JALAN SANTRIKU
Pov dalari
"Dan kamu Heru. Tolong kontrol emosimu! jangan sampai meledak meledak, karena itu bisa membuat semua rencana kita berantakan" ujarku sambil menatap ke arah Heru.
"Ya, jangan khawatir. Aku bisa mengontrol emosiku, tapi kadang aku tidak kuat juga sih, kalau mereka udah kelewatan mengerjai kita" jawab Heru sambil mengulum senyum di bibirnya.
"Bagaimanapun kita harus berusaha sesuai rencana, aku rasa penerimaan siswa baru ini tidak akan lama, kita hanya pura-pura cukup seminggu, dan sekarang tinggal beberapa hari lagi, setelah itu maka kita akan tenang menuntut ilmu di sekolah, dan perinatan ini bukan hanya buat Heru, namun peringatan ini berlaku buat kita semua, supaya tetap tenang sesuai rencana dalam menghadapi setiap perlakuan mereka" ucapku sambil menghela nafas panjang
Ketika mengingat kejadian seperti sekarang ,rasanya enggan untuk bersekolah, karena semua ini tidak sesuai dengan khayalan yang aku inginkan, melanjutkan sekolah adalah yang paling ku impikan. Namun semua itu Kandas ketika mendapat perlakuan bully, di bayanganku sekolah hanyalah menuntut ilmu dengan tenang tanpa memikirkan tekanan-tekanan dari para senior, aku mengingat sekolah adalah jalan Terbaik untuk mengasah kemampuanku, karena aku memiliki potensi di dalamnya. namun Allah tidak memudahkan jalannya, mungkin Allah mempunyai rencana supaya aku merasa nikmat ketika ada perjuangan.
"Ya aku paham" jawab Nawir menimpali.
Setelah selesai mengobrol dan menghabiskan air es di kantong yang dibeli Nasrul, kami semua berdiri untuk berpisah dan berjanji besok akan memulai sesuai dengan apa yang kita rencanakan.
"Ya udah kita pulang ke rumah masing-masing, supaya kita punya tenaga buat menghadapi hari esok "ujarku sambil mengulurkan tangan.
Disusul oleh tangan-tangan sahabatku, seperti orang yang high five berabarengan dan mengakat keatas, sebagai bukti perjanjian kita.
Setelah berpisah dengan mereka, aku melangkahkan kakiku menuju ke arah Pondok pesantran, karena itulah rumah tinggalku sekarang, angin bertiup dengan pelan, namun itu Cukup membuatku merasa nyaman di tengah teriknya matahari.
Seouluh menit berlalu, meninggalkan pohon yang menjadi naungan untuk kami mengobrol sama para sahabatku, akhirnya aku sampai di bangunan yang berbentuk kosan, langkahku terhenti sesaat setelah melihat para santri yang baru keluar dari masjid, mereka selesai melaksanakan pengajian habis zuhur, hatiku mulai Bimbang antara melanjutkan sekolah atau tetap fokus di pondok karena ternyata mondok lebih terasa nyaman dibanding sekolah.
Aku Masih Berdiri menunggu semua Santri masuk, rasanya sangat malu ketika harus bertemu dengan mereka, dengan keadaanku yang kalau seperti sekarang, Aku tak mau sahabat-sahabatku di pondok mengetahui apa yang sekarang terjadi terhadapku, jangan sampai mereka tahu bahwa aku sedang mengeluh tentang sekolah dan lagi bimbang antara meneruskan atau tidak.
Setelah merasa yakin bahwa semua Santri sudah masuk ke dalam pondok, aku mulai menyeret langkahku untuk masuk ke dalam pondok.
"Assalamualaikum" ujarku sambil mendorong pintu kamarku.
"Waalaikumsalam" jawab Arif teman sekamarku di pondok.
Dia lagi membuka kitab-kitab yang baru dipelajarinya di masjid, dengan cara membacanya berulang-ulang supaya apa yang dipelajari itu tidak mudah lupa.
"Maaf mengganggu" ujarku sambil mengaitkan tas di Paku yang sudah aku siapkan sebelumnya.
Lalu kau buka seragamku untuk diganti dengan kaos lengan pendek, supaya seragam itu tidak kotor dan bisa dipakai kembali Keesokan paginya.
"Nggak apa-apa, baru pulang ya?" tanya Arif yang terus memperhatikan ke arah kitab seolah tidak memperdulikanku.
Setelah selesai mengganti baju aku duduk di sampingnya, seperti yang dilakukan Bang Fahmi Aku meminta lugot kitab yang di dikaji seusai salat zuhur biar tidak ketinggalan.
"Bismillahirohmanirohim walhaidu lan utawi haid, iku Damun getih, yakhruju kang metu" ujar Arif memulai membaca Lughah kitab Safinah.
Sementara Arif membaca kitab, Aku menulis artinya di bawah kata demi kata tulisan Arab itu supaya aku mudah saat menghafalnya.
"Terima kasih ya Maaf merepotkan" ucapku setelah selesai meluguh kitab-kitab yang dipelajari sehabis Dhuhur.
"Sama-sama, sekalian aku juga sambil menghafal, jadi aku tidak merasa direpotkan" jawab Arif sambil menutup kitabnya, lalu dirapihkan di rak sesuai jadwalnya.
"Bagaimana sekolahnya seru nggak?" Lanjut Arif bertanya yang sudah duduk kembali.
Aku hanya menggelengkan kepala bingung harus menjawab seperti apa, karena yang kuketahui sekarang sekolah itu tidak ada seru-serunya, yang ada hanya penindasan-penindasan yang dilakukan oleh para senior.
"Kok bisa, kan Kalau sekolah bisa lihat cewek-cewek cantik" ledek Arif sambil tersenyum.
"Nggak tahu lah kang" jawabku singkat mungkin belum terbiasa, jadi rasanya capek banget ,belum lagi pulang sekolah harus mengaji, tenaga dan pikiranku sangat terkuras, karena harus memikirkan dua pelajaran sekaligus, ditambah lagi banyak masalah-masalah yang sedang kuhadapi.
"Kok nggak tahu nampaknya kamu kelihatan capek banget" ujar Arif seolah tahu apa yang sedang aku alami sekarang.
"Lumayan sih menguras tenaga juga harus duduk di bangku seharian, berbeda Kalau di pondok kita bebas melakukan apapun, Asal jangan lagi pas pengajian" jawabku menjelaskan kegelisahan yang sedang kualami.
Arif hanya mengukir senyuman dibibirnya, seolah dia Mengerti apa yang aku rasakan "semangat tidak semua orang memiliki kesempatan sepertimu, bisa mondok sambil bersekolah"
"Terima kasih atas supportnya kang" ucapan Arif seolah menjadi Mood Booster bagi kehidupanku, memang tidak semua orang bisa kita beruntung sepertiku, Bahkan mereka tidak bisa melanjutkan pendidikannya, baik di pondok maupun di sekolah,karena keterbatasan biaya namun berbeda denganku yang bisa mondok sambil sekolah dan itu pun aku dapatkan secara gratis.
"Ya sudah, ayo kita masak, kamu juga lapar kan?" tanya Arif. sambil berdiri menaikkan sarungnya agar tidak kotor saat memasak.
"Ayo mumpung waktu Ashar masih lama" jawabku yang mengikuti Arif, bangun dari tempat dudukku.
Begitulah kehidupan di pondok, kalau kita tidak diajakin masak oleh teman teman, maka kita sendiri yang harus mengajak mereka, itu adalah satu bentuk kepedulian sesama teman.
Treng
Treng
Treng
Kastrol itu aku pukul, mengajak santri-santri lain untuk memasak bersama, supaya santri-santri lain ikut memasak, karena dengan kebersamaan kita akan tahu teman mana Yang sedang membutuhkan pertolongan, dengan cara ini kita akan tahu siapa saja yang tidak ikut masak, lalu kita akan tanyakan apa sebabnya dia tidak ikut jangan sampai kita makan sedangkan ada sahabat kita yang kelaparan.
Setelah beras terkumpul semua Santri berbagi tugas, ada yang menyalahkan perapian, ada yang mencuci beras, dan ada juga yang pergi ke warung untuk membeli lauk nasinya.
Sejam berlalu, nasi itu sudah matang, lalu seorang santri menuangkan ke nampan untuk kita nikmati bersama, seusai makan aku mengambil perlengkapan mandiku, untuk membersihkan badan menyambut waktu Ashar tiba.
Begitulah rutinitas pondok yang selalu diisi dengan pelajaran keagamaan dan kebersamaan, saling menyayangi dan saling membantu sesuai prinsip pondok, yang kecil menjadi adik yang besar menjadi kakak, yang kecil harus menghormati yang besar tidak gila hormat, tidak ada kata senioritas di sini, semuanya sama diikat dengan satu ikatan yang bernama Santri.
Setelah menghafal kitab yang kita kaji di waktu Ashar, seperti biasa kita Mengisi waktu itu dengan bermain bola di sawah, karena menurut Abah santri itu harus sehat, Jadi tidak boleh waktu Ashar digunakan untuk berdiam diri, harus menikmati waktu senja itu dengan gembira, agar rasa kangen terhadap rumah sedikit terlupakan.
Hiburan itu, akan Kami hentikan sesaat sebelum adzan maghrib berkumandang, supaya kita bisa membersihkan diri dulu, sebelum menghadap sang pencipta dan tidak ketinggalan untuk salat berjamaah.
Walau para santru sangat hobi untuk bermain, mengingat rata-rata umur para santri masih tergolong usia anak-anak yang suka bermain, namun kami belajar mendewasakan diri, walau belum waktunya. Kedewasaan akan hadir ketika kita mempelajarinya, sama seperti saat ini Kang Agus yang dianggap sebagai ketua pondok. Dia memberi isyarat bahwa waktu bermain kita sudah habis.
"Ayo kita pulang! nanti kita ketinggalan salat berjamaah" ucapkan Agus yang selalu mengingatkan 15 menit lebih awal sebelum, datangnya azan maghrib berkumandang.
Semua santri yang lagi asik bermain bola menghentikan aktivitasnya, lalu dengan kesadarannya mereka pulang ke pondok, untuk membersihkan badan dan bersiap lagi menerima pelajaran-pelajaran baru.
******
Pukul 03:00 aku terbangun dari tidur, karena bangun jam segini sudah menjadi kebiasaan, walaupun tidak semua Santri, namun sebagian besar mereka bangun lebih awal dari yang ditentukan, mereka belajar terbiasa melaksanakan salat malam,
"Alhamdulillahil adzi ahyana ba’da ma amatana wa iliahin nusyur. Segala puji bagi Allah yang menghidupkan kami kembali setelah mematikan kami dan kepada Allah kami akan dibangkitkan.” gumamku setelah duduk sempurna sambil menarik sendi-sendi ku yang terasa menegang.
Setelah semua roh mimpiku berkumpul, aku segera bangkit lalu menuju ke air untuk mengambil wudhu, dilanjutkan dengan dua rakaat salat tahajud dan dua rakaat salat hajat, kata Abah tidak harus banyak, yang penting kita istiqomah melakukannya, seperti sawah yang dialiri air, tidak butuh air besar namun cuma sekali, sawah cukup dengan air sedikit tapi mengalir terus menerus.
Selesai salat aku bergegas menuju sekolah untuk menjalankan Tugasku sebagai tukang kebersihan, ku kerjakan tugas sepagi ini, agar siangnya aku bisa fokus bersekolah, tanpa harus memikirkan pekerjaan-pekerjaan yang jadi penopang hidupku ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments