"Tidak.. jangan bawa aku ke klinik," Ve mencegah Adrian membawanya ke klinik.
"Tenang saja itu hanya klinik kecil. Tidak akan ada masalah," jawab Adrian ambigu.
"Tapi...Kak Hans," keluar sudah sifat manja Ve. Entah kenapa dengan Adrian yang baru ia jumpai tadi sore, Ve merasa nyaman. Merasa bisa menjadi dirinya sendiri.
"Diamlah!" desis Adrian.
Bukannya apa. Ini saja rasanya sudah perih. Bagaimana jika nanti sama dokternya malah diubek-ubek tu luka yang tidak seberapa. Bukannya sembuh bisa tambah perih nantinya.
"Jangan takut," bujuk Adrian.
"Takut sih nggak. Cuma malas saja," batin Ve. Pada akhirnya lebih memilih menatap pemandangan di luar jendela mobil Adrian, membuat Adrian tersenyum dibuatnya.
"Dasar tuan putri udik," batin Adrian.
**
"Huwaaa sakit dok!" Pekik Ve, berteriak sekencang yang dia bisa. Adrian langsung memejamkan matanya. Pasalnya, Ve berteriak tepat di telinga Adrian.
"Astaga...bebas kagak. Budeg iya," gerutu Adrian.
Baru tahu kelakuan Ve yang sebenarnya. Mana ada tuan putri yang teriaknya kencang banget. Seperti Tarzan manggil bala bantuan saja.
Sejurus kemudian Adrian meringis ketika kuku Ve serasa menģoyak lengannya. Gadis itu menggunakan lengannya sebagai pegangan.
"Sakit...Dok," keluh Ve lagi.
"Sabar sikit ye. Lukanya dah kering. Dan jadi satu dengan celana panjang awak. Jadi susah sikit nak bersihkannya," ucap dokter perempuan itu sabar.
Pelan-pelan membersihkan luka di lutut Ve. Ve pikir lukanya tidak seberapa. Tapi sakitnya luar biasa. Atau karena dirinya yang tidak pernah merasakan luka. Hingga luka kecil saja. Sakitnya minta ampun.
Setiap kali dokter itu membersihkan luka Ve. Rasa perih langsung terasa, membuat Ve meringis. Nah setiap meringis itu, dia meremas lengan Adrian. Membuat pria itu ikut meringis.
"Yah...yahh...bisa habis lebam lengan gue," gerutu Adrian lagi.
Ve melirik Adrian judes.
"Kan aku sudah bilang jangan dibawa ke klinik. Kak Hans sih ngeyel," gumam Ve.
Adrian jelas melongo mendengar ucapan Ve.
"Kalau tidak dibawa ke klinik. Nanti tambah parah Nona."
"Bisa dimaki habis-habisan aku sama kakakmu. Kalau kamu lecet sedikit saja," batin Adrian, menatap Ve yang terus saja meringis. Ketika dokter itu meletakkan kasa di luka Ve.
"Dah siap. Tukar kasanya masa awak mandi," pinta sang dokter.
(Sudah selesai. Ganti kasanya ketika kamu mandi)
"Terima kasih dokter," ucap Ve. Turun dari ranjang pasien. Perlahan berjalan menuju ke depan. Dimana kasir berada.
Dia tahu. Di luar istana, dia harus membayar untuk semua hal yang dia inginkan, juga dapatkan.
"Mau kemana?" tanya Adrian.
"Bayarlah," Ve menyahut ketus.
"Ini nak klaim ke nak perorangan," si kasir bertanya.
"Perorangan," jawab Ve dan Adrian bersamaan.
"Aku yang bayar," Adrian bersikeras.
"Aku..." Ve menyerahkan kartunya.
"Minta maaf, Kak. Cash only," ucap kasirnya sambil tersenyum.
Ve meraih dompetnya. Dan...tara...no cash available di dompetnya. Gadis itu mendengus kesal. Menatap ke arah Adrian yang tersenyum mengejek ke arahnya. Lantas meraih dompetnya. Membayar dengan pecahan 50 ringgit.
"Cash, harus selalu ada di dompet. Kalau kamu berada di sini," ledek Adrian.
"Sok tahu!" Ucap Ve, perlahan mengikuti Adrian berjalan menuju mobilnya, sambil membawa kresek berisi obat untuknya.
"Mau makan?" tanya Adrian.
"Nggak punya duit!" Ve menyahut cepat.
"Aku punya," goda Adrian.
"Aku tidak suka berhutang," lagi Ve menjawab.
"Kamu bisa bayar utangmu kan," ucap Adrian lagi.
"Kan aku tidak punya cash."
"Kamu bisa membayarnya dengan yang lain," Adrian berucap ambigu.
"Maksudmu apa? Sudahlah aku pulang saja," Ve berlalu dari hadapan Adrian.
"Naik lagi emosinya," gumam Adrian.
"Ve...tunggu dulu, aku antar. Aku hanya bercanda soal tadi," Adrian mengejar Ve.
"Fao...Fao...apa kau disana?" desis Ve.
Tidak ada jawaban. "Aishh kemana sih dia?" kesal Ve.
Ve perlu Fao untuk mencarikannya rute pulang. Dia tidak melihat taksi satupun yang melintas di sana.
"Aku sudah bilang akan mengantarmu," Adrian mencekal tangan Ve.
"Lepas!" Ve menghempaskan tangan Adrian. Namun tidak bisa. Pria itu setengah menyeret dirinya ke mobil Adrian.
"Lepas, Kak," pinta Ve melembut.
Adrian melepas cekalan tangannya ketika mereka sampai di mobil milik Adrian.
"Aawww," Ve meringis.
"Mau kemana sekarang?" tanya Adrian.
"Pulang."
"Tidak mau jalan-jalan dulu," tawar Adrian.
Ve hampir berkata iya. Ketika mendengar kata jalan-jalan.
"Tidak mau," akhirnya kata itu yang keluar dari bibir Ve. Jawaban yang membuat Adrian tersenyum.
"Satu putaran Pasir Gudang," Adrian tiba-tiba memberi tawaran.
"Pasir Gudang kemarin sudah," guman Ve.
"Sampai Masai kalau begitu," Adrian mencari jalan lain.
Wajah Ve langsung berubah sumringah.
"Masai? Ada sate kambing enak disana," batin Ve.
Sejak kemarin dia sudah hunting tempat-tempat yang punya kuliner yang enak. Di sekitar tempat tinggalnya.
"Turunkan aku di Masai kalau begitu," pinta Ve ketika mobil Adrian mulai melaju di jalanan.
"Mau ngapain kamu disana?"
"Makanlah," jawab Ve santai. Adrian mengerutkan dahinya. Heran dengan kelakuan Ve.
Dan begitu sampai di Masai, gadis itu dengan santai memesan satu porsi sate kambing membuat Adrian bertambah heran.
"Ini putri seharusnya bule kan. Kenapa dia jadi doyan sate kambing," batin Adrian menatap tidak percaya pada Ve.
Melihat Ve memakan sate kambingnya dengan lahap. "Kenapa tidak makan?" tanya Ve, melihat Adrian yang hanya terdiam menatap makanannya.
"Masih kenyang," alasan Adrian.
Padahal dia shock melihat Ve yang nyatanya tuan putri tapi perilakunya persis orang kelaparan, yang tidak makan satu minggu.
"Aku akan bayar makananku. Karena aku masih mau nambah Mie Bandung," ucap Ve tanpa dosa. Lantas memesan keinginannya.
"Busyet dah tu perut apa karung" kata Adrian mulai keluar tengilnya.
Ve langsung mendelik mendengar ucapan Adrian. "Apa katamu?" Ve dengan wajah judes mulai melahap mi Bandungnya.
"Tidak ada," Adrian menyahut cepat.
Perut Ve rata tanpa tumpukan lemak. Tapi melihat porsi makannya. Mustahil gadis itu bisa memiliki perut idaman para gadis-gadis di luaran sana.
Ve membayar makanannya. Karena dia tadi melihat ATM. Langsung berlari menuju mesin berisi cash itu. Juga biaya kliniknya.
"Tidak mau!" tolak Adrian.
"Aku tidak mau berhutang."
"Aku tidak mau uangmu." Tolak Adrian.
"Ha?"
"Uang aku sudah punya banyak. Jadi jumlah segitu kecillah."
"Dasar sombong!" maki Ve.
"Hei, kau tidak boleh bicara seperti itu," larang Adrian. Dan Ve sama sekali tidak menggubrisnya.
Ve benar-benar menjadi orang lain di luar tembok istana. Bertindak sesuka hati. Berucap seenak kepalanya sendiri. Melupakan semua peraturan istana yang selama ini begitu membelenggunya.
"Inikah yang namanya kebebasan," bisik Ve lirih.
Benar-benar tidak ada beban di pundaknya. Dia bisa melakukan apa saja yang tidak bisa dilakukannya sebelumnya. Perlahan berjalan menjauh dari Adrian.
"Hei...hei kau mau kemana?" tanya Adrian kembali mencekal tangan Ve.
"Lepas! Aku mau pulang mau kemana lagi," balas Ve.
"Naiklah, aku antar," Adrian.
"Tidak mau. Mau naik bus."
"Hei Nona. Tidak ada bus jam segini," info Adrian.
"Ha? Ya... mau naik bis juga," Ve berbalik melepas cekalan tangan Adrian.
"Apa lagi?" tanya Ve ketika Adrian kembali mencekal tangannya.
"Aku antar pulang. Pergi denganku. Pulang juga denganku," tegas Adrian.
"Aku tidak apa-apa jika Kak Hans tidak mengantarkanku pulang. Itu malah lebih baik. Nanti orang kira kita baru pergi ngedate. Padahal tidak."
"Iya juga tidak apa-apa. Kalau begitu anggap saja ini kencan pertama kita." Kata Adrian asal.
"Ha? Kencan?"
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 97 Episodes
Comments
Memyr 67
tuan putri bertemu lelaki somplak
2023-08-07
1