Kekhawatiran Arin

"Kak kita udah di mobil." Arin masih berusaha berbicara saat mobil tak lama melaju dari parkiran rumah sakit menuju jalan raya.

"Mau apa kamu?" Serang Adel tidak menyambut indah ucapan Arin.

"Gimana sih, padahal dia sendiri tadi yang bilang." Gerutu Arin dalam hati, niatnya untuk bertanya lagi langsung terhenti saat mendapatkan reaksi Adel yang tidak begitu menyenangkan.

"Mana makanan yang kamu beli? Kita bawa oleh-oleh buat orang di rumah, kan?" Tanya Adel membuat Arin memutar bola matanya.

"Kan kakak gak bilang kalau harus beli oleh-oleh." Sergah Arin yang tak ingin disalahkan.

"Ia, nanti kamu beli kalau kita melewati toko oleh-oleh." Timpal Adel.

Suasana menjadi hening seketika, ditambah Viona yang gampang ngantuk saat berada di dalam mobil. Seperti itulah Viona. Arin terus menatap dalam-dalam wajah Viona, tak disangka dia langsung membayangkan wajah Kakak iparnya Mas Rendra. Sampai terperanjat Arin tak menyangka langsung mengingat Mas Rendra, mungkin karena situasi di villa juga yang mempengaruhi otaknya.

Sekilas Arin melihat ke arah Adel yang masih fokus menyetir, sedangkan dia yang duduk di jok penumpang bersama Viona. Tidak ada yang ingin dibahas bersama kakaknya lagi, memang sepertinya tidak ada.

Arin kembali membayangkan kejadian di villa itu. Tentang ocehan Viona tentang sesuatu yang dia sebut sebagai "Papa." Tak lepas dari Viona yang semakin aneh dia masih bisa bersikap wajar karena memang anak kecil kadang lebih bisa melihat sesuatu yang tak kasat mata. Tapi yang membuatnya tak mengerti sampai sekarang tentang orang-orang yang tiba-tiba ada di sana seperti hantu. Apakah hantu bisa mengejarnya sampai dia tuba ke rumah? Atau sebaliknya masih ada dan terus mengejar di sepanjang perjalanan ini.

"Aduh..." Teriak Arin spontan saat mobil tiba-tiba melintas di jalanan yang anjlok, sampai Adel langsung panik dan menginjak rem sekaligus.

"Kenapa?" Seru Adel panik sambil berbalik mengintip ke arah Arin yang tampak bingung dan juga Viona di sampingnya sampai terbangun. "Kayak orang gila aja! Ngapain teriak? Beruntung banget jalanan sepi kan kalau rame bisa celaka. Gak tau aturan!" Gerutu Adel tidak puas menghardik tingkah Arin. Mendengar kakaknya yang mengomel dan marah sambil kembali melanjutkan perjalanan Arin hanya diam saja, dia sangat takut dan sampai-sampai hal itu menjadi sugesti yang tidak dia lupakan di kehidupan nyata.

Arin mencoba kembali mengatur napasnya, dia tak melupakan Viona yang juga terbangun karena teriakannya itu, sebisanya Arin kembali menidurkan Viona agar dia tertidur. Padahal dalam hatinya berkecamuk rasa gelisah yang tidak bisa dia jelaskan bagaimana. Arin sangat takut, dan bagaimana jika hantu itu sampai bisa mengejarnya kemanapun?

Sebuah asumsi tak masuk akal dan tak beralasan logis mulai mempermainkan ingatannya saat itu, bagi Arin yang sudah mengalami banyak hal dan juga tentang pengetahuannya akan hal ghaib tentu saja dia tidak bisa menampik dengan keras, apalagi sudah banyak tontonan menyeramkan tentang hantu atau setan, dia tidak bisa tenang sampai detik ini dan entah mengapa firasatnya tidak begitu baik saat itu.

"Mikirin apa Lu? Serius banget dari tadi." Cetus Adel yang tidak disadari dia sudah memperhatikan Arin sejak tadi. "Jangan banyak melamun, mau kesurupan?" Ancam Adel menakuti.

"Sembarangan banget sih! Niat banget ya nakutin orang." Balas Arin langsung menanggapi serius perkataan Adel dengan kesal.

"Eh, cuman gitu aja langsung ngambek. Bercanda kali. Lagian kenapa dari tadi melamun terus, manyun aja." Komentar Adel yang memperjelas jika dia sudah memperhatikan tingkah Arin dari tadi.

"Kepo banget. Bebas dong, suka-suka!" Balas Arin langsung diam. Dia tidak ingin melanjutkan percakapan itu, sudah jelas alasannya karena Arin tidak bisa tenang sampai dia harus cepat pulang ke rumah.

"Ya namanya juga khawatir dong, dari tadi lihat ada orang yang serius banget. Tapi kayak orang parno ketakutan gitu." Adele mencoba menjelaskannya, dan alasan itu terdengar logis sebenarnya. Tapi tidak penting, karena tidak ada yang lebih mengkhawatirkan selain perjalanan mereka yang entah akan memakan waktu seberapa lama lagi.

Arin hanya manyun dia nampak semakin gundah, matanya mengintip ke balik kaca mobil yang tertutup rapat sepanjang perjalanan, di balik kaca itu dia bisa melihat pemandangan sepanjang jalan.

Tidak berguna, hatinya masih saja merasa khawatir. Dia tidak tahu apakah kekhawatirannya itu cukup baik? Untuk apa sebenarnya?

Arin menimbang bingung banyak hal yang semakin membuat pikirannya tidak bisa tenang. Dia mulai memejamkan mata hanya sekedar untuk menutup mata bukan untuk tidur, dan kembali berpikir tentang segala hal yang disusunnya secara teratur kembali.

[Getar Hp berdering]

Suara hp seketika membuyarkan.

Arin menghela napas dan mencoba untuk meredakan amarah karena sesuatu yang sudah mengganggunya saat itu.

Dirogohnya Hp dalam saku celana, tampak ada banyak pesan Wa yang muncul.

"Andre."

"Andre."

"Andre."

"Andre."

Nama yang muncul beberapa kali setelah dia mengintip ke layar yang masih terkunci.

Arin berdecak kesal. Ternyata orang itu lagi, sekarang dia ingin mengganggu dan membahas hal tak berguna apalagi?

Arin tak berniat untuk membuka Chat itu apalagi membalasnya. Entahlah dia tak mengerti jika sekilas mengingat Andre dia langsung kesal, apalagi saat mengobrol dia juga kesal.

"Mau apa ya dia?" Tiba-tiba tak lama batinnya menggoda. Menyedihkan sekali karena sebenarnya Arin lebih penasaran dan cukup ingin tahu kali ini Andre akan membahas apa dalam chat yang dia kirim untuknya?

Arin segera kembali membuka layar hp yang terkunci, dan sudah muncul pesan Wa di layar utama. Arin langsung membuka Wa dan membaca Chat yang dikirimkan Andre sampai harus ada 5 pesan? Dia cukup melotot Andre sampai begitu antusias dan semangatnya mengirimkan pesan.

Setelah dibuka chat yang masuk dari Andre, Arin hanya membulatkan mata dan menahan perasaan yang semakin menyesal saat itu.

"Arin."

"Arin."

"Arin."

"Arin."

"Arin."

Hanya begitulah Chat dari Andre yang berulangkali menyebutkan namanya.

Arin langsung kembali mengunci layar hp nya, menyesal sekali untuk apa membaca pesan yang hanya seperti itu sama saja. Buang-buang waktu.

"Manyun terus!" Komentar Adel membuatnya sedikit terperanjat. "Ngomong-ngomong lagi marahan ya sama pacarnya." Goda Adel yang seperti disengaja. Adel tak tahan sebenarnya melihat tingkah Arin seperti itu.

"Sembarangan banget! Pacar siapa." Balas Arin menyanggah pernyataan kakaknya itu, yang tentu saja salah. "Nyetir uang bener!" Ucapnya lagi sambil kembali membenarkan posisi duduknya dan menyandarkan punggung ke kursi, mencari posisi yang nyaman untuk tidur.

Adel hanya tersenyum, dia seperti sudah tahu dan sangat mengenal Arin sebagai adiknya. Walaupun kenyataan jika Arin hanya adik sambung.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!