Pov dalari
"Tahu nih, Bu. Nasrul jadi melow begini, apa jangan-jangan emang kebiasaannya seperti ini" jawabku sambil mengulum senyum.
"Uuuuh banget, ibu mau kekamar mandi saja, dia teriak-teriak, mangilin," jawabnya, memperlihatkan muka serius, membuat wajah Nasrul tersipu malu.
Kami bertiga tidak kuat menahan tawa, ketika melihat perubahan wajah Nasrul, yang memerah. Namun buru-buru tawa itu ditutup dengan tangan, supaya suara tawa tidak terdengar.
"Ketawanya jangan keras-keras, nanti, Ibu suster marah lagi" ujarku sambil memicingkan mata ke arah Heru dan Nawir. sehingga membuat mata mereka membulat karena aku juga ikut tertawa.
"Kayaknya kalian, asik banget," tanya ibu Nasrul, sambil duduk di kursi yang berada di samping ranjang.
"Iya, Bu. kalau kita ngobrol, dari awal sampai akhir, pasti tidak henti-hentinya tertawa" jelas Nasrul, sambil membaringkan tubuhnya di atas ranjang.
"Ya sudah kalian. nginep saja di sini, nih!. ibu udah belikan banyak cemilan, buat teman kalian ngobrol" pinta Ibu Nasrul, sambil naruh plastik belanjaannya, di atas ranjang. membuat mata kami terbelalak, melihat belanjaan sebanyak itu.
"Wah, mantap nih," ujarku, sambil membuka plastik. namun sebelum sampai tanganku udah dikeplak oleh Heru.
"Kamu kan mau pulang, nggak nginep di sini!, jadi kamu nggak kebagian, ini bagian yang mau nginep," cegah Heru, sambil tersenyum miring ke arahku.
"Kok, pulang?" tanya ibu Nasrul, menatap heran ke arahku.
"Iya, Bu. Dalari ini tukang bersih-bersih di sekolah, jadi dia harus pulang. Karena besok dia harus bekerja," jelas Nasrul, sambil menatap ke arah ibunya.
"Ya Allah, Kamu rajin banget," ungkap ibu Nasrul, penuh kekaguman.
"Bukan rajin, Bu. tapi butuh" jawabku malu-malu, sambil menundukkan kepala.
"Hebat kamu!, mau pulang sama siapa?" tanya ibu Nasrul, sambil menatap ke arahku.
"Sendiri, Bu. Heru dan Nawir, mereka mau nginep di sini."
"Emang kamu berani, pulang sendiri. mana ngelewatin gunung lagi" ungkap Ibu Nasrul, terlihat raut wajahnya, menunjukkan khawatiran.
"Beranilah, Bu. ngapain takut" jawabku sambil memdongakan kepala. walaupun sebenarnya agak ngeri juga kalau melewati gunung sendirian.
"Kalau nggak gini aja, kamu jangan pulang dulu. nanti mang Badru mengantarkan nasi ke sini, kamu bisa ikut pulang bareng dengannya, naik motor." jelas Ibu Nasrul.
"Emang nggak merepotkan, Bu."
"Enggak, lah, nanti Ibu yang bayar ojeknya, Lagian motornya, motor punya ibu," jelas Ibu Nasrul.
"Wah, terima kasih banyak, Bu," mataku, berkaca-kaca.
"Jangan bilang terima kasih. ibu yang harusnya berterima kasih sama kalian, karena kalian semua sudah peduli sama anak ibu" jawab Ibu Nasrul, terpangpang senyum diwajahnya, merasa kagum atas persahabatan kami.
"Ya udah, kalian makan jajanannya, Nanti kalau habis, ibu beli lagi" perintah ibu Nasrul, membuat mata kami berbinar, menatap ke arah makanan yang ada dalam plastik.
Kita berempat pun melanjutkan obrolan yang sempat tertunda, ditemani dengan cemilan-cemilan yang belum pernah aku makan. karena jangankan untuk jajan seperti ini, buat lauk makan aja susah. mindset yang sudah mengakar diotakku daripada membeli cemilan, mending membeli lauk makan, karena itu mengenyangkan.
Sedangkan ibu Nasrul, membaringkan tubuhnya di ranjang pasien yang kosong, tak terisi. Biasanya hari Minggu jarang pasien berobat, karena para dokter puskesmas di hari libur, mereka tidak masuk kerja. Para pasien tidak mau menunggu untuk menginap di puskesmas.
Asik mengobrol sampai beberapa kali perawat menegur. karena kita berempat yang terlalu berisik, namun kita terus mengulanginya lagi, walaupun udah diingatkan beberapa kali. Untungnya di ruangan yang kita tempati, kosong. Jadi tidak takut menggangu yang lain.
Obrolan pun terhenti setelah adzan dzuhur berkumandang, Kami bertiga berpamitan menuju ke mushola Puskesmas, untuk melaksanakan salat. selesai salat kami bertiga pun kembali kerungan, terlihat ada beberapa mangkok bakso, yang menyambut Kami bertiga, tercium aromanya yang khas memenuhi hidung kami.
"Kalian makan bakso dulu!" seru Ibu Nasrul, sambil menunjuk ke arah bakso Itu disimpan.
"Wah, merepotkan saja, Bu. padahal Kami masih kenyang" jawab Nasrul sambil tersenyum malu-malu.
"Udah, jangan banyak ngomong, makan aja" cibir Ibu Nasrul, yang sudah akrab dengan Heru, karena rumah mereka bertetanggaan.
"Hehehe" ucap kita bertiga kompak, sambil duduk di lantai. siap menghadapi semangkuk bakso, dengan gagah berani. meski tadi udah diganjal dengan timbal yang segede gajah, ditambah dengan cemilan-cemilan, kami tidak akan mundur, apalagi cuma melawan semangkuk bakso.
"Seminggu aja gini terus, bisa-bisa kita pulang merangkak, menyeret perut" celetuk Nawir, sambil menyuap kuah bakso ke mulutnya.
"Bener, tuh. kamu sakit aja terus Rul, biar makanan kita terjamin, sebagai teman yang baik, aku siap menemanin kamu disini" Timpal Heru, sambil melirik ke arah Nasrul, yang sedang memakan bakso diatas ranjang.
"Eh, Kurang ajar!, kamu ru" cibir Nasrul, dengan muka masam.
Ibu Nasrul melihat tingkah laku Kami berempat, hanya menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum, namun tak ikut menimpali.
Uhuk!!
Uhuk!!!
"Nawir terbatuk batuk tersendat, menahan tawa, sehingga membuat matanya terlihat merah, karena efek kuah bakso yang dipenuhi sambal.
"Makanya, kalau makan jangan sambil ngomong" celaku, sambil mendekatkan air minum, kearah nawir.
Dia hanya membulatkan mata merahnya, menatap ke arahku, tidak setuju dengan apa yang ku ucapkan.
"Siapa yang ngomong, dari tadi aku diam aja" tegas Nawir, setelah minum beberapa Teguk.
Kami berempat pun, fokus kembali, menyantap makanan masing-masing. karena ini adalah makanan yang sangat langka, jadi kami harus menikmatinya. hanya ada di kecamatan seperti ini, kalau di kampung-kampung seperti tempat kita tinggal. bakso ini hanya muncul setahun sekali. itupun di festival Samenan atau festival kenaikan kelas.
Setelah bakso itu habis. Habis sampai kuah kuahnya, hanya menyisakan mangkok, bahkan kalau pedagangnya mau jorok, dia tidak harus mencucinya. Kami berempat mengobrol kembali, sama seperti sebelum melaksanakan salat dzuhur. obrolan obrolan yang membuat kami tertawa dengan lepas.
Trokk!!!
Trokk!!!
Trokk!!!
Pintu kamar Puskesmas pun diketuk, lalu terdengar ada orang yang mengucapkan salam, Ibu Nasrul pun bangkit dari tempat tidurnya, lalu dengan sigap ia membukakan pintu.
Setelah pintu terbuka, terlihat Pak Chandra yang berdiri di ambang pintu, Ibu Nasrul dengan cepat ,mempersilahkannya untuk masuk, kemudian Kami bertiga pun dengan cepat menghampiri pak chandra, mencium punggung tangannya, itu adab atau etika ketika bertemu dengan guru. Meski mencium tangan orang kita hormati tidak ada dalam sunah, namun itu budaya yang sangat bagus, untuk dipertahankan.
"Kapan kamu ke sini, dal." tanya Pak Chandra, ketika melihatku berada di tengah-tengah mereka.
"Tadi, pagi Pak." jawabku, sambil menundukkan kepala tidak berani untuk menatapnya.
Pak Chandra langsung mendekati Nasrul, yang masih terbaring di atas ranjang Puskesmas.
"Bagaimana keadaanmu" tanya Pak Chandra sambil menoleh ke arahku.
"Nasrul!, Pak." Jawabku, yang mengerti apa maksud Pak Chandra menoleh ke arahku, pasti beliau tidak akan mengetahui namanya, karena Nasrul murid baru. hanya baru beberapa hari nasrul masuk sekolah. Itupun belum sempat bertemu dalam mata pelajaran.
"Ya, Rul. gimana keadaan kamu" Pak Candra mengulang pertanyaannya sambil menatap ke arah Nasrul.
"Alhamdulillah, Pak. Sudah baikan, cuman tinggal nunggu penyembuhan lukanya saja" jawab Nasrul, sambil menatap ke arah kakinya yang dibungkus perban.
"Syukurlah, kalau begitu, Semoga kamu cepat sembuh" ucap pak Candra, sambil menaruh bawaannya di dekat Nasrul.
"Apa ini pak ?" tanya ibu Nasrul, dengan raut wajah penasaran.
"Bukan apa-apa, cuma kue Bu" jawab Pak Chandra sambil tersenyum ke arah Ibu Nasrul.
"Wah, padahal enggak usah repot-repot, sudah ditengok saja kami sudah senang" jelas Ibu Nasrul, sambil merapikan pemberian dari Pak Chandra.
Akhirnya Pak Chandra dan ibu Nasrul pun larut dalam obrolan. Obrolan orang tua murid sama guru anaknya. pembahasannya tidak jauh seputar Nasrul, yang lagi kena musibah. Dan intinya Pak Candra mewakili sebagai pihak sekolah, meminta maaf atas kelalayannya sehingga kejadian naas itu, menimpa Nasrul. sedangkan ibu Nasrul, dengan bijak tidak mempermasalahkan, karena menurutnya. kecelakaan tidak ada yang mau, dan kita tidak bisa menolak kedatanganya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments