Tentang Viona

****

"Duh kok gak ada satu orangpun yang datang sih?" Batin Arin. Dia memperhatikan Viona yang sudah tertidur, sekarang hanya tinggal dia sendiri yang masih membuka mata. Dalam situasi seperti itu Arin mulai terjaga, matanya hati-hati membagikan edaran ke sekelilingnya, dia pikir mungkin makhluk seperti tadi masih ada. Apa yang bisa Arin lakukan, apakah pergi? Kemana?

"Aku telpon kakak?"Pikir Arin sejenak. "Tidak ah gak penting yang ada di akan marah-marah. Lebih baik telpon Ibu." Akhirnya dia memutuskan menelpon Ibu.

Dibukanya layar Hp tapi tiba-tiba sebuah panggilan masuk. "Ibu" Arin sedikit senang baru saja dia memikirkan Ibu, eh Ibu malah udah nelpon duluan.

"Halo Bu!" Ucap Arin.

"Kakak masih belum balik Rin? Kalau Vio dimana?" Tanya Ibunya Arin terdengar cemas.

"Em. Belum Bu, Vio udah tidur."

"Duh kasihan pasti kalian kesusahan ya? Di sana kan gak ada warung atau toko yang dekat. Kakak mu selalu gitu. Ibu juga sudah pusing gimana sih pikirannya." Keluh Ibunya terdengar seperti protes.

"Supir mungkin masih lama Dateng ke sana, kamu tidur saja dulu ya!" Saran Ibunya.

Mendengarkan kenyataan itu hati Arin langsung terhenyak, dia tidak yakin bisa bertahan lebih lama apalagi setelah dia melihat hantu tadi. Apa Ibu juga harus tahu? Pikir Arin berniat untuk memberitahu Ibunya.

"Bu!" Seru Arin terdengar ragu-ragu.

"Gimana Rin?"

"Duh ngomong gak ya?" Batin Arin bingung. "Orang mana sih yang bakalan percaya, ia kan?" Keluh Arin tidak mendapatkan keyakinan hatinya sendiri.

"Bu" Ucap lagi Arin terdengar bingung mau mengatakan apa.

"Apa sih Rin? Mau ngomong apa?"

"Ah enggak ada deh Bu. Hehe." Padahal dalam hati dia ingin sekali mengadu tentang hantu itu. Tapi bagaimana harus bicaranya.

"Bu, aku nanti diizinin ya untuk main lagi?" Tanya Arin karena baru saja terpikirkan topik lain.

"Gak ada main, udah ah kalau libur semester udah beres kamu fokus aja kuliah!" Seperti yang sudah diduga, Ibunya pasti mengatakan hal itu.

"Baiklah Bu." Jawab Arin lemas. Dia berharap ada acara liburan lagi di akhir tahun, tapi sepertinya gara-gara ini Ibu jadi gak mau lagi dia berlibur.

"Ibu mau nelpon kakak mu dulu ya!" Cetus Ibunya. Dan Arin mengiyakan lalu telpon pun berakhir.

*****

"Kasihan anak-anak mungkin mereka ketakutan di sana. Dasar Adel ini udah jadi IBu juga masih gak bisa diandalkan." Gerutu Ibunya sambil mencari nama kontak Adel di telpon.

Tut...Tut...

Suara panggilan yang terhubung.

"Kenapa Bu?" Terdengar suara Adel dengan nada malas.

"Kamu ini kok belum balik juga, dari mana? Udah tahu villa kan jauh kemana-mana kenapa gak sempet beli makan? Vio itu kelaparan dan sekarang udah tidur." Suara Ibunya memburu memberikan Omelan pada Adel yang mungkin entah didengarkan baik atau tidak.

"Oh ia, emang aku gak sempet beli makan." Batin Adel ketika Ibunya masih mengomel.

"Aku cari makan Bu! Dasar Arin lebay deh maen ngadu aja, padahal aku cari makan dulu buat mereka kan di sana tuh gak ada toko atau warung pun." Balas Adel terdengar membela diri, dan dia seperti tidak merasa bersalah sedikitpun.

"Lalu berapa lama lagi kamu sampai? Udah lama loh dari tadi? Emang nyarinya sampai ke kampung sebelah? Jauh?" Terang Ibunya masih terdengar jengkel.

"OH ya ampun, harus ngomong apalagi sih?" Batin Adel mulai bingung sendiri.

"Udah deh Bu, bentar lagi sampe kok, aku tutup telponnya!" Dan Adel langsung menutup telpon tanpa mendengarkan penuturan Ibunya lagi. Benar saja, dia tidak berniat untuk mendengarkan Omelan itu yang selalu terngiang hampir setiap hari.

Adel melihat ke jam tangan yang terpasang di pergelangannya. Setidaknya butuh 20 menit lagi dia sampai. Sangat masih lama kan?

"Dasar Arin udah gede aja masih suka ngomel." Adel cukup geram menghadapi situasi sulit karena ulahnya sendiri.

"Viona ya?" Batinnya. Sejenak nama anak semata wayang yang dia sebut membuat pikiran Adel jadi tenang.

Terbersit ingatan 4 tahun yang lalu saat kelahiran Viona. Adel yang saat itu masih berusia 20 tahun dan harus berjuang melawan maut mempertaruhkan nyawanya untuk Viona. Nasib sial tidak ia ketahui, ternyata suami atau Ayah Viona anak konglomerat yang Adel nikahi meninggal dunia tanpa dia tahu kenapa.

Saat itu dia sendirian, mengandung anak 9 bulan dari buah pernikahannya. "Bayi dari Rendra?" Batin Adel sambil tersenyum senang. "Andai saja kalau ada yang tahu Viona itu bukan anak Rendra, tapi beruntung gak ada yang tahu. Tak apa, anggap saja dia anak Rendra yang sudah meninggal aku tidak harus merasa bersalah kan?" Ucap Adel dalam hatinya sendiri.

Tapi setiap melihat dan mendengar Viona kenyataan itu terkuak lagi ke depan mata,

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!