari yang belum tenggelam. Jalan raya masih padat, kendaraan yang berlalu-lalang bahu-membahu menciptakan kemacetan. Ingar-bingar dan bisingnya pun tidak mereda barang sedikit. Manusia-manusia masih sibuk dengan urusan masing-masing. Mungkin ada yang menuju rumah sepulang dari pekerjaan. Ada pula yang baru saja berangkat menuju pekerjaan. Atau pemuda-pemuda yang cuma nongkrong santai menikmati wi-fi gratis sambil minum-minum. Atau bocah-bocah kecil yang berlarian menuju masjid, satu-dua singgah di tempat penjual jajan pinggir jalan. Suasana senja sama sekali tak mengubah ramainya kota.
Sementara dalam ruangan sebuah gedung, kebisingan itu tertahan di dinding kaca. Tempat di mana aku berdiri menatap ramainya kota dari ketinggian lantai 15. Tempat aku takzim berdiri mematung dengan kedua tangan bersedekap. Tanpa menoleh ke arah manapun. Ruangan itu sunyi dan senyap sekali. Hanya desis pendingin ruangan yang terus menemaniku.
Tiba-tiba terdengar desis pintu lift terbuka. Seseorang baru saja masuk ke ruangan ini. Bunyi derap langkah terdengar di belakangku. Aku langsung menajamkan pendengaran. Meningkat kewaspadaan. Derap langkah yang aku dengar semakin dekat, tapi aku tetap bergeming. Tidak bergeser barang sesenti. Bahkan untuk menoleh ke belakang pun tidak aku lakukan.
Akan tetapi, kewaspadaanku penuh. Dalam kepalaku, aku sudah menyusun rencana matang jika orang di belakangku ini menyerang. Sudah aku siapkan segala gerakan yang diperlukan. Gerakan yang begitu rapi dan sangat meyakinkan. Langkah di belakangku ini terdengar berhenti, dua meter di belakangku. Tanpa menoleh, aku tahu ia sedang memperhatikanku. Dan aku tetap mematung. Aku sudah sangat siap atas segala serangan yang akan dilancarkan. Karena orang dengan pekerjaan seperti aku, jelas banyak sekali ancaman dan resikonya. Banyak sekali orang di luar sana yang menginginkan nyawaku. Kemungkinan berbahaya akan selalu mengikutiku ke mana pun aku pergi. Salah satunya seperti yang mungkin akan terjadi beberapa saat lagi ini.
Aku mengeraskan kepalan tangan. Gedung ini adalah fasilitas umum, siapa saja bisa masuk dan mendatangiku di sini tanpa perlu akses khusus. Namun, aku tidak takut sedikit pun. Langkah itu kini semakin mendekat. Aku tahu, orang itu tepat di belakangku dan siap membekuk kapanpun ia mau. Aku tetap diam di tempat. Tidak melakukan gerakan apapun. Tidak gentar sedikit pun. Tidak ada darah berdesir atau rasa adrenalin. Diriku benar-benar tenang seperti tidak ada apa-apa yang mengancam. Bukan aku sok jago atau meremehkan orang di belakangku ini. Melainkan karena aku tahu persis siapa dirinya.
"Selamat sore, sobat!"
Aku membalik badan setelah menjadi patung hampir sejam. Membalas hangat salam pria itu. Menyapa ramah. Kami berjabat tangan dan saling merangkul.
Kemudian, brakk, tubuhku dibanting ke lantai dengan keras. Aku mengaduh. Tanpa pikir panjang, aku melancarkan tendangan dari posisi itu. Lantas aku bangkit dan mengirimkan pukulan. Pukulanku mampu ia tangkis, kulancarkan pula tendangan berputar. Tendangan itupun mampu dihindarinya. Ia ganti mengirimkan pukulan tangan kanan. Aku langsung merunduk dan melepaskan tendangan ke arah kakinya. Orang itu gesit sekali melenting ke belakang. Aku mengejarnya. Melompat dan melancarkan terjangan. Orang itu merunduk, terjanganku lewat di atas kepalanya. Sekarang kami bertukar posisi. Ia memunggungiku. Kurang sedetik, ia sudah berbalik dan mengirim pukulan-pukulan cepat. Aku menangkis dengan lincah sambil sekali-kali balas memukul. Gerakan kami begitu kencang. Bunyi lengan beradu, seruan dari mulut, dan napas yang memburu mengisi kesunyian ruangan itu.
Ruangan itu memang ruangan untuk bertarung. Lantai lima belas dari gedung olahraga yang digunakan untuk tempat latihan atlet silat. Sore itu, tidak ada kegiatan latihan, tapi ada pertarungan, yaitu pertarunganku yang bahkan masih berlangsung sengit.
Tendangan dan pukulan saling jual-beli. Pertarungan kami sebenarnya tidak cukup berimbang. Aku kewalahan melayani serangannya yang gesit dan lincah sekali. Sampai akhirnya aku yang terdesak hebat. Saat aku lengah, lawanku melancarkan tendangan yang tak sempat kuelakkan. Aku terpelanting dan jatuh menghantam dinding kaca. Kalau saja kaca itu bukan kaca tebal dan kuat, mungkin aku sudah terlempar jatuh menuju jalan raya di bawah. Lawan berlari memburuku dengan buas. Aku bangkit melompat dengan cekatan, lalu mengirimkan pukulan lagi. Ia menghindar dengan mudah, kemudian balas menghantam bahuku. Aku terhuyung. Sebelum aku sempat menyerang lagi, lawanku sudah berdahulu menendang kakiku sekaligus mengirim pukulan tepat ke wajahku. Tak pelak aku langsung jatuh menghantam lantai dengan keras. Aku tergeletak. Lawanku mengirimkan pukulan lagi, pukulan pamungkasnya. Pukulan yang tepat mengincar wajahku dengan kencang sekali. Tak mungkin kuhindari dalam posisi terjepit seperti itu.
Namun, sebelum pukulan itu benar-benar menghantam wajahku, gerakannya mendadak berhenti. Kepalan tangan itu berhenti dan membeku beberapa senti di depan hidungku. Kepalan tangan tadi lantas terbuka. Berubah menjadi uluran tangan. Aku tersenyum simpul, menyambut uluran tangan itu. Bangkit berdiri.
"Kemampuanmu terus berkembang, Ren!" Pria itu menepuk-nepuk bahuku dengan bangga.
"Ya, seperti yang kau lihat." Aku menepuk jasku, membersihkan debu-debu yang melekat.
"Tapi tetap saja kau belum bisa menandingiku," ucap pria itu pula. Ia beranjak ke pinggir dinding kaca menatap suasana kota.
Aku tersenyum simpul. Sudah terbiasa dengan sifatnya. Aku berkilah, "Kau tidak tahu saja, aku belum benar-benar serius tadi."
"Sudah berapa kali kita bertarung, Ren? Aku hapal dalihmu." Pria itu menoleh padaku sambil menyeringai geli.
Perkenalkan, dia adalah Jantoro. Biasanya kupanggil Jan, dia adalah sahabat karibku sejak kecil. Sejak kami duduk di bangku sekolah dasar. Dia adalah orang yang selalu melindungiku dari siapapun anak nakal yang mengangguku. Karena pada masa itu, aku tidak seperti sekarang yang tangguh dan tidak kenal takut. Saat sekolah dasar, tubuhku ringkih dan pendek. Sikapku yang pendiam, polos, dan tak pandai melawan, membuat banyak anak nakal senang menggangguku. Akan tetapi, ada satu orang yang selalu membelaku dari siapapun yang menganggu, dia itulah Jantoro. Sekarang usia kami mencapai kepala tiga, dan persahabatan itu tetap berlanjut. Meskipun saat ini kami sudah jarang bertemu karena alasan pekerjaan, tapi di sinilah kami biasa bertemu, di arena latihan silat. Untuk bertukar pukulan dan tendangan. Menyalurkan hobi kami sejak kecil. Bertarung. Dan hobi itu benar-benar berguna untuk pekerjaan kami saat ini.
Jan adalah seseorang polisi, tapi bukanlah polisi biasa. Bukan polisi yang biasa menilang pengendara yang tak mengenakan helm, atau polisi yang mengurus kasus perampokan atau pembunuhan kemudian operasi penangkapan tersangkanya disiarkan eksklusif di televisi. Jan adalah polisi elit terbaik yang pernah dimiliki kepolisian kota, bahkan negara ini. Dia adalah polisi khusus yang lebih sering beraksi di belakang layar. Seperti mata-mata yang kalian sering tonton di film-film, Jan adalah ahlinya. Di negera ini, ada puluhan organisasi kriminal yang bergerak secara masif dan memiliki pengaruh besar serta jaringan yang luas. Jan adalah spesialis dalam bidang ini. Dia adalah reserse paling dipercaya untuk menangani masalah tingkat tinggi seperti ini. Tidak jarang juga dirinya berpergian ke luar negeri, untuk menyelesaikan perkara pekerjaannya ini. Yang artinya berurusan dengan organisasi mafia tingkat internasional. Catatannya, Jan tak pernah gagal. Bersama pasukan khusus yang dikepalainya, sudah banyak organisasi kriminal besar yang berhasil ditumbangkan. Reputasinya sangat bagus dan karirnya begitu cemerlang.
Sementara aku, hampir sama dengannya. Pekerjaanku mirip sekali dengan sahabatku ini, tapi aku bukan polisi. Dan aku tidak bekerja untuk pemerintah. Aku bekerja di bawah perusahaan swasta. Dengan tugas yang memang mirip sekali dengan Jantoro.
Namaku Renato. Semua orang yang mengenalku memangggil dengan panggilan Ren. Aku bekerja untuk sebuah perusahaan raksasa di kota ini. Namanya adalah Korporasi Masadepan. Korp. Masadepan sendiri adalah perusahaan yang bergerak di bidang produksi dan pengembangan teknologi. Bidang utamanya adalah memproduksi berbagai macam alat elektronik rumah tangga dengan pemutakiran. Namun, di samping itu, perusahaan ini juga mengembangkan berbagai macam penemuan dan teknologi canggih.
Jabatanku adalah ketua Tim Khusus Anti-Konflik. Salah satu divisi unik yang dimiliki perusahaan ini dan mungkin tidak dimiliki perusahaan lain. Divisi ini dibentuk untuk mengatasi masalah perusahaan yang berkaitan dengan hubungan kerja perusahaan dengan perusahaan lain, baik itu mitra bisnis maupun saingan bisnis. Apapun bentuknya. Akan tetapi, pekerjaanku bukan hanya sekedar negoisiasi dan sebagainya, kadang aku juga terlibat aksi seperti pertarungan dan baku tembak. Bahkan pernah ada perusahaan yang bangkrut dan ditutup karena ulahku, dan tentu saja karena niat buruk mereka terhadap Korp. Masadepan. Itulah mengapa aku sebut pekerjaanku ini adalah pekerjaan yang berbahaya.
Aku beranjak ke dekat Jan. Berdiri bersisian di pinggir dinding kaca, menatap kota yang sore sudah mulai berganti malam.
"Ke mana kau malam ini?" tanyaku.
"Tidak jauh," jawab Jan. "Paling beberapa kilometer dari sini."
"Di mana?"
"Gedung itu!" Jan bergeser sedikit dan mengacungkan telunjuk ke arah sebuah gedung yang menjulang tinggi dan penuh dekorasi bercahaya hijau.
"Lantai Hijau," Aku menyebut nama gedung itu. Gedung yang cukup populer di kalangan penduduk kota. "Ada apa dengan kasino itu? Bukankah bisnis mereka punya izin? Apakah mereka ada kaitannya dengan geng kriminal internasional? Kau mau meratakan bisnis perjudian itu?"
"Tentu saja tidak, sobat!" Jan tergelak kemudian memandangku. "Ya, bisnis mereka memiliki izin. Tidak ada perintah untukku menganggu usaha mereka. Hanya saja, pucuk pimpinan gedung itu terkonfirmasi memiliki kaitan dengan Tengkorak Hitam. Aku akan ke sana malam ini, untuk mencari tahu fakta penting yang lebih dalam."
"Seorang diri?" tanyaku.
"Ya, seorang diri. Aku datang hanya untuk bertanya-tanya, bukan mau cari muka."
"Memang, tapi aku pernah berurusan dengan mereka. Dan mereka bukan orang-orang yang ramah. Jadi, berhati-hatilah!"
"Haha, lucu sekali, Ren!" ucap Jan dengan gelaknya. "Kau lupa aku pernah mendatangi gedung kasino tersohor di Makau, membuat jengkel penghuninya, dan keluar dengan selamat."
"Ya, terserahmu saja."
"Kau sendiri? Akan ke mana?"
"Biasa, negoisiasi bisnis."
Jan membalik badan. Berkata, "Baiklah, ayo!"
Ia berdahulu melangkah. Aku menyusul di belakangnya. Menyeberangi ruangan yang cukup luas itu. Sampai di muka pintu, Jan langsung menekan tombol lift. Tak beberapa lama, pintu terbuka dan kami pun masuk. Meninggalkan ruangan yang tetap sunyi, bahkan semakin sunyi setelahnya.
"Oh, iya, Ren," ucap Jan saat di dalam lift. "Aku lupa, maukah kau kukenalkan dengan rekan kerjaku di kantor?"
"Maksudmu?" Aku menatapnya dengan heran saat ia justru tersenyum geli.
"Gadis muda, Ren! Cantik orangnya!" jawab temanku itu.
"Ah, sudahlah, Jan! Tak usah kaukenalkan aku dengan gadis manapun, tidak perlu!"
Jan tak menjawab lagi. Ia hanya tersenyum geli. Begitu pintu lift terbuka, kami keluar berbarengan dan berpisah di pintu luar. Menuju kendaraan masing-masing.
Beberapa menit kemudian, Jan sudah meluncur dengan mobil sport hitamnya. Menghilang di persimpangan jalan. Sementara aku, menunggangi sepeda motor menyusuri jalanan kota. Di antara sinar-sinar lampu jalan dan lampu gedung-gedung. Menyelinap di antara kendaraan besar yang berdesakan. Menghilang di balik badan truk gandeng.
Sepeda motorku melanju kencang. Gesit mendahului mobil-mobil yang tak bisa mengebut. Bermanuver di tengah kondisi jalanan yang padat. Hanya butuh waktu lima belas menit dari gedung tempat aku berangkat tadi, kini aku sudah masuk ke jalan bebas hambatan. Di mana aku lebih leluasa lagi untuk mengebut. Melaju di bawah langit malam yang tiada berbintang. Langit yang bulannya sendirian tak berteman. Seakan seperti diriku, menjalankan semua pekerjaan tanpa teman. Sebab satu-satunya sahabatku, bekerja di tempat yang berbeda. Untungnya aku tetap mampu melaksanakan segalanya dengan baik tanpa rekan kerja. Membuatku semakin dipercaya oleh perusahaan. Meskipun aku tidak pernah menerima saat ditawari jabatan direktur.
Karena bagiku, duduk di kantor dan berkutat dengan berbagai macam dokumen baik di kertas maupun di komputer, adalah hal yang membosankan. Gaji selangit tidak membuatku tergiur saat aku tahu pekerjaannya hanya bersantai di balik meja kerja, telepon sini telepon sana, tanda tangan ini itu, analisis grafik, dan lain sebagainya. Aku lebih senang dengan jabatanku saat ini, berurusan dengan banyak orang baru. Berpindah-pindah tempat ke sana-sini. Rasanya semua gedung di kota ini sudah pernah aku kunjungi. Bahkan juga di kota lain. Berbicara di depan banyak orang dengan gaya khas, dan membuat orang-orang terperanguh dengan kekuatan persuasiku. Terutama saat ada yang berselisih paham denganku, berdebat, beradu argumen. Adalah hal paling memuaskan untukku. Terlebih lagi ketika aku harus berhadapan dengan algojo yang tak bisa diajak kompromi, justru main serang dan main tembak. Bertarung. Hobi sejak kecilku. Adalah alasan mengapa aku mencintai pekerjaanku. Bukan karena gaji yang tinggi, bahkan tidak digaji pun aku akan ikhlas melaksanakan pekerjaanku ini. Karena sejak kecil, inilah yang aku impikan.
Sebenarnya sedikit melenceng, karena yang aku impikan adalah menjadi polisi elit seperti Jan sahabatku. Kami bercita-cita sama, menjadi polisi rahasia yang tangguh. Akan tetapi, di antara kami berdua, hanya Jan yang benar-benar sukses meraihnya dan sukses menjalankan karirnya. Sementara aku, ya setidaknya pekerjaanku saat ini adalah pengganti yang tepat. Serupa tapi tak sama. Aku dan Jan mendaftar di akademi polisi bersama-sama. Melewati setiap tahapan dan tes bersama-sama. Namun, aku gagal lolos karena beberapa alasan. Sementara Jan lolos dengan mulus. Memulai karir dari bawah sampai seperti saat ini. Sementara aku, setelah gagal menjadi polisi, aku mencari peruntungan di banyak perusahaan. Tetap saja mereka sulit menerimaku. Sebelum akhirnya aku diterima di Korp. Masadepan. Meskipun sejujurnya, ada pengaruh orang dalam yang membuat aku diterima. Karyawan lain pun banyak yang meragukan aku pada awalnya. Sampai akhirnya aku terus bekerja dengan baik dan menunjukkan kelasku. Barulah aku mendapat jabatan ini. Bahkan perusahaan yang dulu menolakku kini mengakui kualitasku. Itulah mengapa saat ini aku bekerja untuk perusahaan swasta bukannya lembaga pemerintah atau kepolisian. Aku sudah menikmati pekerjaan ini, dan aku sudah merelakan impian masa kecilku menjadi polisi elit, biar saja itu menjadi profesi sahabatku. Toh aku juga hampir mirip seperti itu, hanya saja aku lebih dekat kepada dunia bisnis, saham, bursa, properti, dan lain sebagainya, alih-alih mafia, kriminal, narkotika, atau geng, yang ditangani Jan.
Hampir pukul delapan malam, aku keluar dari jalan bebas hambatan. Memasuki kota baru, kota tetangga dari kota asalku. Kurang lebih saja padat dan ramainya. Hanya saja tidak terlalu macet. Aku jadi lebih leluasa untuk mengebut dan menyelip. Langit kota ini hampir tidak ubahnya, bahkan bulan justru di tutup awan kali ini. Awan mendung, mungkin sebentar lagi akan turun hujan. Sementara aku terus melaju di jalanan kota layaknya seorang pembalap andal.
Pukul delapan lewat, aku tiba di tujuan. Berhenti di depan sebuah gedung menjulang. Memarkirkan sepeda motor di antara mobil-mobil mewah keluaran Jerman. Sementara kendaraanku sendiri yang roda dua dan pabrikan Jepang. Aku melangkah dengan wibawa dan bergaya melewati pintu masuk. Dengan setelan jas dan celana biru yang kurang rapi karena dipakai bertarung dengan rekanku tadi. Tidak sulit untuk melalui prosedur keamanan di lantai dasar itu, beberapa dari mereka mengenal baik siapa aku. Aku pun meluncur dalam lift menuju lantai puncak. Tempat ruang kerja sang pemilik gedung itu. Gedung yang menjadi kantor pusat PT. Kembang Indah. Perusahaan pemasaran alat elektronik yang bermitra dengan perusahaan tempat aku bekerja.
Aku keluar dari lift, langsung di ruangan itu. Ruangan yang luas dan nyaman. Di seberangku, duduk seorang tua berwajah oriental berkumis tebal di belakang meja kerjanya. Aku melangkah santai menuju meja tersebut. Melintasi ruangan yang berpenerang lampu dengan cahaya kekuningan. Ruangan yang didekorasi dengan corak yang erat sekali dengan budaya Tionghoa. Cukup untuk menjelaskan mengapa di atas meja kerja itu terdapat patung kucing yang dianggap membawa untung.
Henry Purnomo, begitulah nama lahirnya. Namun, dalam dunia bisnis, ia akrab dengan sapaan Koh Shung sebagai seorang keturunan Tionghoa tulen. Pria tua itu sedang duduk di kursi, dengan santun mempersilakan aku duduk.
"Selamat malam, Koh! Apa kabar?" tanyaku sambil duduk dengan takzim.
"Selamat malam, anak muda!" sahut orang tua itu. "Kabarku baik sekali. Terima kasih, kau mau mengunjungiku malam ini. Aneh rasanya, kau ini sudah berapa tahun bekerja dan berbisnis denganku. Kenapa kau terus yang datang ke mari untuk berbincang?"
"Maksud anda, Koh?"
"Seharusnya bukan kau lagi yang datang ke sini, tapi bawahanmu. Kau yang mengutus mereka, bukan kau yang diutus. Kau ini anak muda yang sangat berpotensi, Ren!" Koh Shung tersenyum ramah.
"Terima kasih, tapi saya masih senang dengan pekerjaan seperti ini. Belum tertarik untuk jabatan yang lebih tinggi." Aku bersandar ke kursi itu. Membuat posisi lebih santai. Aku tahu sekali maksud Koh Shung. Seharusnya aku sudah menjadi direktur perusahaan dengan karirku yang terus menanjak selama ini. Namun, seperti yang aku jelaskan tadi, aku lebih senang dengan jabatan ini.
"Kau terlalu merendah, sudah saatnya kau naik pangkat, anak muda! Promosi, kau tahu promosi, 'kan?"
"Terima kasih, Koh, tapi kedatangan saya ke tempat ini bukan untuk membahas perihal pangkat atau jabatan." Aku mulai masuk ke pembicaraan mengenai tujuan awalku. Berbicara setenang mungkin. Sambil tersenyum simpul.
"Jadi," Koh Shung merubah posisi duduknya. "Ada apa gerangan kau datang ke mari?"
"Begini, Koh, saya mau membahas soal pengalihan kerja sama yang anda ajukan. Serta penghentian dana untuk proyek besar kami."
"Ah, itu dia." Koh Shung langsung bereaksi. Ia meraih sebuah map berisi dokumen dari pinggir meja dan mengetengahkannya. "Sampaikan pada Roy, jangan berpikir panjang dan terlalu banyak pertimbangan untuk itu. Karena ini akan membuat kerja sama kita lebih baik tanpa merusak keseimbangan."
"Masalahnya, Koh. Kami tidak bisa menerima ajuan itu."
Seketika wajah Koh Shung berubah masam. Keningnya berkerut tak habis pikir. Keriput di wajahnya semakin terlihat jelas. Ia menatapku tajam.
"Kenapa?" tanyanya penuh penasaran.
"Kerja sama kita sudah berlangsung lama, sudah berjalan baik dan tidak ada masalah untuk pemasaran seluruh jenis alat elektronik. Saya rasa tidak ada kendala apa-apa. Kenapa anda ingin mengalihkan kerja sama kita?"
"Kerja sama kita memang berjalan dengan baik. Masalahnya, sektor baru perusahaan kalian, akan menganggu stabilitas bisnis kita. Grafik pemasaran menurun beberapa bulan ini, sejak sektor baru kalian diresmikan. Pemasaran produk mencapai seluruh dunia dan bukan main-main. Selain pemasaran, kami sudah menjadi investor untuk banyak sekali proyek kalian. Namun, kali ini, proyek kalian tidak dapat aku setujui."
"Tapi, bukankah proyek terbaru kami ini berpotensi untuk menghasilkan keuntungan sangat besar. Bayangkan saja, saat rancangannya selesai, investor-investor kelas dunia banyak yang berminat untuk menjalin kerja sama. Karena proyek terbaru kami, akan menciptakan sejarah. Menciptakan sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya. Investor kelas dunia begitu tertarik, bagaimana mungkin anda berpikir untuk menghentikan dana itu?"
"Justru itu, anak muda, proyek terbaru kalian ini terlalu ambisius. Terlalu besar dan sangat berpotensi gagal. Bayangkan saja ketika berkumpulnya investor kelas dunia, dengan menghabiskan modal ratusan triliun, tapi berakhir dengan kegagalan. Berapa perusahaan akan bangkrut dan ditutup?"
"Apakah anda meragukan kami, Koh?"
"Bukan meragukan, dan bukan pula meremehkan. Setelah banyak sekali proyek mutakir dan canggih yang kalian ciptakan. Alat elektronik yang semakin futuristik. Entah itu papan selancar terbang, jubah tempur, ponsel dan komputer canggih, atau bahkan alat bantu yang memungkin orang terbang. Terhitung banyak sekali yang kami danai, dan semuanya sukses besar, tapi kali ini, aku sendiri sebagai pebisnis yang telah mencapai usia lebih setengah abad merasa tidak yakin dengan proyek itu. Tidak pernah ada sebelumnya. Mungkin karena aku memang tidak berkecimpung di dunia teknologi, tetapi aku merasa tidak yakin dengan proyek itu. Aku akui, Korp. Masadepan sukses menciptakan segala macam teknologi yang dulu hanya ada dalam film fiksi, menjadikannya nyata. Benar-benar nyata. Akan tetapi, tidak untuk mesin waktu."
"Oh, ayolah, Koh! Amerika, Rusia, Jepang, Jerman, dan seluruh negara maju berlomba-lomba menciptakannya. Namun, belum ada yang benar-benar berhasil. Dan ya, negara kita bukan lagi negara berkembang seperti sepuluh tahun yang lalu. Negara kita sudah menjadi negara maju dan perkembangan teknologi yang sudah setara dengan Jepang, Korea, dan lain sebagainya. Itulah kenapa kami ingin mengambil langkah baru untuk mencetak sejarah. Menciptakan teknologi yang tak pernah berhasil diciptakan oleh negara yang sudah maju sejak puluhan tahun yang lalu. Kita tunjukkan kualitas negara kita dalam teknologi."
"Tapi kau lihat, Renato!" ucap Koh Shung dengan nada yang menanjak. "Apa korupsi sudah hilang dari negeri ini? Apa tingkat kriminal sudah mengalami penurunan? Bahkan semakin naik aku kira. Apa bedanya dengan sepuluh tahun yang lalu? Negara kita sudah negara yang maju. Ekonomi kelas atas. Namun, apa warganya sejahtera dan aman?"
"Justru proyek kami untuk menciptakan mesin waktu adalah inovasi terbaru untuk mewujudkan kedamaian. Salah satunya dalam bidang kriminal, atau bahkan kasus korupsi. Mesin waktu akan membuat segalanya jelas, tidak ada lagi fakta yang ditutupi. Segalanya bisa kita ketahui."
Koh Shung tertegun. Lama sekali mataku dan matanya beradu.
"Tapi," ucap Koh Shung akhirnya. "Apa kalian benar-benar yakin akan berhasil? Kau sendiri yang bilang banyak negara maju yang gagal menciptakannya."
"Mereka gagal karena salah persepsi terhadap mesin waktu. Salah konsep dan tujuannya. Sementara kami hadir dengan visi yang berbeda, konsep dan tujuan yang berbeda. 23 orang ilmuwan terkemuka dari dunia sudah terkumpul. 9 di antaranya adalah ilmuwan lokal kita yang paling membanggakan. Salah satunya adalah yang berperan dalam menciptakan jaringan internet termutakir. Kami yakin, kami akan berhasil."
"Kau tidak cukup membuatku yakin," ucap Koh Shung.
"Bagaimana jika saya sendiri dengan seluruh harta kekayaan yang saya miliki akan mengganti kerugian perusahaan anda, jika proyek kami gagal," tantangku. Aku tersenyum penuh kepuasan. Koh Shung yang terkejut. Keningnya tambah berkerut. Mungkin dia berpikir, anak ini sudah gila.
"Kau terlalu berani, anak muda, kita bukan bicara soal uang yang hanya senilai jutaan atau miliaran. Kau sangat tahu hal itu," jawab Koh Shung.
"Anda tidak usah memikirkan tentang bagaimana saya akan melakukannya, sekarang apa anda setuju dengan pertaruhan ini? Jika setuju, maka tarik kembali keputusan anda. Lanjutkan aliran dana untuk proyek kami. Dan batalkan pengalihan kerja sama." Aku berbicara penuh dengan ketenangan. Koh Shung justru sebaliknya, terlihat dalam tekanan. Dia tidak heran, dia sudah berulang kali berurusan denganku. Dia sudah hapal sekali denganku. Ia terdiam lama penuh pertimbangan. Sementara aku tersenyum sambil menunggu keputusannya.
"Baiklah," ucap Koh Shung menyerah. "Aku setuju!"
Aku tersenyum lebar. "Baiklah, terima kasih, Koh! Senang berbisnis dengan anda!"
Koh Shung hanya menyeringai.
"Maaf, saya harus buru-buru kembali. Selamat malam!"
Urusanku selesai. Aku tegak, meminta diri untuk meninggalkan ruangan itu dengan sopan. Meninggalkan Koh Shung dengan wajah yang menampakkan ekspresi tak habis pikir.
Setelah selesai dengan Koh Shung, aku segera meluncur pulang. Semakin malam, jalanan semakin sepi. Mendukung sekali untukku kebut-kebutan. Meskipun saat itu turun gerimis, aku tetap melaju tanpa menghiraukannya. Di jalan bebas hambatan, aku semakin leluasa berubah menjadi pembalap. Seandainya kendaraanku sudah dimutakirkan dengan teknologi teranyar dari perusahaanku, mungkin aku sudah terbang dengan sepeda motor ini. Namun, proyek sepeda motor terbang itu sedang ditunda. Untuk mengerjakan proyek lain yang lebih besar. Yaitu proyek yang tadi aku bahas dengan Koh Shung. Proyek paling besar sekaligus proyek paling mahal yang pernah ada dalam sejarah perusahaan ini. Yakni Mega-proyek Menciptakan Mesin Waktu. Merealisasikan apa yang selama ini hanya ada dalam film-film fiksi atau film superhero. Time Travel bukan lagi sebatas khayalan. Manusia akan benar-benar dapat melakukan perjalanan lintas waktu. Tidak lama lagi, negara ini akan mencetak sejarah sebagai negara pertama yang berhasil menciptakan mesin waktu. Negara yang dulu terbelakang dan terus menjadi negara berkembang saat negara lain sudah maju. Kini kita sudah maju, puluhan teknologi mutakir yang digunakan di seluruh dunia tercipta di sini. Hampir seluruhnya diciptakan oleh perusahaan kami, Korp. Masadepan. Korporasi raksasa yang menguasai puluhan laboratorium pengembangan teknologi yang tersebar di negara ini. Dua puluh tahun yang lalu, perusahaan ini hanyalah perseroan kecil yang memproduksi alat elektronik rumah tangga biasa. Bahkan belum memiliki cabang. Akan tetapi, dalam kurun waktu dua dekade, perusahaan ini berkembang dengan sangat pesat, semakin bertumbuh besar dengan cabang bermunculan di mana-mana. Menjadi perusahaan yang terus berinovasi dan memajukan teknologi di negeri ini. Menciptakan banyak sekali teknologi termutakir yang belum pernah ada sebelumnya. Semua alat elektronik yang diproduksi di sini, adalah alat elektronik super canggih yang memiliki fitur lebih hebat daripada pabrikan lain. Produk unggulan. Itulah alasan kenapa perusahaan ini dinamakan Korporasi Masadepan, menciptakan teknologi berorientasi masa depan.
***
Jalan protokol kota masih ramai saat aku tiba di sana. Ada banyak pilihan jalan yang dapat ditempuh menuju tempat tujuanku. Dan aku memilih jalan paling utara. Sebenarnya, jalan itu bukanlah jalan pintas. Bukan juga jalan yang biasa aku lewati. Justru malah jalan yang lebih jauh. Alasanku memilih jalan itu adalah jalan itu adalah yang cenderung sepi dibanding jalan-jalan lain saat malam hari. Sementara siang hari, padatnya kurang lebih saja. Lagipula, jika aku menempuh jalan itu aku akan melewati Gedung Lantai Hijau, kasino yang didatangi Jan malam ini. Maka di bawah langit yang sudah tidak gerimis itu, aku melaju di jalanan sepi. Meliuk-liuk dengan lincah.
Pada awalnya, jalanan itu memang benar-benar sepi seperti perkiraanku. Namun, jalanan itu tidak lagi sepi setelah kulihat ada belasan sepeda motor kebut-kebutan. Juga ada beberapa buah mobil mewah saling kejar-mengejar. Iring-iringin itu berjarak sekitar dua ratus meter di depanku. Aku sama sekali tak tahu apa yang terjadi, tapi aku melihat ada kilat-kilatan cahaya dan percikan api. Serta bunyi tembakan. Tembakan senjata api. Senjata api? Ya, aku yakin sekali itu senjata api. Ya ampun, apa yang terjadi di depan sana? Mengapa ada mobil-mobil dan sepeda motor kebut-kebutan dengan pengemudinya berkali-kali menembakkan senjata api?
Aku menambah laju sepeda motorku. Berusaha secepat mungkin untuk mengejar iring-iringan di depan sana. Dalam kelajuan itu, aku melesat melewati gedung yang penuh cahaya hijau. Gedung Lantai Hijau. Dalam kelajuan tinggi, aku menoleh sekilas. Seketika itu aku teringat. Jan datang ke Gedung Lantai Hijau sejak senja tadi. Saat ini hampir larut malam, ada gerombolan pengemudi bersenjata di depanku. Sekarang aku tahu apa yang terjadi. Aku berpikir cepat, bagaimana caranya agar aku dapat menyusul mereka. Sahabatku sedang dalam masalah.
Dunia sudah berubah. Panel kontrol kendaraan tidak lagi terletak di dasbor. Sepeda motorku pun begitu. Panel kontrol kendaraan ini terdapat di sebuah sistem gawai super canggih. Dan cukup dengan perintah suara
aku telah mengaktifkan gawai itu, menyalakan layar pada kaca helm yang aku kenakan. Gawai itulah panel kontrol kendaraanku. Dengan terhubung dengan jaringan internet dan dilengkapi dengan sistem kecerdasan buatan bernama Dhen, layarnya memaparkan segala data, informasi, dan fitur canggih sepeda motorku. Kolom kecepatan pada layar menampilkan kecepatan maksimum. Kemudian aku menatap jauh ke depan. Aku berhitung cepat; aku tahu sekali jalan ini, saat ini aku melintasi jalan lurus sepanjang lebih dari tiga mil. Iring-iringan mobil di depanku memperlebar jarak menjadi empat ratus meter. Kolom informasi bahan bakar pada layar menunjukkan bahwa bahan bakar kendaraanku masih banyak. Aku mengambil keputusan riskan.
"Dhen! Aktifkan Mode Kilat!" Aku memasukkan perintah suara.
"Perhatian, Mode Kilat segera diaktifkan, ini dapat menyebabkan tekanan tinggi terhadap pengendara. Konfirmasi?" Suara kecerdasan buatan itu menyahutiku.
"Konfirmasi!"
"Terkonfirmasi. Mode Kilat aktif. Melesat dalam lima detik!"
Aku bersiap. Mempererat pegangan tangan. Membungkukkan badan. Mesin sepeda motorku mengeluarkan bunyi berdengung.
"Lima ... empat ... tiga ... dua ... satu!"
Whuss, secepat kilat aku melesat. Menyisakan larik cahaya biru dari warna kendaraanku. Selama beberapa detik aku melesat dengan kelajuan yang tak dapat di lihat mata. Menembus iring-iringan kendaraan tadi. Tanpa sengaja aku menyenggol salah satu sepeda motor, sehingga sepeda motor itu bersama dengan pengendaranya terlempar keluar jalur. Tubuhku terasa panas sekali. Detik selanjutnya aku berhenti melesat. Kelajuan kembali normal dan semakin menurun. Aku menoleh ke belakang, gerombolan tadi jauh di belakangku. Maka aku menginjak pedal rem, roda berdecit sebelum akhirnya aku berhenti dan meminggirkan kendaraanku. Aku menghela napas panjang. Aku sangat jarang mengunakan mode kilat seperti tadi karena memang berbahaya. Akan tetapi, di saat terdesak, memang terpaksa aku gunakan. Itulah gunanya fitur itu diciptakan.
"Perhatian, kendaraan mengalami hantaman. Tingkat ketahanan terkini 59%."
"Dhen, sambungkan panggilan kepada Jantoro!" ucapku.
"Menyambungkan panggilan." Terdengar bunyi nada tunggu. Dari helm super canggih ini, aku mendengar lagu berbahasa Jepang diputar. Aku mengutuk dalam hati, pasti Jantoro menggunakan nada sambung panggilan pada ponselnya. Lagu Jepang pula.
"Hallo, ada apa, sobat?" sapanya kemudian dengan suara yang terdengar seperti tidak ada masalah apa-apa.
"Perlu bantuan?"
"Tidak juga," jawabnya pongah.
"Kau yakin? Dengan gerombolan orang bersenjata lengkap di belakangmu?"
"Ya, aku baik-baik saja. Kau terlalu meragukan aku, sobat!"
"Jadi, kau benar-benar tidak perlu bantuan?" tanyaku memastikan. Sambil menoleh ke belakang, iring-iringan mobil itu semakin dekat. Baru terlihat jelas, gerombolan kendaraan bersenjata lengkap itu mengejar sebuah mobil mewah berwarna hitam. Mobil Jan.
"Baiklah, kau bisa berikan aku tumpangan pulang," jawab Jan. "Dengarkan aku baik-baik, jika kau adalah orang aneh yang sedang celingak-celinguk di atas motor di pinggir jalan dua ratus meter di depanku. Maka tetaplah di posisimu. Jangan lakukan apa-apa. Tenang saja. Cukup saksikan apa yang akan aku lakukan. Tunggu aku di situ!"
"Tapi ..."
Sambungan terputus. Bersamaan dengan itu sebuah mobil mewah hitam melesat di sampingku. Disusul belasan kendaraan dengan pengendara bersenjata lengkap. Peluru-pelurunya berdesingan. Namun mobil Jan itu, jangankan kacanya, rodanya saja tidak tembus peluru. Mereka semakin jauh. Sementara aku mengikuti instruksi Jan untuk diam di sini menyaksikan aksinya.
Di depan sana, mobil Jan bermanuver lincah. Akan tetapi, entah aku salah lihat atau tidak, tiba-tiba mobil itu oleng. Berputar ke samping, menghantam pembatas jalan dan tak pelak terguling dan berhenti dalam keadaan terbalik. Salah satu peluru menghantam titik lemahnya, dan tak ampun mobil itu meledak hebat. Aku terkesiap. Apa-apaan ini? Jan bilang dia akan baik-baik saja dan cukup menyaksikan. Mobil itu kini sudah terbakar dengan kobaran api menyala-nyala. Aku tak bisa menunggu, aku segera menyalakan sepeda motorku.
"Mau ke mana, sobat?"
Aku terkesiap untuk kedua kalinya. Menoleh ke samping dengan kejut bukan main, Jan sahabatku berdiri dengan keadaan sehat wal afiat. Tersenyum penuh gaya. Ia hanya sedikit membersihkan debu di jaket kulitnya. Apa-apaan ini? Bagaimana mungkin?
"Sudah, wajahmu itu biasa saja! Ayo antar aku pulang!" Dengan santai pria jangkung itu menaiki sepeda motorku.
Aku masih tertegun dengan wajah tak percaya. Kawanku ini memang selalu membuat aku takjub. Banyak sekali aksi mengagumkan yang ia lakukan. Dan tak pernah sekalipun tidak membuatku penasaran.
"Jika kau benar-benar ingin tahu," ucap Jan akhirnya. "Aku mengaktifkan mode kemudi otomatis tadi. Kemudian aku melompat keluar mobil di sekitar sini. Sisanya aku mengirim perintah agar kendaraan itu hilang arah dan terbalik. Lantas terbakar. Dan orang-orang itu akan mengira aku sudah mati terpanggang di sana."
"Kau melompat keluar dari mobil berkelajuan tinggi?"
"Ya, aku pernah mempelajari beberapa teknik ninja," kelakarnya. "Kau saja tidak sadar, padahal aku mendarat beberapa meter di belakangmu. Apalagi mereka yang dalam kelajuan tinggi dan sibuk menembaki mobil."
"Baiklah, baiklah. Kau mau kuantar ke mana?" Aku mulai menyalakan lagi sepeda motorku dan mulai meluncur. Melaju ke depan beberapa meter, kemudian memutar balik.
"Pulang tentu saja," jawab Jan.
"Iya aku tahu, pulang ke mana? Ke rumahmu atau ke apartemen, atau ke ..."
"Rumah!" potong Jan.
Aku tak menjawab lagi. Kami saling diam selama beberapa menit. Sampai akhirnya aku membuka lagi pembicaraan.
"Jan," ucapku. "Jadi, kau benar-benar sengaja membakar mobil itu begitu saja?"
"Ya!" jawabnya setengah tertawa.
"Kau tahu itu tindakan mubadzir, 'kan? Sangat disayangkan sekali, sobat!" ucapku.
"Astaga, Ren! Kau ini berlebihan. Kau tahu, aku masih punya sembilan unit mobil seperti itu, dan belasan tipe lainnya." Sahabatku bertutur dengan pongahnya. Salah satu impian masa kecilnya dulu adalah menjadi orang kaya. Mengoleksi mobil super mewah seperti sekarang ini, sudah direncanakannya sejak kecil. Dan ia sukses membuatnya nyata.
"Mentang-mentang hartamu selangit, berlagak sudah seperti sultan!" celetukku.
"Kau juga kaya selangit, sobatku yang bijak!" balas Jan. "Tapi aku tak mengerti mengapa kendaraanmu hanya satu motor ini saja, satu ini saja sejak setahun yang lalu. Padahal dengan seluruh kekayaanmu, kau bisa membeli belasan unit mobil mewah keluaran Jerman. Tapi satu pun tak ada."
"Untuk apa kendaraanku berpuluh-puluh, aku tak akan bisa mengemudikannya sekaligus!"
"Ya, setidaknya kau tak sulit mengurus pembelian mobil baru jika mobilmu tiba-tiba meledak seperti tadi," ucap Jan.
"Haha, aku tidak sepertimu, Jan!"
Jan tertawa.
Hampir pukul sepuluh, kami sampai di kompleks rumah berdesain elit dan megah di kota. Tempat rumah kediaman Jan. Aku berhenti tepat di halamannya yang luas.
"Terima kasih, tumpangannya, sobat!" ucap Jan sambil turun dari sepeda motor.
"Ya, ongkosnya jangan lupa!" candaku.
"Ya ampun, sobat, apakah dengan sahabat sendiri kau mau meminta ongkos?" tanyanya seakan serius menanggapi.
"Ya ampun juga, sobat!" balasku. "Apakah orang kaya yang baru saja membiarkan mobil mewahnya yang seharga miliaran rupiah terbakar begitu saja tidak mampu membayar ongkos ojek?"
Jan dan aku akhirnya tertawa terbahak-bahak.
"Baiklah, Jan. Aku akan pulang!" ucapku kemudian.
"Tunggu dulu, sobat!" ucap sahabatku. "Tidakkah kau mau mampir dulu di kediamanku? Aku yakin kau belum makan malam!"
Aku batal menyalakan mesin sepeda motor. Aku berpikir sejenak. Benar juga, aku belum makan malam. Tidak ada salahnya aku mampir sebentar.
"Baiklah, boleh juga." Aku memarkirkan sepeda motor. Lalu menyusul sahabatku masuk ke dalam rumah mewah itu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!