Lakalantas

Susan masih memandangi jam dinding dan sesekali mengintip ke balik jendela. Setiap detik berlalu seperti menghitung satu persatu ke sekian menit yang panjang bagi Susan. Hatinya tidak bisa tenang sebelum dia mendengar deru suara mesin mobil yang masuk ke halaman rumahnya. Sudah hampir satu jam Sarah menunggu, sebagai seorang Ibu dia sangat khawatir dan tidak bisa berpikir baik karena kedua anaknya dan cicit yang dicintainya belum juga pulang.

"Udah di telpon lagi anak-anak?" Oma datang mendekat, dari ekspresinya gak terlihat sedikitpun rasa khawatir seperti yang dirasakan Sarah.

Susan tak menjawab dia hanya membuang napas dan mengalihkan penglihatannya ke arah lain.

"Dari tadi tuh yang dipikirkan mereka semua, padahal masalahnya ada di diri kamu sendiri. Kan ada Adel, sudah bisa dipercaya dong kalau anak mu aman." Lanjut Oma yang membuat dada Susan terasa memanas saja.

Oma masih memandanginya dengan tatapan seperti melihat seorang anak kecil. Oma tidak melihat rasa khawatirnya benar-benar nyata, dan tidak ada gunanya harus berdebat masalah perasaan yang mungkin hanya dia sendiri yang mampu merasakannya.

"Sudah kamu tuh lebih baik masak atau apa kek, dari pada melamun saja." Celoteh Omanya.

Susan langsung melihatnya kesal, tapi apalagi yang bisa dia lakukan? Marah dengan seorang Nenek sepuh? Tidak ada gunanya.

"Orang kok bicara didiemin aja, padahal orang tua tuh gak pernah salah kalau bicara." Omanya masih bersikeras membuat hati Sarah memanas.

"Sudahlah dia hanya orang tua yang sudah sepuh, tidak baik jika dilawan." Batin Susan yang selalu membuat hatinya untuk bisa sabar. Dari pada meladeni dan harus marah-marah karena tak terima dengan ucapan Nenek itu, Susan memilih pergi saja dari sana. Dia tidak butuh tempat dan suasana yang langsung merusak isi pikirannya sendiri.

Di dalam kamar Susan tetap memandangi Hp yang hanya diam saja tak terdengar dering suara apapun.

Akhirnya dia tak tahan dan memilih untuk mencoba menghubungi kedua anaknya.

"Udah ibu telpon dari tadi kok baru angkat sekarang?" Teriak Susan saat panggilan langsung tersambung.

"Bu, tadi aku gak pegang hp." Suara Arin dari seberang telpon.

"Supir udah datang jemput?" Tanya Susan langsung membahas kepulangan Arin.

"Gak ada Bu, ini aku sama kakak pulang. Aku kira supir gak jadi jemput." Balas Arin.

Susan cukup heran mendengarkan jawaban Arin, malah terdengar seperti sedang berbohong. "Jangan bohong sama Ibu, ya! Kalau emang supir ada di sana kamu lebih baik pulang sekarang aja Ibu itu khawatir disini." Terang Susan.

"Bu, aku bener lagi di mobil Kok sama kakak, ini aku pulang ke sana lagi di jalan." Jawab Arin semakin membuat Susan bingung. Masalahnya kenapa supir tidak kunjung sampai.

Tit...

Suara klakson mobil.

Adel sengaja menekan klakson agar Ibunya percaya. "Arin sama aku Bu, kita pulang bertiga." Teriak Adel dalam pembicaraan telpon.

"Tuh Bu, aku gak bohong kok, mudah-mudahan cepet sampai ya aku sama Kakak lagi cari makan dulu. Udah dulu ya!" Arin langsung mematikan panggilan telponnya.

Sedangkan Susan masih terus berkutat dengan masalah yang semakin membuatnya bingung. Dia memang merasa senang jika akhirnya Adel dan Arin pulang bersama, tapi harusnya supir dari kemarin malam sudah sampai hingga siang ini supir malah tidak ada kabar. Kemana perginya supir?

Susan tidak bisa menuduh hal buruk apalagi menganggap jika supir mangkir dari tugas yang sudah diberikannya. Itu tidak mungkin untuk supir keluarga yang sudah berpuluh tahun bekerja dengan keluarga Susan.

Susan mencoba menelpon lagi supir melalui hp nya, dia berharap kali ini bisa dihubungi dan supir menjawab telponnya.

Sedikit ekspresi senang terlukis. Ternyata panggilan tersambung juga.

"Hallo, Pak supir!" Ucap Susan saat panggilan terhubung.

"Maaf dengan Ibu Susan?" Tiba-tiba suara lain dari seberang telpon terdengar, seharusnya Susan mendengar suara supir tapi malah suara lain yang menembus indera pendengarannya.

"Maaf saya mau bicara dengan supir saya! Siapa ya?" Tanya Susan penasaran.

"Saya dari pihak rumah sakit Bu, mengabarkan jika sudah terjadi lakalantas atas saudara Cahyono yang mengendarai mobil bernomor xxxxx" Jelasnya. "Pihak kepolisian sudah menghubungi?" Lanjutnya lagi.

"Saya tidak tahu, tidak ada yang menghubungi dari kemarin malam. Tolong bisa katakan nama rumah sakit dan alamatnya. Anak saya kebetulan lagi diperjalanan bisa menyusul ke sana." Terang Susan terdengar was-was. Dia tidak menyangka jika supir yang terus dipertanyakan nya mengalami sebuah kecelakaan, pantas saja jika dari kemarin belum sampai jika masalahnya serumit itu.

Susan menutup telpon setelah mendapatkan informasi yang cukup. Kali ini dia harus mengabari Arin supaya datang ke rumah sakit yang sudah ditulisnya.

******

"Kak restoran!" Seru Arin semangat. Akhirnya dia bisa memenuhi kebutuhan makannya dengan cepat.

"Cepetan Vio sini sama Tante!" Arin segera mengajak Viona, dia tidak sabar untuk keluar mobil.

"Kak pintunya masih dikunci!" Komentar Arin saat beberapa kali mobil masih dikunci.

"Sabar-sabar. Mulai rese yah!" Ledek Adel.

"Mama!" Rengek Viona. Tapi tidak dihiraukan karena Adel lebih dulu memegang Hp dan menangkap sebuah panggilan dari layar hp nya.

"Kak cepet!" Seru lagi Arin sudah tak sabar.

"Kenapa Bu?" Tiba-tiba Adel bicara saat hp menempel di telinganya.

"Kalian pergi sekarang ya ke alamat rumah sakit yang Ibu kirim ke wa. Pak supir kecelakaan." Susan terdengar langsung terus terang tanpa basa-basi menyampaikan maksudnya untuk menelpon.

"Hah? Supir kecelakaan?" Celoteh Adel terdengar oleh Arin yang langsung terlihat kaget.

"Ia, makanya cepetan pergi rumah sakitnya juga tidak jauh dari tempat kalian kok. Bisa ya langsung cek, Ibu khawatir ini tapi kan gak mungkin juga sekarang pergi ke sana yang ada lebih lama di perjalanan." Terang Susan panjang lebar.

"Baik, Bu. Aku pergi sama Arin ke rumah sakit ya." Ucap Adel menyetujui permintaan Ibunya. Telpon segera ditutup.

"Rin, kita ke rumah sakit dulu ini udah ada alamatnya di wa." Adel menjelaskan sambil melihat ke arah telpon. "Hah, alamatnya di sana? Kok kebetulan ya." Batin Adel terlihat terkejut saat membaca alamat rumah sakit hang dikirimkan oleh Ibunya.

"Gak bisa nanti dulu. Aku lapar banget Kak, Vio juga lapar." Arin seperti anak kecil merengek pada Adel agar bisa segera turun karena restoran juga sudah di depan mata.

"Yasudah kita turun, tapi dibungkus aja ya!" Adel memperingatkan keduanya yang langsung dibalas manyun oleh Arin. Tapi mau tidak mau panggilan perut sudah membuat kepalanya pusing, apalagi saat harus tersiksa lagi karena maag. Arin tidak mau.

"Kak, jauh gak sih rumah sakitnya?" Tanya Arin saat masih berjalan.

"Udah lihat aja nanti kamu juga tahu!" Jelas Arin seperti tidak ingin berbicara banyak.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!