Bismillahirohmanirohim
Alvin, Eza, dan Fahmi pergi masuk ke dalam gedung yang lumayan besar itu, baru saja menginjakkan kaki di dalam gedung tersebut, mata ketiganya sudah disuguhkan dengan pemandangan yang sangat memprihatinkan.
Seorang bocah yang sedang menggambar menggunakan kakinya tanpa memiliki kedua tangan, tapi bocah itu tersenyum dengan puas saat melihat gambar yang dia buat.
Alvin menepuk pundak Fahmi, sedari tadi tatapan orang itu tidak teralihkan dari bocah di depannya itu. "Gimana Mi, apa lo jadi bunuh diri setelah melihat ini? kalau gue sih mikir dua kali dulu sebelum bunuh diri" ucap Alvin sambil tersenyum pada Fahmi.
"Lo lihat kan, orang yang nggak punya anggota tubuh sempurna aja masih bersyukur dan masih bisa tersenyum, mereka mampu bertahan hidup dengan anggota tubuh yang ada pada mereka"
"Gini deh dari pada kita bertiga cuman lihat mereka aja mendingan kita ajak ngobrol, gue kesana dulu kalian berdua terserah mau ajak ngobrol siapa"
Sekarang hanya ada Fahmi dan Eza di tempat itu, yang masih diam mematung, sepertinya mereka berdua belum sadar jika Alvin sudah tidak bersama mereka.
'Apakah gue termasuk orang yang kurang bersyukur?' batin Eza.
Semenjak bersama Alvin banyak sekali perubahan yang dialami oleh Eza, yang tadi nya tidak pernah sholat, dia jadi sering sholat berjamaah bersama Alvin, intinya semenjak bersama Alvin sedikit demi sedikit Eza paham apa arti hidup.
"Gue kesana dulu Mi" Eza yang sudah tersadar dari lamunannya segera mendekati salah seorang yang sedari tadi mengusik matanya, dia bukan orang tuna netra.
"Gambarnya bagus" puji Fahmi pada anak yang tadi sedang menggambar.
Anak laki-laki itu menoleh ke atas, dia bisa melihat muka Fahmi yang sedang tersenyum padanya. "Terima kasih kak, kakak orang pertama yang bilang gambar Rizik bagus" ucapnya berbinar.
Ada nyeri di hati Fahmi yang dia rasakan saat anak laki-laki yang bernama Rizik itu berkata barusan, Fahmi berjongkok sambil mengelus rambut Rizik.
"Apakah Rizik akan selalu tersenyum seperti ini?" tanya Fahmi lembut.
Rizik menganggukkan kepalanya beberapa kali untuk membenarkan ucap Fahmi.
"Kenapa?" sekali lagi Fahmi bertanya pada Rizik, hatinya sudah mulai tersentuh saat melihat Rizik untuk pertama kalinya, Fahmi sangat membenarkan semua ucapan Alvin.
"Kenapa?" Rizik mengulangi pertanyaan yang dilontarkan oleh Fahmi.
"Kata ibu Mira senyum itu ibadah, kita harus tetap bersyukur dengan keadaan kita saat ini, karena Allah memandang manusia bukan dari fisiknya, tapi takwanya"
Jawaban yang diberikan oleh Rizik membuat Fahmi tertegun bagaimana bisa bocah berumur sekitar 6 tahun memberikan jawaban seperti orang dewasa, bahkan Fahmi saja yang sudah dewasa tidak pernah terlintas di otaknya jawab seperti yang dikatakan Rizik.
"Boleh kak Fahmi ikut menggambar?"
"Tentu kak, Rizik malah senang kalau ada yang mau nemenin Rizik menggambar" menjawab sambil tersenyum antusias.
Sementara itu Alvin sedang asik berbincang dengan pengurus gedung tunanetra tersebut, Alvin memang sering datang ke tempat tersebut, sama seperti Fahmi, Alvin juga dulu berpikir seperti itu tapi setelah bertemu dengan kakek Hasan, dan sering berkunjung ketempat ini, dia bisa lebih bersyukur.
Kadang kita dapat lebih bersyukur setelah melihat kekurangan orang lain.
"Terima kasih nak Alvin sering datang ketempat ini, mereka semua senang jika nak Alvin datang, kadang anak-anak suka nanya kapan kak Alvin main kesini lagi"
"Iya bu Ida, maafin Alvin soalnya lagi sibuk sama kuliah, sekarang kuliah Alvin udah aktif banget, tadi Alvin kesini sama Eza juga, terus ada teman Alvin yang satu lagi, tapi Alvin tinggal soalnya tadi kebelet" ucap Alvin sambil nyengir tidak jelas.
"Nanti biar ibu yang ketemu Eza, biasanya juga dia nyamper kesini kalau belum ketemu ibu"
"Kalau gitu Alvin ke bawah dulu ya bu" pamit Alvin.
Ibu Ida tersenyum senang pada Alvin, membiarkan Alvin pergi meninggalkan ruangan nya, dia sangat bersyukur ada orang baik seperti Alvin, bukan hanya menghibur orang-orang yang ada disana Alvin juga selalu memberikan donasi setiap berkunjung, walaupun tidak seberapa menurut Alvin.
Ibu Mira dan Ibu Ida adalah pengurus gedung tunanetra tersebut, mereka berdua memberikan kasih sayang pada setiap penghuninya tanpa pamrih.
"Si Fahmi sama Eza kemana lagi?" bingung Alvin, dia seperti kehilangan anaknya saja, padahal tadi yang pergi begitu saja dirinya.
***
"Lo kenapa? dari tadi gue liat nunduk terus?" tanya Eza pada seorang cowok yang sedari awal dia masuk sudah mengusik matanya.
Bukanya menjawab pertanyaan Eza, cowok tersebut malah beralih memeluk Eza dengan sangat erat.
"Woy, lo kenapa meluk gue sih, jangan bilang lo belok lagi" umpat Eza.
Dia berusaha melepaskan pelukan cowok itu. "Pills, biarin gini bentar" ucapnya memohon.
"Kalau lo lagi waras gue tendang beneran lo" Umpat Eza.
Bisa-bisanya ada orang yang asalan memeluk dirinya cowok lagi, kalau Alvin yang liat bisa menjadi bahan tawaan Alvin dalam satu minggu dirinya.
"Gue ngerasa hidup nggak berguna, kakak gue lumpuh gara-gara nyelametin gue saat kecelakaan waktu itu, sebelum dia pergi untuk selama-lamanya di dunia ini gue berusaha keras untuk dia sembuh tapi apa kakak gue malah pergi gitu aja"
Tanpa diminta orang tersebut bercerita seenaknya pada Eza, masih dalam posisi yang sama memeluk Eza.
"Bisa lepas dulu kagak pelukan lo?" pinta Eza memohon.
"Iya" melepaskan pelukannya dari Eza.
"Nama lo siapa?"
"Candra" jawab Candra.
"Gue takut mulut gue keseleo jadi gue panggil lo Cecep aja, nih ya Cep kalau lo nggak ikhlas kakak lo pergi kasian dia diakhiratnya, karena didunia ini masih ada yang belum mengikhlaskan dirinya"
"Allah lebih sayang kakak lo, maka dari itu Allah mengambil lebih cepat, seharusnya kalau lo sering kesini lo bisa lebih bersyukur, sekarang lihat mereka semua"
Keduanya menatap orang-orang tunanetra yang berada disana.
"Mereka tetap tersenyum walaupun tanpa kasih sayang keluarga, mereka tetap tersenyum walaupun anggota tubuh tidak sempurna, jadi jangan terus menerus hidup dalam rasa bersalah"
"Merasa bersalah boleh, tapi jangan sampai menghantui, melihat kebelakang juga boleh tapi ingat kita hidup untuk masa depan bukan hidup untuk masa lalu"
Seperti Eza sudah banyak berbicara sampai Cecep saat ini merenungi semua perkataannya.
"Sudah selesai curhatnya?" keduanya menoleh ke sumber suara.
"Sejak kapan lo disini, Vin?" tanya Eza was-was takut, Alvin melihat dirinya dan Cecep berpelukan.
Alvin menaikan satu alisnya. "Menurut lo?" Alvin beratnya sambil tersenyum penuh arti.
"Kenalin teman gue Alvin namanya" seperti biasa Eza mengalihkan pembicaraan.
"Candra" mengulurkan tangan pada Alvin sambil tersenyum.
"Gue dengar tadi Eza manggil lo Cecep, jadi gue juga takut lidah gue keseleo manggilnya Cecep aja dah" ucap Alvin seenak jidat.
"Terserah kalian berdua, sesuka kalian aja gua mah yang waras terima aja" sungut Candra.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments